Falisha meminta cerai karena tidak tahan dengan sikap angkuh dan dingin Arka. Saat itu juga, Arka mengetahui kehamilan Falisha sehingga menuduhnya memiliki selingkuhan yang menyebabkan istrinya kukuh meminta cerai, tetapi Falisha mengelak atas tuduhan tersebut. Arka semakin menyudutkan Falisha, tetapi Falisha mengaku tidak ada hubungan spesial dengan siapa pun kecuali Arka yang notabenenya adalah suaminya sendiri. Namun, betapa terkejutnya Falisha saat Arka mengaku belum pernah menidurinya sekali pun. Falisha bagai disambar petir. Terlebih ketika Arsya, adik iparnya datang di tengah pertikaian yang terjadi, kemudian mengaku bahwa dirinyalah yang sudah meniduri Falisha dan siap bertanggung jawab. Lantas, apa yang akan terjadi dengan Falisha setelahnya? Apakah Arka akan menceraikannya dan membiarkan Falisha hidup dengan Arsya?
Lihat lebih banyak“Akhirnya, penantian kamu selama ini enggak sia-sia, Fal. Kakak seneng lihat kamu bahagia. Kakak doain, sakinah ma waddah wa rahmah, ya.”
Melalui pantulan cermin di hadapan, Falisha melihat senyum semringah dari wajah Thalita, anak Bude Mirna yang sudah menganggapnya seperti adik kandung sendiri.
“Aamiin, terima kasih, ya, Kak. Berkat doa Kak Lita juga, jadi doa Fal terkabul.” Falisha tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya karena menikah dengan laki-laki yang selama ini dia kagumi.
“Kalian ini kok masih di sini. Itu keluarga Nak Arka udah pada dateng.” Suara Mirna membuat Falisha dan Thalita sama-sama menoleh. “Nak Arka juga udah nunggu kamu di depan penghulu, Fal. Masa iya, kamu masih di sini?” Wanita itu melanjutkan sembari melangkah tergopoh-gopoh mendekati Falisha yang sudah siap dengan kebaya pengantin yang dikenakan.
“Fal masih gugup katanya, Ma. Malu, mau ketemu calon suami,” bisik Thalita setengah menggoda, membuat pipi Falisha yang merah merona, semakin merah seperti kepiting rebus.
“Kamu ini godain adikmu aja, Lita. Nanti bukannya rasa seneng yang mendominasi, eee ... malah gugup yang menguasai,” tegur Mirna dengan lirikan yang mengundang tawa Thalita.
Sejak keluarga Arkatama datang melamar, Falisha memang tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Bagaimana tidak? Arka adalah sosok lelaki tampan, mirip Oppa Korea yang kulit putihnya tidak kalah dengan Falisha. Lagi pula, Falisha sudah lama mengagumi Arka dan menginginkan untuk dekat dengannya.
“Berarti Fal harus turun sekarang, ya, Bude? Apa Fal udah cantik? Gimana kalau nanti Mas Arka enggak suka sama penampilan Fal, Bude?” Falisha yang sudah tampil cantik, masih kurang percaya diri saat kembali melihat pantulan dirinya di cermin.
Mirna menggeleng-geleng pelan. Wanita itu keheranan karena sikap insecure Falisha yang entah kapan bisa hilang. Padahal bisa dikatakan, anak satu-satunya mendiang Laras dan Aji itu sungguh cantik luar dalam. Siapa pun yang memilikinya, tentu harus bangga karena tidak banyak perempuan berparas cantik, memiliki kepribadian yang baik seperti Falisha.
“Ya turun sekarang dong, Falisha. Masa iya, tahun depan? Memangnya siapa yang mau jadi mempelai Nak Arka kalau bukan kamu? Masa iya, Bude yang duduk di samping Nak Arka gantiin kamu? Bisa-bisa Pakde kamu langsung ngamuk, acaranya bubar. Kamu gimana, sih, Fal?” omel Mirna yang semakin mengundang tawa Thalita.
“Aduh, aduh. Gini banget, ya, punya Mama yang agak lain.” Thalita masih cekikikan.
“Agak lain, agak lain. Enak aja Mama dibilang agak lain. Meskipun agak lain begini, ini mamamu yang udah besarin kamu, Lita.” Mirna menggerutu, tetapi terlihat lucu. Wanita itu selalu menyayangi anak-anaknya, bagaimana bisa betul-betul mengomel?
“Iya, iya, Bude. Bude cantik, kok. Kak Lita sendiri kali yang agak lain, jadi Bude enggak usah dengerin,” ucap Falisha yang segera berdiri, kemudian mengusap-usap lengan Mirna dengan bibir sedikit menahan tawa. “Yuk, kita turun. Fal udah siap, Bude.”
“Yakin, udah enggak gugup? Jangan malu-maluin ya, nanti? Harus cantik dan anggun seperti orangnya. Iya, kan, Lita?” Mirna meminta persetujuan anak pertamanya.
“Harus, dong. Lagian aku juga udah ajarin Falisha gimana caranya bersikap anggun di depan calon mertua, calon suami dan calon keluarga lainnya. Soalnya kan Falisha bakal jadi pusat perhatian, tuh. Jadi harus perfect.” Thalita memeragakan cara berjalan bak seorang model terkenal. “Ah ... jadi inget waktu aku nikah sama Mas Rian,” gumamnya kemudian.
“Ya udah, kalau Falisha udah siap, mending kita turun sekarang. Bisa-bisa nanti Lita menghalunya enggak selesai-selesai,” ajak Mirna yang lantas menggandeng lengan Falisha.
“Ya gimana enggak menghalu, Bude? Kak Lita juga kan penulis, kerjaannya menghalu sepanjang waktu,” bela Falisha seraya mengikuti langkah budenya keluar kamar.
“Nah, Fal aja tahu, masa Mama enggak tahu?” sahut Thalita yang mengekor di belakang.
“Bukannya enggak tahu, tapi udah apal sebetulnya.” Mirna menimpali. “Turun tangga, ayo langkahnya yang anggun, biar kecantikannya jelas terpancar, gitu,” bisiknya kemudian, sembari melempar senyum kepada para tamu undangan yang tidak lain adalah keluarga dekat Arkatama.
“Ma, yang itu siapa? Tinggi, ganteng pula!” bisik Thalita di telinga mamanya.
“Itu Nak Arsya, adiknya Nak Arka. Waktu lamaran kan dia enggak ikut, karena ada kerjaan di Singapura. Mama denger, dia anaknya enggak kalah pinter dari Nak Arka.” Mirna membalas dengan bisikan. “Tapi awas, ya, dilarang naksir! Suamimu mau dikemanain?”
Thalita justru terkekeh kecil mendengar kalimat kedua Mirna. “Harusnya Mama ingetin Fal, kan dia yang bakal sering ketemu sama adik iparnya itu, bukan aku,” balasnya lagi.
Falisha yang mendengar celoteh Thalita dengan mamanya, secara tidak sengaja turut melayangkan pandang ke arah Arsya yang memang tidak kalah menarik dari Arka. Senyumnya menegaskan ketampanan yang dimilikinya. Namun, seketika Falisha mengalihkan pandang ke arah Arka yang sama sekali tidak memperlihatkan senyum di wajahnya.
Tidak lama setelah itu, pernikahan pun berlangsung dengan lancar. Sesuai kesepakatan awal, keluarga Arkatama memboyong Falisha ke kediaman mereka begitu acara pernikahan selesai dilangsungkan. Dan tibalah Falisha di kediaman keluarga Arka yang luas dan mewah.
“Selamat datang di keluarga kami, Falisha. Mama harap kamu betah tinggal di sini, ya.” Salma, mama Arka menghambur memeluk Falisha yang baru saja resmi menjadi anak menantunya. “Oh ya, kalian enggak usah buru-buru mikir buat pindah rumah. Mama sama Papa mau, Falisha tetap tinggal di sini sama kami. Lagian buat apa rumah baru? Nanti sayang rumah ini enggak ada yang nempatin,” lanjutnya sembari mengurai dekapan.
Falisha mengerutkan dahi. “Enggak ada yang nempatin? Maksud Mama?”
“Papa sama Mama masih suka sibuk bolak-balik keluar kota mengurus masalah bisnis. Jadi sayang, kan, kalau rumah ini sepi? Jadi Papa setuju aja sama Mama, kalau lebih baik Falisha di sini biar kalau kita pulang jadi ramai, ada yang menyambut,” jelas Wilis, papa Arka.
“Nah, betul itu kata Papa.” Salma menimpali. “Ya udah, gih, Arka bawa istrinya ke kamar. Kalian pasti capek, kan? Jadi bisa bebersih badan dulu, istirahat, biar nanti power-nya kenceng, ya, kan, Pa?” godanya sambil melirik Arka yang sibuk dengan benda pipih di tangan.
“Iya, Ma.” Arka dengan patuh mengikuti arahan Salma. Dia pun membawa Falisha menuju kamar, dibantu asisten rumah tangga yang membawakan koper milik Falisha.
Setibanya di tempat yang dituju, Falisha takjub melihat luasnya kamar Arka yang bersih dan rapi. Senyum simpul terukir di wajahnya.
“Taruh di situ, ya, Bi. Beresin nanti aja, saya keburu rehat, capek.” Arka menunjuk sudut ruang kamar.
Begitu asisten rumah tangga keluar, Arka segera menutup pintu kamar.
Tanpa diminta, Falisha mendekati sang suami, hendak membantu melepas setelan jas yang dikenakan. Namun, tangannya yang baru terangkat di udara mendadak terhenti ketika mendengar kalimat Arka.
“Aku bisa sendiri,” ujar Arka dingin dengan tatap tajam sekilas, kemudian menjauh dari Falisha. “Oh ya, asal kamu tahu. Aku menikahi kamu karena permintaan Mama-Papa. Pernikahan kita tadi cuma hitam di atas putih, jadi jangan pernah berharap lebih, karena aku sama sekali enggak cinta sama kamu.”
Mendengar kalimat Arka seakan mendengar petir menggelegar yang memekakkan telinga. Falisha sungguh tidak menyangka, kebahagiaannya di hari pertama pernikahannya dengan Arka, harus terhempas begitu saja. Lantas, bisakah Falisha mengambil hati suaminya?
Cahaya putih dari lampu ruangan sedikir menyilaukan ketika Falisha perlahan membuka mata. Bau antiseptik menyengat, dan sensasi dingin dari infus yang menempel di pergelangan tangan membuat Falisha tersadar di mana dirinya berada sekarang.Falisha mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke sisi tempat tidur.Arsya. Laki-laki itu tengah tertidur di sisi brankar, dengan kepala bersandar pada lengannya sendiri, sementara tangannya tidak melepas genggamannya pada jemari Falisha.Falisha memperhatikan wajah Arsya yang lebam-lebam, juga luka di sudut bibir yang belum sepenuhnya mengering.Seketika, Falisha teringat dengan pengakuan Arsya beberapa saat sebelum dirinya terbaring di rumah sakit. Benarkah bahwa perempuan yang selama ini dicintai Arsya adalah dirinya? Apa karena itu, Arsya selalu bersikap baik dan penuh perhatian terhadapnya?Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata Falisha. Secinta itukah Arsya kepadanya sehingga dia rela dihajar Arka habis-habisan? Dan benarkah ap
“Positif?” Falisha ternganga melihat testpack dengan garis dua yang berada dalam genggaman.Perempuan itu tidak menyangka, pernikahannya dengan Arka baru menginjak dua bulan, tetapi Tuhan sudah mempercayakan buah hati kepadanya. Namun, entah kenapa Falisha merasa ada yang kurang.“Bude ... Fal hamil, Bude. Kalau aja Bude masih ada, Bude pasti bahagia, kan?” gumam Falisha lirih.Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata. Dia baru saja membahas tentang perpisahan dengan Arka, tetapi kenyataan bahwa dirinya sedang berbadan dua membuat Falisha gamang.Apakah itu sebuah pertanda, bahwa Falisha masih harus menjadi istri Arka? Apakah dengan kehamilannya, Arka lantas bisa menerima Falisha sepenuhnya dan merelakan hubungannya dengan Sabrina?Suara ketukan pintu kamar mandi membuyarkan lamunan Falisha. Perempuan itu cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi wajah dan segera membuka pintu.“Mana hasilnya?”Falisha sedikit heran melihat raut Arka yang jauh dari kata bahagia. A
“Biar aku yang bawa.” Arsya mengambil koper Falisha tanpa persetujuan pemiliknya.“Tapi, Arsya—““Suami Kakak itu emang enggak gentle. Kenapa masih dibelain terus?” Arsya memperhatikan Falisha dengan menatap kedua netranya secara intens. Sementara di hadapannya, Falisha hanya diam tanpa berkutik.Beberapa jam sebelum tiba di Jakarta, Falisha memang dengan sengaja membela Arka di depan Thalita. Perempuan itu menampik kata-kata Thalita yang sebetulnya benar terjadi.“Arsya, Kakak cuma enggak mau Kak Thalita kepikiran. Arsya tahu sendiri kalau keadaan di sana sedang berkabung. Kakak enggak tega kalau sampai Kak Thalita tahu yang sebenernya. Kakak enggak mau nambahin beban pikiran Kak Thalita.”“Tapi gimana dengan beban pikiran Kakak sendiri?” Satu pertanyaan Arsya membuat Falisha menghela napas panjang. “Kapan Kakak bisa mikir jernih? Bilanglah yang sebenernya ke Kak Thalita biar dia protes ke Mama sama Papa. Biar mereka tahu kalau Kak Arka enggak pernah memperlakukan Kakak dengan baik.”
“Beresi barang-barang kamu dan kita pulang hari ini juga!” titah Arka saat Falisha baru saja memasuki kamar.Sejenak, perempuan yang diajak bicara itu termenung di depan pintu. Dia menatap Arka tanpa suara.“Kenapa, sih, kalau diajak ngomong diem aja? Kamu mulai tuli?” Arka terlihat geram, tetapi masih mencoba untuk menjaga intonasi suara agar tidak terdengar dari luar.Dada Falisha naik turun seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Apa yang dikatakan Arka tadi? Laki-laki itu mempertanyakan apakah dia mulai tuli?Falisha sungguh tidak habis pikir. Dia mengira, sejak perlakuan sebenarnya Arka terhadap dirinya sudah diketahui Salma dan Wilis, laki-laki itu akan berubah. Namun, apa yang diharapkan Falisha ternyata tidak sesuai ekspektasi.Perempuan itu berjalan cepat menuju sisi lemari di mana kopernya berada. Dia pun membereskan semua barang bawaan tanpa terkecuali. Jangan ditanya tentang sedih atau tidaknya. Beberapa menit lalu, Falisha baru saja merencanakan dengan Thalita, mere
“Fal, ayo. Semua udah pergi.” Arka membujuk Falisha yang masih berjongkok di sisi pusara Mirna supaya lekas bangkit. Dia tidak ingin berlama-lama tinggal begitu prosesi pemakaman selesai dilaksanakan.Falisha belum juga bergerak. Perempuan itu tentu merasa sangat kehilangan, karena baginya, Mirna adalah Ibu kedua setelah mamanya meninggal dalam kecelakaan bersama sang Papa. Falisha sangat menyayangi Mirna yang sering memanjakannya seperti anak sendiri.“Fal ....” Arka kembali bersuara karena melihat Falisha hanya bungkam. “Kamu denger, kan?”“Fal masih mau di sini. Mas Arka duluan aja.” Singkat, padat, dan jelas. Falisha sama sekali tidak menoleh saat membalas kalimat suaminya. Wajahnya masih basah dan kedua mata menatap kosong ke arah pusara.Arka mendecak kesal. Bagaimana bisa perempuan itu berucap dengan entengnya? Bisa-bisa dia kena marah Salma karena lagi-lagi akan dianggap tidak perhatian terhadap Falisha, bukan?“Kamu harus lekas istirahat. Atau ... kamu sengaja, nyiksa diri de
“Kakak di sini aja, aku awasi Kakak dari tempat yang intinya Kak Arka enggak akan tahu aku di mana.” Arsya menghentikan langkah begitu mendekati stasiun dan Falisha menurut.Perempuan itu hanya bisa mengangguk. Dia tidak berani banyak bicara karena sempat salah tangkap akan kejadian beberapa menit lalu di mana Arsya menunduk untuk mengambil bulu mata yang dikhawatirkan akan masuk ke mata Falisha.“Kakak yakin, baik-baik aja?” Arsya memastikan, karena Falisha menjadi lebih banyak diam.“Baik, Arsya. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Gimana aku enggak khawatir? Kakak baru aja baikan. Kemarin Kakak demam tinggi seharian.”Perempuan mana yang tidak akan tersentuh hatinya jika ada laki-laki yang begitu memperhatikan dirinya bahkan sampai hal terkecil sekali pun? Falisha betul-betul tidak bisa membalas kalimat Arsya. Dia tidak ingin salah bicara.“Ya udah, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, aku pasti tonjok lagi mukanya Kak Arka.”“Tapi, Arsya—““Bercanda.” Arsya menyahut cepat sambil
“Minum dulu biar Kakak lebih tenang,” pinta Arsya sambil menyorongkan botol berisi air mineral yang sudah dibuka untuk Falisha. Begitu Arka tidak terlihat, laki-laki itu membawa Falisha menuju Istana Park yang tidak jauh dari Stasiun MRT Orchard.Falisha menerima air mineral pemberian Arsya tanpa menoleh sedikit pun. Tatapannya terlihat kosong.“Kenapa Kakak nolak buat aduin kelakuan Kak Arka ke Mama sama Papa? Kak Arka itu udah keterlaluan sama Kakak. Harusnya dia dikasih pelajaran biar enggak seenaknya.” Arsya menekankan.Perempuan yang diajak bicara tidak menjawab. Pikirannya justru melayang dengan berbagai pertanyaan berkecamuk memenuhi isi kepala.Kalau memang udah ada seseorang yang mengisi hati Arsya, kenapa Arsya masih seperhatian ini sama Fal, Arsya? Jangan buat Fal merasa spesial di mata Arsya. Fal ... ah ... enggak. Fal milik Mas Arka. Iya, seharusnya Arsya biarin Fal menyelesaikan masalah Fal sendiri, Arsya. Bukan begini caranya.Falisha memejam sebentar sembari menggeleng
“Bibir kamu kenapa, Arka?” Salma yang baru saja selesai memasak bersama menantu tercinta, memusatkan perhatian ke arah Arka.Laki-laki itu keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Kemeja warna biru laut yang tidak dikancingkan, dipadukan dengan kaus putih yang sedikit menempel di badan membuatnya terlihat lebih cool.“Semalem ada insiden kecil, tapi Mama enggak perlu khawatir.”“Insiden apa? Gimana bisa?”“Segala kemungkinan kan bisa terjadi, Ma. Tapi enggak apa-apa, udah diobatin lukanya sama Falisha, jadi Mama tenang aja.” Arka mendekati meja makan di mana semua keluarga sudah terduduk di sana.“Jangan-jangan kamu berantem.” Wilis menimpali, sambil melipat koran yang tadi menutup wajah.“Kayak anak kecil aja udah setua ini masih berantem, Pa.” Salma tidak percaya.“Ya siapa tahu. Papa kan Cuma nebak aja.” Wilis melipat koran, kemudian meletakkannya di meja. “Ya sudah, yuk, sarapan! Sudah laper Papa gara-gara nungguin Arka.”Wilis membalik piringnya, sementara Salma bergerak cepat m
“Arsya, kenapa? Jawab Kakak. Kenapa Arsya lakuin itu sama Mas Arka?”Arsya menjatuhkan diri di samping Falisha. Dia baru saja terbangun dari alam bawah sadar. Ingin sekali mengaku akan cintanya yang begitu besar untuk perempuan itu, tetapi mendadak sadar bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat.“Aku ... enggak bisa lihat Kakak diperlakukan seenaknya sama Kak Arka. Aku pengen Kak Arka buka mata kalau Kak Falisha itu lebih baik, jauh lebih baik dari Sabrina yang cuma ngincar harta keluarga kita.”Usai mengucap kalimat itu, Arsya menunduk dalam-dalam. Seandainya saja dia tahu Falisha yang dilamar kedua orang tuanya untuk Arka, sementara Arsya sendiri tahu Arka memiliki seorang kekasih, mungkin Arsya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur.“Tapi Arsya enggak seharusnya lakuin itu. Arsya bisa negur Mas Arka baik-baik kalau mau. Arsya—““Kenapa Kakak malah belain Kak Arka? Sementara, aku lakuin itu buat belain Kakak. Aku enggak tega terus-terusan lihat K
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen