LOGINRaymond terdiam cukup lama. Dara bisa mendengar napas pria itu yang berat di seberang telepon."Kamu di rumah?" tanya Raymond akhirnya."Iya.""Aku akan kesana," ucap Raymond lalu menutup telepon sepihak.Dara menatap layar ponselnya yang sudah mati. Dadanya berdebar tidak karuan. Raymond akan datang. Apa yang harus dia katakan? Bagaimana dia harus menghadapi pria itu?Tiga puluh menit kemudian, bel rumah berbunyi. Dara yang sudah menunggu di ruang tamu langsung bangkit dan membukakan pintu sendiri.Raymond berdiri di depan pintu dengan penampilan yang berantakan. Rambutnya acak-acakan, matanya merah dan bengkak seperti habis menangis, kemejanya kusut."Masuk," ucap Dara pelan.Raymond masuk tanpa berkata apa-apa. Dia duduk di sofa dengan postur tubuh tegang. Dara duduk di sofa seberang, tidak berani duduk terlalu dekat.Keheningan menyelimuti mereka. Hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak."Jadi," Raymond membuka suara dengan nada sarkastis. "Apa yang mau kamu bicarakan? Mau
Raymond terdiam. Kata-kata tercekat di tenggorokannya, seolah ada batu besar yang menyumbat jalan keluar suaranya. Matanya menatap Dara dengan penuh harap, berharap gadis itu akan berubah pikiran. Berharap Dara akan bangkit dan berteriak, "Tidak! Jangan Raymond! Jangan terima!"Tapi yang dia lihat berbeda. Dara duduk dengan tubuh kaku, wajahnya pucat seperti mayat hidup. Mata gadis itu berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan tangis. Dan yang paling menyakitkan, tatapan mata Dara memohon padanya. Memohon agar Raymond menerima tawaran pertunangan dari Rara."Raymond?" suara Rania memecah lamunannya. "Kamu kenapa sayang? Kamu tidak mau?"Raymond mengalihkan pandangannya dari Dara. Dia menatap mamanya yang berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh harap. Lalu pandangannya beralih ke Rara yang duduk di tepi ranjang Erik, menatapnya dengan mata berbinar penuh cinta. Cinta yang salah alamat. Cinta yang seharusnya tidak untuknya."Aku..." Raymond memulai lagi dengan suara serak. Tangannya te
Setelah dari kafe, mereka bertiga berjalan menuju mobil Raymond yang terparkir di parkiran.Suasana masih terasa canggung, setidaknya bagi Dara dan Raymond. Sementara Rara terlihat sangat ceria, melangkah dengan ringan sambil sesekali bersenandung."Ayo kita ke rumah sakit sekarang. Aku pengen lihat Papa," ajak Rara sambil membuka pintu mobil bagian depan. Dia duduk di kursi penumpang, sementara Dara masuk ke kursi belakang.Raymond menghidupkan mesin mobil tanpa berkata apa-apa. Tangannya menggenggam setir dengan erat, rahangnya mengeras. Matanya menatap lurus ke depan, tidak berani melirik kaca spion untuk melihat Dara yang duduk di belakang.Mobil melaju keluar dari area parkir. Jalanan ibukota cukup ramai meskipun sudah lewat jam sibuk pagi. Rara menyalakan radio, lagu pop ceria mengalun pelan dari speaker."Ray," panggil Rara dengan suara manja. Tanpa menunggu jawaban, dia menyandarkan kepalanya di bahu Raymond.Raymond tersentak kaget. Tangannya hampir memutar setir terlalu taja
Tangis Dara perlahan mereda. Air matanya mengering di pipi, meninggalkan bekas asin yang terasa kencang di kulit. Dia bangkit dari lantai dengan tubuh yang terasa berat, seolah seluruh beban dunia menimpa bahunya. Kakinya goyah saat berjalan menuju tempat tidur.Dara merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk yang biasa dia pakai kalau menginap di rumah Rara. Sprei berbau lembut pelembut pakaian, tapi kali ini aroma itu tidak membawa kenyamanan seperti biasa. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar yang putih bersih."Ini yang terbaik," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Rara harus bahagia. Dia sudah cukup menderita dengan sakit Papa. Aku tidak boleh menambah lukanya."Dara menarik selimut hingga menutupi tubuhnya sampai dagu. Mata sembabnya perlahan tertutup, meskipun dadanya masih terasa sesak. Tidur datang dengan lambat, diiringi bayangan wajah Raymond yang terus berputar di kepalanya.***Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus celah tirai. Dara terban
Citra menangis melihat keadaan suaminya, rasa takut kehilangan mencuat, membuat dadanya semakin sesak. “Sayang cepatlah sembuh, nanti aku akan lebih menurut, berapapun yang kamu mau aku akan mengiyakan.” Ucap Citra. Rara melempar tatapan tajamnya pada sang Mama, heran. “Astaga Mama.” Batin Rara sambil menggelengkan kepala. Tiga hari berlalu sejak Erik dirawat di rumah sakit. Kabar baiknya, kondisi pria paruh baya itu kian hari kian membaik. Wajahnya yang tadinya pucat seperti mayat, perlahan mulai mendapat warna kembali. Dokter bilang, respons tubuhnya terhadap pengobatan sangat bagus. Meski begitu, Erik tetap harus dirawat untuk observasi lebih lanjut.Ruang inap nomor 304 selalu ramai pengunjung. Keluarga besar datang silih berganti. Bahkan anak buah Erik juga terus berdatangan guna menjenguk CEO mereka.Tapi yang paling setia menemani adalah Citra dan Laura. Kedua wanita itu bergantian merawat Erik dengan penuh perhatian. Citra, sebagai istri, tentu saja tidak pernah meninggalk
*** Mobil melaju kencang menuju rumah sakit. Jalanan Jakarta yang macet membuat perjalanan terasa semakin lama. Dara duduk dengan gelisah, tangannya tidak berhenti meremas-remas ujung bajunya. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Raymond parkir di area parkir dan mereka berdua bergegas turun. Mereka berlari menuju lobby, menanyakan nomor ruangan Om Erik pada petugas informasi. "Ruang 304, lantai tiga," jawab petugas. Mereka naik lift dengan tergesa-gesa. Di dalam lift, Dara berusaha mengatur nafasnya. Jantungnya berdegup sangat kencang. Sebentar lagi dia akan bertemu Rara. Sebentar lagi dia harus berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi antara dia dan Raymond. Lift terbuka di lantai tiga. Koridor rumah sakit dipenuhi aroma antiseptik yang menyengat. Mereka berjalan cepat mengikuti petunjuk nomor ruangan. Di ujung koridor, mereka melihat kerumunan orang. Keluarga besar Raymond sudah berkumpul di sana. Rania dan Angga mama sedang duduk di kursi tunggu dengan wajah cemas. Davi







