Grisse mengerutkan keningnya ketika rongga mulutnya tetiba dipenuhi oleh cairan kental dengan rasa yang sulit digambarkan. Rasa yang sangat asing dan… aneh. Detik berikutnya, Grisse buru-buru menggunakan paha Vidwan sebagai tumpuan kedua tangannya agar ia bisa bergegas berdiri. Grisse cepat-cepat menjauhkan mulutnya dari kemaluan Vidwan. Rasa mual yang hebat membuat Grisse berlari menuju wastafel dan sesampainya di depan wastafel, tanpa menunda lagi Grisse pun….
Hoek!
Grisse memuntahkan seluruh cairan yang tertahan di mulutnya. Perutnya seperti diaduk-aduk dengan cepat tatkala otaknya kembali mengingat rasa yang ditangkap oleh saraf lidahnya.
Vidwan bangkit dari duduknya kemudian bergegas mendekati Grisse. Meski terlihat enggan, Vidwan terpaksa harus mengenyahkan sensasi nikmat akibat klimaks yang dialaminya. Untuk saat ini, Grisse lebih penting. Gadis itu terlihat lemas dan sangat menderita di depan wastafel. Vidwan memijit
Grisse mengerjap beberapa kali sambil berusaha mengumpulkan kembali ingatannya tentang apa yang baru saja ia lalui. Grisse ingat bahwa ia tidak sedang berada di apartemen Vidwan, melainkan di kamarnya sendiri. Namun, Grisse tersentak begitu mengingat nama Vidwan. Vidwan. Ya, Vidwan datang ke kamarnya sambil membawa hadiah. Hadiah? Hadiah apa? Saree. Saree pernikahan. Ya Tuhan…. Grisse membekap mulutnya sendiri. Vidwan mencoba meminta maaf padanya dengan membawakannya saree. Vidwan tahu bahwa Grisse sangat ingin memakai saree. Dan tadi, sebelum mereka kembali bercinta sebagai bentuk permintaan maaf, Grisse sempat melihat saree itu. Saree indah dengan dominan warna merah dan emas. Grisse menoleh ke samping kanannya. Vidwan masih tertidur pulas dengan posisi miring menghadap dirinya. Bagaimana laki-laki itu bisa tidur dengan sangat nyenyak, padahal sebentar lagi mereka ada kelas. Grisse ingin membangunkan Vidwan, namun ket
Grisse tiba di kampus lebih awal. Ia pun memutuskan untuk segera masuk ke ruang kelas karena tidak ada yang bisa dilakukannya di jam tanggung seperti sekarang. Sesampainya di dalam kelas, ternyata ruangan masih kosong dan sunyi. Grisse menatap bangku di deretan paling depan. Sebelumnya, ia selalu menjadi pemilik salah satu bangku di sana, bangku yang tepat berhadapan dengan meja dosen. Kali ini Grisse enggan duduk di sana. Ia kemudian mengedarkan pandang, melihat setiap barisan bangku. Lama berpikir, akhirnya Grisse berhasil membuat keputusan. Ia memilih untuk duduk di salah satu bangku paling belakang, yang dekat dengan jendela. Tepat ketika Grisse menarik kursi kemudian duduk di bangku yang telah dipilihnya, satu per satu mahasiswa yang mengambil kelas Bahasa Sansekerta datang. Grisse memperhatikan satu demi satu teman-temannya yang masuk melalui satu-satunya pintu di ruangan itu kemudian menyebar untuk mencari bangku yang akan mereka duduki. Grace
“Grace tidak ada dalam hubungan kita. Dia tidak membawa pengaruh apa pun.” Vidwan ingat betul seperti itulah kalimat yang dikatakannya pada Grisse sebelum gadis itu pergi. “Anda salah, Sir. Keberadaan Grace sangat mempengaruhi hubungan kita.” Bantah Grisse sambil berbisik ketika mengucapkan kata hubungan. “Grace menyukai Anda dan dia tidak menyukai saya dekat dengan Anda, Sir.” Imbuh Grisse sambil menekankan suaranya pada setiap kata yang diucapkannya. “Jangan pedulikan Grace.” Vidwan dengan tegas meminta Grisse untuk mengabaikan Grace. “Tidak bisa, Sir. Karena sikap Anda di kelas, maksud saya, dengan memberi saya hadiah, Grace secara terang-terangan menuduh saya merayu Anda.” Grisse tetap bersikukuh dengan keyakinannya. Vidwan berbalik, tidak menghadap Grisse, karen
“Grisse!” Panggil Vidwan begitu pintu apartemennya terbuka. Hening, tidak ada jawaban. Ruangan apartemen Vidwan pun gelap. Artinya Grisse tidak kembali ke apartemennya. Gadis itu lebih memilih kembali ke kamarnya di asrama. Vidwan memasuki apartemennya kemudian menutup pintunya perlahan. Ia menyalakan saklar lampu kemudian mendesah pelan.Jika sudah begini, maka mau tidak mau Vidwan harus berkunjung ke kamar Grisse lagi. Namun, tentu saja Vidwan tidak bisa dengan mudah menuju ke sana. Terlebih, ia tidak mau jika sampai terpergok Grace. Bisa-bisa Grisse tidak hanya menjadi bulan-bulanan Grace, tapi juga seluruh mahasiswa.Vidwan mengempaskan tubuhnya ke sofa yang berada di depan televisi. Rasa-rasanya Vidwan seperti melihat Grisse duduk di sampingnya. Ah, kenapa di setiap sudut apartemennya, Vidwan seolah melihat Grisse.
“Apa kau sudah siap, hmm?” Tanya Vidwan yang tiba-tiba muncul di belakang Grisse ketika gadis itu masih mematut diri di depan cermin. Grisse tersenyum sambil mengangguk perlahan. Begitu Vidwan melingkarkan tangannya di pinggang Grisse yang terbuka, gadis itu pun berjengit kaget. Kemudian Grisse merasakan area sekitar perutnya seperti terdapat barisan semut yang melintas: sangat geli, tapi menyenangkan.“Kau cantik sekali.” Puji Vidwan sambil menyasar leher jenjang Grisse yang wangi. Vidwan sangat menyukai aroma parfum yang dipakai Grisse. Perpaduan aroma mawar yang lembut dengan kombinasi jeruk citrus yang segar. Hidung Vidwan yang menempel di leher Grisse kini diikuti ujung lidah yang bergerak sangat perlahan. Grisse refleks menutup kedua matanya. Sapuan lidah Vidwan membuat rambut-rambut halus di area leher Grisse meremang. Tak ayal, Grisse mendesah panjang sambil menggeliat. 
“Dia….” Suara Vidwan terdengar menggantung. Terlihat sangat jelas dari raut wajahnya jika laki-laki itu ragu untuk menyelesaikan kalimatnya. Wanita di depan Vidwan terlihat semakin penasaran. sesekali ia menggerakkan kepalanya atau mengangkat sepasang alisnya, memberi tanda bahwa ia sangat ingin tahu.Grisse yang kini menjauh dari mobil jadi bisa melihat dengan jelas air muka Vidwan yang jelas mengundang tanya. Hingga akhirnya Grisse paham, bahwa Vidwan tengah kebingungan menjelaskan tentang siapa dirinya. Perlahan, Grisse maju dan berdiri di antara Vidwan dan wanita cantik yang kini menatapnya dan Vidwan bergantian.“Hai, aku Grisse.” Sapa Grisse sambil tersenyum ramah. Tangan kanannya terulur dan menggantung di udara cukup lama, sebelum akhirnya wanita itu menyambut uluran tangannya.
Lagi dan lagi, sosok dalam balutan jaket berpenutup kepala itu bergeming. Sepertinya ia memang sengaja tidak merespons Grisse meskipun wanita itu sudah menanyainya beberapa kali. Sosok itu juga sepertinya ingin mengerjai Grisse dan membuatnya marah. Terbukti, Grisse menjadi sebal dan tanpa sadar ia kembali mengulang pertanyaan yang sama. Namun kali ini Grisse bertanya sambil sengaja mengangkat dagunya: mencoba menantang sosok misterius itu. Di saat seperti ini, Grisse harus mampu mengalahkan rasa takutnya sehingga ia berusaha tetap memperlihatkan ekspresi marah di wajahnya.Tanpa banyak kata, sosok itu meraih pinggang Grisse kemudian menariknya mendekat. Grisse sempat meronta, berusaha melepaskan diri. Namun rangkulan tangan di pinggang Grisse sangatlah erat. Semakin Grisse melawan, semakin kuat sosok itu memeluk pinggangnya.“Aku mau dirimu. Sekarang!&rd
“Apa kita akan bercinta lagi sampai pagi?” Tanya Grisse dengan polosnya sambil tangan kanannya meraih ujung selimut yang terdekat dengannya. Grisse bermaksud menutupi dadanya yang telanjang dengan selimut, namun dengan cepat tangan Vidwan menarik selimut yang dipegang Grisse hingga terlepas kemudian mengempaskannya ke lantai. Tak habis akal, Grisse langsung menyilangkan kedua tangannya di dada. Kedua kakinya ia tekuk dengan lutut hampir menyentuh dada. Sementara wajahnya sengaja ia benamkan dalam-dalam dengan kening bertumpu pada kedua lututnya.Grisse sadar bahwa ia dan Vidwan telah menikah sehingga seharusnya tidak perlu ada lagi kecanggungan di antara mereka. Termasuk rasa canggung dikarenakan tidak berpakaian di depan satu sama lain. Bukankah sebelumnya ia dan Vidwan sudah sangat sering tidak berpakaian ketika hanya berdua saja? Bahkan Grisse yakin bahwa Vidwan juga sama seperti dirin