Share

8. Bertemu dengan Sasi

SEMINGGU telah berlalu semenjak kejadian di Bali saat itu, Yura tidak henti-hentinya memikirkan Krisna. Entah apa yang telah dilakukannya saat itu. Tapi bayang-bayang Krisna, bagaimana pria itu memujanya, menatapnya seolah dia menginginkannya, dan juga sentuhannya. Semuanya masih terekam jelas di benak Yura.

“Wah, mulai nggak waras lo, Ra!” desis perempuan itu saat sekujur tubuhnya meremang karena memikirkannya.

Mobil yang dikendarai perempuan itu berbelok melewati pagar, lalu Yura menurunkan kaca mobilnya untuk menyapa penjaga depan rumah tersebut, sebelum kembali melajukan mobilnya.

Begitu mobilnya sudah terparkir dengan sempurna, Yura lantas turun dan langsung bergegas menuju teras rumah tersebut.

Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya sudah lebih dulu dibuka, dan Bi Siti muncul dengan senyuman lebarnya.

“Pagi, Bi Siti.”

“Eh, Neng Yura. Apa kabar, Neng?” tanya Bi Siti dengan senyuman lebarnya.

“Baik, Bi. Bibi apa kabar?”

“Alhamdulillah, Neng, Bibi sehat. Nyariin Neng Sasi?”

“Iya, Bi. Ada, kan?”

“Neng Sasi lagi berjemur sama si Kembar di taman belakang. Neng Yura langsung masuk saja, ya? Bibi mau ke depan beli sabun sebentar, Neng.”

“Oke, Bi. Hati-hati di jalan.”

Sepeninggal Bi Siti, langkah Yura lantas terayun melewati ruang tamu. Perempuan itu mengedarkan matanya ke sekitar, samar sekali telinganya mendengar suara percakapan seseorang.

Yura sempat mengerutkan keningnya saat suara samar itu terdengar familiar di telinganya. Ini jelas hanya halusinasi Yura, hanya karena sejak tadi perempuan itu memikirkan pria itu, tidak mungkin dia ada di rumah ini, kan?

Yura mengerjapkan matanya, membuang jauh bayang-bayang Krisna dari pikirannya. Perempuan itu lantas melanjutkan langkahnya ke belakang taman, bersamaan dengan Sasi yang menoleh ke arahnya.

“Ra, barusan banget sampai?”

Yura melangkah mendekati Sasi yang saat ini tengah duduk di salah satu bangku yang ada di taman. Perempuan itu tengah berjemur bersama kedua bayinya. Kanaka dan Kanaya yang baru berusia tiga bulan itu, terlihat begitu menggemaskan. 

“Hm-mm. Gue sempat dengar di depan suara orang ngobrol. Ada tamu?”

Sasi melebarkan senyumannya, lalu meminta Yura untuk duduk di sampingnya. “Mau minum apa? Gue ambilin dulu.”

“Nggak usah, Sas. Gue nggak lama, kok.”

“Nggak lama gimana? Lo nggak ngehargain Bi Siti, ya. Bibi udah masak besar pagi ini, gara-gara gue bilang kalau lo mau ke sini.”

“Lebay! Gue datang ke sini cuma mau ambil dokumen doang, ya, bukan mau minta sarapan.”

“Tapi lo pasti belum sarapan, kan?”

Yura menghela napas pelan, lalu melirik ke arah Kanaka dan Kanaya yang tampak tertidur pulas di bawah hangatnya sinar matahari.

“Sas…”

“Hm?”

“Gue nggak jadi ambil beasiswa ke Sydney.”

Sasi mengerutkan keningnya, terheran. “Kenapa? Bukannya udah lama banget lo pengen ngejar impian lo? Le Cordon Bleu bukan sekolah yang main-main lho, Ra. Lo yakin mau melepaskan kesempatan ini begitu saja?”

“Tadinya gue kepikiran begitu. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, gue nggak mungkin ninggalin nyokap sendirian. Lo tau kan, semenjak bokap sama nyokap gue cerai, kondisi kesehatan nyokap gue mengkhawatirkan. Gue nggak mau ngejar impian yang justru malah berpotensi bikin nyokap gue kesepian apalagi sampai sakit-sakitan.”

“Gue sih, apapun keputusan lo, gue bakalan tetap dukung lo, Ra. Tapi kalau dipikir-pikir juga, kasihan kalau lo ninggalin Tante Wulan sendirian, kan?”

“Makanya, Sas.” Yura lantas melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. “Buruan ambilin dokumennya, keburu macet, nih.”

“Sarapan dulu, Ra. Lo—”

Belum Sasi melanjutkan ucapannya, suara seseorang yang terdengar membuat kedua perempuan itu menoleh ke arah suara.

“Sayang…”

“Mas?”

“Lho, ada Yura di sini?” Mahesa melangkah dengan satu kruk di tangannya. Lalu keterkejutan Yura tidak bisa terhindarkan saat matanya menangkap sosok Krisna di samping Mahesa.

“Eh, ada calon istri masa depan,” sahut Krisna dengan entengnya.

“Kalian udah kayak jodoh tak terduga gini, ya?” Celetukan Mahesa membuyarkan keterkejutan Yura. Perempuan itu lantas melotot ke arah suami sahabatnya itu, lalu mendengus pelan.

“Apaan sih, Mas, bilang jodoh-jodoh segala. Situ Tuhan?”

Sementara Sasi terkekeh. “Kalian kapan nikah, sih?”

Yura memutar matanya. Dia memang belum sempat menceritakan kejadian di Bali minggu lalu dengan Sasi lantaran kesibukannya yang mengambil alih.

“Lo ngebet banget kayaknya comblangin gue sama dia, ya?” 

“Bentar lagi aku lamar orangnya, Sas. Doain diterima, ya?” jawab Krisna diiringi dengan senyuman tengilnya.

“Apaan sih, Kris, receh lo!”

“Buruan seriusin dong, Mas. Mas nggak mau punya yang lucu-lucu kayak mereka itu?” tunjuk Sasi ke arah Kanaka dan Kanaya.

“Maunya juga gitu, Sas. Tapi Yura-nya belum mau diseriusin, coba?” ujar Krisna sembari melirik ke arah Yura.

“Tampol mau, Kris?” sembur Yura kesal.

“Disayang aja gimana sih, Ra?” 

Sementara Sasi hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka. “Dasar kucing sama tikus. Sarapan dulu yuk, Mas, Ra. Bi Siti udah masak spesial nih buat kalian berdua.”

“Emang indomie pakai spesial segala?” ujar Yura sembari bersungut-sungut.

Sasi membiarkan kedua babysitter-nya mengambil alih Kanaka dan Kanaya. Sementara mereka melangkah menuju ke ruang makan untuk sarapan bersama.

Dengan langkah gontai, Yura melangkah menuju ke meja makan. Dari sekian tempat yang ada di muka bumi ini, entah mengapa selalu ada Krisna yang tidak sengaja dipertemukan dengannya.

Kenapa bukan Refal Hady? Atau Ji Chang Wook? Barangkali Yura akan senang bertemu dengan mereka katimbang harus bertemu dengan Krisna di sini.

“Ra, kalau tahu kamu bakalan ke sini, tau gitu tadi aku nebeng.”

“Ck! Emang tampang gue udah kayak taksi online?”

“Jangan ketus-ketus sama Mas Krisna dong, Ra, lo lupa ya, benci dan cinta itu bedanya cuma setipis kain lingerie.”

“Gue nggak tahu setipis apa kain lingerie, jadi nggak bisa membandingkan.”

“Besok kalau lo nikah sama Mas Krisna, gue kadoin lingerie, deh. Mau warna apa? Atau… cosplay apa? Cat Woman? Sailormoon? Atau Doraemon?”

“Nggak lucu bercanda lo, Sas.”

Sasi tergelak. Mereka sudah duduk di meja makan dan mulai menikmati nasi goreng sembari mengobrolkan hal ringan. Meskipun kesal, Yura tetap masih mau menanggapi obrolan mereka. 

Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh lebih sedikit, keduanya akhirnya berpamitan.

“Gue berangkat dulu, ya?” ujar Yura saat setelah menerima berkas dari Yura.

“Mas Krisna jangan ditinggal tuh, kasihan dia datang ke sini naik taksi tadi. Masa lo tega ninggalin dia sih, Ra.”

“Dia udah gede, Sasi. Kenapa gue mesti repot ngurusin dia, sih?”

“Kalian kan searah. Udah buruan.” Sasi meraih kunci mobil Yura, lalu mengangsurkannya kepada Krisna. “Naik mobilnya pelan-pelan aja ya, Mas.”

“Oke, Sas. Thank you, ya.”

“Dasar modus!”

Usai berpamitan, Yura terpaksa naik ke kursi penumpang saat kursi kemudinya kini diambil alih oleh Krisna. Tak lama setelahnya, mobil itu melaju meninggalkan kediaman Mahesa dan mulai membelah jalanan utama.

Sepanjang perjalanan mobil itu melaju, Yura memilih untuk melemparkan tatapannya ke samping jendela. Membiarkan Krisna fokus dengan jalan yang ada di depan sana, mengingat bahwa pagi itu jalan yang dilalui mereka terlihat padat.

“Ra…”

“Hm?”

“Apa kabar?” tanya Krisna tak terduga.

“Baik. Kenapa tanya-tanya, sih?”

“Kamu nggak tanya kabarku?”

“Nggak.”

Krisna menerbitkan senyumannya. “Padahal aku kangen sama kamu.”

“Gue nggak. Udah deh, nggak usah pakai bilang kangen segala. Mending lo fokus ke depan, deh. Gue mau pergi ke kantor, bukan ke rumah sakit!”

Krisna tersenyum. Saat fokusnya kembali tertuju ke depan, ponselnya yang menyala sejenak mengalihkan perhatian Krisna.

Pria itu sempat melirik sekilas pesan yang baru saja diterimanya dari Maura.

[Mama: Bang, weekend ini pulang, kan? Acara pertunangannya Steven dan Awan bakalan diadakan di rumah. Steven minta Abang pulang.]

Tidak pernah terpikirkan dalam benak Krisna, setelah dua tahun dia berusaha mati-matian mengubur kenangannya bersama sang mantan, tapi rupanya takdir justru mempertemukan mereka kembali.

“Kris, awas!” Suara teguran Yura sontak membuat Krisna menginjak pedal rem dalam-dalam. Seketika rasa bersalah hadir, jantung Krisna mendadak berdebar kencang.

“Maaf, Ra. Maaf.”

“Lo ngalamun? Lo mau celakain gue beneran?”

Krisna meraup wajahnya dengan gusar sembari menggumamkan maaf berulang-ulang. 

“Lagi mikirin apa, sih?”

“Nggak ada, Ra. Maaf, aku nggak sengaja.”

Suasana kembali hening. Setelah memastikan jalanan yang di hadapannya lengang, Krisna mulai menginjak pedal dengan perlahan. Kali ini dia memilih untuk fokus dengan kemudinya.

Begitu mobil yang dikendarai mereka berbelok menuju pelataran parkir gedung Pandora Media Utama, Krisna menoleh ke arah Yura dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

“Kenapa?” tanya Yura saat menyadari ada hal yang ingin dikatakan Krisna kepadanya.

“Mau nggak nemenin aku ke acara keluarga sabtu besok?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status