Halo Pembaca, terima kasih telah mengikuti kisah Grisse, Vidwan, dan Krish. Sampai jumpa pada karya-karya Jnana selanjutnya.
“Welcome to the best campus for learning Sanskrit, Grisse.” Aku tersenyum sendiri mendengar kalimat yang kugumamkan lirih. Sepasang mataku tak henti menyapu seluruh objek yang ada di hadapanku. Sebuah bangunan universitas yang bergaya klasik dengan warna terakota mendominasi hampir seluruh bangunan. Indah. Dan keren. Dua kata itu tak henti kukatakan untuk melukiskan kekagumanku. Sambil terus menatap bangunan kampus, ingatanku seolah diputar ke belakang. Ke bagian sebelum aku sampai di sini. Menginjakkan kaki di kampus ternama ini.Aku masih ingat betul ketika sebuah surel dari grup pencari beasiswa yang kuikuti mengirim rangkuman informasi. Sebuah kampus ternama di luar negeri menawarkan program pertukaran mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan di jurusan bahasa-bahasa kuno. Tentu saja aku sangat tertarik untu
Pertama kali melihatnya, aku langsung tertarik. Sepasang manik matanya yang membulat sempurna tatkala mengagumi bangunan kampus, benar-benar mencuri perhatianku. Aku yang saat itu seharusnya segera mengikuti rapat fakultas, terpaksa menghentikan langkah tergesaku.Cantik dan sederhana.Dua kata yang teramat umum, tapi gabungan dua kata itu berubah menjadi menarik, indah, dan mempesona karena berasal dari dirinya. Dia tetap terlihat cantik, meskipun penampilannya sangat biasa dan sederhana: kemeja polos warna krim dipadu rok sepanjang lutut dengan motif bunga-bunga kecil berwarna biru. Kesederhanaan yang ia tampilkan benar-benar membuat kecantikannya terekspos dengan sempurna. Dan aku pun menyadari bahwa aku tertarik pada pandangan pertama, dengan gadis yang baru kali ini kulihat berada di kampusku.Polos
Latihan akan dimulai lima menit lagi, tapi Vidwan belum juga bersiap. Ia masih mengenakan pakaian yang dipakainya mengajar. Kaos beserta celana pendeknya masih terlipat rapi dan tergeletak di atas meja. Matras yoganya juga masih tergulung, belum dibentangkan. Ia menolak ketika Grace menawarkan diri untuk menyiapkan matras miliknya.Beberapa peserta yang sudah datang dan siap mengikuti latihan memandanginya heran. Tidak biasanya sang guru belum siap. Vidwan tidak peduli dengan pandangan penuh tanya seluruh peserta yang hadir. Banyak dari anggota Klubnya berasal dari luar kampus. Mereka mengikuti sesi latihan bersama Vidwan karena kagum dengan sosoknya.Vidwan gelisah seperti ini karena sedang menunggu Grisse. Ia sangat khawatir Grisse urung hadir latihan sehingga kunjungan gadis itu ke apartemen miliknya juga batal. Kini, Vidwan menyadari bahwa ia te
Aku dan Guru Vidwan hendak keluar dari ruangan pelatih. Sebelum akhirnya kami memutuskan untuk keluar ruangan, Vidwan memintaku untuk memanggilnya dengan nama saja, tanpa embel-embel guru. Aku mengangguk tanda setuju, tapi nyatanya beberapa kali aku masih saja memanggilnya Guru Vidwan."Guru, kumohon biarkan aku memanggil Anda seperti itu khususnya bila kita di keramaian."Vidwan melangkah mendekatiku, "Oke, tapi ketika kita hanya berdua kamu harus memanggilku Vidwan."Aku tersenyum sambil mengangkat tangan dengan dua jemari teracung membentuk huruf V, “Janji!”Vidwan terkekeh perlahan kemudian menunduk. Ia mendekatkan wajahnya ke ujung jemariku yang teracung.“Cup!” Bunyi kecupan singkatny
"Grisse!" Suara Vidwan yang memanggil dari arah kamar membuat Grisse terlonjak. Refleks gadis itu memegangi dadanya yang berdebar hebat. Ia benar-benar terkejut mendengar panggilan Vidwan yang tiba-tiba. Tak berselang lama, Vidwan mengulangi panggilannya sekali lagi. Kali ini Grisse segera beranjak dari duduknya. Dengan sedikit bergegas, Grisse melangkah menuju kamar Vidwan. Diketuknya pintu kamar satu kali dan segera Grisse mendengar suara Vidwan dari dalam untuk menyuruhnya masuk."Sir." Panggil Grisse sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu."Masuklah!" Suara Vidwan terdengar dari sudut yang dekat dengan pintu kamar. Sepertinya di balik pintu itu kamar mandi karena Grisse bisa mendengar suara gemericik air yang perlahan menghilang. Grisse menurut. Ia melangkah masuk kemudian menutup pintu kamar perlahan. Grisse memilih diam mematung di temp
Grisse mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Untuk beberapa saat ia bergeming, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Otaknya sibuk bekerja, berpikir keras dan sesekali melakukan penyangkalan tatkala memikirkan pertanyaan, atau tepatnya permintaan, dari Vidwan. Grisse masih tidak percaya bila sang guru dengan gamblang dan tanpa ragu meminta apa yang selama ini ia jaga.Kehormatannya.Kesuciannya.Mahkotanya.Kegadisannya.Ya Tuhan….Selama ini orang tuanya, terutama sang ibu, selalu berpesan padanya agar tidak sekali pun tergoda pada rayuan lelaki. Tergoda rayuan yang memintanya menyerahkan keperawanan. Grisse menjerit dalam hati. Dipanggilnya ibu
Vidwan berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ke arah pintu kamarnya yang sengaja ia tinggalkan terbuka. Ya, Vidwan memang sengaja melakukan itu karena jika ia menutup pintu kamarnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mengintip Grisse ketika gadis itu sedang berganti pakaian. Vidwan kembali teringat tubuh polos Grisse tadi. Ia masih mengingat dengan baik tiap jengkal tubuh gadis itu. Bahkan kedua tangannya pun, ia sangat yakin, masih bisa mengingat dengan jelas apa yang telah dilakukannya tadi. Ya Tuhan, hati kecil Vidwan protes dengan kelakuannya yang tidak senonoh. Mengintip. Betapa ia telah melakukan hal gila. Selain gila, tentu saja yang Vidwan lakukan itu juga hina. Namun, Vidwan tidak peduli. Ia benar-benar tergila-gila pada Grisse. Benar saja, mendapati Grisse menanggalkan jubah mandinya dan memperlihatkan kembali tubuh polosnya, Vidw
“Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar.” Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.“Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?” Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya