“Aku mohon, tolong selamatkan aku.” Aku memohon seraya berlindung di balik pundak seorang polisi. Bersembunyi seraya mengepalkan kedua tangan.Kupikir Dewangga akan marah atau mengamuk. Namun, ternyata dugaanku melesat sama sekali. Ia tidak menunjukkan sifat aslinya di hadapan polisi. Berbanding terbalik, ia malah tersenyum dengan manis.“Coba jelaskan apa sebenarnya yang terjadi? Ada yang meminta bantuan lewat telepon, tapi kalian berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Lalu sekarang ada seorang wanita yang tengah meminta bantuan.” Polisi yang kumintai tolong mengajukan pertanyaan.Aku semakin gemetar ketakutan. Melihat Dewangga tersenyum seperti itu lebih mengerikan dibanding ketika ia mengacungkan sebuah pisau tepat di depan wajahku.“Tidak terjadi apa-apa, istri saya memang sedang sakit. Jiwanya sedikit terganggu.” Dewangga menjawab dengan begitu tenang, seolah apa yang ia ucapkan adalah sebuah kebenaran.“Tidak mungkin aku berani menyakiti istriku, apalagi di sini ada banyak saksi
“Maaf Sya, aku ngelakuin ini demi kamu.” Ruri memberikan penjelasan setelah ia membawaku kembali ke kamar.Aku hanya diam dengan helaan napas kasar. Kesal. Bukan hanya kesal, tapi juga marah karena ia lebih memilih berbohong untuk menutupi kebenaran. Sementara ada polisi yang akan melindungi jika seandainya Dewangga berniat melukai.Aku melongos begitu saja, duduk di tepian ranjang dengan mengempaskan pantat sedikit kasar. Mengabaikan Ruri yang masih berusaha untuk meminta maaf.“Aku gak ada pilihan, Sya. Aku berbohong demi keselamatan semua orang.” Ruri masih saja berusaha untuk memberikan pengertian.“Keselamatan siapa? Di rumah ini hanya nyawaku yang terancam!” Aku langsung membantah dengan berteriak.Ruri terdiam, ia menghela napas kasar. Tampak pasrah dan memilih untuk mengalah.Sejenak ruangan terdengar begitu lengang, tidak ada suara sama sekali. Hanya deru napas yang terdengar saling berbalas. Ruri terdiam dengan berdiri tidak jauh dari ranjang. Masih setia di sana, tidak lang
Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku bahkan menahan deru napas agar tidak membangunkan Dewangga saat aku akan bersiap menancapkan pisau ke dadanya. Kupejamkan mata saat pisau itu perlahan bergerak menuju titik yang telah terpusat di otak. Namun, aksi itu terhenti saat terdengar ketukan di daun pintu secara tiba-tiba. Buru-buru aku menyembunyikan pisau di balik baju, lalu segera kembali berbaring seakan tidak terjadi apa-apa.“Tuan, Nyonya, makan malam telah disiapkan.” Begitu pesan yang terdengar.Terasa pergerakan kasar di ranjang, aku membuka mata seolah baru terbangun dari tidur, sama seperti Dewangga yang terlelap untuk beberapa saat.“Turunlah dan ikut makan malam bersama.” Dewangga berucap, lalu bergegas pergi setelah berucap demikian.Aku hanya mengangguk dengan lembut. Ternyata masih tersisa sedikit rasa kepedulian dalam dirinya. Kutatap punggung lelaki yang hampir membunuhku beberapa jam yang lalu. Kini ia terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.Kuhel
Dengan cepat Dewangga melepas semua pakaian. Sementara sepasang mata tajam itu tidak ingin melepas tatapan dariku sama sekali. Ia terus menatap dengan begitu lekat. Ia memang tidak bisa jika tidak bercinta dalam sehari saja.Aku mulai teringat dengan pesan Dokter Roni agar membuat Dewangga merasa nyaman saat bercinta hingga tanpa sadar melakukan pelepasan di dalam. Setidaknya itulah satu-satunya cara agar bisa mendapatkan benih darinya. Sebab, ia masih tetap menolak saat aku meminta ingin punya anak.Aku menyunggingkan senyum. Membalas tatapannya dengan begitu lembut dan penuh godaan. Mengikuti alur permainan yang akan ia lakukan. Melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuhku dengan gerakan begitu erotis. Melempar semuanya dengan asal tanpa melepas tatapan darinya.Senyum ikut terukir di bibir manis lelaki itu. Ia langsung melompat ke ranjang, merangkak di atas tubuhku sembari memberikan kecupan di semua inci. Tidak ia biarkan ada bagian dari tubuhku yang tidak terjamah oleh bi
Aku terbangun ketika Dewangga hendak berangkat kerja. Ia pamit seraya memberikan sebuah kecupan lembut di dahi. Aku hanya menggeliat pelan, lalu mengangguk dan bangkit untuk duduk dengan mata yang masih terasa enggan untuk terbuka. Entah sampai jam berapa tadi malam kami menghabiskan waktu untuk bercinta. Yang pasti aku merasa begitu lelah dan mengantuk pagi ini.“Aku akan kembali untuk makan siang nanti.” Dewangga berpesan, lalu beranjak pergi keluar dari kamar.Sedikit sulit karena kini aku tidak lagi dibekali alat komunikasi. Namun, cukup membantu karena tidak ada lagi pesan atau panggilan yang mengganggu dari Dewangga. Aku jadi lebih bisa sedikit bersantai.Setelah pintu tertutup dengan rapat, aku kembali rebahan. Hendak melanjutkan tidur yang sempat terjeda. Namun, mata mendadak enggan untuk diajak bekerja sama.Aku bangkit dari ranjang. Meregangkan otot-otot yang terasa begitu tegang. Terlebih leher yang terasa sakit saat menoleh ke kanan. Juga kepala yang pusing karena tadi mal
Dewangga pulang untuk makan siang, sesuai dengan pesannya sebelum berangkat kerja tadi pagi. Semua hidangan sudah tersedia di meja makan saat ia kembali. Sebuah senyum tersimpul dengan manis di bibirnya. Ia membawa bucket bunga saat ia berjalan mendekat padaku.Aku tersenyum, membalas senyum itu dengan malas. Menerima bunga yang ia sodorkan, lalu memberikan sebuah kecupan. Hari ini Dewangga benar-benar terlihat sedikit manis dari biasanya.Kami makan siang berdua, tidak ada obrolan penting sama sekali. Kami bahkan lebih banyak diam. Sesekali saling melempar senyum saat tanpa sengaja sorot mata saling beradu.“Sebaiknya Ruri kasih waktu buat istirahat. Setidaknya sampai lukanya mengering.” Aku berucap memecah keheningan yang tercipta.Dewangga menarik napas dengan kasar. “Pekerjaannya tidak ada yang berat. Tugasnya hanya mengawasi rumah, jadi tidak perlu kau hiraukan lukanya.” Ia memberikan jawaban dengan acuh tak acuh.Aku terdiam dengan helaan napas berat. Jika ia sudah berkata tidak
Dewangga memegang ucapannya. Ia selalu pulang tepat waktu untuk makan siang bersama di rumah. Memastikan bahwa aku telah meminum pil yang ia beli sebelumnya, tapi telah diganti oleh Dokter Roni ketika Ruri membawanya ke rumah sakit.Aku tidak lagi takut ketika menelannya, sebab sudah dipastikan jika itu bukan obat penghambat untuk hamil, tapi obat untuk menyuburkan rahim. Dewangga tampak senang akan hal itu. Ia jadi tidak khawatir untuk melakukan pelepasan di dalam ketika kami tengah bercinta. Sebab berpikir bahwa itu tidak akan memberikan efek apa-apa.Meskipun fantasinya semakin lama semakin aneh, aku masih bisa mengimbangi. Walaupun besoknya aku jadi tidak bisa keluar kamar karena merasa sakit di sekujur badan. Namun, semakin lama aku mulai terbiasa dan menikmati setiap permainannya.Seperti sore ini, ada sebuah paket yang datang atas nama Nasya. Aku tahu jika paket itu pemberian Dewangga. Sebab, ia telah berpesan sebelum berangkat kerja tadi pagi.Aku membuka kotak paket dengan dad
“Sakitnya parah, Dok?” Dewangga kembali bertanya karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Apalagi semuanya memasang wajah panik. Lelaki itu menjadi semakin panik.“Biarkan dia istirahat yang cukup selama beberapa hari ini.” Dokter akhirnya memberikan jawaban.“Istri saya sakit apa?” Ia tetap ngotot meminta jawaban.Aku menatap Ruri, berkomunikasi lewat sorot mata. Bernegosiasi agar aku memberitahu Dewangga kenyataan yang sebenarnya. Namun, ia langsung menggeleng dengan pelan.“Nyonya Nasya hanya masuk angin dan kelelahan.” Ruri yang memberikan jawaban pada akhirnya. Ia tetap memilih untuk memberikan kebohongan.Aku terdiam, menghela napas dengan kasar. Merasa jika saran Ruri ada benarnya juga. Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Dewangga masalah kehamilan. Bulan depan ia telah berjanji ingin mengadakan pesta di rumah. Sebagai acara perayaan satu tahun pernikahan kami. Beberapa hari ini ia telah sibuk ingin memilih gaun apa yang akan kupakai nanti. Barangkali aku bis