Dave duduk di kursi kerjanya dengan wajah muram. Tangan kirinya menggenggam rambutnya yang sedikit berantakan, sementara tangan kanannya mengetuk meja dengan gelisah. Sudah berhari-hari ia mencoba menemukan keberadaan Amber, tapi hasilnya nihil. Di hadapannya, Julian berdiri dengan wajah sedikit tegang. Ia tahu bosnya sedang berada di titik terendah, dan itu bukan pertanda baik. "Bagaimana? Apa kau sudah menemukan jejak Amber?" tanya Dave, suaranya berat dan penuh tekanan. Julian menghela napas. "Belum ada kabar, Dave. Aku sudah menghubungi beberapa orang yang mungkin tahu, tapi tidak ada yang bisa memastikan keberadaannya." Dave memejamkan mata dan menghembuskan napas kasar. "Sial!" desisnya, meninju meja hingga beberapa dokumen yang tertumpuk di atasnya berantakan. Julian tetap diam, membiarkan Dave meluapkan emosinya. Setelah beberapa saat, Julian melanjutkan, "Satu-satunya orang yang mungkin tahu di mana Amber adalah Clara. Tapi… dia tidak mau memberitahuku apa pun. " Y
Pagi itu, Brian kembali mendatangi Amber di rumah Nenek Rose. Ternyata Brian benar-benar tetanga Nenek Rose. Bahkan mereka berdua sudah cukup akrab. Nenek Rose juga tidak keberatan saat Brian sering berkunjung menemui Amber di rumahnya. "Aku mau mengajakmu pergi," ajak Brian pagi itu. Pemuda itu sudah memakai baju olahraga. Kemana?" tanya Amber. "Jogging... ayolah ikut aku jogging sembari melihat pemandangan indah tempat ini. Aku jamin di kota kau tidak akan menemukannya." Brian terlihat antusias. Amber sedikit ragu. Ia tengah hamil muda, ia takut terjadi apa-apa pada kehamilannya kalau terlalu banyak bergerak. "Tapi Brian..." "Ayolah Amber, jangan malas, aku lihat selama di sini kau tidak pernah olahraga." Brian menarik tangan Amber. "Oke... oke sebentar aku ganti baju dulu." Amber terpaksa mengikuti keinginan Brian. Dia berganti baju dengan memakai celana trening dan kaos. Setelah siap dia kembali menemui Brian. Keduanya pun berlari kecil menyusuri jalanan kota kecil itu. U
Amber melangkah keluar dari rumah sakit dengan hati yang campur aduk. Hari ini ia menjalani pemeriksaan kehamilan pertamanya, dan meskipun semuanya berjalan lancar, pikirannya tetap dipenuhi kegelisahan. Bayi kecil yang tumbuh dalam rahimnya adalah anugerah, namun juga pengingat akan hubungan rumitnya dengan Dave, lelaki yang mungkin kini telah melupakannya.Di sampingnya, Brian berjalan dengan santai, sesekali melirik Amber yang tampak lelah. Ia adalah tetangga Nenek Rose yang baik hati, selalu bersedia membantu jika diperlukan. Sejak Amber tinggal di rumah Nenek Rose, Brian sering datang untuk sekadar berbincang atau membantu pekerjaan rumah.“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Brian dengan nada khawatir saat mereka menunggu taksi di pinggir jalan.Amber tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah.”Begitu taksi datang, Brian membukakan pintu untuk Amber dan memastikan ia duduk dengan nyaman sebelum masuk ke dalam mobil. Perhatian kecil itu membuat Amber terharu. Ia suda
Dua tahun kemudian. Angin musim semi berembus lembut di sebuah taman kecil di pinggiran kota London. Matahari bersinar hangat, menyinari wajah seorang wanita muda yang tengah tertawa bahagia bersama seorang anak lelaki kecil. Amber duduk di atas rerumputan hijau, membantu anak itu berdiri dengan kedua tangan mungilnya yang terangkat tinggi. “Bagus, sayang! Ayo jalan ke sini,” ujar Amber dengan penuh semangat. Anak lelaki itu terkekeh senang, matanya yang bulat dan cerah bersinar seolah menggambarkan kebahagiaan tanpa beban. Ia melangkah dengan kaki kecilnya yang masih goyah, berjalan ke arah ibunya yang menunggu dengan tangan terbuka. Setiap kali berhasil melangkah beberapa langkah, ia akan tertawa, menunjukkan senyum yang begitu menggemaskan. Senyum yang sangat mirip dengan seseorang yang pernah mengisi hati Amber. Brian yang duduk di bangku taman memperhatikan mereka dengan senyum hangat. Sudah hampir dua tahun sejak Amber tinggal di tempat ini, dan selama itu pula Brian sel
"Sudah dua tahun! Dua tahun, Julian! Dan kau masih belum bisa menemukan Amber!" Dave membanting dokumen di tangannya ke meja. Rahangnya mengeras, wajahnya merah padam karena emosi yang ditahannya sejak tadi. Suara bentakan Dave menggema di seluruh ruangan. Para anak buahnya, termasuk Julian, hanya bisa menundukkan kepala, menerima amarah yang meledak-ledak dari pria itu. Julian menelan ludah. Ia tahu ini akan terjadi. Dave sudah sangat frustasi. "Aku minta maaf, Dave," ucap Julian, berusaha tetap tenang. "Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi Amber seperti menghilang begitu saja." "Itu bukan alasan!" Dave menggebrak meja. "Sebarkan lebih banyak orang! Aku tidak peduli berapa pun biayanya! Aku ingin Amber ditemukan secepatnya!" "Baik, aku akan mengerahkan seluruh tim, menyebar ke seluruh Inggris untuk menemukannya." Julian mengangguk mantap. "Kenapa tidak kau lakukan itu dari dulu?" Dave mendengkus kesal. Ia tidak mengerti apa yang saja dilakukan oleh Julian selama ini hingga m
"Papa! Apa benar Tuan Martin Oliver sudah memberi izin pada Julian untuk mencari Amber?" suaranya meninggi, dipenuhi kemarahan. Terdengar helaan napas berat dari Tuan Richard. Pria paruh baya itu menatap wajah putrinya dengan perasaan bersalah. "Bella, maafkan Papa. Papa sudah berusaha membujuk Martin, tapi dia lebih memilih putranya." "Jadi begitu? Ayah tidak bisa lagi mengendalikan Martin Oliver?" Bella mengepalkan tangannya. "Bukan seperti itu, Bella." Tuan Richard mencoba menjelaskan dengan nada sabar. "Martin hanya ingin yang terbaik untuk Dave. Kau harus mengerti, selama dua tahun ini, Dave tidak pernah benar-benar menerima kepergian Amber. Usaha kita untuk mendekatkannya denganmu selalu gagal. Dan sekarang, keadaan Dave semakin memburuk. Martin tidak punya pilihan lain." "Tidak punya pilihan lain?" Bella mencibir. "Jangan bodoh, Papa! Kalau Amber kembali, semuanya akan berantakan! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!" "Bella, dengarkan aku dulu—" "Tidak!" teriak Be
Julian duduk di dalam mobilnya sambil membaca laporan dari anak buahnya. Tangannya sedikit bergetar saat melihat sebuah alamat yang tertera di sana. Setelah dua tahun, akhirnya ia mendapatkan titik terang. Amber ditemukan di sebuah kota kecil di pinggiran London."Akhirnya aku menemukan Amber setelah dua tahun ini aku menahan diri untuk mencarinya. Dave, aku akan membawa Amber untukmu." Julian tersenyum tipis. Tanpa membuang waktu, Julian segera menghidupkan mesin mobil dan melajukan kendaraannya menuju alamat yang diberikan. Perjalanan memakan waktu hampir dua jam, namun itu tidak terasa lama baginya. Hatinya berdebar, membayangkan bagaimana reaksi Amber jika melihatnya nanti. Setibanya di kota kecil itu, Julian memarkir mobilnya di seberang sebuah restoran kecil yang disebutkan dalam laporan. Ia memperhatikan suasana di sekitar, memastikan bahwa ia berada di tempat yang tepat. Kemudian, matanya membulat ketika melihat sosok yang begitu dikenalnya keluar dari pintu restoran.
Julian melangkah masuk ke dalam mansion mewah milik Dave di Kensington dengan perasaan yang berat. Pikirannya dipenuhi kebimbangan setelah pertemuannya dengan Amber. Ia tahu betapa Dave menginginkan Amber kembali, tetapi ia juga berjanji untuk tidak mengungkap keberadaan wanita itu."Selamat Sore Tuan Julian!" Alfred yang baru turun dari lantai atas langsung menyapa Julian yang tampak tergesa. "Apa Dave ada?" tanyanya. "Ada di ruang kerjanya, Tuan," jawab Alfred. Julian pun mempercepat langkahnya memasuki ruang kerjanya. Begitu memasuki ruang kerja Dave, Julian mendapati pria itu sedang berdiri di depan jendela besar, punggungnya tegap namun terlihat tegang. Begitu mendengar langkah kaki Julian, Dave langsung berbalik dengan tatapan tajam. "Bagaimana hasilnya?" suara Dave terdengar dingin dan penuh tekanan. "Apa kau sudah menemukan Amber?" Julian menahan napas sejenak, lalu menggeleng pelan. "Belum, Dave. Aku dan timku sudah mencari ke berbagai tempat, tapi sejauh ini belum ada
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di pantai, Dave dan Amber memutuskan untuk kembali. Perjalanan pulang terasa sunyi, namun hangat. Ethan tertidur di jok belakang, sementara Amber duduk di depan di samping Dave yang menyetir.Sesekali mencuri pandang ke arah istrinya itu. Amber menangkap pandangan itu dan tersenyum tipis, lalu kembali menatap keluar jendela, membiarkan angin sore mengayun rambutnya yang tergerai."Aku senang sekali Sayang. Akhirnya kita bisa bersama lagi setelah bertahun-tahun berpisah. Kita bahkan seperti sepasang pengantin baru lagi. Apa kamu juga senang, Sayang?" tanya Dave sambil melirik ke arah Amber yang tersipu. "Apa masih perlu aku jawab? Kau tidak melihat ekspresiku? Kau juga tidak menyadari kalau selama liburan ini aku selalu patuh padamu dan melakukan apapun maumu termasuk menyerahkan diriku sepenuhnya padamu Dave?" Amber balik bertanya. "Hei, jangan terlalu banyak pertanyaannya. Aku jadi pusing, Sayang." Dave terkekeh pelan. Ia menatap gemas lalu
Malam perlahan turun. Lampu-lampu di resort menyala temaram, memantulkan cahaya hangat di antara rindangnya pepohonan dan semilir angin laut. Ethan sudah tertidur pulas setelah puas bermain seharian, sementara Amber duduk di sofa balkon dengan selimut tipis menyelimuti tubuhnya. Dave datang membawa dua cangkir teh hangat dan duduk di sebelahnya. Dia tidak langsung bicara, hanya memandangi wajah Amber yang tampak lelah, namun jauh lebih tenang dibanding beberapa hari terakhir. “Terima kasih,” ucap Amber lirih, menerima cangkir dari tangan Dave. Dave mengangguk, “Terima kasih karena sudah mau ikut ke sini.” Amber menatap lautan di depan mereka. “Kau tahu, aku takut. Takut kalau semua ini hanya akan mengulang luka yang sama.” Dave memutar tubuhnya sedikit agar bisa memandangi Amber lebih jelas. “Aku paham, Amber. Dan aku tak menuntut jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu… aku serius. Aku ingin memperbaiki semuanya. Demi kau dan Ethan.” Amber menggigit bibirnya, menahan gempu
Mobil berhenti di depan sebuah resort mewah di pinggir pantai. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan. Amber turun dari mobil dengan Ethan yang tertidur di gendongannya, sementara Dave membantu membawakan barang-barang kecil mereka."Tempat ini..." Amber bergumam begitu matanya menangkap pemandangan yang akrab.Dave tersenyum hangat, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu dicintainya. "Masih ingat? Ini tempat kita bulan madu kita dulu."Amber menoleh padanya, matanya membulat sedikit. Tentu saja ia masih ingat. Ini adalah tempat di mana mereka berdua dulu tertawa, bercanda, dan bermimpi akan membangun keluarga kecil yang bahagia. Amber sempat berpikir tempat ini sudah terkubur bersama semua kenangan pahit mereka. Tapi kini, Dave membawanya kembali ke sini, seolah menghidupkan kembali semua kenangan itu."Aku sudah lama ingin membawamu ke sini," kata Dave pelan, mengambil tas dari tangan Amber. "Aku ingin kau ingat, betapa dulu kita pernah berjanji menjadikan tempat ini seb
Amber baru saja selesai mengantarkan pesanan ke meja pelanggan saat pintu restoran berdenting. Ia menoleh tanpa banyak pikir, dan jantungnya sontak berdegup kencang saat melihat siapa yang baru saja masuk.Dave.Dengan setelan santai namun tetap memancarkan kharisma, pria itu melangkah masuk, matanya langsung mencari keberadaan Amber. Ketika pandangan mereka bertemu, Amber seketika merasa seluruh dunia mengecil, hanya menyisakan dia dan Dave.Amber buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura sibuk membereskan meja. Ia berharap Dave akan pergi. Tapi langkah berat Dave justru mendekat, dan sebelum Amber sempat menghindar, Dave sudah berdiri tepat di depannya."Amber," suara itu terdengar penuh emosi. "Kita perlu bicara."Beberapa karyawan dan pelanggan mulai memperhatikan mereka, bisik-bisik kecil terdengar di sekeliling. Amber merasa wajahnya mulai memanas. Ia menggeleng dengan cepat."Aku sedang bekerja, Dave. Pergilah," bisiknya ketus.Namun Dave tidak bergeming. Ia justru melakukan se
Dave menghela napas panjang di dalam mobilnya, tangannya mengepal erat di atas setir. Suasana di dalam kendaraan itu terasa sesak, seolah-olah udara tidak cukup untuk menahan beban di dadanya. Kilasan wajah Amber yang marah dan penuh luka terbayang terus di benaknya. Dave memejamkan mata, mencoba mengendalikan rasa frustrasinya.Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Amber berjuang sendirian menghadapi tuntutan konyol dari ayahnya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Ethan dari Amber, anak yang bahkan baru saja diakuinya sebagai darah dagingnya.Telepon genggamnya bergetar di saku jaket. Dengan cepat, Dave mengangkatnya. Di layar tertera nama Julian."Dave, aku sudah mencari tahu," suara Julian terdengar tergesa. "Ayahmu sudah menyiapkan pengacara terbaik di kota ini untuk memenangkan kasus hak asuh Ethan."Dave mengumpat pelan. "Aku harus bertemu denganmu sekarang."Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Begitu Julian duduk, Dave langsung mengutar
Julian membuka pintu ruang kerja Dave dengan tergesa, napasnya sedikit memburu. Dave yang tengah menatap layar laptop langsung mengangkat kepala, alisnya bertaut ketika melihat ekspresi serius di wajah tangan kanannya itu. "Ada apa, Julian?" tanya Dave, nada suaranya tenang tapi tajam. Julian menelan ludah. "Dave, ini bahaya.""Ada apa?" tanya Dave dengan alis berkerut. "Tuan Martin baru saja melayangkan gugatan hak asuh anak terhadap Amber," jawab Julian dengan wajah tegang. "Apa?" Dave langsung berdiri, kursi kerjanya bergeser dengan kasar. “Aku baru saja mendapat informasi dari kenalanku di pengadilan. Gugatan itu resmi. Suratnya sudah dikirim ke rumah Nenek Rose.” Wajah Dave langsung mengeras. Matanya dipenuhi amarah yang tak terbendung. "Shit! Kenapa Papa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Amber dan Ethan?!” gumamnya geram."Tenang dulu Dave, kau bisa membicarakan hal ini baik-baik dengan Tuan Martin siapa tahu dia bisa menarik gugatannya kembali. Kau juga h
Nyonya Eliza menatap suaminya dengan cemas dari balik cangkir teh yang belum sempat ia seruput. Wajah Tuan Martin tampak berubah drastis setelah mendengar kabar yang baru saja ia sampaikan. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ia sangka bahwa Amber ternyata memiliki anak dari Dave. “Ulangi sekali lagi, Eliza. Anak itu… Ethan… dia anak Dave?” Tuan Martin bertanya dengan suara tertahan namun jelas menunjukkan kemarahan yang ditahannya. Nyonya Eliza mengangguk pelan. “Iya. Namanya Ethan, usianya sekitar dua tahun. Aku baru saja bertemu dengannya. Dia sangat mirip Dave saat masih kecil.” Tuan Martin berdiri dari kursinya dengan ekspresi tak percaya. Ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sambil menghela napas panjang. “Kenapa baru sekarang aku tahu soal ini?! Kenapa Dave tidak mengatakan apapun padaku?!” “Karena dia juga baru tahu, Pa. Dan dia sangat emosional setelah mengetahuinya. Anak itu adalah darah dagingnya. Itu alasan Dave begitu ngotot ingin memperbaiki hubungannya den
Amber akhirnya memutuskan untuk tetap bekerja di restoran milik Tuan Grayson. Keputusan itu diambil setelah berbagai pertimbangan yang matang, meskipun ia sadar situasinya kini tidak lagi sama. Banyak rekan kerja yang tetap mencibirnya di belakang, tetapi setidaknya mereka tidak berani terang-terangan mengusik dirinya seperti sebelumnya. Namun, keputusan itu membuat Dave sedikit kesal. Bukan karena ia tidak mendukung pilihan Amber, tetapi karena dalam hatinya, ia lebih ingin Amber tidak perlu lagi bekerja di tempat itu. “Kenapa kamu tetap ingin bekerja di sini?” tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak. Amber menghela napas. “Karena aku masih ingin mencari uang untuk biaya hidupku, Dave. Aku ingin tetap bekerja dan tidak bergantung pada siapa pun.” Dave mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia tahu Amber adalah wanita yang keras kepala, tetapi tetap saja, ia berharap Amber lebih mempertimbangkan posisinya sekarang. "Aku bisa memberimu uang tanpa harus bekerja di sini. Bila perl
Amber sudah merasa ada yang tidak beres dengan sikap beberapa rekan kerjanya sejak beberapa hari ini. Sikap lunak Tuan Grayson yang biasanya selalu tegas dan tanpa ampun jika ada karyawannya yang melakukan kesalahan menjadi penyebabnya. Mereka berpikir kalau Tuan. Grayson telah dirayu oleh Amber hingga dia memaafkan kesalahan pria itu. Beberapa dari mereka sering berbisik-bisik saat Amber lewat, dan tatapan mereka penuh sindiran. "Aku yakin dia pasti punya hubungan spesial dengan Tuan Grayson," bisik salah satu dari mereka saat Amber berjalan melewati pantry. "Jelas. Kalau tidak, mana mungkin dia masih bekerja di sini setelah semua kesalahan yang dia buat?" sahut yang lain dengan nada sinis. "Amber menghentikan langkahnya dan menatap ke arah mereka yang membicarakannya. " Ngomong apa sih kalian? Amber bukan wanita seperti itu!" Rachel ikut geram. "Darimana kau tahu?" "Aku mengenal Amber dan aku yakin Amber tidak mungkin merendahkan dirinya seperti itu." "Sudahlah