LOGINWajah Rani memerah. Tubuhnya memanas merasakan sengatan nostalgia yang kembali menyala.
Masa-masa indah ketika kuliah berusaha mengambil alih pikiranya. Kala itu, Fabio merupakan mahasiswa berprestasi yang aktif berorganisasi dan rajin melakukan aksi kemanusiaan hingga luar negri. Prestasinya di bidang pendidikan sangat banyak dan mendulang sukses. Masa itu, Fabio menjadi senior kampus yang punya banyak penggemar mahasiswi lintas fakultas karena sifatnya yang dingin, kaku, cuek namun sangat perhatian. "Kamu pacaran sama Fabio, Ran?" Mega, sahabat dekat Rani sejak SMP tampak antusias saat muncul tiba-tiba di lorong kampus, mendapati Rani yang sedang memikul buku untuk menuju ruang kelas berikutnya. Rani memandang Mega dengan kebingungan. "Hah?" responnya, bingung. "Kamu pacaran, ya sama kak Fabio?" Mega mengulang pertanyaannya dengan lembut. Rani terdiam sesaat untuk memproses kata-kata Mega. Ia kemudian menghembuskan nafas tawa. "Yang benar saja, Meg! Gak mungkin, lah." "Oh, ya? Tapi lagi rame tuh. Katanya, kak Fabio nolak cewek FK karena lagi deket sama kamu." kata Mega dengan polos, menikmati wajah kaget Rani. "Apa?!" Rani terkejut. "Gosip dari mana? Enggak, lah! Kak Fabio sama aku cuma partner belajar aja. Kebetulan Ibu Susan minta aku sama Kak Fabio buat satu proyek." lanjutnya menjelaskan. Mega memandang Rani dengan tidak percaya. "Jadi kamu friendzone-in kak Fabio?!" Terlihat jelas Mega terguncang sambil menutup mulutnya tak percaya. "Apaan sih, Meg! Emang gak ada apa-apa aku dengan Kak Fabio!" tegas Rani, memilih menghentikan pembicaraan dan meninggalkan Mega yang kemudian berlari menyusulnya. Bukan hanya Mega yang berpikir demikian. Pembicaraan dengan Mega hanya permulaan dari kejadian serupa berikutnya yang mana hampir semua orang yang mengenal Rani menanyakan perihal yang sama. Dari sanalah, Rani mulai goyah dan mempertanyakan kebenarannya. Benarkah Fabio menyukainya? Rani menggeleng. Pikiranya sudah berlebihan. Bagaimana bisa ia memikirkan orang lain saat ia sudah menikah. Sambil berjalan menuju dapur, Rani memaki-maki dirinya yang sudah mengkhianati cinta suci pernikahannya dengan memikirkan Fabio. Persetan dengan masa lalu. Meskipun menyangkal, ada setitik dosa kecil yang mengintip dari celah hati Rani. * “Kamu kenal Rani dari mana, Bim?” Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Fabio. Sejak tadi, ia menahannya di ujung lidah, mencoba menunggu momen yang tepat. Namun rasa ingin tahunya terlalu besar untuk diredam. Bima yang sedang memutar gelas kopinya menoleh sebentar. Ekspresinya datar, tapi jemarinya menggenggam gagang cangkir terlalu erat. “Dulu aku sering nongkrong di kafe tempat Rani kerja waktu kuliah,” jawabnya, berusaha santai. “Cuma langganan biasa aja. Gak lama, aku dikenalin sama temen ..., ya terus pacaran.” Nada suaranya ringan, tapi ada jeda aneh di antara kalimatnya, seperti seseorang yang memilih kata dengan hati-hati agar tak salah langkah. Fabio mengangguk pelan. Ia membaca lebih banyak dari sekadar kata. Ada nada posesif samar di balik kalimat itu, dan juga nada defensif yang sulit disembunyikan. Rasa ingin tahunya justru semakin tumbuh seperti api kecil yang disiram bensin. Namun ia cukup bijak untuk tidak menekan lebih jauh. Ia tahu, satu kalimat saja bisa memantik ketegangan yang tak perlu. “Rani itu dulu juniorku di kampus,” katanya kemudian, dengan nada lebih lembut, mencoba mencairkan suasana. “Dosenku sering banget minta aku kerja bareng dia. Anak itu cepat banget tanggapnya, rajin, dan jujur aja, dia paling pintar di angkatannya. Kadang aku sampai kagum. Banyak proyek yang kelar karena dia. Gara-gara itu juga aku bisa dapat kerja lebih cepat waktu lulus.” Mata Fabio sedikit menerawang, suaranya berubah menjadi nostalgia yang tulus. Ada sesuatu dalam caranya menyebut nama Rani Hangat, hati-hati, seperti seseorang yang masih menghormati kenangan lama. Bima hanya tersenyum tipis. Namun senyum itu kaku, nyaris seperti garis yang dipaksakan di wajahnya. Ia memutar sendok di cangkir hingga menimbulkan bunyi logam yang berulang, ritmis tapi sarat kekesalan yang ditahan. Bukan cemburu karena hubungan masa lalu, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam. Perasaan kecil di hadapan pria yang tampak lebih mapan, lebih berpendidikan, dan lebih tenang. Bagi orang lain, Bima adalah suami yang ramah, percaya diri, dan sukses membangun citra diri. Tapi Fabio tahu, di balik itu semua, ada sisi rapuh yang mudah tersinggung oleh perbandingan—apalagi jika menyangkut Rani. Fabio menyesap kopinya perlahan. Ia bisa merasakan jarak di antara mereka menebal. Ia lalu tersenyum, berusaha memecah ketegangan yang tak kasatmata. “Oh iya,” ucapnya dengan nada lebih ringan, “aku mau ngundang kamu sama Rani ke acara syukuran rumahku minggu depan.” Bima menatapnya, sedikit terkejut. “Serius? Beli rumah? Di mana?” “Di dekat kantormu. Gak besar, tapi cukup nyaman buat singgah,” jawab Fabio sambil tersenyum kecil. “Wah, tiba-tiba aja ya. Rencana balik ke Eropa lagi gak?” suara Bima meninggi setengah oktaf, antara kagum dan sinis. “Udah, gak untuk sementara ini,” jawab Fabio santai. “Aku cuma pengin punya tempat sendiri di sini. Biar kalau balik Indonesia, gak perlu numpang keluarga terus. Rasanya lebih tenang punya rumah sendiri, tahu?” Bima mengangguk pelan. “Iya... paham,” katanya, meski nada suaranya terdengar datar. Ia menegakkan punggungnya, mencoba menutupi getaran halus di dadanya—rasa iri yang tak ingin ia akui bahkan pada dirinya sendiri. “Ya udah, nanti aku usahain datang,” tambahnya setelah jeda panjang. Fabio tersenyum lega. “Ajak Rani juga, ya. Aku sekalian ngundang beberapa teman kuliah kita. Mungkin bisa sekalian reuni kecil-kecilan.” “Hmm, boleh,” jawab Bima pendek. Tapi matanya tak lagi menatap Fabio. Pandangannya kosong, seperti sedang menimbang sesuatu yang tidak ia ucapkan. Fabio mengangkat tangan kanannya untuk menengok jam. Mata Bima bisa menunjukkan sorot iri yang jelas sambil menyembunyikan wajahnya dengan meneguk cangkir terakhir kopinya. Jam tangan mahal Fabio membuat Bima kepanasan. "Bim, maaf. Aku gak bisa-bisa lama-lama. Aku harus ketemu orang buat ngurus acara syukuran rumah." kata Fabio, lanjut mengecek ponselnya. "Loh, udah mau balik sekarang?" Bima memandang Fabio dengan terkejut. Fabio hanya mengangguk. "Iya. Maaf ya, gak bisa lama-lama. Ada yang penting." katanya sambil membereskan barang-barangnya lalu bangkit berdiri. Bima tersenyum lalu ikut bangkit untuk mengantar Fabio, menunjukan keramahan khas tuan rumah. "Wah, cepat sekali. Lain kali, kita harus ketemuan lebih lama." Bima bercanda sambil menuntun Fabio ke depan rumah. Alih-alih berjalan ke luar, Fabio malah memilih menuju tirai pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Bima tahu tujuannya. Ia memandang Fabio dengan tak berarti namun berniat menghentikannya. "Rani?" kata Fabio, menimbulkan tanya dan keterkejutan.“Kamu tidak apa-apa?” Hal pertama yang terlihat olehnya adalah wajah Fabio yang hanya sejengkal dari wajahnya, menatapnya khawatir.Wajah Rani memerah, ia masih terpesona sesaat hingga seluruh indranya terasa mati. Ekor matanya lantas menengok Bima yang tampak shock dari jauh. Dengan terburu-buru, Rani mendorong Fabio, memperbaiki posisinya.“Ba—baik,” jawab Rani kontras dengan perasaannya yang kini acak kadut. Dadanya berdebar kencang entah karena terpesona atau ketakutan melihat Bima yang shock.Pelayan yang bertabrakan dengannya tampak panik sambil memunguti pecahan gelas, berusaha meminta maaf padanya."Ma—maafkan saya, Bu. Saya tidak sengaja," Ia tampak gemetar sambil memungut gelas di lantai.Rani masih merasakan debaran di dadanya karena kejadian barusan. Ia sampai tidak mendengar permintaan maaf pelayan. Pikirannya kosong dan hanya terjadi pengulangan kejadian yang baruan.“Kamu yakin?” Fabio terdengar khawatir, mendekati Rani. Raut wajahnya yang kaku terlihat melunak.Rani me
“Fab!” seru seseorang dari belakang. Fabio menoleh dan langsung tersenyum. “Revan! Wah, lama banget!” Mereka berpelukan hangat, tawa kecil pecah di antara mereka. “Gila, udah kayak reuni aja nih,” celetuk Revan. Fabio terkekeh. “Emang, kebetulan banget semuanya ngumpul.” “Rani?” suara lain memanggil, menyusul datangnya Revan. Doni—teman kuliah Rani yang lain—melambaikan tangan, tampak tak percaya. Rani terkejut tapi senang. “Hai, Don! Masih inget aku, gak?” Revan menepuk bahunya. “Gila, masa lupa. Sok banget, kamu.” Tawa mereka meledak. Fabio memperhatikan Rani yang tertawa lepas—senyum yang sudah lama tak ia lihat sejak terakhir mereka berpisah dulu. Bahkan kemarin, tersenyum pun Rani tampak tertekan. “Eh, hei!” suara riang memotong. Seorang perempuan hamil muncul membawa aura cerah. “Elen!” seru mereka hampir bersamaan. Rani segera memeluknya. “Astaga, kamu udah tujuh bulan ya? Cantik banget, Len.” Elen tertawa kecil. “Kamu juga masih sama, Ran. Cantik terus!"
Rani kemudian menaiki motor dengan diam meskipun seleranya sudah hilang. Sungguh malas rasanya jika harus berdebat dengan Bima untuk hal seperti ini. Sepanjang jalan, Bima terus komplain karena menurut estimasi waktu, mereka sudah terlambat lima belas menit. Bima menyalahkan Rani yang tidak bisa mengatur waktu dan mengurusnya untuk pergi ke acara. Sepanjang jalan, telinga Rani di sakiti oleh kemarahan Bima yang tidak penting. Beruntung, suara angin di atas motor menyamarkan rata-rata ucapan Bima. Sesampainya di tempat acara, Bima menyuruh Rani turun sambil mencari tempat parkir. "Ayo, masuk." kata Bima berlenggang pergi meninggalkan Rani. Rani tampaknya ingin digandeng seperti tamu-tamu yang datang berpasangan namun Bima tampak menolaknya. Alih-alih memikirkannya, Rani memilih untuk melihat-lihat sekitar. Rumah Fabio tampak besar dengan halaman yang luas. Yah, setara dengan kerja keras yang ia lakukan selama ini pastinya. "Mas Bima." sapa seorang wanita muda pada Bima. R
Setelah pertemuan dengan Fabio, Bima tampaknya memiliki ide baru untuk mengkritik Rani. Sekarang, apapun yang Rani lakukan akan dianggap Bima sebagai upaya "mencari perhatian Fabio". Rani sendiri bahkan jadi muak mendengarnya namun tentu ia tidak mau ambil pusing. Biarkan saja mulut Bima berkicau sepuasnya. "Kak, udah jam tiga. Gih, siap sana! Nanti kita telat ke acaranya Kak Fabio." kata Rani sambil mencuci wajan yang barusan dia pakai memasak. Bima yang baru bangun tidur menguap dengan lebar sambil memandang Rani malas. Tatapannya penuh curiga dan siap sedia mencari masalah. "Buru-buru banget! Kangen kah sama Fabio?" Heran Bima, menyindir Rani sambil menduduki kursi di meja makan. Rani menghela nafas berat. "Kak. Kan kakak sendiri yang minta biar gak telat, diingetin!" kata Rani penuh penekanan di akhir. "Alah! Alesan banget! Sengaja banget pengen ketemu Fabio." Bima membalas penuh tuduhan. Rani menjadi kesal. "Ya, sudahlah. Tidak usah pergilah, kita." Mendengar anca
Rani terkejut mematung kala wajah Fabio muncul begitu tiba-tiba dari balik tirai, hanya beberapa inci dari wajahnya saat ia hendak melangkah keluar menuju ruang tamu. “Kakak!” serunya spontan, tubuhnya sedikit melompat mundur karena kaget hampir menabrak Fabio. Fabio yang tak kalah terkejut segera menyingkir satu langkah ke belakang. Ia menatap Rani dengan wajah yang lembut, suaranya tenang seperti biasa. “Oh, maaf! Aku mau pamit pulang,” ujarnya sopan, seolah khawatir telah membuat Rani terkejut setengah mati. Rani berdiri canggung, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya. Ia sempat melirik sekilas ke arah ruang tamu—ke arah Bima yang duduk sambil memperhatikan mereka. “Tidak apa-apa, Kak,” ucapnya cepat, senyum tipis terukir di bibirnya. “Maaf juga, aku yang nggak lihat tadi.” Fabio tersenyum kecil, senyum yang menenangkan sekaligus menimbulkan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dalam dada Rani. “Tidak apa-apa,” katanya lembut. “Nanti, datang ya ke acara syukuran
Wajah Rani memerah. Tubuhnya memanas merasakan sengatan nostalgia yang kembali menyala. Masa-masa indah ketika kuliah berusaha mengambil alih pikiranya. Kala itu, Fabio merupakan mahasiswa berprestasi yang aktif berorganisasi dan rajin melakukan aksi kemanusiaan hingga luar negri. Prestasinya di bidang pendidikan sangat banyak dan mendulang sukses. Masa itu, Fabio menjadi senior kampus yang punya banyak penggemar mahasiswi lintas fakultas karena sifatnya yang dingin, kaku, cuek namun sangat perhatian. "Kamu pacaran sama Fabio, Ran?" Mega, sahabat dekat Rani sejak SMP tampak antusias saat muncul tiba-tiba di lorong kampus, mendapati Rani yang sedang memikul buku untuk menuju ruang kelas berikutnya. Rani memandang Mega dengan kebingungan. "Hah?" responnya, bingung. "Kamu pacaran, ya sama kak Fabio?" Mega mengulang pertanyaannya dengan lembut. Rani terdiam sesaat untuk memproses kata-kata Mega. Ia kemudian menghembuskan nafas tawa. "Yang benar saja, Meg! Gak mungkin, lah."







