Share

Bab 2. Menolak Menikah

"Alana, kita harus bicara," ucap Leo saat melihat Alana keluar dari kamar hendak pergi.

Sejak pengacara membacakan isi surat wasiat Charles, orangtunya, Alana sering mengurung diri, bahkan sama sekali tidak mau bicara dengan Leo. Dia sering menghindar dan lebih suka berada di luar rumah dengan alasan banyak tugas di kampus.

"Alana, aku bicara denganmu," seru Leo ketika Alana kembali melanjutkan langkah tanpa melihatnya.

Alana kembali menghentikan langkah. Masih dengan wajah yang sama, marah, kesal dan jutek, Alana memutar tubuh untuk melihat Leo. Tatapannya tajam nan bengis penuh kemarahan. Bahkan ada sirat kebencian di dalam manik matanya yang bulat.

"Kemari dan duduk!" perintah Leo. Kali ini suaranya terdengar tegas.

Alana masih bergeming.

"Alana!" Kembali Leo memintanya datang.

Meski kesal, marah dan benci, Alana akhirnya melangkahkan kaki mendekati Leo.

"Duduk dan sarapan! Setelah itu aku akan mengantarmu," ucap Leo. Kali ini suaranya lebih lunak dan lembut.

Melihat Alana datang padanya, Leo bangkit dari duduknya dan menarik kursi agar Alana duduk di depannya dan sarapan bersama.

"Aku tidak lapar," ucap Alana dengan wajah cemberut.

"Aku masak makanan kesukaanmu." Leo tidak menghiraukan wajah Alana. "Dari kemarin kamu belum makan," sambungnya sembari mengisi piring di depan Alana dengan nasi goreng sea food kesukaan Alana.

"Aku sudah bilang, aku tidak lapar, Om!" seru Alana bertambah kesal karena Leo memaksanya makan. Alana mendorong dan menjauhkan piring itu dari hadapannya.

Leo mencoba tersenyum meski mendapat kemarahan Alana.

"Makanlah! Setelah ini kita bicarakan tentang pernikahan." Leo kembali mendekatkan piring itu pada Alana.

"Aku tidak mau makan. Aku juga tidak mau menikah dengan om Leo," ucap Alana. Kali ini suaranya tidak bervolume, namun wajahnya semakin cemberut dan marah.

"Terserah kamu mau menikah atau tidak, tapi yang jelas saat ini kamu harus makan. Aku tidak mau kamu sakit," ucap Leo.

Alana mengangkat wajah dan menatap lekat Leo. Pria dihadapannya itu kembali terlihat tenang, bahkan dari bibirnya tersungging senyum tipis saat mata mereka beradu. Hal itu membuat kemarahan yang berkobar dalam dirinya sedikit mengalami penyusutan. Alana menyadari bagaimana Leo merawat dan membesarkannya, juga memberinya kasih sayang yang tidak sempat dia dapatkan lagi dari orangtuanya.

"Makanlah!" minta Leo. Lagi-lagi senyumnya mengembang.

Tidak bisa menolak kebaikan dan kelembutan Leo, Alana pun akhirnya mengambil sendok, lalu memasukkan satu suap nasi goreng ke dalam mulutnya. Hal itu terulang hingga nasi goreng dalam piringnya hampir habis.

Leo sendiri tidak mau mengganggu saat Alana makan, makanya selama gadis itu makan, tidak ada obrolan tentang pernikahan dan surat wasiat itu. Dia lebih memilih berbicara tentang masalah kuliah Alana sebagai topik pembicaraan mereka.

"Aku antar kamu kuliah," ucap Leo setelah mereka menyelesaikan sarapan pagi ini.

Untuk beberapa hari Leo tidak membahas masalah pernikahan. Dia menunggu sampai Alana kembali tenang dan tidak marah lagi padanya. Hanya saja waktu yang dia pikir cepat, ternyata tidak. Kemarahan Alana masih berlanjut hingga beberapa hari. Meski tidak lagi menghindar, tapi Alana masih tidak banyak bicara.

Hingga suatu malam Alana mendengar percakapan Leo dengan seseorang di telepon, tiba-tiba kakinya terasa lemas. Dia baru percaya kalau sebenarnya Leo pun tidak bisa menerima pernikahan itu dengan mudah.

"Om," panggil Alana mendekati Leo saat pria itu sibuk dengan laptop kerjanya.

"Alana, kamu belum tidur?"

Leo kaget melihat Alana belum tidur, padahal waktu menunjukkan pukul 23:00 WIB. Leo segera menutup laptopnya dan meraih tangan Alana untuk duduk di depannya.

"Ada apa?" tanyanya lembut. "Kenapa wajahmu cemberut?" sambungnya sembari mencubit pipi Alana.

Dia pikir setelah beberapa hari tidak lagi membicarakan masalah surat wasiat membuat Alana tenang dan kembali ceria. Bahkan Leo telah memutuskan untuk tidak memaksakan pernikahan itu kalau memang Alana tidak menyetujuinya, tapi malam ini wajah Alana kembali bersedih dan muram.

"Seberapa berharga aku bagi Om Leo?"

Leo kaget, tiba-tiba Alana melontarkan pertanyaan itu padanya. Meski begitu, dari sudut bibirnya tersungging senyuman.

"Lebih berharga dari nyawaku," jawab Leo sembari mengusap pucuk kepala Alana. "Kamu satu-satunya keponakanku. Kamu pasti paling berharga," sambungnya. Kali ini Leo mencubit ujung hidung mancung Alana. Senyumnya jelas saja masih mengembang menghiasi wajahnya yang tampan.

Ya, meski sudah memasuki usia 30 tahun, wajah Leo tetap terlihat tampan. Bahkan bisa dikatakan lebih menawan. Sayangnya, sampai usianya yang matang dan seharusnya telah menikah, Leo masih jomblo. Dia juga tidak pernah membawa wanita pulang atau diperkenalkan pada Alana sebagai kekasih.

"Bagaimana dengan perusahaan? Apa aku lebih berharga dari perusahaan?" Lagi-lagi Alana memberi tatapan lekat mendalam pada manik mata Leo.

"Dasar gadis bodoh!" Leo kembali menarik ujung hidung Alana. "Jelas saja kamu lebih berharga dari perusahaan," sambungnya lagi.

Alana akhirnya tersenyum. Senyum yang dipaksakan, tapi sebenarnya jauh di dalam hatinya teriris. Jawaban Leo membuat dadanya sesak dan sakit. Alana hampir menangis, tapi dengan cepat menekan agar air matanya tidak jatuh.

"Alana, ada apa?"

Seberapa pun usaha Alana menutupi kesedihannya dengan senyum, Leo masih bisa membaca sorot matanya.

"Bila kita menikah, apa bisa menyelamatkan perusahaan?"

"Alana, apa yang kamu bicarakan? Aku tidak mengerti," sahut Leo mengelak untuk mengerti.

"Aku sudah tau semuanya, Om. Saat umurku dua puluh tahun dan aku belum menikah, maka perusahaan akan diambil alih kepemilikannya dan bisa saja Om Leo tidak memiliki apa-apa."

"Apa yang kamu katakan?" Lagi-lagi Leo berpura-pura tidak paham.

"Kemarin aku menemui pengacara papa. Dia menjelaskan semuanya padaku. Awalnya aku masih tidak percaya dan menganggap apa yang dikatakan itu hanya sebuah alasan agar aku setuju menikah denganmu, tapi setelah mendengarnya sendiri malam ini, aku percaya," ucap Alana.

Ternyata tanpa diketahui Leo, Alana diam-diam menemui pengacara papanya. Rupanya dia masih belum bisa menganggap surat wasiat itu sebagai angin lalu meski beberapa hari Leo tidak lagi membahasnya.

"Om, aku tidak mau kamu bangkrut dan kehilangan perusahaan, tapi aku juga tidak mau kita menikah," sambung Alana dilema. "Sampai kapan pun kita ini keluarga, mana boleh menikah?"

"Kalau begitu, lupakan saja!"

"Tapi?"

"Sudah malam, sebaiknya kamu cepat tidur! Bukankah besok harus kuliah pagi?" Leo menarik tangan Alana dan membawanya berdiri.

Leo tidak membiarkan Alana melanjutkan ucapannya dan membahas tentang pernikahan. Selain hari telah larut malam, dia juga tidak akan membiarkan Alana begadang sehingga esok hari keponakannya itu tidur saat kuliah. Leo tidak mau membebani pikiran Alana, dia sendiri yang akan memikirkan cara untuk mempertahankan perusahaan tanpa harus ada pernikahan antara mereka.

Alana sendiri tidak menolak atau membantah saat Leo meminta dan mengantarnya kembali ke dalam kamar untuk tidur. Seperti biasa, Leo meminta Alana berbaring, lalu menyelimuti dengan selimut hangat.

"Tidur yang nyenyak dan jangan berpikir macam-macam!" pesan Leo sembari mengusap pucuk rambut Alana, lalu memberikan kecupan lembut pada kening Alana.

"Om!" Alana menahan tangan Leo saat pria itu hendak meninggalkan kamar.

"Alana, ada apa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status