Share

3 // Malaikat Tak Bersayap?

"Good job, Katya. Yang kamu lakukan tadi di jalan raya patut dipuji," bisik Gaffandra sambil mengusap surai panjang coklat kemerahan Katya, dengan bagian bawahnya yang mengikal lembut.

Gaffandra ingat saat Katya membantu bapak yang menggunakan kruk untuk menyeberang, dan benar-benar terkejut ketika ternyata Cia menarik tangan gadis yang sama ke hadapannya.

Katya. Nama yang manis.

Pria itu menunduk untuk menatap seraut wajah yang masih saja terlelap meski Gaffandra telah memeluknya, mengusap rambutnya, dan berbisik di wajahnya.

"Dasar kebo," ledek pria itu sambil mendengus geli. "Bisa-bisanya masih tidur saja. Memangnya kamu selelah apa sih?"

Tiba-tiba terdengar suara denting pelan yang berasal dari tas selempang kecil milik Katya. Suara yang tidak keras, namun terus menerus berbunyi dan lumayan mengganggu.

Sambil berdecak pelan, Gaffandra pun perlahan melepaskan pelukannya untuk meraih tas yang terletak di atas meja di depan kursi mereka.

Ia membuka tas dari bahan kanvas itu, untuk mencari ponsel yang terus tak hentinya bersuara.

Semula ia hanya bermaksud untuk menghentikan bunyinya, namun manik Gaffandra tak sengaja notifikasi pesan yang terpampang di bagian depan ponsel.

Yth. Katya Andriani,

dengan ini kami informasikan bahwa uang pembayaran untuk program wisuda, legalisir ijazah, dll sampai hari ini belum juga kami terima.

Dimohon untuk segera melunasinya agar ijazah Anda dapat dibawa pulang.

Terima kasih.

Dari : administrasi Universitas Unggul Pratama

Gaffandra pun mengedip pelan ketika membaca pesan itu. Jadi gadis ini ternyata masih kuliah??

Dan sepertinya ia baru akan lulus, namun terkendala oleh biaya wisuda dan terancam ijazahnya ditahan.

Pria itu pun memasukkan kembali ponsel Katya ke dalam tasnya, lalu kembali berbaring mendekap gadis itu.

"Jadi kamu nggak sanggup bayar uang wisuda, hm?" bisik lelaki itu sambil menoel iseng hidung Katya.

Rasanya ternyata lumayan menyenangkan memeluk tubuh mungil lembut ini. Aroma buah-buahan tropis yang keluar dari rambut Katya membuat ia merasa tenang.

Hingga akhirnya tanpa sadar, Gaffandra pun ikut tertidur.

***

"Sok-sokan mau mengawasi kencan orang lain, ternyata sendirinya malah tidur!" gerutu sebuah suara yang mengungkapkan kekesalan.

"Mereka nggak dibangunin?" Guman sebuah suara lain yang berbeda.

"Nanti. Aku mau foto dulu buat kenang-kenangan."

Sebuah kamera ponsel pun diarahkan ke Gaffandra dan Katya yang sedang tertidur untuk diabadikan.

"Udah cukup fotonya, Cia. Mendingan sekarang mereka dibangunin deh," ucap Jayden, yang merasa risih melihat adegan peluk-pelukan di depannya, dan pacarnya Cia yang masih saja seolah belum puas memotret dari segala sisi.

Lagipula, sekarang filmnya telah selesai. Anak lelaki tampan seusia Cia itu pun hanya bisa meringis malu karena sejak tadi petugas kebersihan bioskop melirik ke arah mereka.

"Okay, done," sahut Cia puas, setelah berhasil memotret beberapa kali. Anak perempuan itu lalu menyentuh lengan Gaffandra dan mengguncangnya pelan.

"Gaffandra! Bangun, hei. Malah tidur sambil pelukan ini gimana ceritanya sih?!"

Gaffandra yang merasakan guncangan di tubuhnya pun seketika terbangun dan membuka mata, yang langsung bertatapan dengan Cia dan Jayden yang berdiri di samping ikut menatapnya.

Cia berdecak sambil bersidekap melipat kedua tangan di dadaa. "Memangnya kalian udah jadian ya? Mesra banget," hardik anak perempuan itu.

"Sstt... jangan berisik, Cia." Gaffandra meletakkan satu jari telunjuknya di atas bibir, karena suara cempreng tak aesthetic tante kecilnya itu yang berpotensi membuat Katya terbangun.

Namun rupanya upayanya itu sia-sia, karena ia merasakan pergerakan halus dari tubuh lembut dalam dekapannya.

Kelopak mata Katya yang terbuka, yang menampilkan manik bening besar dan berkilau pun seketika saling beradu dengan bola mata gelap milik Gaffandra.

"Aaaaa!!! Bapak!!! Kenapa peluk-peluk?!!"

Sontak Katya mendorong kasar tubuh besar Gaffandra yang semula mengungkung dirinya. Gadis itu beranjak untuk duduk, lalu menatap ke sekelilingnya dengan pandangan nanar.

Ya ampun, kok bisa-bisanya dia malah ketiduran?! Ini pasti gara-gara ia kelelahan, karena sudah seminggu ini ia bekerja double shift di minimarket, supaya mendapatkan gaji double juga.

Katya mengutuk dirinya sendiri yang memang kalau sudah tidur, pasti susah bangun. Duh, menang banyak si Gaffandra bisa bebas grepe-grepe, ish!

Katya segera berdiri dan meraih serta mengenakan tas selempangnya. "Filmya sudah selesai kan? Kalau begitu aku pamit dulu. Bye, Cia. Makasih untuk traktiran nontonnya. Bye, Jayden."

Katya melambai ke arah Cia dan Jayden, namun hanya melirik tajam dan mendengus kesal ke arah Gaffandra yang hanya membalasnya dengan senyum geli.

"Eh, Kak Katya... tunggu." Cia menahan Katya dengan memegang tangannya. "Kakak pulangnya naik apa?"

Katya melirik jam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu setengah jam dari jadwal terakhir busway, masih keburu jika ia berlari dari mal ini ke halte.

"Sekarang kan sudah malam banget, aku anterin pulang aja ya? Itung-itung ucapan terima kasih karena sudah jadi teman menonton," tawar Cia dengan murah hati.

"Makasih, Cia. Tapi aku naik busway saja. Lagian tujuanku jauh dan aku nggak mau bikin kamu jadi repot."

Baru saja Katya hendak berlalu, lagi-lagi Cia dan genggaman mautnya yang kencang itu sama sekali tidak berniat ingin melepaskan Katya.

"Kali ini aku yang memaksa, Kak," cetus anak perempuan itu lagi sambil tersenyum dengan sangat manis, namun entah kenapa hal itu malah membuat Katya bergidik.

Senyuman Cia itu sama sekali tidak mirip dengan senyuman anak kecil berusia hampir 11 tahun, tapi lebih mirip senyuman elegan seorang Lady bangsawan di Inggris ketika menitahkan sesuatu kepada bawahannya.

Dingin, dan penuh intimidasi. Hih, bikin merinding aja.

Lagipula apa tadi katanya??

((Kali ini aku yang memaksa, Kak))

Hei, bukankah Katya sejak tadi memang sudah dipaksa untuk menjadi teman menonton di Gaffandra mesuum itu??

Tapi sama seperti ketika Cia menarik tangannya keluar dari antrian bioskop, kali ini Katya pun merasa tidak berdaya ketika lagi-lagi anak perempuan itu menyeretnya dengan sama penuh tekad seperti sebelumnya.

Katya tidak sadar jika di belakangnya, ada Gaffandra yang sejak tadi terus tertawa geli melihat Katya yang tak berkutik melawan Cia.

***

"Di depan ada pertigaan, belok kiri. Berhenti di dekat pohon mangga situ saja." Katya memberikan arahan kepada Gaffandra yang berada di belakang kemudi.

Pria itu mengikuti petunjuk Katya, dan membelokkan BMW-nya lalu berhenti di pohon mangga yang cukup rimbun di pinggir jalan.

"Asrama dan Panti Asuhan Cinta Bunda??" Gaffandra terkejut ketika baru menyadari posisi dimana mobilnya berhenti.

Ia membaca plang nama berwarna putih dengan tulisan besar berwarna hijau, yang terletak atap teras depan rumah yang bercat putih bersih dengan tiang dan pintu berwarna hijau.

Katya mengangguk ringan sambil membuka seat beltnya. "Terima kasih untuk tumpanannya, Pak. Hati-hati di jalan," ucap gadis itu berbasa-basi sebelum ua membuka pintu dan keluar dari mobil.

Cuma ada Katya dan Gaffandra di dalam mobil saat ini. Karena malam yang sudah cukup larut, Gaffandra memutuskan untuk mengantarkan Cia yang masih bocah pulang dulu ke rumah kakeknya.

Katya berjalan masuk ke dalam pagar tanpa menoleh ke belakang lagi, mengira Gaffandra juga sudah berlalu dengan mobil mewahnya itu.

Namun gadis itu pun seketika tertegun, ketika mendengar suara pintu mobil yang dibuka lalu ditutup dari arah belakangnya.

Sontak gadis itu pun menoleh, dan manik coklatnya melebar saat melihat Gaffandra yang ternyata telah keluar dari mobil dan berdiri menatapnya.

Kenapa? Apa ada yang ketinggalan?

Katya pun segera memeriksa isi tas selempang yang ia kenakan. Dompet dan ponsel... semua ada kok.

"Ada apa, Pak?!" Teriak Katya, yang telah beberapa langkah jaraknya dari Gaffandra.

Gaffandra terdiam, untuk beberapa saat ia hanya menatap Katya dan rumah panti asuhan di belakang gadis itu.

Seulas senyum kemudian terlukis di wajah tampan lelaki itu, diiringi dengan gelengan pelan.

"Tidak apa-apa," sahutnya. "Masuklah. Aku pulang dulu, dan... sampai jumpa lagi, Katya."

'Sampai jumpa, katanya?? Semoga saja tidaaak!!' batin Katya dalam hati.

Gadis itu pun akhirnya hanya menjawab dengan anggukan ringan, meski merasa heran melihat gelagat Gaffandra.

"Dasar keluarga ajaib," guman gadis itu saat ia mengingat kembali, bagaimana bisa ada tante semungil Cia yang berbanding terbalik dengan keponakan seusia Gaffandra yang jauh lebih tua.

Yah, hari ini memang cukup aneh bagi Katya yang semula hanya ingin menikmati waktu senggangnya menonton di bioskop.

Ia mengira jika malam ini akan menjadi malam teraneh seumur hidupnya.

Tanpa menyadari bahwa sesungguhnya malam ini adalah awal mula dari semesta yang tengah bekerja untuk mengubah takdir hidupnya.

***

Yth. Katya Andriani, pembayaran legalisir ijazah dan program wisuda sejumlah Rp. 5.250.000,- telah kami terima. Silahkan mengambil tanda bukti pelunasan pembayaran serta seragam toga di kantor Tata Usaha. Terima kasih.

Dari : Administasi Universitas Unggul Pratama

UHUK-UHUUKK!!!

Katya pun seketika menyemburkan air yang ia baru saja ia minum beberapa teguk dari gelas, saat maniknya membaca isi pesan di ponsel yang membuatnya terkejut.

Tunggu-tunggu... ini apa nggak salah kirim ya? Bukannya dia belum bayar sama sekali uang wisudanya?? Tapi kok bisa-bisanya administrasi universitas mengatakan kalau sudah lunas??

"Kalau minum dan makan jangan sambil liat hape, kak. Tuh kan jadinya tersedak sendiri."

Katya berdecak pelan sambil memelototi adik asuhnya, Ririn, yang baru berusia 7 tahun tapi kadang ceriwisnya ngalahin ibu-ibu ghibah tetangga sebelah.

Saat ini seluruh penghuni asrama Yatim Piatu Cinta Bunda sedang sarapan bersama, dengan lauk yang apa adanya seperti biasa.

Bu Sadna sebagai pengelola yang dibantu oleh Katya hanya membakar pisang dan menggoreng beberapa telur yang di jatah setiap hari untuk setiap anak yang berbeda.

"Makan. Jangan bawel," sungut Katya sambil mendelik ke arah Ririn yang hanya membalasnya dengan cengiran polos.

Katya membersihkan sisa-sisa air di baju dan meja yang jadi basah akibat ulahnya.

Selesai sarapan, semua anak berbaris rapi untuk menyalami Bu Sadna dan Katya, dua orang dewasa di asrama panti asuhan.

Setelah membantu beberapa anak yang masih terlalu kecil untuk memakaikan sepatu, Katya dan Bu Sadna mengantar mereka semua hingga ke pagar depan.

Sebuah rutinitas yang setiap pagi selalu dilakukan saat hari sekolah.

Katya dan Bu Sadna melambaikan tangan mengiringi kepergian langkah-langkah mungil namun penuh tekad dan semangat itu untuk meraih masa depannya.

Anak-anak panti asuhan sangat minim kasih sayang, sehingga bahkan bentuk terkecil dari love language akan sangat mereka nantikan.

Katya meraih tangan Bu Sadna dan menciumnya, pamit untuk berangkat ke kampus.

"Bagaimana uang wisudamu, Katya?" Tegur Bu Sadna, saat Katya sedang mengeluarkan sepeda kesayangannya dari garasi mungil di samping asrama.

"Ibu punya tabungan 4 juta, sisanya kita bisa pinjam sana-sini. Jadi kamu tidak perlu lembur bekerja lagi," tukas perempuan paruh baya itu dengan wajah sendu, tak tega melihat Katya yang seringkali pulang ke asrama dengan wajah yang kelelahan.

Katya menggeleng sambil tersenyum. "Jangan pakai tabungan, Bu. Katya pasti bisa kok dapat uangnya," cetus gadis itu optimis, meski terbersit tanya dalam hati tentang isi pesan yang ia terima sebelumnya.

"Katya, jangan begitu--"

"Aku berangkaaaat~" Katya sengaja memotong perkataan Bu Sadna dan segera mengayuh sepedanya dengan kencang sembari melambaikan tangannya kepada ibu asuh yang telah merawat dirinya yang yatim piatu sejak kecil itu.

Ia tidak mau Ibu asuhnya itu mengeluarkan tabungan pribadi yang selama beberapa tahun dicicil rupiah demi rupiah, hanya untuk biaya wisudanya.

Pasti ada jalan, dan Katya yakin pasti akan menemukannya.

***

Katya terdiam sambil menenteng tas besar berisi jubah, toga dan printilan wisuda lainnya di satu tangannya, dengan tatapan nanar tertuju pada satu tangan yang lain yang memegang kwitansi tanda bukti pelunasan pembayaran wisuda dan legalisir ijazah.

Ternyata isi pesan yang ia terima itu benar.

Ada seseorang yang telah melunasi semuanya, namun anehnya bagian administasi seolah enggan untuk mengatakan kepada Katya siapa orangnya.

Katya benar-benar tak punya gambaran tentang sosok yang telah menjadi malaikat penolongnya. Apalagi selama 3,5 tahun kuliah di sini ia hanya memiliki satu sahabat yang bernama Arsel.

Itu pun Katya tidak pernah menceritakan tentang kesulitannya mencari uang biaya wisuda kepada Arsel.

Atau jangan-jangan Arsel tahu, dan diam-diam telah membayarnya?

"Aarseeellll!!!" Katya menjeritkan nama seorang lelaki yang memakai topi hitam yang sedang berjalan santai melewatinya.

Lelaki itu menengok, dan wajahnya tersenyum melihat Katya yang berlari ke arahnya.

BRUUGG!!

Lelaki yang bernama Arsel itu pun terkejut, ketika tiba-tiba saja mendapatkan pukulan di lengannya yang berasal dari tas selempang Katya. Tidak sakit, hanya kaget saja.

"Apaan sih, Ka?"

"Ngaku kamu! Ngapain segala ngelunasin biaya wisuda aku, hah?!" Sergah Katya tanpa basa-basi langsung mengkonfrontasi.

"Hah? Gimana?" Arsel mengerjap kaget mendengar ucapan Katya yang ia tak mengerti sama sekali.

"Kamuu~ kamu kan, yang melunasi semua pembayaran wisuda dan ijazah?! Jangan bohong. Kalau bukan kamu terus siapa lagi coba?" Katya menunjukkan kwitansi dan tas berisi seragam wisuda kepada Arsel.

"Aku belum bayar untuk semua ini, Sel. Tapi tiba-tiba saja ada pesan masuk pagi ini yang mengatakan semua biayanya sudah lunas."

Arsel pun menggaruk telinganya yang tidak gatal. "Kenapa nggak bilang aku kalau kamu belum bayar sih? Kan bisa aku talangin dulu, nanti kapan-kapan bisa kamu ganti kalau sudah punya uang," dengus lelaki itu sambil menoyor kepala Katya.

"Dasar cewe bar-bar tukang tuduh," cemooh lelaki itu lagi.

Katya menatap sahabatnya itu dengan manik yang membelalak lebar. "Lah? Jadi... jadi bukan kamu yang bayar??"

"Bukan," sahut Arsel sembari mengedikkan bahu.

"Terus... siapa?" Tanya Katya dengan tatapan nanar.

"Yaa~~ anggap saja dia orang baik titipan Tuhan untuk kamu."

"5 juta, Sel. 5 jutaa..." Rasanya Katya masih tak percaya ada orang sebaik itu yang mendonasikan uang sebanyak itu untuknya.

Arsel tertawa melihat wajah bloon Katya yang lucu. Ia lalu memeluk leher Katya dengan mengalungkan satu tangannya dari samping.

"Udah, nggak usah dipikirin. Mendingan sekarang aku traktir makan bakso deh yuk!"

Katya tercenung sejenak saat sebuah pemikiran baru terlintas di benaknya.

"Sel. Tunggu deh. Kalau ternyata dia orang jahat gimana? Kalau ternyata 'niat baik'-nya itu hanya kamuflase saja, gimana?"

"Kamu kan punya nomorku, Katya. Hubungi kapan saja, dan aku akan siap menghajar bajingann yang berbulu domba itu," sahut Arsel santai, dan kembali menarik Katya ke arah kantin.

Menikmati setiap kebersamaan dengan sahabatnya ini hingga detik-detik sebelum mereka wisuda, dan entah kehidupan nyata seperti apa yang akan menanti mereka.

***

"Katya Andriani, lulus dengan predikat Cumlaude!"

Katya tersenyum dan berjalan di atas panggung dengan penuh percaya diri ketika namanya disebut. Salah satu dari mimpinya telah terwujud, yaitu lulus kuliah hingga mendapatkan nilai yang memuaskan.

Bagi seorang yatim piatu yang mengandalkan beasiswa sepertinya, Katya harus bekerja keras dan mempertahankan seluruh nilai A.

Katya yang kadang suka iseng jahilnya, malah mengajak Rektor Universitasnya untuk bergaya dengan tangan membentuk half love couple saat difoto, membuat Arsel yang sudah lebih dulu turun hanya geleng-geleng kepala.

Mungkin hanya Katya yang berani bersikap begitu dengan pemimpin tertinggi di Kampusnya.

Katya hanya sangat bahagia. Momen ini akan dia ingat seumur hidup dan menjadi pembukti bahwa tak ada yang tak dapat diraih selama mau terus berusaha dan...

... pertolongan dari Tuhan.

Katya tersenyum dan dalam hati membayangkan siapa sebenarnya sosok malaikat tak bersayap yang telah melunasi semua biaya wisudanya.

Sampai sekarang pun ia masih tak tahu siapa orang itu, padahal Katya ingin sekali berterima kasih kepadanya.

Masih ada satu sesi lagi setelah hampir seluruh rangkaian acara wisuda hari ini usai.

Yakni sebuah kalimat penutup yang akan dibawakan oleh Ketua Yayasan, yang dengar-dengar kabarnya adalah orang baru karena Ketua Yayasan yang lama telah mengundurkan diri karena pensiun.

Rasanya Katya hampir tak percaya saat mendengar sebuah nama yang baru saja disebutkan oleh MC.

Sebuah nama tak asing, yang beberapa hari yang lalu baru saja ia kenal. Nama yang tak umum, dan sepertinya jarang ada kembarannya.

Manik coklat gadis itu pun semakin membelalak lebar, ketika melihat sosok yang baru saja menaiki panggung.

Sosok yang menimbulkan kehebohan kecil di antara para gadis, karena wajahnya yang memang tampan sempurna tanpa cela, pun tubuhnya yang tinggi dan maskulin.

"Ga~ffandraa??" guman Katya pelan, masih merasa bahwa ia pasti bermimpi. Pria itu... adalah Ketua Yayasan yang baru??

Suara tepuk tangan mulai reda saat Ketua Yayasan alias Gaffandra telah berdiri di podium, memamerkan senyumnya ke seluruh penjuru ruang wisuda yang sontak membuat mahasiswinya panas dingin.

"Tunggu," ucap Gaffandra tiba-tiba yang terdengar ke seluruh udara.

"Maaf, tapi saya harus mengirimkan sebuah pesan penting kepada seseorang dulu sebelum memulai pidato penutup."

Sebagian orang tertawa pelan mendengar perkataan Gaffandra, meski sebagian lagi sepertinya tidak suka dan hanya menaikkan alis mereka.

Namun pria itu terlihat cuek saja, dan tetap mengetikkan sesuatu di ponselnya selama beberapa saat.

"Done," ucap Gaffandra lagi sembari tersenyum. "Maaf. Itu tadi pesan penting untuk seseorang yang terlupa dikirim."

Gaffandra baru saja memulai pidatonya, ketika Katya merasakan getaran halus dari ponselnya.

Gadis itu segera meraih alat komunikasi miliknya, dan membaca pesan yang baru saja masuk.

"Hai, Katya Andriani. Selamat ya untuk wisuda dan predikat Cumlaude-mu. Dan... ya, kita ketemu lagi, kan?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status