“Sya.” Dewangga memanggil dengan suara parau. Kami baru saja kembali dari luar. Ia mengajak untuk keliling kota Jakarta sehabis kami pulang dari rumah sakit tadi pagi. Aku merasa lelah dan tidak semangat untuk melakukan apa pun.“Nasya!” Ia kembali memanggil, sebab aku hanya diam setelah panggilan pertama.Aku berbalik, menatap lelaki yang tengah menatapku dengan tajam. Sepasang mata itu tampak nyalang, seolah aku adalah mangsa yang siap untuk ia terkam.“Kenapa?” Aku bertanya dengan kening berkerut, sebab ia hanya diam setelah aku menatap untuk waktu yang lama.Tidak ada jawaban, Dewangga naik ke atas ranjang. Ia merangkak agar mampu menggapaiku yang tengah duduk di tepian ranjang sisi kanan.“Kau mau apa?” Aku langsung menatap dengan tajam saat kedua tangannya memegang bahuku, sementara napasnya mulai terdengar memburu. Naik turun dengan ritme yang tidak teratur.Aku menolak, menyingkirkan tangannya dari kedua bahuku. Lalu bangkit berdiri seraya beranjak menjauh dari ranjang. Sebab,
Setelah Ruri keluar dari kamar, Dewangga kembali ke ranjang. Ia duduk di tepian, perlahan membuka borgol yang mengunci kaki kananku. Ia memilah anak-anak kunci yang berada dalam genggamannya. Mencoba beberapa kali hingga kaki kananku terlepas.Aku bisa menarik napas sedikit lebih lega dari sebelumnya, sebab salah satu kuncian telah terbuka. Dewangga tampak santai beralih pada sisi ranjang yang lain. Melakukan hal yang sama pada kaki kiriku, melepas borgolan. Ia tidak terlihat panik ataupun khawatir sama sekali melihat bekas merah karena sabetan cambuk yang ia lakukan puluhan kali.Di mana letak cinta yang selalu ia kumandangkan? Lelaki mana yang tega menyiksa wanita yang ia cintai seperti yang Dewangga sampaikan?Akhirnya aku terlepas dari semua borgol yang mengunci pergerakan. Kedua borgol di tangan juga ikut ia lepas. Aku menatap sekitar dengan penuh hati-hati, membaca setiap pergerakan yang dilakukan olehnya. Barangkali ia akan melakukan hal yang lebih sadis dari ini.“Kau pasti la
Tepukan lembut di pipi membuatku terbangun. Cahaya matahari langsung menyambut dengan tajam saat aku membuka mata. Bukan Dewangga yang kudapati ketika mata terbuka, tapi Ruri. Lelaki 35 tahun itu tengah duduk di tepian ranjang.“Akhirnya kau bangun juga.” Ruri langsung berucap sebelum aku sempat menanyakan banyak hal.Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi malam saat aku terjatuh pingsan. Namun, aku bisa mengingat dengan samar saat Dewangga merangkak di atas tubuhku sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran.Aku hendak bangkit untuk duduk, tapi pergerakanku terkunci dengan kedua tangan kembali terborgol di kedua sisi ranjang. Aku bahkan tidak bisa menyentuh wajahku. Sekadar menutup mulut saat menguap pun tanganku tidak bisa menjangkau. Untung saja kedua kakiku dibiarkan terbebas.“Lepaskan aku!” Aku memberikan perintah pada Ruri. Sebab, sudah tidak tahan lagi untuk tinggal berlama-lama di sini. Aku sudah menyerah dengan semua siksaan yang telah ia berikan. Aku ingin pergi ke suatu te
Pintu terbuka secara mendadak, terdengar kasar saat daun pintu terbanting pada dinding. Wajah tampan Dewangga muncul di baliknya. Di wajah tampan itu terlukis amarah yang begitu besar. Wajahnya masam, tatapannya nyalang. Tidak ada lagi cinta yang bisa kulihat di kedua manik matanya. Yang ada hanya nafsu dan amarah yang ingin dilampiaskan.Lelaki berkaki jenjang itu melangkah dengan pasti menuju ranjang. Tatapannya begitu tajam mengikat, ia tidak melepas tatapan sama sekali. Kubalas tatapan itu dengan sorot lebih tajam. Ingin menunjukkan pada dirinya bahwa aku tidak takut sama sekali. Aku bukan lagi Nasya yang hanya akan pasrah saat disiksa. Kini saatnya aku melawan, sebab sudah tidak ada alasan untuk bertahan.“Tarik kata-kata yang sudah kau ucapkan tadi pagi!” Ia langsung berucap dengan kasar. Rahangku dicengkeram dengan erat olehnya.Aku hanya tersenyum, senyum sebagai bentuk perlawanan.“Jangan pernah mengucap kata pisah, aku tidak suka!” Ia menegaskan.“Aku tidak peduli kau suka a
“Aku mohon, tolong selamatkan aku.” Aku memohon seraya berlindung di balik pundak seorang polisi. Bersembunyi seraya mengepalkan kedua tangan.Kupikir Dewangga akan marah atau mengamuk. Namun, ternyata dugaanku melesat sama sekali. Ia tidak menunjukkan sifat aslinya di hadapan polisi. Berbanding terbalik, ia malah tersenyum dengan manis.“Coba jelaskan apa sebenarnya yang terjadi? Ada yang meminta bantuan lewat telepon, tapi kalian berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Lalu sekarang ada seorang wanita yang tengah meminta bantuan.” Polisi yang kumintai tolong mengajukan pertanyaan.Aku semakin gemetar ketakutan. Melihat Dewangga tersenyum seperti itu lebih mengerikan dibanding ketika ia mengacungkan sebuah pisau tepat di depan wajahku.“Tidak terjadi apa-apa, istri saya memang sedang sakit. Jiwanya sedikit terganggu.” Dewangga menjawab dengan begitu tenang, seolah apa yang ia ucapkan adalah sebuah kebenaran.“Tidak mungkin aku berani menyakiti istriku, apalagi di sini ada banyak saksi
“Maaf Sya, aku ngelakuin ini demi kamu.” Ruri memberikan penjelasan setelah ia membawaku kembali ke kamar.Aku hanya diam dengan helaan napas kasar. Kesal. Bukan hanya kesal, tapi juga marah karena ia lebih memilih berbohong untuk menutupi kebenaran. Sementara ada polisi yang akan melindungi jika seandainya Dewangga berniat melukai.Aku melongos begitu saja, duduk di tepian ranjang dengan mengempaskan pantat sedikit kasar. Mengabaikan Ruri yang masih berusaha untuk meminta maaf.“Aku gak ada pilihan, Sya. Aku berbohong demi keselamatan semua orang.” Ruri masih saja berusaha untuk memberikan pengertian.“Keselamatan siapa? Di rumah ini hanya nyawaku yang terancam!” Aku langsung membantah dengan berteriak.Ruri terdiam, ia menghela napas kasar. Tampak pasrah dan memilih untuk mengalah.Sejenak ruangan terdengar begitu lengang, tidak ada suara sama sekali. Hanya deru napas yang terdengar saling berbalas. Ruri terdiam dengan berdiri tidak jauh dari ranjang. Masih setia di sana, tidak lang
Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku bahkan menahan deru napas agar tidak membangunkan Dewangga saat aku akan bersiap menancapkan pisau ke dadanya. Kupejamkan mata saat pisau itu perlahan bergerak menuju titik yang telah terpusat di otak. Namun, aksi itu terhenti saat terdengar ketukan di daun pintu secara tiba-tiba. Buru-buru aku menyembunyikan pisau di balik baju, lalu segera kembali berbaring seakan tidak terjadi apa-apa.“Tuan, Nyonya, makan malam telah disiapkan.” Begitu pesan yang terdengar.Terasa pergerakan kasar di ranjang, aku membuka mata seolah baru terbangun dari tidur, sama seperti Dewangga yang terlelap untuk beberapa saat.“Turunlah dan ikut makan malam bersama.” Dewangga berucap, lalu bergegas pergi setelah berucap demikian.Aku hanya mengangguk dengan lembut. Ternyata masih tersisa sedikit rasa kepedulian dalam dirinya. Kutatap punggung lelaki yang hampir membunuhku beberapa jam yang lalu. Kini ia terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.Kuhel
Dengan cepat Dewangga melepas semua pakaian. Sementara sepasang mata tajam itu tidak ingin melepas tatapan dariku sama sekali. Ia terus menatap dengan begitu lekat. Ia memang tidak bisa jika tidak bercinta dalam sehari saja.Aku mulai teringat dengan pesan Dokter Roni agar membuat Dewangga merasa nyaman saat bercinta hingga tanpa sadar melakukan pelepasan di dalam. Setidaknya itulah satu-satunya cara agar bisa mendapatkan benih darinya. Sebab, ia masih tetap menolak saat aku meminta ingin punya anak.Aku menyunggingkan senyum. Membalas tatapannya dengan begitu lembut dan penuh godaan. Mengikuti alur permainan yang akan ia lakukan. Melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuhku dengan gerakan begitu erotis. Melempar semuanya dengan asal tanpa melepas tatapan darinya.Senyum ikut terukir di bibir manis lelaki itu. Ia langsung melompat ke ranjang, merangkak di atas tubuhku sembari memberikan kecupan di semua inci. Tidak ia biarkan ada bagian dari tubuhku yang tidak terjamah oleh bi