Beranda / Romansa / Hasrat Liar Sahabat Suami / 4. Nostalgia masa lalu

Share

4. Nostalgia masa lalu

Penulis: Cherry Blessem
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-27 16:24:13

Wajah Rani memerah. Tubuhnya memanas merasakan sengatan nostalgia yang kembali menyala.

Masa-masa indah ketika kuliah berusaha mengambil alih pikiranya.

Kala itu, Fabio merupakan mahasiswa berprestasi yang aktif berorganisasi dan rajin melakukan aksi kemanusiaan hingga luar negri. Prestasinya di bidang pendidikan sangat banyak dan mendulang sukses.

Masa itu, Fabio menjadi senior kampus yang punya banyak penggemar mahasiswi lintas fakultas karena sifatnya yang dingin, kaku, cuek namun sangat perhatian.

"Kamu pacaran sama Fabio, Ran?" Mega, sahabat dekat Rani sejak SMP tampak antusias saat muncul tiba-tiba di lorong kampus, mendapati Rani yang sedang memikul buku untuk menuju ruang kelas berikutnya.

Rani memandang Mega dengan kebingungan. "Hah?" responnya, bingung.

"Kamu pacaran, ya sama kak Fabio?" Mega mengulang pertanyaannya dengan lembut.

Rani terdiam sesaat untuk memproses kata-kata Mega. Ia kemudian menghembuskan nafas tawa. "Yang benar saja, Meg! Gak mungkin, lah."

"Oh, ya? Tapi lagi rame tuh. Katanya, kak Fabio nolak cewek FK karena lagi deket sama kamu." kata Mega dengan polos, menikmati wajah kaget Rani.

"Apa?!" Rani terkejut. "Gosip dari mana? Enggak, lah! Kak Fabio sama aku cuma partner belajar aja. Kebetulan Ibu Susan minta aku sama Kak Fabio buat satu proyek." lanjutnya menjelaskan.

Mega memandang Rani dengan tidak percaya. "Jadi kamu friendzone-in kak Fabio?!" Terlihat jelas Mega terguncang sambil menutup mulutnya tak percaya.

"Apaan sih, Meg! Emang gak ada apa-apa aku dengan Kak Fabio!" tegas Rani, memilih menghentikan pembicaraan dan meninggalkan Mega yang kemudian berlari menyusulnya.

Bukan hanya Mega yang berpikir demikian. Pembicaraan dengan Mega hanya permulaan dari kejadian serupa berikutnya yang mana hampir semua orang yang mengenal Rani menanyakan perihal yang sama.

Dari sanalah, Rani mulai goyah dan mempertanyakan kebenarannya.

Benarkah Fabio menyukainya?

Rani menggeleng. Pikiranya sudah berlebihan. Bagaimana bisa ia memikirkan orang lain saat ia sudah menikah.

Sambil berjalan menuju dapur, Rani memaki-maki dirinya yang sudah mengkhianati cinta suci pernikahannya dengan memikirkan Fabio.

Persetan dengan masa lalu.

Meskipun menyangkal, ada setitik dosa kecil yang mengintip dari celah hati Rani.

*

“Kamu kenal Rani dari mana, Bim?”

Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Fabio. Sejak tadi, ia menahannya di ujung lidah, mencoba menunggu momen yang tepat. Namun rasa ingin tahunya terlalu besar untuk diredam.

Bima yang sedang memutar gelas kopinya menoleh sebentar. Ekspresinya datar, tapi jemarinya menggenggam gagang cangkir terlalu erat.

“Dulu aku sering nongkrong di kafe tempat Rani kerja waktu kuliah,” jawabnya, berusaha santai. “Cuma langganan biasa aja. Gak lama, aku dikenalin sama temen ..., ya terus pacaran.”

Nada suaranya ringan, tapi ada jeda aneh di antara kalimatnya, seperti seseorang yang memilih kata dengan hati-hati agar tak salah langkah.

Fabio mengangguk pelan. Ia membaca lebih banyak dari sekadar kata. Ada nada posesif samar di balik kalimat itu, dan juga nada defensif yang sulit disembunyikan.

Rasa ingin tahunya justru semakin tumbuh seperti api kecil yang disiram bensin. Namun ia cukup bijak untuk tidak menekan lebih jauh. Ia tahu, satu kalimat saja bisa memantik ketegangan yang tak perlu.

“Rani itu dulu juniorku di kampus,” katanya kemudian, dengan nada lebih lembut, mencoba mencairkan suasana. “Dosenku sering banget minta aku kerja bareng dia. Anak itu cepat banget tanggapnya, rajin, dan jujur aja, dia paling pintar di angkatannya. Kadang aku sampai kagum. Banyak proyek yang kelar karena dia. Gara-gara itu juga aku bisa dapat kerja lebih cepat waktu lulus.”

Mata Fabio sedikit menerawang, suaranya berubah menjadi nostalgia yang tulus. Ada sesuatu dalam caranya menyebut nama Rani

Hangat, hati-hati, seperti seseorang yang masih menghormati kenangan lama.

Bima hanya tersenyum tipis. Namun senyum itu kaku, nyaris seperti garis yang dipaksakan di wajahnya. Ia memutar sendok di cangkir hingga menimbulkan bunyi logam yang berulang, ritmis tapi sarat kekesalan yang ditahan.

Bukan cemburu karena hubungan masa lalu, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam. Perasaan kecil di hadapan pria yang tampak lebih mapan, lebih berpendidikan, dan lebih tenang.

Bagi orang lain, Bima adalah suami yang ramah, percaya diri, dan sukses membangun citra diri. Tapi Fabio tahu, di balik itu semua, ada sisi rapuh yang mudah tersinggung oleh perbandingan—apalagi jika menyangkut Rani.

Fabio menyesap kopinya perlahan. Ia bisa merasakan jarak di antara mereka menebal. Ia lalu tersenyum, berusaha memecah ketegangan yang tak kasatmata.

“Oh iya,” ucapnya dengan nada lebih ringan, “aku mau ngundang kamu sama Rani ke acara syukuran rumahku minggu depan.”

Bima menatapnya, sedikit terkejut. “Serius? Beli rumah? Di mana?”

“Di dekat kantormu. Gak besar, tapi cukup nyaman buat singgah,” jawab Fabio sambil tersenyum kecil.

“Wah, tiba-tiba aja ya. Rencana balik ke Eropa lagi gak?” suara Bima meninggi setengah oktaf, antara kagum dan sinis.

“Udah, gak untuk sementara ini,” jawab Fabio santai. “Aku cuma pengin punya tempat sendiri di sini. Biar kalau balik Indonesia, gak perlu numpang keluarga terus. Rasanya lebih tenang punya rumah sendiri, tahu?”

Bima mengangguk pelan. “Iya... paham,” katanya, meski nada suaranya terdengar datar. Ia menegakkan punggungnya, mencoba menutupi getaran halus di dadanya—rasa iri yang tak ingin ia akui bahkan pada dirinya sendiri.

“Ya udah, nanti aku usahain datang,” tambahnya setelah jeda panjang.

Fabio tersenyum lega. “Ajak Rani juga, ya. Aku sekalian ngundang beberapa teman kuliah kita. Mungkin bisa sekalian reuni kecil-kecilan.”

“Hmm, boleh,” jawab Bima pendek. Tapi matanya tak lagi menatap Fabio. Pandangannya kosong, seperti sedang menimbang sesuatu yang tidak ia ucapkan.

Fabio mengangkat tangan kanannya untuk menengok jam. Mata Bima bisa menunjukkan sorot iri yang jelas sambil menyembunyikan wajahnya dengan meneguk cangkir terakhir kopinya.

Jam tangan mahal Fabio membuat Bima kepanasan.

"Bim, maaf. Aku gak bisa-bisa lama-lama. Aku harus ketemu orang buat ngurus acara syukuran rumah." kata Fabio, lanjut mengecek ponselnya.

"Loh, udah mau balik sekarang?" Bima memandang Fabio dengan terkejut.

Fabio hanya mengangguk. "Iya. Maaf ya, gak bisa lama-lama. Ada yang penting." katanya sambil membereskan barang-barangnya lalu bangkit berdiri.

Bima tersenyum lalu ikut bangkit untuk mengantar Fabio, menunjukan keramahan khas tuan rumah.

"Wah, cepat sekali. Lain kali, kita harus ketemuan lebih lama." Bima bercanda sambil menuntun Fabio ke depan rumah.

Alih-alih berjalan ke luar, Fabio malah memilih menuju tirai pembatas ruang tamu dan ruang keluarga.

Bima tahu tujuannya. Ia memandang Fabio dengan tak berarti namun berniat menghentikannya.

"Rani?" kata Fabio, menimbulkan tanya dan keterkejutan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   74. Tamu yang aneh

    Mendengar itu, Fabio refleks menarik tangan Rani, berniat membawanya menjauh sebelum hal buruk terjadi. Namun Mira cepat menahan lengan Rani, langkahnya mantap seperti biasa.“Sebaiknya Ibu Rani saya antar pulang, Pak,” ucap Mira tegas, tatapannya lurus pada Fabio.Fabio ingin membantah. Ada ketidaksukaan yang jelas di wajahnya. Tapi ekspresi Mira yang serius—ditambah sifatnya yang jarang sekali bercanda—membuat Fabio sadar bahwa keadaan ini bukan hal remeh.Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya pada Rani.“Aku akan menemuimu,” kata Fabio lembut, suaranya seperti memohon.Rani buru-buru menggeleng. “Jangan,” tolaknya. Ia menggigit bibir sebelum melanjutkan, “Aku dengar, beberapa tetanggaku mulai menyadari keberadaan kamu. Maafkan aku, Kak. Tapi aku nggak yakin kita boleh bertemu untuk sementara waktu di rumahku.”Fabio mendesah panjang. Rasanya seperti seluruh dunia sengaja memisahkan mereka setiap kali ia mencoba meraih kebahagiaan.Mira kemudian menggiring Rani menuju mobil.

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   73. pembicaraan rahasia

    Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern dengan bangunan yang tinggi, terasa dingin, dan cukup mengintimidasi. Halaman depannya saja tampak jauh lebih rapi dan mewah dibanding seluruh lingkungan tempat tinggal Rani. Mira turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil untuk Rani dengan gerakan anggun khasnya. Rani menatap pantulan dirinya di kaca mobil—daster lusuh, rambut dijepit seadanya. Ketidakpercayaan melintas di wajahnya. Ia menelan ludah, merasa kecil di hadapan bangunan semegah itu. “Kenapa kita ke sini?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Anda akan tahu ketika masuk nanti,” jawab Mira, tak banyak ekspresi namun tatapannya seolah menilai kondisi Rani dengan hati-hati. Rani mengigit bibir, ragu untuk turun. “Kamu …, tidak ikut?” Mira menggeleng pendek. “Tidak. Saya hanya mengantar sampai sini saja.” Suaranya tetap datar dan profesional, seolah garis batas jelas sudah digambar di antara mer

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   72. Secara tak terduga dijemput

    Dada Rani benar-benar tercekat. Ia mematung, hanya bisa melihat bagaimana ibu mertuanya menarik gagang pintu dan membukanya tanpa sedikit pun keraguan. Begitu pintu terbuka, perasaan Rani jatuh mendadak—seolah tenggelam sampai dasar bumi.“Halo?” sapa Dina, ibu mertuanya, dengan suara dibuat-buat lembut.Rani terbelalak. Suara itu pasti bukan Fabio. Ia mendengar jawabannya sebelum sempat bernapas lega.“Halo, Bu.” Suara perempuan yang terdengar tegas dan familiar, jelas sekali bukan Fabio.Perlahan, Rani melongok dari belakang untuk memastikan dengan matanya sendiri.“Kamu siapa, ya?” tanya Dina dengan nada bingung yang berubah cepat menjadi nada menantang.“Saya Mira. Saya mencari Ibu Rani.” jawab perempuan itu, suaranya datar, dingin, tanpa basa-basi.Rani melihat ibu mertuanya menatap Mira dari ujung rambut hingga ujung kaki—tatapan khas Dina yang penuh penilaian. Mira berdiri tegap dengan ekspresi nyaris tak bergerak

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   71. Tamu yang membuat sakit kepala

    Rani menegang seketika. Tenggorokannya kering, jantungnya berdegup sangat keras. Ia memandang Bima dengan tatapan horor, seolah tubuhnya terpasung di tempat.“Ini dari adikku. Rio. Katanya Ibu minta ketemu aku,” ucap Rani terbata, mencoba terdengar meyakinkan. Tapi nadanya bergetar. Bahkan ia sendiri bisa mendengar kebohongannya jelas-jelas.Di dalam hati, ia tahu, ini kebohongan yang sangat bodoh. Rasanya seperti menggali kubur sendiri.“Bohong!” Bima menggeram sambil melangkah maju tiba-tiba.Sebelum Rani sempat menjauh, tangan Bima meraih ponselnya dengan kasar. Tarikannya begitu keras sampai membuat pergelangan tangan Rani tersentak.“Kak, jangan—!” Rani spontan mencoba merebut ponselnya kembali. Satu langkah maju saja tapi Bima berbalik cepat, menantangnya dengan sorot mata gelap.“Apa? Mau ambil? Ambil coba!?” suaranya keras dan tajam, membuat nyali Rani langsung ciut.Rani membeku di tempat. Tubuhnya bergetar.

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   70. Bima yang kembali

    Rani sedang mengaduk tumisan di atas kompor ketika terdengar suara langkah berat dari ruang tamu. Ia menoleh, dan mendapati Bima muncul sambil membawa sebuah tas penuh pakaian. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu melemparkan tas tersebut ke meja begitu saja.Kaget, Rani buru-buru mematikan kompor dan berlari keluar dari dapur. Senyum yang semula muncul karena rindu langsung terbit begitu ia melihat suaminya pulang. Ia mengangkat kedua tangannya, ingin memeluk Bima—namun pelukan itu hanya menggantung di udara ketika Bima justru mendorongnya menjauh.“Masakin aku air panas. Aku mau mandi.”Nada Bima terdengar dingin dan datar tanpa sedikit pun sapaan.Rani tertegun. Senyumnya roboh seketika, meninggalkan gurat kecewa tipis di wajahnya. “Baik, kak ….” bisiknya pelan, mencoba terdengar biasa meski dadanya terasa mengembang sakit.Tanpa membalas apa pun, Bima menuju kursi ruang makan dan duduk, sementara Rani mengambil tas yang tadi dilempar dan mulai merapikan isi pakaian suaminya. Ia me

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   69. Ada yang mungkin memperhatikan?

    Rani berjalan keluar menuju tukang sayur komplek, langkahnya pelan namun mantap. Udara pagi masih lembap, dan matahari baru naik setengah. Kantong kecil berisi uang pemberian Fabio terasa berat di genggamannya—bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa malu yang ikut menempel.Setidaknya, dengan uang itu ia bisa bertahan sampai Bima pulang. Rani menarik napas panjang. Ia benci merasa dikasihani, tapi Fabio terus memaksa, dan ia benar-benar tidak punya pilihan lain.“Pagi, Mas,” sapanya pada Mas Yanto, tukang sayur yang keranjingan memutar lagu dangdut setiap pagi.“Loh, Bu Rani! Lama gak kelihatan,” sapa Bu RT yang tiba-tiba muncul sambil menggendong cucunya. Senyumnya hangat seperti biasa.“Pagi, Bu,” balas Rani sopan, sedikit membungkuk.“Gimana kabarnya, Rani?” tanya Bu RT sambil memilih tomat.“Baik, Bu. Ibu sendiri?” Rani menjawab sambil memilah buncis yang masih segar.“Wah, ibu mah seneng banget hari ini. Cucu ibu datang. Mamanya kerja, jadi nitip bentar,” ujar Bu RT sambil menga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status