“Bekal yang Kakak bawain kemarin itu enak banget. Boleh enggak, kalau aku minta dimasakin sama Kakak? Kebetulan, Mbak Nia baru pulang kampung karena ada urusan. Sementara Bi Atik, mendadak enggak enak badan. Jadi enggak ada yang masak.”
Arsya baru bangun tidur dan membawa tas bekal ke dapur, bertepatan dengan Falisha yang sedang mengambil air minum.
“Jadi Arsya suka? Arsya mau dimasakin apa? Nanti Kakak masakin habis mandi.”
Tidak buru-buru menjawab, Arsya justru terpesona melihat cantiknya Falisha meski penampilannya masih terlihat berantakan dengan piyama yang dikenakan.
“Arsya ....”
“Kalau dimasakin sekarang, bisa, enggak? Aku udah laper banget,” pinta Arsya yang baru tersadar dari lamunan. “Aku bakal tungguin Kakak di meja makan. Atau ... mau aku bantu siapin bahan?”
Dari Salma, Arsya tahu Falisha adalah tipe orang yang tidak enakan, sehingga kemungkinan kecil perempuan baik hati itu menolak permintaannya. Terlebih, Arsya sudah memperlihatkan tampangnya yang memelas.
“Tapi, Kakak belum mandi. Apa Arsya enggak keberatan lihat Kakak masih berantakan begini?” tanya Falisha tidak enak hati.
“Ah, Kakak. Kayak sama siapa aja.” Arsya merangkul bahu Falisha dan membawanya ke depan lemari pendingin. “Coba Kakak lihat. Dari bahan yang tersedia, kira-kira Kakak mau masak apa buat aku?”
Arsya sedikit membungkuk, kemudian menoleh dan mendapati wajah Falisha tepat di depan wajahnya.
Falisha segera membungkuk untuk menghindari kedekatannya dengan Arsya. Bagaimanapun, laki-laki di sampingnya itu adalah adik dari suaminya dan tentu saja, Falisha sadar betul bahwa dirinya harus menjaga jarak dari Arsya.
“Arsya ... Arsya bilang aja maunya dimasakin apa. Kakak bingung.” Falisha sedikit gugup, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dia merasa sedikit lebih hangat dengan sikap Arsya yang welcome ketimbang suaminya sendiri.
“Gimana kalau Kakak buatin aku nasi goreng seafood? Ekstra pedes, kayaknya enak buat sarapan.”
“Boleh.” Falisha mengangguk-angguk menuruti permintaan Arsya. “Kalau Mas Arka, apa suka nasi goreng juga? Kalau iya, Kakak bisa sekalian buatin buat Mas Arka.”
“Doyan, tapi Kak Arka enggak suka pedes. Kakak masakin buat aku dulu, ya. Laper banget, semalem enggak makan.”
“Iya, boleh. Tadi Mas Arka juga masih tidur, jadi Kakak bisa masakin Mas Arka belakangan.”
Arsya tersenyum senang. Dia berusaha mencairkan suasana, membuat Falisha bisa lebih dekat dan akrab dengannya. Sejak kemarin, Arsya bersumpah akan membuat Arka menyesal karena sudah menyia-nyiakan perempuan sebaik Falisha. Bukan hanya baik hati, tetapi perempuan itu juga cantik jelita, bahkan lebih cantik dari kekasih Arka jika kakaknya itu menyadari.
Dasar bodoh! Arsya mengumpat dalam hati, memaki kakaknya yang tidak bersyukur telah menikah dengan perempuan secantik Falisha.
Tidak lama, menu sarapan yang diinginkan Arsya pun tersaji di meja. Dari aromanya saja, dia sudah bisa merasakan kenikmatan dari makanan yang dibuat kakak iparnya.
“Kelihatannya enak,” gumam Arsya yang tidak sabar untuk menyantap hidangan.
“Selamat menikmati. Kakak mau masak sekalian buat Mas Arka.” Falisha kembali mendekati lemari pendingin dan memilih bahan-bahan yang hendak dibuat untuk sarapan sang suami.
Sebentar kemudian, terlihat Arka yang muncul di dapur, sudah rapi dengan pakaian kerja. Dilihatnya Arsya yang tengah menikmati sarapan tanpa menghiraukan kedatangannya yang lantas duduk di kursi seberang Arsya.
Arka menoleh, memperhatikan Falisha yang masih mengenakan piyama tidurnya.
Di tengah kesibukannya memasak, Falisha meluangkan waktu untuk membuatkan kopi dan menyajikannya untuk Arka.
“Silakan, Mas, kopinya. Udah Fal cicip, jadi bisa Fal pastiin kalau kopi kali ini enggak asin,” ujar Falisha setelah meletakkan secangkir kopi di hadapan Arka.
Arka menyeruput kopi saat Falisha masih berada di dekatnya. “Terlalu manis,” protes Arka. “Kamu juga belum bersih-bersih badan, kenapa udah sibuk masak? Enggak ngaca, kalau penampilan kamu masih berantakan?” lanjutnya yang sudah pasti mengundang reaksi Arsya.
“Emangnya sejak kapan di rumah ini ada aturan, sebelum masak harus mandi dulu dan berpenampilan rapi?” Arsya menyahut. “Ini rumah, bukan restoran.”
“Aku enggak minta kamu komentar,” balas Arka sambil melirik tajam ke arah Arsya.
“Kak Falisha juga enggak minta Kakak buat komentari penampilannya.” Arsya tidak mau kalah. “Kalau Kakak mau sarapan di tempat di mana Kakak bisa lihat tukang masaknya berpenampilan rapi, makan di restoran, jangan di rumah.”
“Arsya, masih pagi. Kamu enggak usah bikin orang naik darah.” Arka mulai kesal.
“Kakak sendiri yang mulai.”
“Udah, udah.” Falisha mencoba menengahi pertikaian yang terjadi karena dirinya. “Maaf, Mas. Tapi ... tadi Fal keburu haus, jadi pas turun sekalian buatin Arsya sarapan karena Mbak Nia baru mudik, kan,” katanya beralasan.
“Kakak enggak perlu merasa enggak enak. Lagian pesen Mama, kita diminta buat bikin Kakak happy di sini, nyaman seperti di rumah sendiri.”
Benar apa yang dikatakan Arsya. Namun, Arka terlihat tidak menyukainya. Laki-laki itu pun berdiri, meninggalkan meja makan tanpa berbicara apa pun kepada Falisha maupun Arsya.
Selesai makan, Arsya berlari mendekati kompor karena mencium bau gosong dari masakan Falisha yang tadi ditinggalkan begitu saja demi membuatkan kopi untuk suaminya.
“Aduh, Arsya ... Kakak minta maaf, ya. Kakak sama sekali enggak bermaksud buat dapur berantakan. Maafin Kakak, ya?” Falisha yang merasa bersalah, sontak bergerak cepat membereskan dapur.
“Bukan salah Kakak. Kak Arka aja yang udah darting pagi-pagi,” balas Arsya sembari memperhatikan Falisha.
“Enggak. Gimanapun ini tetep salah Kakak. Kakak juga minta maaf, karena udah ganggu kenyamanan Arsya sarapan. Kakak bikin gaduh pagi-pagi. Maaf, ya.”
Arsya melihat Falisha yang tampak tertekan. Dia pun mulai menyadari satu hal bahwa Falisha adalah tipe people pleaser.
“Kak, tapi ini bukan salah Kakak. Kakak enggak bisa terus-terusan minta maaf atas apa yang enggak Kakak lakuin. Aku justru berterima kasih banget karena Kakak udah mau bikinin aku sarapan.”
Falisha tidak tahan. Badannya merosot dan bersandar pada countertop di belakangnya.
“Arsya, tolong bantu Kakak, apa bisa? Tolong, kasih tahu Kakak, gimana caranya buat mengambil hati Mas Arka?” Falisha mulai terisak. “Kakak udah lama mengagumi Mas Arka, makanya kakak bahagia waktu Mama-Papa dateng, lamar Kakak buat Mas Arka. Tanpa Kakak tahu, kalau ternyata Mas Arka punya seorang kekasih di luar sana. Kakak harus gimana, Arsya?”
Arsya kehabisan kata-kata. Dia terduduk lemas di sisi Falisha. Sejak kecil, dia pun sudah merasa nyaman dengan anak dari mendiang sahabat orang tuanya dan orang itu adalah Falisha. Namun, Arsya juga tidak pernah tahu bahwa Falisha telah memendam perasaan cukup lama terhadap kakaknya.
“Arsya ... apa yang harus Kakak lakuin?” Falisha terlihat putus asa.
Arsya harus menjawab apa? Sementara dirinya tahu betul, Arka masih berhubungan dengan kekasihnya.
Cahaya putih dari lampu ruangan sedikir menyilaukan ketika Falisha perlahan membuka mata. Bau antiseptik menyengat, dan sensasi dingin dari infus yang menempel di pergelangan tangan membuat Falisha tersadar di mana dirinya berada sekarang.Falisha mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke sisi tempat tidur.Arsya. Laki-laki itu tengah tertidur di sisi brankar, dengan kepala bersandar pada lengannya sendiri, sementara tangannya tidak melepas genggamannya pada jemari Falisha.Falisha memperhatikan wajah Arsya yang lebam-lebam, juga luka di sudut bibir yang belum sepenuhnya mengering.Seketika, Falisha teringat dengan pengakuan Arsya beberapa saat sebelum dirinya terbaring di rumah sakit. Benarkah bahwa perempuan yang selama ini dicintai Arsya adalah dirinya? Apa karena itu, Arsya selalu bersikap baik dan penuh perhatian terhadapnya?Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata Falisha. Secinta itukah Arsya kepadanya sehingga dia rela dihajar Arka habis-habisan? Dan benarkah ap
“Positif?” Falisha ternganga melihat testpack dengan garis dua yang berada dalam genggaman.Perempuan itu tidak menyangka, pernikahannya dengan Arka baru menginjak dua bulan, tetapi Tuhan sudah mempercayakan buah hati kepadanya. Namun, entah kenapa Falisha merasa ada yang kurang.“Bude ... Fal hamil, Bude. Kalau aja Bude masih ada, Bude pasti bahagia, kan?” gumam Falisha lirih.Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata. Dia baru saja membahas tentang perpisahan dengan Arka, tetapi kenyataan bahwa dirinya sedang berbadan dua membuat Falisha gamang.Apakah itu sebuah pertanda, bahwa Falisha masih harus menjadi istri Arka? Apakah dengan kehamilannya, Arka lantas bisa menerima Falisha sepenuhnya dan merelakan hubungannya dengan Sabrina?Suara ketukan pintu kamar mandi membuyarkan lamunan Falisha. Perempuan itu cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi wajah dan segera membuka pintu.“Mana hasilnya?”Falisha sedikit heran melihat raut Arka yang jauh dari kata bahagia. A
“Biar aku yang bawa.” Arsya mengambil koper Falisha tanpa persetujuan pemiliknya.“Tapi, Arsya—““Suami Kakak itu emang enggak gentle. Kenapa masih dibelain terus?” Arsya memperhatikan Falisha dengan menatap kedua netranya secara intens. Sementara di hadapannya, Falisha hanya diam tanpa berkutik.Beberapa jam sebelum tiba di Jakarta, Falisha memang dengan sengaja membela Arka di depan Thalita. Perempuan itu menampik kata-kata Thalita yang sebetulnya benar terjadi.“Arsya, Kakak cuma enggak mau Kak Thalita kepikiran. Arsya tahu sendiri kalau keadaan di sana sedang berkabung. Kakak enggak tega kalau sampai Kak Thalita tahu yang sebenernya. Kakak enggak mau nambahin beban pikiran Kak Thalita.”“Tapi gimana dengan beban pikiran Kakak sendiri?” Satu pertanyaan Arsya membuat Falisha menghela napas panjang. “Kapan Kakak bisa mikir jernih? Bilanglah yang sebenernya ke Kak Thalita biar dia protes ke Mama sama Papa. Biar mereka tahu kalau Kak Arka enggak pernah memperlakukan Kakak dengan baik.”
“Beresi barang-barang kamu dan kita pulang hari ini juga!” titah Arka saat Falisha baru saja memasuki kamar.Sejenak, perempuan yang diajak bicara itu termenung di depan pintu. Dia menatap Arka tanpa suara.“Kenapa, sih, kalau diajak ngomong diem aja? Kamu mulai tuli?” Arka terlihat geram, tetapi masih mencoba untuk menjaga intonasi suara agar tidak terdengar dari luar.Dada Falisha naik turun seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Apa yang dikatakan Arka tadi? Laki-laki itu mempertanyakan apakah dia mulai tuli?Falisha sungguh tidak habis pikir. Dia mengira, sejak perlakuan sebenarnya Arka terhadap dirinya sudah diketahui Salma dan Wilis, laki-laki itu akan berubah. Namun, apa yang diharapkan Falisha ternyata tidak sesuai ekspektasi.Perempuan itu berjalan cepat menuju sisi lemari di mana kopernya berada. Dia pun membereskan semua barang bawaan tanpa terkecuali. Jangan ditanya tentang sedih atau tidaknya. Beberapa menit lalu, Falisha baru saja merencanakan dengan Thalita, mere
“Fal, ayo. Semua udah pergi.” Arka membujuk Falisha yang masih berjongkok di sisi pusara Mirna supaya lekas bangkit. Dia tidak ingin berlama-lama tinggal begitu prosesi pemakaman selesai dilaksanakan.Falisha belum juga bergerak. Perempuan itu tentu merasa sangat kehilangan, karena baginya, Mirna adalah Ibu kedua setelah mamanya meninggal dalam kecelakaan bersama sang Papa. Falisha sangat menyayangi Mirna yang sering memanjakannya seperti anak sendiri.“Fal ....” Arka kembali bersuara karena melihat Falisha hanya bungkam. “Kamu denger, kan?”“Fal masih mau di sini. Mas Arka duluan aja.” Singkat, padat, dan jelas. Falisha sama sekali tidak menoleh saat membalas kalimat suaminya. Wajahnya masih basah dan kedua mata menatap kosong ke arah pusara.Arka mendecak kesal. Bagaimana bisa perempuan itu berucap dengan entengnya? Bisa-bisa dia kena marah Salma karena lagi-lagi akan dianggap tidak perhatian terhadap Falisha, bukan?“Kamu harus lekas istirahat. Atau ... kamu sengaja, nyiksa diri de
“Kakak di sini aja, aku awasi Kakak dari tempat yang intinya Kak Arka enggak akan tahu aku di mana.” Arsya menghentikan langkah begitu mendekati stasiun dan Falisha menurut.Perempuan itu hanya bisa mengangguk. Dia tidak berani banyak bicara karena sempat salah tangkap akan kejadian beberapa menit lalu di mana Arsya menunduk untuk mengambil bulu mata yang dikhawatirkan akan masuk ke mata Falisha.“Kakak yakin, baik-baik aja?” Arsya memastikan, karena Falisha menjadi lebih banyak diam.“Baik, Arsya. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Gimana aku enggak khawatir? Kakak baru aja baikan. Kemarin Kakak demam tinggi seharian.”Perempuan mana yang tidak akan tersentuh hatinya jika ada laki-laki yang begitu memperhatikan dirinya bahkan sampai hal terkecil sekali pun? Falisha betul-betul tidak bisa membalas kalimat Arsya. Dia tidak ingin salah bicara.“Ya udah, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, aku pasti tonjok lagi mukanya Kak Arka.”“Tapi, Arsya—““Bercanda.” Arsya menyahut cepat sambil