MasukRani terpaku. Napasnya seolah tertahan di dada ketika mendengar suara itu—dalam, jernih, dan tidak asing. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemiliknya.
Fabio. Lelaki yang dulu hanya bisa ia pandangi dari jauh, cinta yang tak pernah sempat terucap di masa kuliah. Sosok yang dulu hanya hidup dalam kenangan manis dan getir kini berdiri nyata di depan matanya. “Kak Fabio?” Suaranya nyaris tak terdengar, serak karena gugup. Fabio berbalik, menatapnya dengan senyum samar. Sorot matanya masih sama seperti dulu—tenang, tajam, dan sulit ditebak. Di balik senyum itu, ada jejak masa lalu yang belum pudar. Bima, suaminya, sontak melirik istrinya. “Kamu kenal Fabio?” tanyanya dengan nada terkejut, tapi terselip nada curiga yang membuat udara di ruangan itu mengeras. Rani menelan ludah. Ia tahu ekspresi Bima—garis rahangnya menegang, matanya menyipit tipis. Itu pertanda bahaya. Sekali saja ia salah jawab, Bima akan murka. “Kamu istrinya Bima?” tanya Fabio, datar tapi tajam. Ia tak memberi kesempatan bagi Rani untuk menjawab pertanyaan Bima. Bima langsung menoleh, ekspresinya berubah. “Kamu kenal istriku?” tanyanya pada Fabio, suaranya kini lebih berat. Fabio tidak langsung menjawab. Tatapannya justru tertuju penuh pada Rani. Pandangan yang seolah menuntut penjelasan, seakan ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka. Rani tidak sanggup membalas tatapan itu. Napasnya sesak. Diamnya justru memperkeruh keadaan. “Iya,” suara Fabio akhirnya pecah. “Aku kenal dekat dengan istrimu, Bima.” Bima mengerjap. Alisnya berkerut dalam, rahangnya semakin mengeras. Kata kenal dekat terdengar sangat tidak nyaman di telinganya. Bahunya kaku. Urat di pelipisnya sedikit menonjol—tanda ia sedang menahan sesuatu. “Bagaimana bisa?” nada suaranya berubah tajam, menuntut jawaban. Fabio menatapnya tenang. “Rani adik kelasku dulu. Kami lumayan akrab sebelum aku pindah ke Eropa.” Ucapan itu tenang, tapi sorot matanya ke arah Rani menyimpan luka samar yang tak diketahui orang lain. Luka dari sesuatu yang tak pernah terselesaikan. Rani menunduk, jemarinya saling menggenggam. Ia tidak berani menatap siapapun. Situasi seperti ini terlalu berbahaya. Ia tahu Bima. Sekali saja ia salah bicara, malamnya tak akan berakhir damai. Fabio mengambil langkah kecil mendekat. “Gimana kabarmu, Ran?” ucapnya pelan, seolah nada lembutnya mampu menembus kebekuan. “Baik, Kak,” jawab Rani singkat, hampir seperti bisikan. Fabio tersenyum kecil. “Duduk sini. Kita ngobrol bareng,” katanya sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya. Rani sontak melirik ke arah Bima. Tatapan Bima jelas, 'jangan berani'. Rahangnya mengeras, sorot matanya dingin dan mengancam. “Maaf, Kak Fab. Aku harus balik ke dapur,” tolak Rani cepat, suaranya sedikit bergetar. Fabio tak menyerah. “Kamu kok bisa nikah sama Bima?” tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat Bima menegang. Udara mendadak berat. Rani tahu, ini sangat berbahaya. Pertanyaan polos itu bisa berubah jadi bara jika tak dijawab dengan hati-hati. “Rani …,” suara Bima lirih, tapi ancamannya terselip jelas. Rani menarik napas dalam. “Kami pacaran udah lama,” jawabnya singkat, berusaha tersenyum tipis. “Aku pergi dul—” “Kamu kenal Bima di mana?” Fabio memotong cepat, tajam. Rani menatap Bima sejenak—suaminya menatap dengan sorot mengancam, seperti menantang agar ia tidak melakukan kesalahan sedikit pun. “Di kafe tempat aku kerja dulu,” jawabnya akhirnya. Fabio menyandarkan tubuhnya di kursi, seakan mencoba memahami semua jawaban itu. “Ayo duduk sini aja. Aku pengen ngobrol.” Ia berbalik ke arah Bima. “Gak apa-apa, kan, Bim?” Bima terdiam beberapa detik. Tatapan Fabio yang penuh keyakinan membuatnya tersedak oleh gengsinya sendiri. Ia tidak ingin terlihat kasar di depan sahabatnya—apalagi sekarang Fabio bukan sembarang orang. Seorang diplomat. Pria sukses yang dihormati banyak orang. “Oh …, iya, tentu saja,” jawabnya akhirnya, dengan senyum yang lebih mirip topeng. Rani tahu itu bukan senyum sungguhan. Itu tanda perang dingin. Sekali ia melangkah ke kursi itu, badai pasti datang setelah tamu pulang. “Ayo, sini,” ulang Fabio dengan nada bersahabat. Ia tak sadar betapa tajam tatapan Bima ke arah istrinya. Rani ragu. Setiap langkahnya ke arah Fabio sama saja seperti melangkah ke dalam jerat yang siap menutup rapat. Ia mencoba mencari celah. “Maaf, Kak. Aku gak bisa. Kayaknya masakanku hangus.” Ia cepat-cepat memutar badan, menyembunyikan wajahnya sebelum ekspresinya terbaca. Fabio refleks bergerak maju, seolah ingin menahan perginya. Tapi hanya udara yang disentuh tangannya. Punggung Rani menghilang di balik tirai pembatas, meninggalkan aroma ketegangan menggantung di udara. Hening panjang tercipta. Fabio bersandar kembali ke kursinya. Matanya tak lepas dari tirai tempat Rani menghilang. Di balik sorotnya, ada segudang pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa ia terlihat setakut itu? Kenapa sorot matanya seperti menyimpan sesuatu yang berat? Bima meneguk minumannya, gerakannya kasar dan terburu. Sorot matanya menusuk, bukan ke arah Fabio—melainkan ke arah tempat Rani tadi berdiri. “Jadi,” suara Fabio pecah pelan, mencoba mencairkan suasana, “kalian udah lama nikah?” Bima mengangguk, tapi tidak sepenuhnya fokus. “Udah. Cukup lama. Kamu kan aku undang juga.” Fabio tersenyum tipis, namun hatinya tak tenang. Waktu Bima menikah dulu, Ia jelas masih di eropa dan tidak bisa menemukan waktu untuk datang. Ia tak menyangka Bima akan menikah dengan Rani. Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan. Entah bagaimana ia bisa mendapatkan penjelasan dari mulut Rani. Setelah pertemuannya dengan Rani barusan, Fabio bisa merasakan ada yang tidak beres dengan Rani. Ia ingin menanyakan banyak hal pada Bima namun ia tahu Bima bukan orang yang tepat untuk ditanyakan. Dari Balik tirai, Rani mendekap dadanya sendiri dengan nampan bekas sajiannya barusan dengan dada yang bergetar. Bagaimana bisa Fabio dan Bima bersahabat dan ia tak tahu itu?Mendengar itu, Fabio refleks menarik tangan Rani, berniat membawanya menjauh sebelum hal buruk terjadi. Namun Mira cepat menahan lengan Rani, langkahnya mantap seperti biasa.“Sebaiknya Ibu Rani saya antar pulang, Pak,” ucap Mira tegas, tatapannya lurus pada Fabio.Fabio ingin membantah. Ada ketidaksukaan yang jelas di wajahnya. Tapi ekspresi Mira yang serius—ditambah sifatnya yang jarang sekali bercanda—membuat Fabio sadar bahwa keadaan ini bukan hal remeh.Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya pada Rani.“Aku akan menemuimu,” kata Fabio lembut, suaranya seperti memohon.Rani buru-buru menggeleng. “Jangan,” tolaknya. Ia menggigit bibir sebelum melanjutkan, “Aku dengar, beberapa tetanggaku mulai menyadari keberadaan kamu. Maafkan aku, Kak. Tapi aku nggak yakin kita boleh bertemu untuk sementara waktu di rumahku.”Fabio mendesah panjang. Rasanya seperti seluruh dunia sengaja memisahkan mereka setiap kali ia mencoba meraih kebahagiaan.Mira kemudian menggiring Rani menuju mobil.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern dengan bangunan yang tinggi, terasa dingin, dan cukup mengintimidasi. Halaman depannya saja tampak jauh lebih rapi dan mewah dibanding seluruh lingkungan tempat tinggal Rani. Mira turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil untuk Rani dengan gerakan anggun khasnya. Rani menatap pantulan dirinya di kaca mobil—daster lusuh, rambut dijepit seadanya. Ketidakpercayaan melintas di wajahnya. Ia menelan ludah, merasa kecil di hadapan bangunan semegah itu. “Kenapa kita ke sini?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Anda akan tahu ketika masuk nanti,” jawab Mira, tak banyak ekspresi namun tatapannya seolah menilai kondisi Rani dengan hati-hati. Rani mengigit bibir, ragu untuk turun. “Kamu …, tidak ikut?” Mira menggeleng pendek. “Tidak. Saya hanya mengantar sampai sini saja.” Suaranya tetap datar dan profesional, seolah garis batas jelas sudah digambar di antara mer
Dada Rani benar-benar tercekat. Ia mematung, hanya bisa melihat bagaimana ibu mertuanya menarik gagang pintu dan membukanya tanpa sedikit pun keraguan. Begitu pintu terbuka, perasaan Rani jatuh mendadak—seolah tenggelam sampai dasar bumi.“Halo?” sapa Dina, ibu mertuanya, dengan suara dibuat-buat lembut.Rani terbelalak. Suara itu pasti bukan Fabio. Ia mendengar jawabannya sebelum sempat bernapas lega.“Halo, Bu.” Suara perempuan yang terdengar tegas dan familiar, jelas sekali bukan Fabio.Perlahan, Rani melongok dari belakang untuk memastikan dengan matanya sendiri.“Kamu siapa, ya?” tanya Dina dengan nada bingung yang berubah cepat menjadi nada menantang.“Saya Mira. Saya mencari Ibu Rani.” jawab perempuan itu, suaranya datar, dingin, tanpa basa-basi.Rani melihat ibu mertuanya menatap Mira dari ujung rambut hingga ujung kaki—tatapan khas Dina yang penuh penilaian. Mira berdiri tegap dengan ekspresi nyaris tak bergerak
Rani menegang seketika. Tenggorokannya kering, jantungnya berdegup sangat keras. Ia memandang Bima dengan tatapan horor, seolah tubuhnya terpasung di tempat.“Ini dari adikku. Rio. Katanya Ibu minta ketemu aku,” ucap Rani terbata, mencoba terdengar meyakinkan. Tapi nadanya bergetar. Bahkan ia sendiri bisa mendengar kebohongannya jelas-jelas.Di dalam hati, ia tahu, ini kebohongan yang sangat bodoh. Rasanya seperti menggali kubur sendiri.“Bohong!” Bima menggeram sambil melangkah maju tiba-tiba.Sebelum Rani sempat menjauh, tangan Bima meraih ponselnya dengan kasar. Tarikannya begitu keras sampai membuat pergelangan tangan Rani tersentak.“Kak, jangan—!” Rani spontan mencoba merebut ponselnya kembali. Satu langkah maju saja tapi Bima berbalik cepat, menantangnya dengan sorot mata gelap.“Apa? Mau ambil? Ambil coba!?” suaranya keras dan tajam, membuat nyali Rani langsung ciut.Rani membeku di tempat. Tubuhnya bergetar.
Rani sedang mengaduk tumisan di atas kompor ketika terdengar suara langkah berat dari ruang tamu. Ia menoleh, dan mendapati Bima muncul sambil membawa sebuah tas penuh pakaian. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu melemparkan tas tersebut ke meja begitu saja.Kaget, Rani buru-buru mematikan kompor dan berlari keluar dari dapur. Senyum yang semula muncul karena rindu langsung terbit begitu ia melihat suaminya pulang. Ia mengangkat kedua tangannya, ingin memeluk Bima—namun pelukan itu hanya menggantung di udara ketika Bima justru mendorongnya menjauh.“Masakin aku air panas. Aku mau mandi.”Nada Bima terdengar dingin dan datar tanpa sedikit pun sapaan.Rani tertegun. Senyumnya roboh seketika, meninggalkan gurat kecewa tipis di wajahnya. “Baik, kak ….” bisiknya pelan, mencoba terdengar biasa meski dadanya terasa mengembang sakit.Tanpa membalas apa pun, Bima menuju kursi ruang makan dan duduk, sementara Rani mengambil tas yang tadi dilempar dan mulai merapikan isi pakaian suaminya. Ia me
Rani berjalan keluar menuju tukang sayur komplek, langkahnya pelan namun mantap. Udara pagi masih lembap, dan matahari baru naik setengah. Kantong kecil berisi uang pemberian Fabio terasa berat di genggamannya—bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa malu yang ikut menempel.Setidaknya, dengan uang itu ia bisa bertahan sampai Bima pulang. Rani menarik napas panjang. Ia benci merasa dikasihani, tapi Fabio terus memaksa, dan ia benar-benar tidak punya pilihan lain.“Pagi, Mas,” sapanya pada Mas Yanto, tukang sayur yang keranjingan memutar lagu dangdut setiap pagi.“Loh, Bu Rani! Lama gak kelihatan,” sapa Bu RT yang tiba-tiba muncul sambil menggendong cucunya. Senyumnya hangat seperti biasa.“Pagi, Bu,” balas Rani sopan, sedikit membungkuk.“Gimana kabarnya, Rani?” tanya Bu RT sambil memilih tomat.“Baik, Bu. Ibu sendiri?” Rani menjawab sambil memilah buncis yang masih segar.“Wah, ibu mah seneng banget hari ini. Cucu ibu datang. Mamanya kerja, jadi nitip bentar,” ujar Bu RT sambil menga







