Share

2. Tamu suamiku

last update Last Updated: 2025-10-27 16:24:01

"Ada apa?" Dina tampak terkejut dengan sikap putranya.

Melihat ibunya yang terkejut, Bima segera mengklarifikasi dengan canggung. "Anu, temenku dari Eropa mau datang ke rumah." jawabnya.

"Kamu punya temen dari Eropa?" tanya Dina dengan wajah bangga yang jelas. Bagi orang-orang seperti Dina, punya teman dari luar negeri merupakan sebuah kelas.

"Iya. Dia orang Indonesia. Diplomat. Baru balik lagi kesini." Bima menjawab sambil tetap membalas pesan di ponselnya.

"Oh, baguslah! Keren banget kamu bisa temenan sama Diplomat." Dina tampak bangga. Ia kemudian melirik Rani dengan meremehkan. "Kamu ini ya, pinter nyari temen tapi gak pinter nyari istri."

Sepertinya, Dina sangat berkomitmen untuk menunjukkan kekecewaannya pada Rani.

Daripada menjawab dan membuat kekacauan, Rani memilih diam saja. Ingin rasanya sesekali menjawab Dina dengan lantang dan menantang. Namun, itu tidak berguna. Toh, pada akhirnya dirinyalah yang disalahkan.

"Ran, besok temenku mau Dateng. Pastiin rumah bersih dan siapin makanan yang enak. Aku harus nunjukin juga kalau aku ini punya gengsi." kata Bima setelah menyimpan ponselnya di meja lalu duduk kembali.

"Iya, mas." jawabnya segera.

Dina memandang Rani menilai. "Beresin rumah yang bener. Itu di luar kotor banget. Kamu gak pernah nyapu, ya? Sama itu juga, bunga-bunganya kenapa pada layu? Kamu gak pernah beres-beres, ya? Kamu loh, dirumah mulu kerjanya. Gak ada gunanya banget! Cuma tidur-tidur aja kerjanya, ya?" Dina lanjut mengomel.

Selain mengunjungi Bima, Dina tampaknya senang sekali membuat Rani tertekan.

"Aku beresin kok, Bu. Cuma kemarin sibuk aja aku. Ada arisan sama acara keluarganya sepupu kak Bima." Rani menjelaskan.

Dina tampak mengeluh. Jawaban Rani bukanlah apa yang ia ingin dengar. "Alah! Alasan saja, kamu! Kamu emang dasarnya males aja."

Rani terdiam. Gemas juga lama-lama. Namun lagi, ia tak mau ambil resiko sebab Rani tau betul segila apa Bima dan ibu mertuanya.

Dina lalu berdiri dan mengambil tasnya lagi. Ia memandang Rani dan Bima bergantian lalu menunjuk lemari perabotan dapur.

"Kamu gak liat ya, itu lemari udah tua dan udah banyak debu tapi gak kamu beresin. Di ruang tamu juga dindingnya banyak debu. Kamu bisa kerja gak, sih?" Komentarnya lagi. "Besok, kamu wajib beresin semua tetek bengek ini. Saya mau cek nanti. Awas aja kalau gak kamu kerjain dengan bener." lanjutnya sambil berkacak pinggang.

"Baik, Bu." Rani menjawab dengan tenang walaupun kepalanya pusing dengan perkataan ibu mertuanya.

"Mau kemana, Bu?" Bima terkejut melihat ibunya sudah berjalan memutar meja, jelas akan pergi.

"Ibu mau ke rumah Bu Fatimah. Ada arisan disana." jawab Dina tanpa menoleh.

Rani dan Bima langsung bangkit dan mengantar perempuan itu ke depan pintu.

"Mau Bima anterin gak, Bu?" tawar Bima sambil bangkit dari duduknya untuk menyusul.

"Gak usah. Ibu mau naik ojek aja. Kamu ajarin aja si Rani biar bisa jadi istri yang bener. Sama, ngomong juga kapan mau punya anak. Kalau gak ada kabar juga, aku seret kalian ke dokter!" tolak Dina dengan nada mengancam di akhir.

Rani tampak takut-takut dengan ancaman itu sebab Bima mengatakan bahwa Rani ada kemungkinan mandul. Ia sengaja tak ingin membawa Rani pergi ke dokter untuk menjaga harga diri istrinya.

Bagi Bima, jika terbukti dugaan bahwa Rani tidak bisa mempunyai anak, maka itu akan mempermalukan harga dirinya dan terlebih menjelekkan Rani.

Sejujurnya, kata-kata Bima membuat Rani merasa makin jatuh cinta pada Bima sebab keinginan Bima yang begitu kuat untuk melindungi hatinya.

Namun, mengapa Rani tidak merasakan itu? Apakah ia tidak bersyukur karena perlindungan Bima?

*

Keesokan harinya, Rani telah bangun pagi-pagi sekali untuk membersihkan rumahnya. Memiliki mertua seperti Dina tampak jelas membuat Rani jadi lebih detail dalam memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan.

Terbukti, dalam sehari saja kemampuan bersih-bersih Rani membuat rumah itu terlihat sangat rapih.

"Temen kamu datangnya jam berapa, Kak?" Rani bertanya tanpa memandang Bima yang baru keluar dari kamar.

Bima baru bangun sedangkan Rani sudah mengganti kesibukannya beberapa kali hari ini.

"Sore. Jam tigaan, lah." jawabnya sambil menguap kemudian berlalu.

Waktu pun berlalu dan Bima mulai bersiap menyambut tamunya, diikuti Rani yang telah selesai memasak dan siap untuk menjamu tamu.

Tak lama, terdengar suara mobil yang diparkir. Bima keluar dan menyapa tamunya sambil menuntun masuk ke dalam rumah.

Rani sedikit gelisah sebab rumahnya hanya berisi sofa dan meja yang jelek. Hiasan dinding bahkan sudah tak ada sebab Bima kerap membanting dan menghancurkan barangnya tiap marah.

Rani hanya bisa berharap tamunya tak memandang rendah mereka karena penampilan rumahnya yang kosong namun menghargai jamuan yang akan Rani siapkan serta pelayanannya.

Meskipun Rani hanya istri rumah tangga biasa, Rani punya kemampuan memasak yang baik.

"Buatin kopi dua. Jangan lupa sama kudapan apa gitu." kata Bima yang tiba-tiba muncul dari balik tirai pembatas ruang tamu dan ruang makan.

Rani mengangguk dan dengan cekatan langsung mempersiapkan apa yang dipinta suaminya dengan elegan.

Setelah siap segalanya, Rani tersenyum dan langsung membawa segala yang sudah ia siapkan untuk disajikan pada tamu.

Rani menunduk memperhatikan langkahnya dan membawa minuman dengan hati-hati. Ia kemudian menunduk dan menyajikan kopi tanpa menoleh.

"Rani?" Suara familiar menyapanya. Rani kemudian mengangkat wajahnya setelah menyajikan minuman.

Ia tampak terkejut memandang sang pemilik suara. Sebuah getaran asing yang sudah lama ia rasakan mendadak menekannya dengan keras.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   74. Tamu yang aneh

    Mendengar itu, Fabio refleks menarik tangan Rani, berniat membawanya menjauh sebelum hal buruk terjadi. Namun Mira cepat menahan lengan Rani, langkahnya mantap seperti biasa.“Sebaiknya Ibu Rani saya antar pulang, Pak,” ucap Mira tegas, tatapannya lurus pada Fabio.Fabio ingin membantah. Ada ketidaksukaan yang jelas di wajahnya. Tapi ekspresi Mira yang serius—ditambah sifatnya yang jarang sekali bercanda—membuat Fabio sadar bahwa keadaan ini bukan hal remeh.Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya pada Rani.“Aku akan menemuimu,” kata Fabio lembut, suaranya seperti memohon.Rani buru-buru menggeleng. “Jangan,” tolaknya. Ia menggigit bibir sebelum melanjutkan, “Aku dengar, beberapa tetanggaku mulai menyadari keberadaan kamu. Maafkan aku, Kak. Tapi aku nggak yakin kita boleh bertemu untuk sementara waktu di rumahku.”Fabio mendesah panjang. Rasanya seperti seluruh dunia sengaja memisahkan mereka setiap kali ia mencoba meraih kebahagiaan.Mira kemudian menggiring Rani menuju mobil.

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   73. pembicaraan rahasia

    Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern dengan bangunan yang tinggi, terasa dingin, dan cukup mengintimidasi. Halaman depannya saja tampak jauh lebih rapi dan mewah dibanding seluruh lingkungan tempat tinggal Rani. Mira turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil untuk Rani dengan gerakan anggun khasnya. Rani menatap pantulan dirinya di kaca mobil—daster lusuh, rambut dijepit seadanya. Ketidakpercayaan melintas di wajahnya. Ia menelan ludah, merasa kecil di hadapan bangunan semegah itu. “Kenapa kita ke sini?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Anda akan tahu ketika masuk nanti,” jawab Mira, tak banyak ekspresi namun tatapannya seolah menilai kondisi Rani dengan hati-hati. Rani mengigit bibir, ragu untuk turun. “Kamu …, tidak ikut?” Mira menggeleng pendek. “Tidak. Saya hanya mengantar sampai sini saja.” Suaranya tetap datar dan profesional, seolah garis batas jelas sudah digambar di antara mer

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   72. Secara tak terduga dijemput

    Dada Rani benar-benar tercekat. Ia mematung, hanya bisa melihat bagaimana ibu mertuanya menarik gagang pintu dan membukanya tanpa sedikit pun keraguan. Begitu pintu terbuka, perasaan Rani jatuh mendadak—seolah tenggelam sampai dasar bumi.“Halo?” sapa Dina, ibu mertuanya, dengan suara dibuat-buat lembut.Rani terbelalak. Suara itu pasti bukan Fabio. Ia mendengar jawabannya sebelum sempat bernapas lega.“Halo, Bu.” Suara perempuan yang terdengar tegas dan familiar, jelas sekali bukan Fabio.Perlahan, Rani melongok dari belakang untuk memastikan dengan matanya sendiri.“Kamu siapa, ya?” tanya Dina dengan nada bingung yang berubah cepat menjadi nada menantang.“Saya Mira. Saya mencari Ibu Rani.” jawab perempuan itu, suaranya datar, dingin, tanpa basa-basi.Rani melihat ibu mertuanya menatap Mira dari ujung rambut hingga ujung kaki—tatapan khas Dina yang penuh penilaian. Mira berdiri tegap dengan ekspresi nyaris tak bergerak

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   71. Tamu yang membuat sakit kepala

    Rani menegang seketika. Tenggorokannya kering, jantungnya berdegup sangat keras. Ia memandang Bima dengan tatapan horor, seolah tubuhnya terpasung di tempat.“Ini dari adikku. Rio. Katanya Ibu minta ketemu aku,” ucap Rani terbata, mencoba terdengar meyakinkan. Tapi nadanya bergetar. Bahkan ia sendiri bisa mendengar kebohongannya jelas-jelas.Di dalam hati, ia tahu, ini kebohongan yang sangat bodoh. Rasanya seperti menggali kubur sendiri.“Bohong!” Bima menggeram sambil melangkah maju tiba-tiba.Sebelum Rani sempat menjauh, tangan Bima meraih ponselnya dengan kasar. Tarikannya begitu keras sampai membuat pergelangan tangan Rani tersentak.“Kak, jangan—!” Rani spontan mencoba merebut ponselnya kembali. Satu langkah maju saja tapi Bima berbalik cepat, menantangnya dengan sorot mata gelap.“Apa? Mau ambil? Ambil coba!?” suaranya keras dan tajam, membuat nyali Rani langsung ciut.Rani membeku di tempat. Tubuhnya bergetar.

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   70. Bima yang kembali

    Rani sedang mengaduk tumisan di atas kompor ketika terdengar suara langkah berat dari ruang tamu. Ia menoleh, dan mendapati Bima muncul sambil membawa sebuah tas penuh pakaian. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu melemparkan tas tersebut ke meja begitu saja.Kaget, Rani buru-buru mematikan kompor dan berlari keluar dari dapur. Senyum yang semula muncul karena rindu langsung terbit begitu ia melihat suaminya pulang. Ia mengangkat kedua tangannya, ingin memeluk Bima—namun pelukan itu hanya menggantung di udara ketika Bima justru mendorongnya menjauh.“Masakin aku air panas. Aku mau mandi.”Nada Bima terdengar dingin dan datar tanpa sedikit pun sapaan.Rani tertegun. Senyumnya roboh seketika, meninggalkan gurat kecewa tipis di wajahnya. “Baik, kak ….” bisiknya pelan, mencoba terdengar biasa meski dadanya terasa mengembang sakit.Tanpa membalas apa pun, Bima menuju kursi ruang makan dan duduk, sementara Rani mengambil tas yang tadi dilempar dan mulai merapikan isi pakaian suaminya. Ia me

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   69. Ada yang mungkin memperhatikan?

    Rani berjalan keluar menuju tukang sayur komplek, langkahnya pelan namun mantap. Udara pagi masih lembap, dan matahari baru naik setengah. Kantong kecil berisi uang pemberian Fabio terasa berat di genggamannya—bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa malu yang ikut menempel.Setidaknya, dengan uang itu ia bisa bertahan sampai Bima pulang. Rani menarik napas panjang. Ia benci merasa dikasihani, tapi Fabio terus memaksa, dan ia benar-benar tidak punya pilihan lain.“Pagi, Mas,” sapanya pada Mas Yanto, tukang sayur yang keranjingan memutar lagu dangdut setiap pagi.“Loh, Bu Rani! Lama gak kelihatan,” sapa Bu RT yang tiba-tiba muncul sambil menggendong cucunya. Senyumnya hangat seperti biasa.“Pagi, Bu,” balas Rani sopan, sedikit membungkuk.“Gimana kabarnya, Rani?” tanya Bu RT sambil memilih tomat.“Baik, Bu. Ibu sendiri?” Rani menjawab sambil memilah buncis yang masih segar.“Wah, ibu mah seneng banget hari ini. Cucu ibu datang. Mamanya kerja, jadi nitip bentar,” ujar Bu RT sambil menga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status