LOGIN"Ada apa?" Dina tampak terkejut dengan sikap putranya.
Melihat ibunya yang terkejut, Bima segera mengklarifikasi dengan canggung. "Anu, temenku dari Eropa mau datang ke rumah." jawabnya. "Kamu punya temen dari Eropa?" tanya Dina dengan wajah bangga yang jelas. Bagi orang-orang seperti Dina, punya teman dari luar negeri merupakan sebuah kelas. "Iya. Dia orang Indonesia. Diplomat. Baru balik lagi kesini." Bima menjawab sambil tetap membalas pesan di ponselnya. "Oh, baguslah! Keren banget kamu bisa temenan sama Diplomat." Dina tampak bangga. Ia kemudian melirik Rani dengan meremehkan. "Kamu ini ya, pinter nyari temen tapi gak pinter nyari istri." Sepertinya, Dina sangat berkomitmen untuk menunjukkan kekecewaannya pada Rani. Daripada menjawab dan membuat kekacauan, Rani memilih diam saja. Ingin rasanya sesekali menjawab Dina dengan lantang dan menantang. Namun, itu tidak berguna. Toh, pada akhirnya dirinyalah yang disalahkan. "Ran, besok temenku mau Dateng. Pastiin rumah bersih dan siapin makanan yang enak. Aku harus nunjukin juga kalau aku ini punya gengsi." kata Bima setelah menyimpan ponselnya di meja lalu duduk kembali. "Iya, mas." jawabnya segera. Dina memandang Rani menilai. "Beresin rumah yang bener. Itu di luar kotor banget. Kamu gak pernah nyapu, ya? Sama itu juga, bunga-bunganya kenapa pada layu? Kamu gak pernah beres-beres, ya? Kamu loh, dirumah mulu kerjanya. Gak ada gunanya banget! Cuma tidur-tidur aja kerjanya, ya?" Dina lanjut mengomel. Selain mengunjungi Bima, Dina tampaknya senang sekali membuat Rani tertekan. "Aku beresin kok, Bu. Cuma kemarin sibuk aja aku. Ada arisan sama acara keluarganya sepupu kak Bima." Rani menjelaskan. Dina tampak mengeluh. Jawaban Rani bukanlah apa yang ia ingin dengar. "Alah! Alasan saja, kamu! Kamu emang dasarnya males aja." Rani terdiam. Gemas juga lama-lama. Namun lagi, ia tak mau ambil resiko sebab Rani tau betul segila apa Bima dan ibu mertuanya. Dina lalu berdiri dan mengambil tasnya lagi. Ia memandang Rani dan Bima bergantian lalu menunjuk lemari perabotan dapur. "Kamu gak liat ya, itu lemari udah tua dan udah banyak debu tapi gak kamu beresin. Di ruang tamu juga dindingnya banyak debu. Kamu bisa kerja gak, sih?" Komentarnya lagi. "Besok, kamu wajib beresin semua tetek bengek ini. Saya mau cek nanti. Awas aja kalau gak kamu kerjain dengan bener." lanjutnya sambil berkacak pinggang. "Baik, Bu." Rani menjawab dengan tenang walaupun kepalanya pusing dengan perkataan ibu mertuanya. "Mau kemana, Bu?" Bima terkejut melihat ibunya sudah berjalan memutar meja, jelas akan pergi. "Ibu mau ke rumah Bu Fatimah. Ada arisan disana." jawab Dina tanpa menoleh. Rani dan Bima langsung bangkit dan mengantar perempuan itu ke depan pintu. "Mau Bima anterin gak, Bu?" tawar Bima sambil bangkit dari duduknya untuk menyusul. "Gak usah. Ibu mau naik ojek aja. Kamu ajarin aja si Rani biar bisa jadi istri yang bener. Sama, ngomong juga kapan mau punya anak. Kalau gak ada kabar juga, aku seret kalian ke dokter!" tolak Dina dengan nada mengancam di akhir. Rani tampak takut-takut dengan ancaman itu sebab Bima mengatakan bahwa Rani ada kemungkinan mandul. Ia sengaja tak ingin membawa Rani pergi ke dokter untuk menjaga harga diri istrinya. Bagi Bima, jika terbukti dugaan bahwa Rani tidak bisa mempunyai anak, maka itu akan mempermalukan harga dirinya dan terlebih menjelekkan Rani. Sejujurnya, kata-kata Bima membuat Rani merasa makin jatuh cinta pada Bima sebab keinginan Bima yang begitu kuat untuk melindungi hatinya. Namun, mengapa Rani tidak merasakan itu? Apakah ia tidak bersyukur karena perlindungan Bima? * Keesokan harinya, Rani telah bangun pagi-pagi sekali untuk membersihkan rumahnya. Memiliki mertua seperti Dina tampak jelas membuat Rani jadi lebih detail dalam memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan. Terbukti, dalam sehari saja kemampuan bersih-bersih Rani membuat rumah itu terlihat sangat rapih. "Temen kamu datangnya jam berapa, Kak?" Rani bertanya tanpa memandang Bima yang baru keluar dari kamar. Bima baru bangun sedangkan Rani sudah mengganti kesibukannya beberapa kali hari ini. "Sore. Jam tigaan, lah." jawabnya sambil menguap kemudian berlalu. Waktu pun berlalu dan Bima mulai bersiap menyambut tamunya, diikuti Rani yang telah selesai memasak dan siap untuk menjamu tamu. Tak lama, terdengar suara mobil yang diparkir. Bima keluar dan menyapa tamunya sambil menuntun masuk ke dalam rumah. Rani sedikit gelisah sebab rumahnya hanya berisi sofa dan meja yang jelek. Hiasan dinding bahkan sudah tak ada sebab Bima kerap membanting dan menghancurkan barangnya tiap marah. Rani hanya bisa berharap tamunya tak memandang rendah mereka karena penampilan rumahnya yang kosong namun menghargai jamuan yang akan Rani siapkan serta pelayanannya. Meskipun Rani hanya istri rumah tangga biasa, Rani punya kemampuan memasak yang baik. "Buatin kopi dua. Jangan lupa sama kudapan apa gitu." kata Bima yang tiba-tiba muncul dari balik tirai pembatas ruang tamu dan ruang makan. Rani mengangguk dan dengan cekatan langsung mempersiapkan apa yang dipinta suaminya dengan elegan. Setelah siap segalanya, Rani tersenyum dan langsung membawa segala yang sudah ia siapkan untuk disajikan pada tamu. Rani menunduk memperhatikan langkahnya dan membawa minuman dengan hati-hati. Ia kemudian menunduk dan menyajikan kopi tanpa menoleh. "Rani?" Suara familiar menyapanya. Rani kemudian mengangkat wajahnya setelah menyajikan minuman. Ia tampak terkejut memandang sang pemilik suara. Sebuah getaran asing yang sudah lama ia rasakan mendadak menekannya dengan keras.“Kamu tidak apa-apa?” Hal pertama yang terlihat olehnya adalah wajah Fabio yang hanya sejengkal dari wajahnya, menatapnya khawatir.Wajah Rani memerah, ia masih terpesona sesaat hingga seluruh indranya terasa mati. Ekor matanya lantas menengok Bima yang tampak shock dari jauh. Dengan terburu-buru, Rani mendorong Fabio, memperbaiki posisinya.“Ba—baik,” jawab Rani kontras dengan perasaannya yang kini acak kadut. Dadanya berdebar kencang entah karena terpesona atau ketakutan melihat Bima yang shock.Pelayan yang bertabrakan dengannya tampak panik sambil memunguti pecahan gelas, berusaha meminta maaf padanya."Ma—maafkan saya, Bu. Saya tidak sengaja," Ia tampak gemetar sambil memungut gelas di lantai.Rani masih merasakan debaran di dadanya karena kejadian barusan. Ia sampai tidak mendengar permintaan maaf pelayan. Pikirannya kosong dan hanya terjadi pengulangan kejadian yang baruan.“Kamu yakin?” Fabio terdengar khawatir, mendekati Rani. Raut wajahnya yang kaku terlihat melunak.Rani me
“Fab!” seru seseorang dari belakang. Fabio menoleh dan langsung tersenyum. “Revan! Wah, lama banget!” Mereka berpelukan hangat, tawa kecil pecah di antara mereka. “Gila, udah kayak reuni aja nih,” celetuk Revan. Fabio terkekeh. “Emang, kebetulan banget semuanya ngumpul.” “Rani?” suara lain memanggil, menyusul datangnya Revan. Doni—teman kuliah Rani yang lain—melambaikan tangan, tampak tak percaya. Rani terkejut tapi senang. “Hai, Don! Masih inget aku, gak?” Revan menepuk bahunya. “Gila, masa lupa. Sok banget, kamu.” Tawa mereka meledak. Fabio memperhatikan Rani yang tertawa lepas—senyum yang sudah lama tak ia lihat sejak terakhir mereka berpisah dulu. Bahkan kemarin, tersenyum pun Rani tampak tertekan. “Eh, hei!” suara riang memotong. Seorang perempuan hamil muncul membawa aura cerah. “Elen!” seru mereka hampir bersamaan. Rani segera memeluknya. “Astaga, kamu udah tujuh bulan ya? Cantik banget, Len.” Elen tertawa kecil. “Kamu juga masih sama, Ran. Cantik terus!"
Rani kemudian menaiki motor dengan diam meskipun seleranya sudah hilang. Sungguh malas rasanya jika harus berdebat dengan Bima untuk hal seperti ini. Sepanjang jalan, Bima terus komplain karena menurut estimasi waktu, mereka sudah terlambat lima belas menit. Bima menyalahkan Rani yang tidak bisa mengatur waktu dan mengurusnya untuk pergi ke acara. Sepanjang jalan, telinga Rani di sakiti oleh kemarahan Bima yang tidak penting. Beruntung, suara angin di atas motor menyamarkan rata-rata ucapan Bima. Sesampainya di tempat acara, Bima menyuruh Rani turun sambil mencari tempat parkir. "Ayo, masuk." kata Bima berlenggang pergi meninggalkan Rani. Rani tampaknya ingin digandeng seperti tamu-tamu yang datang berpasangan namun Bima tampak menolaknya. Alih-alih memikirkannya, Rani memilih untuk melihat-lihat sekitar. Rumah Fabio tampak besar dengan halaman yang luas. Yah, setara dengan kerja keras yang ia lakukan selama ini pastinya. "Mas Bima." sapa seorang wanita muda pada Bima. R
Setelah pertemuan dengan Fabio, Bima tampaknya memiliki ide baru untuk mengkritik Rani. Sekarang, apapun yang Rani lakukan akan dianggap Bima sebagai upaya "mencari perhatian Fabio". Rani sendiri bahkan jadi muak mendengarnya namun tentu ia tidak mau ambil pusing. Biarkan saja mulut Bima berkicau sepuasnya. "Kak, udah jam tiga. Gih, siap sana! Nanti kita telat ke acaranya Kak Fabio." kata Rani sambil mencuci wajan yang barusan dia pakai memasak. Bima yang baru bangun tidur menguap dengan lebar sambil memandang Rani malas. Tatapannya penuh curiga dan siap sedia mencari masalah. "Buru-buru banget! Kangen kah sama Fabio?" Heran Bima, menyindir Rani sambil menduduki kursi di meja makan. Rani menghela nafas berat. "Kak. Kan kakak sendiri yang minta biar gak telat, diingetin!" kata Rani penuh penekanan di akhir. "Alah! Alesan banget! Sengaja banget pengen ketemu Fabio." Bima membalas penuh tuduhan. Rani menjadi kesal. "Ya, sudahlah. Tidak usah pergilah, kita." Mendengar anca
Rani terkejut mematung kala wajah Fabio muncul begitu tiba-tiba dari balik tirai, hanya beberapa inci dari wajahnya saat ia hendak melangkah keluar menuju ruang tamu. “Kakak!” serunya spontan, tubuhnya sedikit melompat mundur karena kaget hampir menabrak Fabio. Fabio yang tak kalah terkejut segera menyingkir satu langkah ke belakang. Ia menatap Rani dengan wajah yang lembut, suaranya tenang seperti biasa. “Oh, maaf! Aku mau pamit pulang,” ujarnya sopan, seolah khawatir telah membuat Rani terkejut setengah mati. Rani berdiri canggung, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya. Ia sempat melirik sekilas ke arah ruang tamu—ke arah Bima yang duduk sambil memperhatikan mereka. “Tidak apa-apa, Kak,” ucapnya cepat, senyum tipis terukir di bibirnya. “Maaf juga, aku yang nggak lihat tadi.” Fabio tersenyum kecil, senyum yang menenangkan sekaligus menimbulkan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dalam dada Rani. “Tidak apa-apa,” katanya lembut. “Nanti, datang ya ke acara syukuran
Wajah Rani memerah. Tubuhnya memanas merasakan sengatan nostalgia yang kembali menyala. Masa-masa indah ketika kuliah berusaha mengambil alih pikiranya. Kala itu, Fabio merupakan mahasiswa berprestasi yang aktif berorganisasi dan rajin melakukan aksi kemanusiaan hingga luar negri. Prestasinya di bidang pendidikan sangat banyak dan mendulang sukses. Masa itu, Fabio menjadi senior kampus yang punya banyak penggemar mahasiswi lintas fakultas karena sifatnya yang dingin, kaku, cuek namun sangat perhatian. "Kamu pacaran sama Fabio, Ran?" Mega, sahabat dekat Rani sejak SMP tampak antusias saat muncul tiba-tiba di lorong kampus, mendapati Rani yang sedang memikul buku untuk menuju ruang kelas berikutnya. Rani memandang Mega dengan kebingungan. "Hah?" responnya, bingung. "Kamu pacaran, ya sama kak Fabio?" Mega mengulang pertanyaannya dengan lembut. Rani terdiam sesaat untuk memproses kata-kata Mega. Ia kemudian menghembuskan nafas tawa. "Yang benar saja, Meg! Gak mungkin, lah."







