แชร์

Bab 3

ผู้เขียน: Setya Ai Widi
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-12-06 13:52:39

“Kopinya, Mas.” Falisha mendekati Arka dan meletakkan secangkir kopi di meja, tepat di hadapan suaminya.

Arka tidak menyahut, hanya melipat koran di tangan dan meraih kopi yang disajikan istrinya. Sebentar kemudian, Arka menyemburkan kopi yang baru saja diseruput.

“Kenapa, Mas?” tanya Falisha heran saat melihat Arka yang ternyata tidak berkenan dengan kopi buatannya.

“Kamu bikin apa, sih? Kamu sengaja ngerjain?”

Falisha ternganga. Dia sungguh tidak mengerti dengan maksud perkataan suaminya. “Ngerjain gimana, maksud Mas? Fal cuma bikin kopi buat temenin Mas Arka baca koran sebelum sarapan,” dalihnya.

“Terus ini apa?” Arka melempar tatapan dingin sambil jarinya menunjuk ke arah kopi yang sudah dia letakkan kembali di meja.

Falisha tidak tahu harus bagaimana membela diri. Penasaran, Falisha segera meraih cangkir berisi kopi dan menyeruputnya. Perempuan itu terbatuk dan berlari menuju kamar mandi terdekat. Dia baru tahu kesalahan apa yang sudah diperbuat sampai membuat Arkatama menjadi murka. Falisha pun kembali menghampiri suaminya.

“Maaf, Mas. Tadi Fal betul-betul enggak tahu kenapa kopinya jadi asin. Padahal Fal udah pastiin kalau buatnya pakai gula,” aku Falisha dengan sangat menyesal. “Fal buatin yang baru ya, Mas?”

“Enggak, enggak. Enggak perlu.”

Selain kesal perihal kopi, Arka juga kesal karena kemejanya harus turut menjadi korban, padahal dirinya tinggal mengenakan jas dan siap menuju kantor usai sarapan.

Falisha merasa sangat bersalah. Namun, sekeras apa pun dia mengingat kekeliruan yang sudah diperbuat, dia tetap tidak merasa telah salah memasukkan garam ke dalam kopi yang dibuatnya.

Sebisa mungkin, Falisha menyembunyikan raut sedih dan membawa cangkir kembali ke dapur, tanpa sadar sedang ada yang tengah memperhatikan.

“Silakan, Pak, kopinya.”

Falisha mendengar kalimat singkat itu saat melewati meja makan. Ucapan Nia, asisten rumah tangga di kediaman Wilis yang kembali membuatkan kopi untuk Arka. Padahal, Falisha sempat menawarkan untuk membuatkan kopi yang baru dan Arka menolak saat itu juga.

Hati perempuan mana yang tidak kecewa melihat laki-laki pujaan hatinya menolak tawaran untuk dilayani, sementara dia menerima pelayanan dari seorang asisten rumah tangga yang usianya sama dengan Falisha.

Usai mencuci cangkir di wastafel dekat meja makan, Falisha menuju dapur, membantu Nia menyiapkan sarapan meski tanpa diminta. Sebisa mungkin, dia menutup rasa sakit hatinya untuk disimpan seorang diri.

“Udah siap, Mbak? Biar saya yang bawa ke meja makan,” ujar Falisha yang lantas mengambil alih pekerjaan Nia.

“Oh, silakan, Bu. Kalau gitu saya bisa beresin dapur.” Nia membalas senyum Falisha. “Terima kasih,” lanjutnya sebelum menjauh dari majikan barunya.

Falisha menghela napas panjang, kemudian membawa semua makanan yang sudah siap dan menaruhnya di meja makan. Begitu selesai, Falisha hendak mencuci tangan di wastafel. Namun, dia harus sabar menunggu Arsya yang tiba lebih dulu, selesai mencuci tangan hingga tiba gilirannya.

“Are you okay?”

Bisikan Arsya membuat Falisha mendongak, memastikan bahwa laki-laki yang usianya lebih muda lima tahun darinya itu sedang mengajak berbicara.

“Kalau ada masalah, boleh cerita. Aku bisa jadi pendengar yang baik buat Kakak.”

Falisha sedikit memicingkan mata, kemudian meloloskan seulas senyum di bibirnya. “Enggak ada masalah, kok. Fal ... mmm ... Kakak baik-baik aja,” dustanya.

Arsya tidak berkata-kata lagi, melainkan membalas senyum Falisha dan bergegas menuju meja makan, bertepatan dengan munculnya Wilis dan Salma.

“Maaf ya, Mama sama Papa baru keluar. Kami harus siap-siap juga, soalnya bangun kesiangan.” Salma tampak sudah rapi dengan dress putih simpelnya yang terlihat elegan.

Wanita itu diikuti oleh Wilis yang juga sudah rapi mengenakan setelan jas berwarna navy.

“Mau ke mana, Ma?” Arka menoleh dan lebih dulu bertanya.

“Loh, memangnya Arsya enggak cerita? Mama udah bilang sama dia, kemarin. Kalau hari ini Mama sama Papa mau terbang ke Surabaya, ada meeting sama investor di sana.” Salma meletakkan tasnya di kursi, kemudian mendekati wastafel saat Falisha masih berada di sana.

“Kak Arka enggak tanya,” sahut Arsya dengan santai.

“Kamu ini kebiasaan.” Wilis memrotes jawaban Arsya.

“Jangan lupa, Arka. Mama nitip Falisha. Kamu jaga dia, bahagiain dia,” ucap Salma sembari menepuk-nepuk bahu menantunya. “Dia udah jadi bagian dari keluarga kita,” tambahnya.

“Betul,” timpal Wilis.

Arka tidak menjawab. Dia justru sibuk memainkan benda pipih di tangan, lega karena kedua orang tuanya kembali terbang ke luar kota. Sementara Arsya, sibuk memperhatikan Falisha yang lebih banyak diam.

“Arsya juga kalau Kak Falisha butuh apa-apa, misalnya Kak Arka belum pulang, tolong, ya, bantu kakak kamu. Pokonya Mama enggak mau kalau sampai menantu Mama enggak nyaman di sini.” Salma berpesan.

“Falisha nyaman di sini, kok, Ma.”

Perempuan yang dibicarakan pun menyahut. Tidak lupa dia menambahkan senyum di wajah cantiknya yang membuat Arsya keheranan.

“Soal itu Mama enggak perlu khawatir.” Arsya menimpali dengan sorot mata mengarah pada Arka yang masih sibuk dengan gawainya.

“Bagus. Jadi Mama sama Papa bisa menjalankan tugas dengan tenang seperti biasa.” Salma meraih tisu untuk mengelap kedua tangan, lalu memosisikan diri di samping Wilis. “Yuk, makan! Keburu siang.”

“Arsya jangan lupa fokus kuliahnya.” Wilis mengingatkan sebelum betul-betul menikmati sarapan.

“Beres, Pa. Tunggu aja, sebentar lagi aku skripsi. Jangan panggil Arsyanendra kalau nilaiku enggak bisa bikin Papa-Mama bangga.” Arsya sedikit besar kepala, mengundang tawa Wilis.

“Anak sombong yang enggak pernah gagal buktiin kata-katanya,” ujar Wilis sambil menggeleng samar.

Keluarga Wilis pun menikmati sarapan pagi dengan khidmat. Wilis dan Salma yang pertama kali keluar usai sarapan, segera bertolak ke bandara agar tidak ketinggalan pesawat.

Sementara Arka, dia lebih dulu menelepon kekasihnya saat melangkah keluar.

“Sayang, nanti meet up, bisa? Mama sama Papa barusan berangkat ke luar kota. Jadi kita bebas. Aku mau ajak kamu dinner, nanti aku jemput ke apartemen, ya? Nanti aku kabari kalau udah pulang kerja.”

Wajah Arka terlihat semringah mendengar kekasihnya berbicara dari seberang. Menurutnya, tidak ada yang lebih baik dari perempuan yang sedang diajaknya berbicara, termasuk Falisha sekali pun.

“Oke, Sayang. Love you more.” Arka mengakhiri panggilan dan memasukkan gawainya ke dalam saku celana.

Lelaki itu hendak membuka pintu mobil, tetapi ucapan Arsya cukup membuatnya terkejut.

“Sampai kapan Kakak bakal bertahan dalam hubungan yang enggak jelas?”

Arka menoleh ke arah sumber suara dan melihat adiknya bersandar pada pintu mobil belakang. “Bukan urusan kamu,” balasnya singkat, terlihat tidak suka dengan perkataan Arsya barusan.

“Lupa, sama pesen Mama-Papa sebelum berangkat? Lupa, sama tanggung jawab sebagai seorang suami?” Arsya mengingatkan.

“Enggak usah ngajarin soal tanggung jawab kalau kamu sendiri juga enggak bisa bikin anak orang bahagia.”

Mendengar balasan sang kakak membuat Arsya tertawa kecil. “Nabila, maksud Kakak?” tanyanya sembari menegakkan posisi badan. “Aku enggak cinta sama dia, lagian aku juga enggak ada ikatan apa pun, jadi bukan tanggung jawabku buat bikin dia happy. Kalau Kakak kan ... udah ada Kak Falisha sebagai istri.”

“Kamu enggak perlu menggurui.”

“Aku cuma ingetin. Ibarat Kakak baru dapet berlian, jangan disia-siain. Atau Kakak bakal menyesal.”

“Kamu ngancem?”

“Aku cuma ingetin.”

Adu mulut terhenti ketika terlihat Falisha mendekat.

“Syukurlah, Mas Arka belum berangkat. Ini, tadi Fal udah siapin bekal buat makan siang di kantor. Makanannya tetep hangat sampai nanti Mas Arka siap santap.” Falisha mengulurkan tas bekal ke arah Arka yang ditolak mentah-mentah.

“Aku ada meeting sama klien, jadi bisa sekalian makan di luar.” Arka membalas dengan abai, kemudian memasuki mobil tanpa memedulikan perasaan istrinya. “Tolong minggir.”

Falisha yang kecewa dengan penolakan Arka, tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti permintaan suaminya. Dia dan Arsya pun menggeser posisi, membiarkan mobil Arka dengan leluasa meninggalkan pelataran rumah.

“Sini, Kak. Bekalnya buat aku.” Arsya mengambil tas bekal dari tangan Falisha, bahkan tanpa persetujuan dari perempuan itu. “Berangkat dulu, ya. Makasih,” lanjutnya sambil sedikit mengangkat tas bekal, memperlihatkan raut bahagia karena sudah dibawakan bekal.

Falisha membalas perkataan Arsya dengan senyum samar. Dilihatnya lambaian tangan Arsya begitu memasuki mobil, kemudian berlalu meninggalkan pelataran di mana hanya tinggal Falisha yang masih berdiam diri di sana.

Ternyata rasanya sesakit ini saat aku menyadari, cinta Mas Arka bukan untukku. Gimana caranya mengambil hati Mas Arka?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Hasrat Liar Adik Ipar   Bab 31

    Cahaya putih dari lampu ruangan sedikir menyilaukan ketika Falisha perlahan membuka mata. Bau antiseptik menyengat, dan sensasi dingin dari infus yang menempel di pergelangan tangan membuat Falisha tersadar di mana dirinya berada sekarang.Falisha mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke sisi tempat tidur.Arsya. Laki-laki itu tengah tertidur di sisi brankar, dengan kepala bersandar pada lengannya sendiri, sementara tangannya tidak melepas genggamannya pada jemari Falisha.Falisha memperhatikan wajah Arsya yang lebam-lebam, juga luka di sudut bibir yang belum sepenuhnya mengering.Seketika, Falisha teringat dengan pengakuan Arsya beberapa saat sebelum dirinya terbaring di rumah sakit. Benarkah bahwa perempuan yang selama ini dicintai Arsya adalah dirinya? Apa karena itu, Arsya selalu bersikap baik dan penuh perhatian terhadapnya?Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata Falisha. Secinta itukah Arsya kepadanya sehingga dia rela dihajar Arka habis-habisan? Dan benarkah ap

  • Hasrat Liar Adik Ipar   Bab 30

    “Positif?” Falisha ternganga melihat testpack dengan garis dua yang berada dalam genggaman.Perempuan itu tidak menyangka, pernikahannya dengan Arka baru menginjak dua bulan, tetapi Tuhan sudah mempercayakan buah hati kepadanya. Namun, entah kenapa Falisha merasa ada yang kurang.“Bude ... Fal hamil, Bude. Kalau aja Bude masih ada, Bude pasti bahagia, kan?” gumam Falisha lirih.Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata. Dia baru saja membahas tentang perpisahan dengan Arka, tetapi kenyataan bahwa dirinya sedang berbadan dua membuat Falisha gamang.Apakah itu sebuah pertanda, bahwa Falisha masih harus menjadi istri Arka? Apakah dengan kehamilannya, Arka lantas bisa menerima Falisha sepenuhnya dan merelakan hubungannya dengan Sabrina?Suara ketukan pintu kamar mandi membuyarkan lamunan Falisha. Perempuan itu cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi wajah dan segera membuka pintu.“Mana hasilnya?”Falisha sedikit heran melihat raut Arka yang jauh dari kata bahagia. A

  • Hasrat Liar Adik Ipar   Bab 29

    “Biar aku yang bawa.” Arsya mengambil koper Falisha tanpa persetujuan pemiliknya.“Tapi, Arsya—““Suami Kakak itu emang enggak gentle. Kenapa masih dibelain terus?” Arsya memperhatikan Falisha dengan menatap kedua netranya secara intens. Sementara di hadapannya, Falisha hanya diam tanpa berkutik.Beberapa jam sebelum tiba di Jakarta, Falisha memang dengan sengaja membela Arka di depan Thalita. Perempuan itu menampik kata-kata Thalita yang sebetulnya benar terjadi.“Arsya, Kakak cuma enggak mau Kak Thalita kepikiran. Arsya tahu sendiri kalau keadaan di sana sedang berkabung. Kakak enggak tega kalau sampai Kak Thalita tahu yang sebenernya. Kakak enggak mau nambahin beban pikiran Kak Thalita.”“Tapi gimana dengan beban pikiran Kakak sendiri?” Satu pertanyaan Arsya membuat Falisha menghela napas panjang. “Kapan Kakak bisa mikir jernih? Bilanglah yang sebenernya ke Kak Thalita biar dia protes ke Mama sama Papa. Biar mereka tahu kalau Kak Arka enggak pernah memperlakukan Kakak dengan baik.”

  • Hasrat Liar Adik Ipar   Bab 28

    “Beresi barang-barang kamu dan kita pulang hari ini juga!” titah Arka saat Falisha baru saja memasuki kamar.Sejenak, perempuan yang diajak bicara itu termenung di depan pintu. Dia menatap Arka tanpa suara.“Kenapa, sih, kalau diajak ngomong diem aja? Kamu mulai tuli?” Arka terlihat geram, tetapi masih mencoba untuk menjaga intonasi suara agar tidak terdengar dari luar.Dada Falisha naik turun seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Apa yang dikatakan Arka tadi? Laki-laki itu mempertanyakan apakah dia mulai tuli?Falisha sungguh tidak habis pikir. Dia mengira, sejak perlakuan sebenarnya Arka terhadap dirinya sudah diketahui Salma dan Wilis, laki-laki itu akan berubah. Namun, apa yang diharapkan Falisha ternyata tidak sesuai ekspektasi.Perempuan itu berjalan cepat menuju sisi lemari di mana kopernya berada. Dia pun membereskan semua barang bawaan tanpa terkecuali. Jangan ditanya tentang sedih atau tidaknya. Beberapa menit lalu, Falisha baru saja merencanakan dengan Thalita, mere

  • Hasrat Liar Adik Ipar   Bab 27

    “Fal, ayo. Semua udah pergi.” Arka membujuk Falisha yang masih berjongkok di sisi pusara Mirna supaya lekas bangkit. Dia tidak ingin berlama-lama tinggal begitu prosesi pemakaman selesai dilaksanakan.Falisha belum juga bergerak. Perempuan itu tentu merasa sangat kehilangan, karena baginya, Mirna adalah Ibu kedua setelah mamanya meninggal dalam kecelakaan bersama sang Papa. Falisha sangat menyayangi Mirna yang sering memanjakannya seperti anak sendiri.“Fal ....” Arka kembali bersuara karena melihat Falisha hanya bungkam. “Kamu denger, kan?”“Fal masih mau di sini. Mas Arka duluan aja.” Singkat, padat, dan jelas. Falisha sama sekali tidak menoleh saat membalas kalimat suaminya. Wajahnya masih basah dan kedua mata menatap kosong ke arah pusara.Arka mendecak kesal. Bagaimana bisa perempuan itu berucap dengan entengnya? Bisa-bisa dia kena marah Salma karena lagi-lagi akan dianggap tidak perhatian terhadap Falisha, bukan?“Kamu harus lekas istirahat. Atau ... kamu sengaja, nyiksa diri de

  • Hasrat Liar Adik Ipar   Bab 26

    “Kakak di sini aja, aku awasi Kakak dari tempat yang intinya Kak Arka enggak akan tahu aku di mana.” Arsya menghentikan langkah begitu mendekati stasiun dan Falisha menurut.Perempuan itu hanya bisa mengangguk. Dia tidak berani banyak bicara karena sempat salah tangkap akan kejadian beberapa menit lalu di mana Arsya menunduk untuk mengambil bulu mata yang dikhawatirkan akan masuk ke mata Falisha.“Kakak yakin, baik-baik aja?” Arsya memastikan, karena Falisha menjadi lebih banyak diam.“Baik, Arsya. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Gimana aku enggak khawatir? Kakak baru aja baikan. Kemarin Kakak demam tinggi seharian.”Perempuan mana yang tidak akan tersentuh hatinya jika ada laki-laki yang begitu memperhatikan dirinya bahkan sampai hal terkecil sekali pun? Falisha betul-betul tidak bisa membalas kalimat Arsya. Dia tidak ingin salah bicara.“Ya udah, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, aku pasti tonjok lagi mukanya Kak Arka.”“Tapi, Arsya—““Bercanda.” Arsya menyahut cepat sambil

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status