Home / Romansa / Hasrat Liar Sahabat Suami / 3. Ketika masa lalu menyapa

Share

3. Ketika masa lalu menyapa

last update Last Updated: 2025-10-27 16:24:09

Rani terpaku. Napasnya seolah tertahan di dada ketika mendengar suara itu—dalam, jernih, dan tidak asing. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemiliknya.

Fabio.

Lelaki yang dulu hanya bisa ia pandangi dari jauh, cinta yang tak pernah sempat terucap di masa kuliah. Sosok yang dulu hanya hidup dalam kenangan manis dan getir kini berdiri nyata di depan matanya.

“Kak Fabio?” Suaranya nyaris tak terdengar, serak karena gugup.

Fabio berbalik, menatapnya dengan senyum samar. Sorot matanya masih sama seperti dulu—tenang, tajam, dan sulit ditebak. Di balik senyum itu, ada jejak masa lalu yang belum pudar.

Bima, suaminya, sontak melirik istrinya. “Kamu kenal Fabio?” tanyanya dengan nada terkejut, tapi terselip nada curiga yang membuat udara di ruangan itu mengeras.

Rani menelan ludah. Ia tahu ekspresi Bima—garis rahangnya menegang, matanya menyipit tipis. Itu pertanda bahaya. Sekali saja ia salah jawab, Bima akan murka.

“Kamu istrinya Bima?” tanya Fabio, datar tapi tajam. Ia tak memberi kesempatan bagi Rani untuk menjawab pertanyaan Bima.

Bima langsung menoleh, ekspresinya berubah. “Kamu kenal istriku?” tanyanya pada Fabio, suaranya kini lebih berat.

Fabio tidak langsung menjawab. Tatapannya justru tertuju penuh pada Rani. Pandangan yang seolah menuntut penjelasan, seakan ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.

Rani tidak sanggup membalas tatapan itu. Napasnya sesak. Diamnya justru memperkeruh keadaan.

“Iya,” suara Fabio akhirnya pecah. “Aku kenal dekat dengan istrimu, Bima.”

Bima mengerjap. Alisnya berkerut dalam, rahangnya semakin mengeras. Kata kenal dekat terdengar sangat tidak nyaman di telinganya. Bahunya kaku. Urat di pelipisnya sedikit menonjol—tanda ia sedang menahan sesuatu.

“Bagaimana bisa?” nada suaranya berubah tajam, menuntut jawaban.

Fabio menatapnya tenang. “Rani adik kelasku dulu. Kami lumayan akrab sebelum aku pindah ke Eropa.” Ucapan itu tenang, tapi sorot matanya ke arah Rani menyimpan luka samar yang tak diketahui orang lain. Luka dari sesuatu yang tak pernah terselesaikan.

Rani menunduk, jemarinya saling menggenggam. Ia tidak berani menatap siapapun. Situasi seperti ini terlalu berbahaya. Ia tahu Bima. Sekali saja ia salah bicara, malamnya tak akan berakhir damai.

Fabio mengambil langkah kecil mendekat. “Gimana kabarmu, Ran?” ucapnya pelan, seolah nada lembutnya mampu menembus kebekuan.

“Baik, Kak,” jawab Rani singkat, hampir seperti bisikan.

Fabio tersenyum kecil. “Duduk sini. Kita ngobrol bareng,” katanya sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya.

Rani sontak melirik ke arah Bima. Tatapan Bima jelas, 'jangan berani'. Rahangnya mengeras, sorot matanya dingin dan mengancam.

“Maaf, Kak Fab. Aku harus balik ke dapur,” tolak Rani cepat, suaranya sedikit bergetar.

Fabio tak menyerah. “Kamu kok bisa nikah sama Bima?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat Bima menegang. Udara mendadak berat. Rani tahu, ini sangat berbahaya. Pertanyaan polos itu bisa berubah jadi bara jika tak dijawab dengan hati-hati.

“Rani …,” suara Bima lirih, tapi ancamannya terselip jelas.

Rani menarik napas dalam. “Kami pacaran udah lama,” jawabnya singkat, berusaha tersenyum tipis. “Aku pergi dul—”

“Kamu kenal Bima di mana?” Fabio memotong cepat, tajam.

Rani menatap Bima sejenak—suaminya menatap dengan sorot mengancam, seperti menantang agar ia tidak melakukan kesalahan sedikit pun. “Di kafe tempat aku kerja dulu,” jawabnya akhirnya.

Fabio menyandarkan tubuhnya di kursi, seakan mencoba memahami semua jawaban itu. “Ayo duduk sini aja. Aku pengen ngobrol.” Ia berbalik ke arah Bima. “Gak apa-apa, kan, Bim?”

Bima terdiam beberapa detik. Tatapan Fabio yang penuh keyakinan membuatnya tersedak oleh gengsinya sendiri. Ia tidak ingin terlihat kasar di depan sahabatnya—apalagi sekarang Fabio bukan sembarang orang. Seorang diplomat. Pria sukses yang dihormati banyak orang.

“Oh …, iya, tentu saja,” jawabnya akhirnya, dengan senyum yang lebih mirip topeng.

Rani tahu itu bukan senyum sungguhan. Itu tanda perang dingin. Sekali ia melangkah ke kursi itu, badai pasti datang setelah tamu pulang.

“Ayo, sini,” ulang Fabio dengan nada bersahabat. Ia tak sadar betapa tajam tatapan Bima ke arah istrinya.

Rani ragu. Setiap langkahnya ke arah Fabio sama saja seperti melangkah ke dalam jerat yang siap menutup rapat. Ia mencoba mencari celah.

“Maaf, Kak. Aku gak bisa. Kayaknya masakanku hangus.” Ia cepat-cepat memutar badan, menyembunyikan wajahnya sebelum ekspresinya terbaca.

Fabio refleks bergerak maju, seolah ingin menahan perginya. Tapi hanya udara yang disentuh tangannya. Punggung Rani menghilang di balik tirai pembatas, meninggalkan aroma ketegangan menggantung di udara.

Hening panjang tercipta.

Fabio bersandar kembali ke kursinya. Matanya tak lepas dari tirai tempat Rani menghilang. Di balik sorotnya, ada segudang pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa ia terlihat setakut itu? Kenapa sorot matanya seperti menyimpan sesuatu yang berat?

Bima meneguk minumannya, gerakannya kasar dan terburu. Sorot matanya menusuk, bukan ke arah Fabio—melainkan ke arah tempat Rani tadi berdiri.

“Jadi,” suara Fabio pecah pelan, mencoba mencairkan suasana, “kalian udah lama nikah?”

Bima mengangguk, tapi tidak sepenuhnya fokus. “Udah. Cukup lama. Kamu kan aku undang juga.”

Fabio tersenyum tipis, namun hatinya tak tenang. Waktu Bima menikah dulu, Ia jelas masih di eropa dan tidak bisa menemukan waktu untuk datang. Ia tak menyangka Bima akan menikah dengan Rani.

Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan. Entah bagaimana ia bisa mendapatkan penjelasan dari mulut Rani.

Setelah pertemuannya dengan Rani barusan, Fabio bisa merasakan ada yang tidak beres dengan Rani. Ia ingin menanyakan banyak hal pada Bima namun ia tahu Bima bukan orang yang tepat untuk ditanyakan.

Dari Balik tirai, Rani mendekap dadanya sendiri dengan nampan bekas sajiannya barusan dengan dada yang bergetar.

Bagaimana bisa Fabio dan Bima bersahabat dan ia tak tahu itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   9. Awal dari manisnya

    “Kamu tidak apa-apa?” Hal pertama yang terlihat olehnya adalah wajah Fabio yang hanya sejengkal dari wajahnya, menatapnya khawatir.Wajah Rani memerah, ia masih terpesona sesaat hingga seluruh indranya terasa mati. Ekor matanya lantas menengok Bima yang tampak shock dari jauh. Dengan terburu-buru, Rani mendorong Fabio, memperbaiki posisinya.“Ba—baik,” jawab Rani kontras dengan perasaannya yang kini acak kadut. Dadanya berdebar kencang entah karena terpesona atau ketakutan melihat Bima yang shock.Pelayan yang bertabrakan dengannya tampak panik sambil memunguti pecahan gelas, berusaha meminta maaf padanya."Ma—maafkan saya, Bu. Saya tidak sengaja," Ia tampak gemetar sambil memungut gelas di lantai.Rani masih merasakan debaran di dadanya karena kejadian barusan. Ia sampai tidak mendengar permintaan maaf pelayan. Pikirannya kosong dan hanya terjadi pengulangan kejadian yang baruan.“Kamu yakin?” Fabio terdengar khawatir, mendekati Rani. Raut wajahnya yang kaku terlihat melunak.Rani me

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   8. Retak di meja pesta

    “Fab!” seru seseorang dari belakang. Fabio menoleh dan langsung tersenyum. “Revan! Wah, lama banget!” Mereka berpelukan hangat, tawa kecil pecah di antara mereka. “Gila, udah kayak reuni aja nih,” celetuk Revan. Fabio terkekeh. “Emang, kebetulan banget semuanya ngumpul.” “Rani?” suara lain memanggil, menyusul datangnya Revan. Doni—teman kuliah Rani yang lain—melambaikan tangan, tampak tak percaya. Rani terkejut tapi senang. “Hai, Don! Masih inget aku, gak?” Revan menepuk bahunya. “Gila, masa lupa. Sok banget, kamu.” Tawa mereka meledak. Fabio memperhatikan Rani yang tertawa lepas—senyum yang sudah lama tak ia lihat sejak terakhir mereka berpisah dulu. Bahkan kemarin, tersenyum pun Rani tampak tertekan. “Eh, hei!” suara riang memotong. Seorang perempuan hamil muncul membawa aura cerah. “Elen!” seru mereka hampir bersamaan. Rani segera memeluknya. “Astaga, kamu udah tujuh bulan ya? Cantik banget, Len.” Elen tertawa kecil. “Kamu juga masih sama, Ran. Cantik terus!"

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   7. Bayang diantara kami

    Rani kemudian menaiki motor dengan diam meskipun seleranya sudah hilang. Sungguh malas rasanya jika harus berdebat dengan Bima untuk hal seperti ini. Sepanjang jalan, Bima terus komplain karena menurut estimasi waktu, mereka sudah terlambat lima belas menit. Bima menyalahkan Rani yang tidak bisa mengatur waktu dan mengurusnya untuk pergi ke acara. Sepanjang jalan, telinga Rani di sakiti oleh kemarahan Bima yang tidak penting. Beruntung, suara angin di atas motor menyamarkan rata-rata ucapan Bima. Sesampainya di tempat acara, Bima menyuruh Rani turun sambil mencari tempat parkir. "Ayo, masuk." kata Bima berlenggang pergi meninggalkan Rani. Rani tampaknya ingin digandeng seperti tamu-tamu yang datang berpasangan namun Bima tampak menolaknya. Alih-alih memikirkannya, Rani memilih untuk melihat-lihat sekitar. Rumah Fabio tampak besar dengan halaman yang luas. Yah, setara dengan kerja keras yang ia lakukan selama ini pastinya. "Mas Bima." sapa seorang wanita muda pada Bima. R

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   6. Namamu diantara amarahnya

    Setelah pertemuan dengan Fabio, Bima tampaknya memiliki ide baru untuk mengkritik Rani. Sekarang, apapun yang Rani lakukan akan dianggap Bima sebagai upaya "mencari perhatian Fabio". Rani sendiri bahkan jadi muak mendengarnya namun tentu ia tidak mau ambil pusing. Biarkan saja mulut Bima berkicau sepuasnya. "Kak, udah jam tiga. Gih, siap sana! Nanti kita telat ke acaranya Kak Fabio." kata Rani sambil mencuci wajan yang barusan dia pakai memasak. Bima yang baru bangun tidur menguap dengan lebar sambil memandang Rani malas. Tatapannya penuh curiga dan siap sedia mencari masalah. "Buru-buru banget! Kangen kah sama Fabio?" Heran Bima, menyindir Rani sambil menduduki kursi di meja makan. Rani menghela nafas berat. "Kak. Kan kakak sendiri yang minta biar gak telat, diingetin!" kata Rani penuh penekanan di akhir. "Alah! Alesan banget! Sengaja banget pengen ketemu Fabio." Bima membalas penuh tuduhan. Rani menjadi kesal. "Ya, sudahlah. Tidak usah pergilah, kita." Mendengar anca

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   5. Setelah tirai tertutup

    Rani terkejut mematung kala wajah Fabio muncul begitu tiba-tiba dari balik tirai, hanya beberapa inci dari wajahnya saat ia hendak melangkah keluar menuju ruang tamu. “Kakak!” serunya spontan, tubuhnya sedikit melompat mundur karena kaget hampir menabrak Fabio. Fabio yang tak kalah terkejut segera menyingkir satu langkah ke belakang. Ia menatap Rani dengan wajah yang lembut, suaranya tenang seperti biasa. “Oh, maaf! Aku mau pamit pulang,” ujarnya sopan, seolah khawatir telah membuat Rani terkejut setengah mati. Rani berdiri canggung, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya. Ia sempat melirik sekilas ke arah ruang tamu—ke arah Bima yang duduk sambil memperhatikan mereka. “Tidak apa-apa, Kak,” ucapnya cepat, senyum tipis terukir di bibirnya. “Maaf juga, aku yang nggak lihat tadi.” Fabio tersenyum kecil, senyum yang menenangkan sekaligus menimbulkan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dalam dada Rani. “Tidak apa-apa,” katanya lembut. “Nanti, datang ya ke acara syukuran

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   4. Nostalgia masa lalu

    Wajah Rani memerah. Tubuhnya memanas merasakan sengatan nostalgia yang kembali menyala. Masa-masa indah ketika kuliah berusaha mengambil alih pikiranya. Kala itu, Fabio merupakan mahasiswa berprestasi yang aktif berorganisasi dan rajin melakukan aksi kemanusiaan hingga luar negri. Prestasinya di bidang pendidikan sangat banyak dan mendulang sukses. Masa itu, Fabio menjadi senior kampus yang punya banyak penggemar mahasiswi lintas fakultas karena sifatnya yang dingin, kaku, cuek namun sangat perhatian. "Kamu pacaran sama Fabio, Ran?" Mega, sahabat dekat Rani sejak SMP tampak antusias saat muncul tiba-tiba di lorong kampus, mendapati Rani yang sedang memikul buku untuk menuju ruang kelas berikutnya. Rani memandang Mega dengan kebingungan. "Hah?" responnya, bingung. "Kamu pacaran, ya sama kak Fabio?" Mega mengulang pertanyaannya dengan lembut. Rani terdiam sesaat untuk memproses kata-kata Mega. Ia kemudian menghembuskan nafas tawa. "Yang benar saja, Meg! Gak mungkin, lah."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status