Belum sempat memproses, Viona dan Anin kini berjalan berdampingan di belakang Karen. Mata kedua gadis itu tidak terlepas memperhatikan suasana club dengan pencahayaan minim serta suara musik yang memekakkan telinga. Di tengah ruangan, ada begitu banyak pasang kaki yang menari mengikuti alunan musik. Bahkan, Anin sesekali bersenggolan dengan entah itu lelaki atau perempuan, yang membuatnya kian berkeringat dingin karena perasaan tidak nyaman.
"Om Viona pasti kaya banget sampe bisa punya club kayak gini ya, Nin." Sementara itu, Viona malah asik sendiri mengomentari kekayaan orang lain. Lalu, gadis itu tertawa kecil. "Om kamu kan, juga kaya, ya. Aku lupa." Anin sama sekali tidak berniat menanggapi candaan Viona. Sekarang, mereka berdua berhenti melangkah begitu Karen berhenti pada sebuah meja di mana dua orang perempuan yang adalah teman-teman Karen telah duduk pada salah satu sofa di sana. "Guys, gue bawa dua tamu lagi, nih! Buat yang belum kenal, kenalan aja, ok?" Mereka hanya melempar senyum yang sama sekali tidak tulus melihat kedatangan Anin dan Viona, lalu kembali menikmati berbagai macam minuman yang tentunya mengandung alkohol di atas meja. Sedang itu, Karen mengambil duduk di samping seorang lelaki yang sejak tadi tidak melepas pandangannya dari Anin. "Anin?" Lelaki itu adalah Rian, yang langsung berdiri begitu menyadari gadis yang datang bersama Karen adalah Anin. "Kamu kok bisa di sini?" Anin tersenyum canggung. Ia melirik Viona, yang sepertinya terlihat lebih tenang darinya. "Aku diundang Karen. Oh, iya, aku ke sini sama Viona juga." Anin menyeret Viona merapat dengannya, lalu menggandeng lengan gadis itu. Di saat itulah Rian menyadari bahwa Anin tidak datang sendirian. "Oh," gumam lelaki itu. "Kalo gitu, kalian duduk aja dulu. Mau minum sesuatu? Kalian nggak minum alkohol, kan?" Anin mengangguk cepat. "Minuman apa aja asal jangan alkohol ya, Rian. Makasih." "Dih. Buat apa ke club kalo nggak minum," celetuk Karen, lalu menenggak segelas minuman beralkohol di atas meja. Viona tidak mau tinggal diam mendengar sindiran pedas itu. "Aku minum, kok!" serunya. Viona segera berdehem pelan menyadari nada suaranya yang berlebihan, lalu berbicara dengan nada lebih pelan, "Aku mau wine satu." Viona hanya asal menyebutnya saja. Toh, semua alkohol juga sama saja, pikirnya. "Emang lo tahu wine itu apa?" sahut Karen, yang langsung disambut tawa pelan oleh kedua temannya. Mereka sepertinya memang berniat menjatuhkan Viona. Viona mengangkat bahu, tidak peduli. "Terserah aku, dong. Ehm, Rian, aku pesan itu." "Vi, kamu yakin bisa minum? Aku tahu kamu nggak pernah nyoba minuman kayak gitu." Terlihat raut cemas yang begitu kentara dari wajah Anin. "Nggak apa-apa. Lagian, aku juga pesan satu doang, kok." "Ya, udah. Kalian duduk dulu aja, nggak lama kok." Setelah kepergian Rian, Viona menarik pelan lengan Anin dan mengambil duduk di salah satu sofa yang berhadapan langsung dengan Karen. Yang membuat Viona heran, gadis itu sepertinya sejak tadi terus menenggak minuman beralkohol, tetapi mengapa tidak terlihat mabuk sama sekali? Viona akui, Karen memang suhu kalau soal ini! "Thanks, Rian." Anin tersenyum kecil begitu Rian meletakkan segelas minuman berwarna oranye yang sepertinya adalah jus jeruk. "Sure," balas Rian. Di sisi lain, Viona di sisinya hanya bisa melongo menatap sebuah botol yang baru Rian letakkan di depannya. "Rian, aku cuma pesan satu. Tapi kok ...." "Iya, Vi. Di sini nggak nyediain pesanan wine satu gelas, tapi satu botol." Rian menjawab ringan. Viona nampak pias. "Maksud kamu, aku harus ngabisin satu botol ini sendirian, gitu?" "Udah, kamu minum punya aku aja. Yang itu simpen aja, ya?" Viona baru saja ingin mengangguki ucapan Anin. Namun, celetukan orang di seberang sana membuatnya mau tidak mau harus berkata lain. "Pesen wine tapi nggak diminum? Sok-sokan sih." Deg! Viona menipiskan bibir menahan emosi. "Kata siapa aku nggak mau? Aku bisa minum, kok!" Anin menghela napas panjang melihat kelakuan Viona. Kenapa sahabatnya ini tidak mau mengalah saja menghadapi Karen? Padahal, jelas-jelas gadis itu hanya ingin mempermainkannya saja. Lihat saja sekarang, Karen bahkan tersenyum puas melihat Viona terlihat begitu tersiksa ketika satu tegukan minuman beralkohol itu berhasil melewati tenggorokannya. Begitu pula dengan satu tegukan lain, Viona kentara sekali tidak pernah mencoba minuman seperti ini sebelumnya. "Vi, udah, nggak usah kamu habisin. Kamu udah nggak kuat. Simpen aja, ya?" Viona menggeleng, ia menoleh pada Anin dan memandangnya penuh tekad. "Aku bakal disindir habis-habisan sama nenek lampir itu kalo sampe nggak bisa ngabisin minuman ini, Anin. Gimana pun caranya, pokoknya wine ini harus bisa abis!" Tanpa berpikir panjang, Anin menahan tangan Viona yang hendak kembali menenggak satu gelas kecil berisi minuman beralkohol itu. "Kalo gitu ... kita abisin ini sama-sama." "Drama apa sih, nih? Perasaan gue nggak lagi nonton sinetron, deh!" Anin tidak mengindahkan seruan Karen di seberang sana. Gelas yang tadinya berada di tangan Viona kini sudah berpindah ke tangannya, dan meski dengan raut penuh keraguan, ia tetap memaksakan diri menenggak habis minuman pada gelas kecil itu. Anin mengernyit tidak suka. Rasanya sangat aneh, pahit sekaligus terasa begitu panas saat menyentuh tenggorokannya. Rian berjalan mendekat, bersimpuh di hadapan Anin lalu berujar, "Anin, udah. Kamu nggak kuat minum. Simpan aja, Viona juga keliatannya udah mabuk." Tangan Anin yang memegang gelas keduanya mengambang di udara. Ia menoleh pada Viona yang nampak pipinya sudah memerah. "Tapi ...." "Anindya Jenaya!" Seruan itu tidak hanya mengagetkan hampir seluruh orang di dekat Anin, tetapi juga dirinya yang amat sangat mengenali suara berat dan tegas itu. Seorang pria dewasa yang nampak masih sangat bugar juga tampan di usianya yang sudah mencapai kepala tiga berjalan dengan langkah lebar, bersama tatapan tajam yang sedetik pun tidak terlepas dari Anin. "Pulang sekarang juga," ujar pria itu penuh penekanan. Anin menelan ludahnya susah payah. Devan? Mengapa omnya itu bisa ada di tempat ini?"Dewi, jangan keterlaluan." Sandy, yang terlihat sudah cukup tua dengan uban di beberapa helai rambutnya, memilih angkat bicara menengahi adu mulut di antara keluarganya. "Kamu sudah sangat dewasa untuk bisa memilah mana perkataan yang pantas diucapkan. Banyak anak-anak di sini, ucapan kamu bisa saja menodai otak polos mereka," ujar Sandy menasihati. Dewi menunduk pada Sandy. "Maaf, Om. Aku cuma terbawa suasana." "Ucapan Dewi ada benarnya, Pa," ungkap seorang wanita yang duduk di samping Sandy. Itu adalah Miranda, ibu dari kedua orang tua Anin. "Kalau bukan karena kehadiran dia, putriku pasti bisa menggapai semua cita-citanya. Dia dan keluarga pria itu hanya bisa memberi penderitaan pada Nindia," lanjut Miranda, yang mampu memanaskan suasana yang semula telah membaik. "Miranda! Jaga ucapan kamu. Sudah sepantasnya kamu yang menjadi penengah untuk masalah di keluarga ini!" tandas Sandy. Miranda menipiskan bibirnya, kesal. "Bela saja dia terus, Pa! Kamu emang nggak pernah
Devan meneguk ludah kasar sembari kedua tangannya berusaha memasangkan kancing gaun Anin. Jakunnya naik turun menyaksikan punggung mulus keponakannya itu yang hampir terekspos sepenuhnya. Begitu pula dengan Anin. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan setiap tangan Devan tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya. Apalagi, posisi pria itu yang berada terlalu dekat dengan tubuh bagian belakangnya. "Ud-udah belum, Om?" tanya Anin karena Devan tidak beranjak dari belakangnya meski ia merasa kancing terakhir sudah terpasang. Devan berdehem pelan, berjalan untuk menjauhkan tubuhnya. "Ambil tas kamu, Om tunggu di mobil." Setelahnya, Devan berjalan pergi tanpa meninggalkan Anin yang belum berbalik. Gadis itu menekan dadanya yang berdebar keras, bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? *** Rumah Opa Sandy terletak di kawasan yang cukup asri. Karena itulah, tidak ada anggota keluarga yang menolak acara dilakukan di sana. Halaman belakang bisa memuat beberapa meja dan kursi untuk seluruh an
"Selina, tolong lepas. Di sini banyak orang." Devan melepaskan diri dari pelukan wanita itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi, oramg yang berlalu lalang turut memandang mereka dengan tatapan aneh. "Oh." Selina yang tersadar akan tindakannya mengambil langkah mundur dari Devan. "Maaf, Dev. Aku cuma merasa senang kita bisa ketemu di sini. Kamu apa kabar?" "Kabarku baik," jawab Devan singkat. Ia melirik Anin, takut gadis itu merasa bosan berada di situasi ini. "Kami harus ke kasir." Devan meraih satu tangan Anin dan menggenggamnya, sedang tangan yang lain kembali meraih keranjang. Tindakan Devan itu membuat Selina menyadari keberadaan Anin. Senyum seketika luntur dari wajahnya. "Oh, aku tadi hampir aja nabrak kamu. Maaf, ya," ujar Selina pada Anin. Anin hanya menggeleng singkat. "Aku juga nggak liat jalan, bukan salah kamu, kok." Selina tersenyum manis. Matanya diam-diam meneliti penampilan Anin, yang nampak seperti remaja karena tubuhnya yang tidak begitu tinggi
"Om akan langsung kembali ke kantor setelah mengantar kamu pulang." Anin tidak membalas perkataan Devan, ia melarikan tatapannya ke arah jalanan dan gedung-gedung tinggi yang mereka lalui untuk kembali ke apartemen. "Kamu ingin mampir membeli sesuatu? Om lihat kita sudah kekurangan bahan masakan di kulkas," ucap Devan sekali lagi, berharap bisa mendapatkan respon dari Anin. Sejak meninggalkan pusat perbelanjaan hingga kini Anin masih belum mau membuka mulut. Ini salah Devan yang malah mendiamkan pertanyaan gadis itu saat di toko tadi. "Aku bisa masak mi instan," sahut Anin singkat. "Mi instan tidak baik untuk kesehatan, Anindya," balas Devan, sedikit senang Anin akhirnya mau bicara. "Kita mampir ke supermarket sebentar." Kali ini, Anin menolehkan kepalanya pada Devan yang masih sibuk menyetir. "Om nggak sibuk?" "Kenapa kamu bertanya?" "Sibuk atau nggak?" Anin mengulangi pertanyaannya. "Tidak, Anindya." Devan menjawab pasrah. "Om hari ini tidak sibuk, hanya ingin kemb
Anin memukul dada Devan cukup keras usai tersadar dari keterkejutannya karena serangan tak terduga omnya itu. Sungguh, ia benar-benar tidak menyangka Devan akan berakhir menciumnya dengan cukup kasar dan terburu-buru. "Mmhhhhp ... O-om, lepas!" Anin terengah-engah setelah Devan melepaskan ciuman mereka. Mata gadis itu berkaca-kaca, memandang Devan tak habis pikir. "Om gila?!" Masih dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat, Devan tersenyum miring. "Kamu juga melakukan itu tadi malam." "T-tapi, aku ...." Anin gagap, tidak tahu harus berkata apa. Memang benar dirinya yang lebih dulu mencium Devan tadi malam, tetapi bukan berarti Devan harus membalasnya dengan tindakan yang sama! "Kamu tidak mau keluar?" Saat mendongak, ternyata Devan sudah berada di luar mobil. Anin hanya bisa membuang napas pasrah, tanpa sepatah kata bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengikuti langkah Devan memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memasuki salah satu toko dengan label yang cukup terkena
Anin mengerutkan dahi. Apa maksud pesan dari omnya itu? "Anin? Kamu nggak apa-apa?" "Oh?" Anin melepas tatapannya yang terpaku pada pesan aneh dari Devan. "Rian, maaf. Aku lupa udah punya janji. Kita bicara lain kali, ya?" Tanpa menunggu tanggapan Rian, Anin bergegas berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi secepat mungkin. Ia baru bisa bernapas lega setelah menginjak halte bus di dekat cafe. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, Anin sama sekali tidak bisa mengorbankan persahabatannya dengan Viona hanya karena masalah sesepele memperebutkan seorang lelaki. Toh, Anin tidak memiliki perasaan apa pun pada Rian. "Viona pasti udah pulang. Aku pesen taksi aja, deh," gumam Anin. Sesaat sebelum Anin berhasil memesan taksi online, sebuah mobil sedang berwarna putih yang sangat ia kenali melaju dan berhenti tepat di depannya. Di dalam sana, di balik kaca mobil yang tidak sepenuhnya tertutup itu, dapat dilihatnya Devan yang tengah duduk dengan raut wajah