"Om mau berangkat sekarang?"
Anindya Jenaya, gadis bertubuh mungil itu mendongak pada seorang pria dengan setelan jas rapi yang jauh lebih tinggi darinya. Ia dan pria itu—Devano Wijaya atau akrab ia panggil Om Devan, tengah berada di ruang makan untuk sarapan. Hal yang akhir-akhir ini jarang mereka lakukan karena entah mengapa, Devan jadi selalu berangkat lebih pagi dari biasanya. "Kenapa?" sahut Devan dengan suara dingin. Hal itu membuat Anin sedikit gugup dan ragu hendak mengatakan maksudnya. "Aku ... ehm, motor aku rusak, Om. Karena kantor Om Devan sama kampus aku searah, boleh nggak, aku berangkat sama Om aja?" Anin memberanikan dirinya bertanya. Sambil menunggu tanggapan Devan, ia bergerak gelisah di tempatnya berdiri. Rasanya sudah lama ia tidak berbicara dengan pria itu. Seperti ada sekat tak kasat mata yang membatasi dirinya berdekatan dengan Devan. Bukan tanpa alasan, ia hanya merasa omnya itu seperti tengah menjaga jarak darinya. "Boleh." Mendengar itu, Anin langsung tersenyum senang. Devan ternyata langsung setuju tak seperti kemarin-kemarin! Gadis itu lantas berjalan di belakang sang paman dengan perasaan ringan. Jujur, dia sungguh rindu. Dulu, berangkat bersama Devan adalah hal biasa, apalagi saat dirinya masih SMA, dan ia baru tinggal bersama Devan. Pria itu selalu mengantarnya ke sekolah karena ia belum pandai mengendarai motor. Devan adalah malaikat yang dikirim oleh orang tuanya dari surga. Dia akan selalu berusaha menghibur Andidya kala teringat almarhum orangtuanya. Entah dengan memberi permen atau boneka--yang sejujurnya sudah tidak cocok untuk seorang gadis berusia 15 tahun. Namun, Anin merasa senang berada di dekat Devan. Hanya saja, kini Devan seolah bukan dirinya yang dulu lagi. Apa pria itu telah sadar bahwa Anin hanyalah keponakan yang telah menyusahkannya selama ini? "Kamu kepanasan?" Suara berat dan datar itu membuat Anin tersadar dari lamunan panjangnya. "Uh?" Ia segera menggeleng pelan. "Nggak, Om. Anin baik-baik aja." Devan menoleh sekilas. "Kamu dari tadi duduknya gelisah, apa kamu tidak nyaman?" Anin tersenyum paksa. Mana mungkin ia mengaku bahwa duduk dalam keheningan bersama Devan membuatnya gugup sekaligus gelisah? "Nggak, Om. Anin cuma takut telat aja, hari ini yang masuk dosen killer." Devan mengangguk mengerti. Kemudian, sisa perjalanan mereka kembali diisi oleh keheningan hingga kemudian mobil berhenti di depan kampus Anin. "Aku masuk dulu, ya, Om. Makasih tumpangannya." Anin tersenyum manis. Namun, tangannya yang hendak melepaskan seatbelt urung ketika mendengar ucapan Devan. "Anindya, tunggu!" Anin mengerutkan dahi. Namun, ia diam saja memperhatikan Devan yang merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru tua. "Hari ini ulang tahun kamu." Devan menyodorkan kotak itu, yang diterima oleh Anin dengan perasaan ragu. Ini hari ulang tahunnya? Anin tidak ingat sama sekali. Ia juga tidak mengangka Devan akan memberikan hadiah seperti ini. Setelah dibuka, kotak itu ternyata berisi sebuah kalung dengan liontin batu permata yang indah. Anin terpana melihatnya. "M-makasih, Om. Aku suka hadiahnya." Anin hampir tidak bisa berkata-kata. Namun, ia tetap harus mengucapkan kata terima kasihnya pada Devan. Apakah ini pertanda bahwa hubungan mereka akan membaik? Karena sejujurnya, Anin berharap Devan kembali seperti dulu, yang meski terkesan dingin, akan selalu memperhatikan hal-hal kecil yang terjadi pada Anin. Devan mengangguk sekali. "Bagus kalau kamu suka hadiahnya." Setelah itu, Anin pamit pergi dan berjalan memasuki kampusnya. Hanya saja, gadis itu tak sadar jika Devan menghela napas berat setelah dirinya menghilang di balik tembok. "Arrrrgh!" Devan berteriak frustrasi. Apa tindakannya memberi hadiah untuk Anin itu sudah tepat? Ia merasa usahanya menjauhkan diri dari gadis itu akan sia-sia karena hari ini tidak bisa mengendalikan dirinya yang ingin membahagiakan gadis kecil itu. Jika Devan boleh jujur, Anindya, gadis yang ia rawat sejak usia belasan tahun itu, kini bukan lagi seorang anak yang bisa ia anggap sebagai keponakan. Tidak lagi, sejak Devan merasakan perasaan aneh yang selalu ia sangkal. Perasaan sayang yang mulai menjelma sebagai rasa cinta dan ingin memiliki sepenuhnya. Bukan sebagai keponakan, tetapi sebagai wanita yang bisa ia jadikan sebagai miliknya."Dewi, jangan keterlaluan." Sandy, yang terlihat sudah cukup tua dengan uban di beberapa helai rambutnya, memilih angkat bicara menengahi adu mulut di antara keluarganya. "Kamu sudah sangat dewasa untuk bisa memilah mana perkataan yang pantas diucapkan. Banyak anak-anak di sini, ucapan kamu bisa saja menodai otak polos mereka," ujar Sandy menasihati. Dewi menunduk pada Sandy. "Maaf, Om. Aku cuma terbawa suasana." "Ucapan Dewi ada benarnya, Pa," ungkap seorang wanita yang duduk di samping Sandy. Itu adalah Miranda, ibu dari kedua orang tua Anin. "Kalau bukan karena kehadiran dia, putriku pasti bisa menggapai semua cita-citanya. Dia dan keluarga pria itu hanya bisa memberi penderitaan pada Nindia," lanjut Miranda, yang mampu memanaskan suasana yang semula telah membaik. "Miranda! Jaga ucapan kamu. Sudah sepantasnya kamu yang menjadi penengah untuk masalah di keluarga ini!" tandas Sandy. Miranda menipiskan bibirnya, kesal. "Bela saja dia terus, Pa! Kamu emang nggak pernah
Devan meneguk ludah kasar sembari kedua tangannya berusaha memasangkan kancing gaun Anin. Jakunnya naik turun menyaksikan punggung mulus keponakannya itu yang hampir terekspos sepenuhnya. Begitu pula dengan Anin. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan setiap tangan Devan tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya. Apalagi, posisi pria itu yang berada terlalu dekat dengan tubuh bagian belakangnya. "Ud-udah belum, Om?" tanya Anin karena Devan tidak beranjak dari belakangnya meski ia merasa kancing terakhir sudah terpasang. Devan berdehem pelan, berjalan untuk menjauhkan tubuhnya. "Ambil tas kamu, Om tunggu di mobil." Setelahnya, Devan berjalan pergi tanpa meninggalkan Anin yang belum berbalik. Gadis itu menekan dadanya yang berdebar keras, bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? *** Rumah Opa Sandy terletak di kawasan yang cukup asri. Karena itulah, tidak ada anggota keluarga yang menolak acara dilakukan di sana. Halaman belakang bisa memuat beberapa meja dan kursi untuk seluruh an
"Selina, tolong lepas. Di sini banyak orang." Devan melepaskan diri dari pelukan wanita itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi, oramg yang berlalu lalang turut memandang mereka dengan tatapan aneh. "Oh." Selina yang tersadar akan tindakannya mengambil langkah mundur dari Devan. "Maaf, Dev. Aku cuma merasa senang kita bisa ketemu di sini. Kamu apa kabar?" "Kabarku baik," jawab Devan singkat. Ia melirik Anin, takut gadis itu merasa bosan berada di situasi ini. "Kami harus ke kasir." Devan meraih satu tangan Anin dan menggenggamnya, sedang tangan yang lain kembali meraih keranjang. Tindakan Devan itu membuat Selina menyadari keberadaan Anin. Senyum seketika luntur dari wajahnya. "Oh, aku tadi hampir aja nabrak kamu. Maaf, ya," ujar Selina pada Anin. Anin hanya menggeleng singkat. "Aku juga nggak liat jalan, bukan salah kamu, kok." Selina tersenyum manis. Matanya diam-diam meneliti penampilan Anin, yang nampak seperti remaja karena tubuhnya yang tidak begitu tinggi
"Om akan langsung kembali ke kantor setelah mengantar kamu pulang." Anin tidak membalas perkataan Devan, ia melarikan tatapannya ke arah jalanan dan gedung-gedung tinggi yang mereka lalui untuk kembali ke apartemen. "Kamu ingin mampir membeli sesuatu? Om lihat kita sudah kekurangan bahan masakan di kulkas," ucap Devan sekali lagi, berharap bisa mendapatkan respon dari Anin. Sejak meninggalkan pusat perbelanjaan hingga kini Anin masih belum mau membuka mulut. Ini salah Devan yang malah mendiamkan pertanyaan gadis itu saat di toko tadi. "Aku bisa masak mi instan," sahut Anin singkat. "Mi instan tidak baik untuk kesehatan, Anindya," balas Devan, sedikit senang Anin akhirnya mau bicara. "Kita mampir ke supermarket sebentar." Kali ini, Anin menolehkan kepalanya pada Devan yang masih sibuk menyetir. "Om nggak sibuk?" "Kenapa kamu bertanya?" "Sibuk atau nggak?" Anin mengulangi pertanyaannya. "Tidak, Anindya." Devan menjawab pasrah. "Om hari ini tidak sibuk, hanya ingin kemb
Anin memukul dada Devan cukup keras usai tersadar dari keterkejutannya karena serangan tak terduga omnya itu. Sungguh, ia benar-benar tidak menyangka Devan akan berakhir menciumnya dengan cukup kasar dan terburu-buru. "Mmhhhhp ... O-om, lepas!" Anin terengah-engah setelah Devan melepaskan ciuman mereka. Mata gadis itu berkaca-kaca, memandang Devan tak habis pikir. "Om gila?!" Masih dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat, Devan tersenyum miring. "Kamu juga melakukan itu tadi malam." "T-tapi, aku ...." Anin gagap, tidak tahu harus berkata apa. Memang benar dirinya yang lebih dulu mencium Devan tadi malam, tetapi bukan berarti Devan harus membalasnya dengan tindakan yang sama! "Kamu tidak mau keluar?" Saat mendongak, ternyata Devan sudah berada di luar mobil. Anin hanya bisa membuang napas pasrah, tanpa sepatah kata bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengikuti langkah Devan memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memasuki salah satu toko dengan label yang cukup terkena
Anin mengerutkan dahi. Apa maksud pesan dari omnya itu? "Anin? Kamu nggak apa-apa?" "Oh?" Anin melepas tatapannya yang terpaku pada pesan aneh dari Devan. "Rian, maaf. Aku lupa udah punya janji. Kita bicara lain kali, ya?" Tanpa menunggu tanggapan Rian, Anin bergegas berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi secepat mungkin. Ia baru bisa bernapas lega setelah menginjak halte bus di dekat cafe. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, Anin sama sekali tidak bisa mengorbankan persahabatannya dengan Viona hanya karena masalah sesepele memperebutkan seorang lelaki. Toh, Anin tidak memiliki perasaan apa pun pada Rian. "Viona pasti udah pulang. Aku pesen taksi aja, deh," gumam Anin. Sesaat sebelum Anin berhasil memesan taksi online, sebuah mobil sedang berwarna putih yang sangat ia kenali melaju dan berhenti tepat di depannya. Di dalam sana, di balik kaca mobil yang tidak sepenuhnya tertutup itu, dapat dilihatnya Devan yang tengah duduk dengan raut wajah