BAGIAN 18
“Fan? Kamu nggak lagi kemasukan, kan?” tanyaku dengan setengah sebal. Lelaki itu akhirnya mengangkat kepala perlahan. Tampak dia menarik napasnya dalam-dalam sambil mengatupkan dua bibir erat.
“Mbak ….” Dia menggantung kalimat. Membuatku hampir tak sabaran. Ada apa, sih? Apa susahnya buat to the point!
“Kenapa? Kamu minta libur? Mau kas bon? Atau apa?”
“Mau nggak … kalau kukhitbah?” Lelaki itu menatapku dengan wajah yang pucat pasi. Seketika mataku langsung membuka besar-besar. Arfan mau mengkhitbahku? Dia?
&nbs
BAGIAN 19 “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan. “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan. “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene
BAGIAN 20 Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati? Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M
BAGIAN 21 Mataku membulat sempurna saat menatap halaman rumah yang sudah terparkir dua buah sepeda motor bebek di depannya. Tentu itu bukan motor keluargaku. Bukan motor Mamak juga. Aku pun membatin dalam hati. Itu pasti milik Arfan dan kedua orangtuanya. Motor kulesatkan sampai ke halaman yang pagarnya memang dibuka lebar. Semakin yakin aku bahwa di dalam sana ada Arfan dan calon mertuaku, sebab sandal-sandal yang tergeletak di depan teras salah pasangnya adalah milik Arfan. Jantungku makin berdegup keras, bersamaan dengan perasaan buncah yang luar biasa. Sampai aku sempat lupa bahwa di belakang sana ada sosok Angga yang memang mengikuti sejak dari studio tadi. Aku langsung menghentikan motor matikku. Melepaskan helm dan menyang
22 Malam menjelang dan aku memutuskan untuk pulang. Arifin sempat menelepon karena ingin pamit pulang, sementara aku tak ada di rumah. Lelaki itu kusuruh untuk menunggu sebentar sampai bosnya ini tiba. Ada sesuatu yang ingin kukatakan pula padanya. “Jadi, kamu mau pulang, Dek?” tanya Mbak Mel yang sedang disuapi bubur oleh Ibu. “Biarkan adikmu istirahat dulu, Mel. Kasihan Ayu.” Ibu menimpali. Kini dia sempurna bertransformasi menjadi malaikat baik hati. “Karyawanku di rumah mau pulang. Kasihan dia jaga studio sendirian.” Tak sengaja kulihat wajah Mbak Mel berubah. Tatapannya seperti t
23 Baru saja aku akan memejamkan mata, tiba-tiba saja bunyi bel membuyarkan kantuk. Cepat aku bangkit dari tempat tidur, berharap itu adalah kehadiran dari Mas Wisnu. Saat membuka pintu, betul saja ternyata dialah sosok yang kutunggu. Lelaki itu masih mengenakan pakaian kerja, sementara wajahnya terlihat sangat lelah dengan rambut yang sudah berantakan. “Mas, kenapa nggak kasih tahu kalau mau pulang ke sini?” Aku tersenyum bahagia sembari meraih tas kerjanya untuk dibawakan. Namun, bukannya membalas tersenyum, Mas Wisnu malah cemberut dengan langkah gontai. “Bikin malas aja si Melani. Mas baru pulang, capek-capek datangin dia ke rumah sakit, eh malah diomelin. Panjang lebar. Dibilang nggak perhatian, hanya memanfaatkan kebaikannya, habis manis sep
24 Pukul satu dini hari, aku dikejutkan dengan suara panggilan dari ponsel yang dipakai Mas Wisnu untuk menghubungi rekan dan orang terdekatnya. Ngomong-ngomong, dia memiliki dua ponsel yang selalu dibawa kemana pun. Yang satu lagi berupa smartphone lawas, hanya digunakan untuk menghubungiku agar tak diketahui oleh Mbak Mel. “Mas, ada yang nelepon.” Aku mengguncang tubuh Mas Wisnu yang tenggelam dalam selimut tebal. “Hmm.” Lelaki itu hanya berdehem dan kembali melanjutkan tidurnya. Panggilan itu terus masuk dan suara berisiknya membikinku risau. Kuraih ponsel Mas Wisnu yang diletakkannya di atas nakas. Kaget, kulihat nama yang terpampang di layar. Ibu Mertua,
25Sore hari kami berdua baru terbangun dari tidur lelap. Mas Wisnu yang biasanya sibuk untuk kembali ke kantor saat jam makan siang usai, kini terlihat santai kala bangkit dari tempat tidur.“Mas, nggak ke kantor?” tanyaku keheranan. Kulihat jam dinding, sudah pukul 16.00 sore. Harusnya dua jam lalu lelaki itu sudah kembali ke kantor.“Tidak, Dek. Mas sudah izin sama atasan untuk setengah hari saja masuk kantor. Capek gara-gara dini hari ngurusin Melani.” Mas Wisnu merenggangkan tubuhnya sembari menguap lebar. Meski dalam keadaan bangun tidur, tetap saja pesona lelaki itu begitu kuat terpancar.“Nggak apa-apa izin begitu?” Enak juga dalam hatiku, bisa izin tidak masuk seperti itu. Bukannya tak senang, malah senang banget jika Mas Wisnu sering-sering begini. Cuma heran saja. Kok baru sekarang, harusnya kan sesering mungkin biar waktu kebersamaan kami semakin panjang, hehe.“Ya, nggak apa-apa, Dek. Alasannya
26 Setelah bercumbu dan saling mengungkap kata cinta, aku meminta diri untuk menemui kedua karyawan yang sedang bekerja di ruang tengah. Mas Wisnu mengiyakan. Dia berkata juga ingin ikut, dengan maksud agar mengenal Dewi dan Arifin secara lebih dekat “Yang laki-laki itu, Mas mau lihat dulu sifat dan tabiatnya seperti apa. Maklum, Mas sering tidak ada di rumah saat kalian berkumpul di sini. Takut jika ternyata dia naksir istriku dan menggodanya.” Mas Wisnu memasang wajah jutek. Aku meninju pelan lengannya, tanda protes. “Arifin itu lelaki yang sopan, Mas. Dia nggak bakal seperti itu!” Mas Wisnu mencebik. Dia terlihat tak setuju dengan kata-kataku. “Kucing kalau lihat ikan asin,