Share

2 // Yang Terjadi Sebenarnya

Beberapa Jam Sebelumnya...

"Hah? Putus??"

Gaffandra mengangguk pelan tanpa melepaskan pandangannya ke arah jalanan melalui kaca depan mobil.

Baru saja ia menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Cia, tentang dimana Olivia kekasihnya berada.

Seharusnya hari ini mereka double date sambil menonton film di bioskop, yang dilanjut makan malam bersama.

Namun Cia pun terheran-heran ketika melihat Gaffandra yang hanya seorang diri menjemputnya di rumah.

"Kok bisa?? Padahal kalian berdua kan mesra dan saling menyayangi. Memangnya kenapa bisa putus sih??" cetus Cia yang semakin merasa penasaran.

Selama ini keponakan 'tua'nya itu selalu terlihat harmonis bersama Tante Olivia di setiap acara keluarga besar Adhyatama yang memang cukup sering diadakan.

Gaffandra hanya mengedikkan bahu, terlihat sangat tenang bahkan seolah tidak terlalu peduli.

"Kalau ternyata memang tidak cocok ya buat apa juga dipaksakan?" cetus Gaffandra sembari menaikkan alisnya yang lebat dan tersenyum kepada tante mungilnya itu.

Cia pun seketika bersidekap dan memicingkan maniknya ke arah keponakannya.

"Tunggu. Jangan bilang deh kalau kamu yang putusin Tante Olivia! Bener kan? Dan juga jangan-jangan karena... karena Tante Olivia minta dinikahin ya??" tebak anak perempuan itu dengan tepatnya.

Cia sangat tahu jika Gaffandra sangat alergi dengan pernikahan. Sangat berbanding terbalik dengan ayah dan kakeknya yang justru seolah tak pernah merasa kapok menikah berkali-kali, meski juga harus mengalami perceraian juga berkali-kali.

"Ck. Dasar wanita dewasa! Kenapa sih mereka suka sekali memaksakan kehendak?? Sudah tau pria macam apa si Gaffandra!!" Gerutu Cia.

"Tante Olivia seharusnya tuh 'main cantik' deh. Si Gaffandra ini kan makin lama makin tua, pasti lama-lama juga mikir tentang hidupnya dan akhirnya kepengen punya istri!" Cetusnya lagi menambahkan, yang membuat Gaffandra seketika melirik ke arah tante kecilnya itu sambil menghela napas pelan.

"Cia, usia kamu kan baru 10 tahun. Please, berucap dan bersikaplah sesuai umur," pinta pria itu sambil menggelenglan kepala tak habis pikir mendengar cara otak anak kecil ini bekerja.

"Apaan sih, minggu depan kan umurku sudah 11 tahun," protes Cia tak terima. Anak perempuan itu pun merogoh saku kecil di gaun pink-nya, untuk meraih ponsel yang juga berwarna pink di sana.

"Jangan telepon Oliv, Cia."

Cia berdecak pelan mendengar nada peringatan pada kalimat Gaffandra, yang ternyata telah bisa menebak maksudnya.

"Kalau begitu kamu harus mencari teman menonton!" Ketus Cia kesal. "Aku nggak mau kencan pertamaku dengan Jayden jadi berantakan gara-gara keponakan jomlo yang rese."

"Aku nggak akan ganggu kencan kamu dan Jayden kok," tukas Gaffandra kalem. "Tapi aku juga nggak bisa membiarkan kamu berduaan dengan Jayden, Cia. Kalian masih usia anak-anak yang perlu diawasi oleh orang dewasa."

Pernyataan tegas dari Gaffandra itu membuat Cia terdiam dengan bibir cemberut. Ah, kenapa harus Gaffandra putus dengan Tante Olivia tepat di hari kencan pertamanya dengan Jayden, sih?

Cia takut jika Gaffandra iseng dan malah menjadi pengganggu di acara kencan nanti.

BMW yang membawa tante muda dan keponakan tua itu pun berhenti tepat di lampu merah yang menyala.

Beberapa manusia terlihat tengah sibuk berjalan menyebrangi zebra cross di depan mereka. Di antara orang-orang itu, ada seorang laki-laki paruh baya yang terlihat susah payah melangkah menggunakan kruk di kedua tangannya.

Ada perban di kaki kirinya, menjadi alasan keberadaan kruk dan langkahnya yang tertatih.

Dari arah belakang, tiba-tiba muncul seorang gadis yang kemudian membantu si bapak untuk menyeberang.

Gadis itu juga memberi kode kepada mobil yang berhenti, karena lampu lalu lintas yang sesungguhnya telah berubah menjadi hijau.

Suara klakson yang melengking saling bersahutan tak sabar, sama sekali tak membuat is gadis takut atau pun segan.

Gaffandra tertawa geli melihat ekspresi wajah gadis itu yang melemparkan tatapan galak ke arah mobil-mobil yang membunyikan klakson.

"SABAR! NGGAK LIHAT ADA YANG SEDANG NYEBRANG?! DASAR NGGAK PUNYA HATI!!"

Teriakan si gadis yang sedang memelototi mobil yang mengklaksonnya, membuat Cia yang semula asyik bermain ponsel pun ikut mendongak untuk melihat apa yang terjadi.

Anak perempuan itu melihat seorang gadis manis bersurai panjang coklat kemerahan yang mengenakan celana jeans dan kaus hijau polos oversized, sedang menuntun lelaki paruh baya yang berjalan di penyebrangan sambil terpincang-pincang dengan kruknya.

Lalu Cia menatap ke sampingnya, ke arah Gaffandra yang ternyata memandangi si gadis kaus hijau dengan lekat dan senyum tipis yang terlukis di bibirnya.

***

Siapa yang sangka jika ternyata Cia kembali bertemu dengan si gadis berkaus hijau di bioskop?

Anak perempuan itu seperti tak percaya dengan kebetulan seperti ini. Ia masih sangat ingat bagaimana Gaffandra memandangi gadis itu dengan senyum dari dalam mobil.

Dan pikiran Cia yang masih sangat polos pun menerjemahkan hal itu sebagai perasaan 'suka'.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Di saat Cia merasa buntu ide bagaimana agar Gaffandra tidak mengganggu kencannya, kemunculan si gadis manis kaus hijau memberinya ide cemerlang.

Ia percaya kakak itu pastilah gadis yang baik hati, melihat bagaimana sikapnya menolong orang terluka yang menyeberang jalan.

Meskipun penampilannya sederhana hanya dengan kaus dan jeans, wajahnya cantik juga saat dilihat sejelas ini.

Kulitnya putih sangat bersih. Rambutnya yang terurai sepunggung ternyata memiliki warna coklat kemerahan yang asli, bukan sengaja diwarna.

Pun dengan bola mata yang sewarna rambutnya. Cia sangat yakin jika kakak ini pastilah memiliki darah keturunan dari negeri lain.

Cantik dan juga baik hatinya.

Jadi dia sangat pantas untuk bersanding dengan Gaffandra, kan?

Tanpa berpikir lagi, anak perempuan itu pun segera mengayunkan kakinya untuk menghampiri si kakak yang sedang mengantri.

Dan Cia pun menarik tangannya untuk keluar dari antrian barisan, lalu membawanya kepada Gaffandra.

***

"Cantik-cantik kok pelor. Nempel langsung molor."

Gaffandra mendengus dan berguman sendiri, ketika melihat Katya yang malah ketiduran di kursi bioskop yang sengaja ia rebahkan.

Padahal awalnya Katya terlihat keberatan jika kursinya diatur se-horizontal itu seperti ranjang, tapi malah sekarang dia yang keenakan dan ketiduran!

AC yang dingin, kursi dan bantal yang empuk, serta selimut hangat yang halus menjadi alasan gadis itu merasakan kenyamanan dan berakhir dengan ketiduran.

"Heran. Padahal sound system seberisik ini kok bisa-bisanya dia tidur sih?"

Mereka sedang menonton film horor, jadi bisa dibayangkan musik pengiringnya yang sangat tidak santai pada adegan-adegan jumpscare.

Gaffandra mendekatkan wajahnya ke wajah Katya yang terlelap dengan sangat pulas. Ia memandangi kulit putih nyaris pucat yang halus, bulu mata lentik, hidung mancung mungil dan bibir penuh alami sewarna ceri.

"Cantik juga," guman pria itu sembari menyeringai miring. "Tapi sepertinya masih sangat muda. Sayang. Bukan tipeku."

Gaffandra bermaksud untuk menarik wajahnya agar kembali menonton film, atau mengawasi Cia dan pacarnya.

Tapi entah kenapa, seolah ada efek magnet tak kasat mata yang membuatnya enggan untuk menjauh.

"Berapa sebenarnya usiamu, hm?" Gaffandra kembali mengguman sambil menjentik pelan hidung bangir Katya.

Ia tertawa pelan saat gadis itu menggaruk hidungnya, lalu meracau dengan ucapan yang tak jelas.

Gaffandra pun kemudian mengubah posisi duduknya menjadi berbaring miring dan menghadap Katya. Satu tangannya terjulur untuk menarik pinggang gadis itu, hingga kepala Katya kini menempel di dadanya.

"Jangan salahkan aku, Katya," cetus pria itu sambil nyengir seolah tak berdosa.

"Salah kamu sendiri yang malah ketiduran dengan wajah semanis ini."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status