Share

BAB 2

Author: Nocturnal
last update Last Updated: 2024-07-05 22:29:47

"Coba tebak, aku punya apa buat cewek cantik yang lagi ulang tahun hari ini?"

Anin sudah ingin berteriak saat merasakan sepasang tangan yang tiba-tiba menutup kedua matanya dari arah belakang. Namun, ketika mendengar suara yang sudah sangat ia kenali, gadis itu beralih memukul pelan tangan pelaku yang menutup matanya.

"Apa sih, Vi? Nggak lucu tahu!" cetus Anin sembari melepas tangan sahabatnya, Viona.

Viona tersenyum jenaka. "Anin pagi-pagi gini udah sewot aja. Lagi datang bulan, ya?"

Tidak mendapat jawaban dari Anin, Viona memutuskan untuk mengeluarkan sebuah kotak berbentuk sedang dari tasnya, lalu mengulurkannya pada Anin. "Nih, kado buat Anin! Jangan bete gitu dong, nanti cowok-cowok pada kabur!"

Anin melirik kado yang diulurkan oleh Viona, lalu menghela napas pelan. Benar, ada apa dengan dirinya hari ini? Suasana hatinya sungguh tidak jelas. Sepertinya memang ia akan segera datang bulan. Perasaan bersalah segera menghampiri Anin karena bersikap ketus pada sahabat yang telah menyiapkan kado untuk ulang tahunnya.

"Huhuu ... maaf, Vi. Kayaknya aku mau datang bulan. Aku pasti ngeselin ya? Maaf banget." Anin memeluk Viona, yang membuat sahabatnya itu tertawa cukup keras.

"Nggak apa-apa, ah. Aku ngerti, kok."

"Apa nih?"

Kegiatan Anin dan Viona terganggu oleh kedatangan seorang gadis berambut sebahu dengan dandanan yang cukup tebal untuk ukuran mahasiswi. Viona langsung memasang wajah ketus saat menyadari bahwa itu adalah Karen, anak salah satu dekan yang terkenal akan kesombongannya. Apalagi saat Karen langsung mengambil kado untuk Anin dari tangannya, ia ingin sekali menjambak rambut yang diwarnai dengan cat merah maroon itu.

"Ini kado?" Karen tertawa pelan. "Norak banget."

Viona membulatkan mata. "Maksud kamu apa?!"

Karen mengangkat bahu. Tidak mengindahkan aura permusuhan yang terpancar dari raut wajah Viona. "Hari gini mana ada orang ngerayain ulang tahun pake kado-kadoan gini? Ups, sorry. Gue lupa lo cuma cewek cupu yang kemarin nangis-nangis abis ditolak Rian sepupu gue."

Viona menipiskan bibirnya menahan emosi saat Karen mengungkit perasaannya yang ditolak oleh Rian.

"Apa kamu bilang? Aku nggak--"

"Vi, udah. Kita ngalah aja, ya?" Anin mencoba menenangkan Viona. Jika tidak, gadis itu akan terkena masalah karena meladeni orang semacam Karen.

"Oh, dan lo." Karen tersenyum sinis pada Anin. "Cewek yang ditaksir sama Rian. Drama banget ya? Yang satunya suka tapi ditolak sama sepupu gue, karena Rian malah lebih suka sama yang satunya lagi. Heran, padahal kalian sama aja tuh. Sama-sama cupu."

Viona menggebrak meja pada kursi yang didudukinya. "Apa sih, mau kamu? Kalo mau berantem, sini satu lawan satu! Beraninya cuma adu mulut doang, dasar nenek lampir!"

Emosi Karen sepertinya turut tersulut mendengar hinaan Viona. "Berantem sama lo? Haha! Sorry, kita nggak selevel."

"Oh, iya. Kita emang nggak selevel. Kamu level nenek lampir, aku manusia. Manusia kan nggak bisa berantem sama nenek nenek lampir!" Viona menarik tangan Anin, yang hanya bisa pasrah mengikutinya. "Ayo, Anin. Kita bisa ketularan virus nenek lampir kalo diem di sini sama dia."

Karen benar-benar tidak bisa menerima dirinya dipermalukan seperti ini. Ia melangkah cepat dan berhenti di depan Viona maupun Anin.

"Kalo lo mau buktiin kalo lo emang nggak cupu, dateng ke pembukaan club punya om gue nanti malem." Karen dengan cepat menyodorkan sebuah kartu undangan.

"Kita nggak datang ke tempat kayak gitu," sahut Viona dengan nada ketus.

Karen bersedekap dada. "Itu berarti kalian emang cupu."

"Terserah! Siapa juga yang mau dateng ke tempat kayak gitu cuma karena dikatain sama kamu? Ogah!"

Viona kembali menarik tangan Anin dan berjalan mendahului Karen. Namun, tepat di ambang pintu, ia menghentikan langkahnya mendengar kalimat yang keluar dari mulut Karen.

"Rian juga bakal dateng." Karen tersenyum sinis, sadar ucapannya mampu menghentikam Viona. "Gue mau liat, sesetia apa hubungan persahabatan kalian, kalo lo suka sama cowok yang malah lebih suka sama temen lo?"

Karen membalikkan tubuh, berhadapan dengan punggung Viona yang berdiri tegang di depannya. "Atau jangan-jangan, lo pura-pura baik di depan Anin cuma biar bisa deket sama sepupu gue?"

Anin berdiri gelisah di samping Viona yang nampak tengah berusaha melewati dua pria yang sejak tadi tidak mengizinkan mereka melewati pintu masuk. Ya, mau tak mau, Anin terpaksa harus mengikuti Viona yang kukuh ingin menyanggupi tantangan Karen untuk mendatangi club yang katanya mengadakan pesta pembukaan pada malam ini.

"Kenapa kalian nggak biarin kita masuk? Jelas-jelas kita punya kartu undangan, kok!"

Salah satu pria yang nampak paling sangar melirik Anin, lalu menunjuk gadis itu dan berkata, "Tidak ada tamu undangan yang memakai pakaian seperti dia."

Viona turut memandang Anin, lalu menepuk keningnya sendiri. "Aku kan udah bilang, Anin. Mana ada orang masuk ke club pake cardigan gitu? Lepas, ayo!"

Anin menggeleng cepat. "Baju yang kamu kasih kayaknya terlalu pendek, Vi. Aku nggak suka."

"Ya masa aku kasih kamu baju tidur? Ayo dong, Anin. Kali ini aja. Lagian, di dalam juga gelap kok." Viona mencoba meyakinkan. Apalagi, sekarang ia merasa mereka terlihat seperti orang bodoh di mana semua orang bisa langsung diberi akses untuk masuk kecuali mereka berdua.

"Tapi ...."

Viona meraih tangan Anin, memandangnya dengan tatapan meyakinkan. "Aku janji, kita cuma masuk sebentar terus pulang. Abis nabok Karen pake fakta kalo kita nggak kayak yang dia bilang, kita langsung pulang."

Anin menghela napas pasrah. Mau bagaimana lagi? Ia tidak yakin Viona akan menyerah dengan tekadnya jika ia terus menolak. Yang ada malah mereka akan berdiri terus di tempat yang sama hingga pagi datang. Memilih mengalah, Anin perlahan melepas cardigan yang membungkus pakaiannya dari luar. Setelah kain itu terlepas, terlihat Anin hanya mengenakan baju ketat model sabrina dengan panjang yang jauh di atas lutut.

Viona tersenyum puas melihatnya, lalu kembali menoleh pada petugas keamanan yang berjaga di depan pintu club. "Sekarang kita boleh masuk, kan?"

Ternyata, pria yang tadi mengoreksi baju Anin malah menggeleng. "Kalian seperti gadis hilang yang baru datang ke tempat seperti ini. Untuk menghindari masalah, maaf, kalian tidak boleh masuk."

Viona melongo tak percaya. "Ih! Kamu ada masalah apa sih, sama kita?! Ngeselin banget!"

"Udah, Vi. Kita pulang aja, yuk. Lagian Karen pasti cuma bercanda, kok." Anin meraih lengan Viona. Sahabatnya yang satu ini memang sulit mengendalikan emosi dalam hal apa pun. Jika mau, bisa saja Viona mengajak dua pria yang menghalangi mereka memasuki club untuk adu panco sekarang juga.

Sekalipun Viona memiliki 0,01% kemungkinan untuk menang.

"Kalian dateng juga ternyata."

Suara yang datang dari dalam itu membuat Viona langsung memasang wajah masam. Sedang Karen hanya tersenyum kecil karena tahu suara perdebatan yang ia dengar ketika ingin keluar untuk mengangkat telepon berasal dari kedua teman sekampus di depannya itu.

Karen tidak salah mengundang mereka. Malam ini ia pasti akan menyaksikan hiburan yang sangat menyenangkan.

"Pak, biarin mereka masuk!"

Hah? Apa Anin tidak salah dengar?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Panas Paman Dingin   BAB 14

    "Dewi, jangan keterlaluan." Sandy, yang terlihat sudah cukup tua dengan uban di beberapa helai rambutnya, memilih angkat bicara menengahi adu mulut di antara keluarganya. "Kamu sudah sangat dewasa untuk bisa memilah mana perkataan yang pantas diucapkan. Banyak anak-anak di sini, ucapan kamu bisa saja menodai otak polos mereka," ujar Sandy menasihati. Dewi menunduk pada Sandy. "Maaf, Om. Aku cuma terbawa suasana." "Ucapan Dewi ada benarnya, Pa," ungkap seorang wanita yang duduk di samping Sandy. Itu adalah Miranda, ibu dari kedua orang tua Anin. "Kalau bukan karena kehadiran dia, putriku pasti bisa menggapai semua cita-citanya. Dia dan keluarga pria itu hanya bisa memberi penderitaan pada Nindia," lanjut Miranda, yang mampu memanaskan suasana yang semula telah membaik. "Miranda! Jaga ucapan kamu. Sudah sepantasnya kamu yang menjadi penengah untuk masalah di keluarga ini!" tandas Sandy. Miranda menipiskan bibirnya, kesal. "Bela saja dia terus, Pa! Kamu emang nggak pernah

  • Hasrat Panas Paman Dingin   BAB 13

    Devan meneguk ludah kasar sembari kedua tangannya berusaha memasangkan kancing gaun Anin. Jakunnya naik turun menyaksikan punggung mulus keponakannya itu yang hampir terekspos sepenuhnya. Begitu pula dengan Anin. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan setiap tangan Devan tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya. Apalagi, posisi pria itu yang berada terlalu dekat dengan tubuh bagian belakangnya. "Ud-udah belum, Om?" tanya Anin karena Devan tidak beranjak dari belakangnya meski ia merasa kancing terakhir sudah terpasang. Devan berdehem pelan, berjalan untuk menjauhkan tubuhnya. "Ambil tas kamu, Om tunggu di mobil." Setelahnya, Devan berjalan pergi tanpa meninggalkan Anin yang belum berbalik. Gadis itu menekan dadanya yang berdebar keras, bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? *** Rumah Opa Sandy terletak di kawasan yang cukup asri. Karena itulah, tidak ada anggota keluarga yang menolak acara dilakukan di sana. Halaman belakang bisa memuat beberapa meja dan kursi untuk seluruh an

  • Hasrat Panas Paman Dingin   BAB 12

    "Selina, tolong lepas. Di sini banyak orang." Devan melepaskan diri dari pelukan wanita itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi, oramg yang berlalu lalang turut memandang mereka dengan tatapan aneh. "Oh." Selina yang tersadar akan tindakannya mengambil langkah mundur dari Devan. "Maaf, Dev. Aku cuma merasa senang kita bisa ketemu di sini. Kamu apa kabar?" "Kabarku baik," jawab Devan singkat. Ia melirik Anin, takut gadis itu merasa bosan berada di situasi ini. "Kami harus ke kasir." Devan meraih satu tangan Anin dan menggenggamnya, sedang tangan yang lain kembali meraih keranjang. Tindakan Devan itu membuat Selina menyadari keberadaan Anin. Senyum seketika luntur dari wajahnya. "Oh, aku tadi hampir aja nabrak kamu. Maaf, ya," ujar Selina pada Anin. Anin hanya menggeleng singkat. "Aku juga nggak liat jalan, bukan salah kamu, kok." Selina tersenyum manis. Matanya diam-diam meneliti penampilan Anin, yang nampak seperti remaja karena tubuhnya yang tidak begitu tinggi

  • Hasrat Panas Paman Dingin   BAB 11

    "Om akan langsung kembali ke kantor setelah mengantar kamu pulang." Anin tidak membalas perkataan Devan, ia melarikan tatapannya ke arah jalanan dan gedung-gedung tinggi yang mereka lalui untuk kembali ke apartemen. "Kamu ingin mampir membeli sesuatu? Om lihat kita sudah kekurangan bahan masakan di kulkas," ucap Devan sekali lagi, berharap bisa mendapatkan respon dari Anin. Sejak meninggalkan pusat perbelanjaan hingga kini Anin masih belum mau membuka mulut. Ini salah Devan yang malah mendiamkan pertanyaan gadis itu saat di toko tadi. "Aku bisa masak mi instan," sahut Anin singkat. "Mi instan tidak baik untuk kesehatan, Anindya," balas Devan, sedikit senang Anin akhirnya mau bicara. "Kita mampir ke supermarket sebentar." Kali ini, Anin menolehkan kepalanya pada Devan yang masih sibuk menyetir. "Om nggak sibuk?" "Kenapa kamu bertanya?" "Sibuk atau nggak?" Anin mengulangi pertanyaannya. "Tidak, Anindya." Devan menjawab pasrah. "Om hari ini tidak sibuk, hanya ingin kemb

  • Hasrat Panas Paman Dingin   BAB 10

    Anin memukul dada Devan cukup keras usai tersadar dari keterkejutannya karena serangan tak terduga omnya itu. Sungguh, ia benar-benar tidak menyangka Devan akan berakhir menciumnya dengan cukup kasar dan terburu-buru. "Mmhhhhp ... O-om, lepas!" Anin terengah-engah setelah Devan melepaskan ciuman mereka. Mata gadis itu berkaca-kaca, memandang Devan tak habis pikir. "Om gila?!" Masih dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat, Devan tersenyum miring. "Kamu juga melakukan itu tadi malam." "T-tapi, aku ...." Anin gagap, tidak tahu harus berkata apa. Memang benar dirinya yang lebih dulu mencium Devan tadi malam, tetapi bukan berarti Devan harus membalasnya dengan tindakan yang sama! "Kamu tidak mau keluar?" Saat mendongak, ternyata Devan sudah berada di luar mobil. Anin hanya bisa membuang napas pasrah, tanpa sepatah kata bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengikuti langkah Devan memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memasuki salah satu toko dengan label yang cukup terkena

  • Hasrat Panas Paman Dingin   BAB 9

    Anin mengerutkan dahi. Apa maksud pesan dari omnya itu? "Anin? Kamu nggak apa-apa?" "Oh?" Anin melepas tatapannya yang terpaku pada pesan aneh dari Devan. "Rian, maaf. Aku lupa udah punya janji. Kita bicara lain kali, ya?" Tanpa menunggu tanggapan Rian, Anin bergegas berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi secepat mungkin. Ia baru bisa bernapas lega setelah menginjak halte bus di dekat cafe. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, Anin sama sekali tidak bisa mengorbankan persahabatannya dengan Viona hanya karena masalah sesepele memperebutkan seorang lelaki. Toh, Anin tidak memiliki perasaan apa pun pada Rian. "Viona pasti udah pulang. Aku pesen taksi aja, deh," gumam Anin. Sesaat sebelum Anin berhasil memesan taksi online, sebuah mobil sedang berwarna putih yang sangat ia kenali melaju dan berhenti tepat di depannya. Di dalam sana, di balik kaca mobil yang tidak sepenuhnya tertutup itu, dapat dilihatnya Devan yang tengah duduk dengan raut wajah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status