Share

3

Sejak Mbak Mel marah-marah melihat suaminya membantuku membereskan rumah, Mas Wisnu terlihat semakin canggung di rumah ini. Mereka berdua hanya menjadikan rumah sebagai tempat transit, terlebih setelah mulai masuk kantor.

Mbak Mel masih seperti dulu. Bangun tidur, makan, pergi ke kantor, lalu pulang, makan lagi, terus masuk kamar. Tidak pernah sekalipun ikut bantu-bantu apalagi masak. Aku heran, mau sampai kapan? Apa dia tidak punya hasrat untuk melayani suaminya?

Mas Wisnu pun begitu. Walau bangun sama awalnya dengan aku, dia terlihat takut-takut untuk ikut bantu-bantu di rumah. Dari gerak geriknya, terlihat Mas Wisnu itu adalah seorang yang rajin dan mandiri. Dia tampak tak nyaman jika hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah.

Suatu hari, orderan gamis dan sepatu kulit yang kujual secara online sangat banyak. Aku sampai kewalahan untuk melakukan pengemasan. Sampai-sampai, hari itu aku tidak sempat untuk masak.

“Lho, Yu, kok kamu nggak masak untuk makan malam? Lalu, kami mau makan apa?” Ibu tiba-tiba mengganggu kesibukanku saat tengah membalas W******p sambil menulis alamat penerima barang.Walau geram mendengarnya, tapi aku mencoba untuk santai.

“Masak mie instan aja dulu, Bu. Ayu benar-benar lagi sibuk.” Tanpa memperhatikan ke arah Ibu, aku menjawab sambil terus menulis.

“Halah, Yu. Sok sibuk. Pekerjaan kaya gitu aja gayamu sudah kaya direktur. Ya sudahlah, aku mau beli nasi goreng aja. Bikin ribet orang aja kamu, Yu!” Ibu lalu pergi meninggalkanku.Masa bodoh, kataku pelan. Memang aku pikirin?

Tanganku terus sibuk bekerja. Sesekali reseller-ku yang berada di luar pulau menelepon untuk memastikan barangnya sudah dikirim atau belum. Aku mulai kelelahan. Memang sudah waktunya memiliki seorang asisten untuk menangani pengemasan jika orderan membludak seperti ini.

Di tengah kesibukan, Mbak Mel dan Mas Wisnu datang. Wajah keduanya tampak semringah. Terlebih Mbak Mel. Seperti orang yang baru dapat uang segepok. Tumben-tumben perempuan dengan cat rambut merah cola itu terlihat begitu ceria.

“Dek Ayu, nih aku bawain ayam geprek sama Thai tea.” Mbak Mel menyodorkan plastik berwarna putih padaku.

Aku mengangkat kepala, terheran-heran dengan sikapnya yang tak biasa.

“Hah?”

“Udah, jangan hah hah kaya tukang klomang. Ambil!”

Ragu, aku menyambar plastik itu. Kulirik Mas Wisnu, dia mengangguk kecil sambil tersenyum.

“Mana Ibu?” Mbak Mel lanjut bertanya. Aku masih duduk sambil meneruskan pekerjaanku di lantai ruang tamu yang agak berserakan.

“Di belakang.” Singkat aku menjawab. Mbak Mel langsung pergi ke belakang sambil menenteng plastik lainnya dengan langkah cepat. Seperti sudah tak sabar ingin mengabarkan sesuatu.

Tak terduga, Mas Wisnu duduk di sebelahku. Aku menyingkirkan beberapa benda yang tergeletak agar dia dapat duduk.

“Tumben banget dia. Lagi kesurupan?” Dengan nada mengejek aku bertanya pada suami Mbak Mel. Aroma harum apel segar tercium dari tubuh Mas Wisnu. Kuperhatikan wajahnya tampak berkilap, seperti terang bintang di langit. Lelaki ini terlalu sempurna untuk Mbak Mel, pikirku.

“Haha bisa aja kamu, Dek. Habis dapat bonusan dia. Tadi juga baru dibelanjain. Makanya happy.”

Aku mencibir kecil mendengarnya. Dasar perempuan matre!

“Dek, aku ada sesuatu.” Mas Wisnu dengan gerakan cepat merogoh saku celananya. Aku menunggu-nunggu benda apa yang akan muncul dari tangan lelaki berkulit cerah itu.

“Tara!”

Aku terperanjat. Sebuah kotak beludru warna biru gelap terbuka dengan liontin huruf A di dalamnya.

“Ini apa?” Aku mendelik tajam pada Mas Wisnu. Merasa curiga dengan gelagatnya.

“Hadiah untuk adik ipar. Tanda maaf karena istriku suka marah-marah. Hehe.” Senyum Mas Wisnu terlihat tulus. Seper sekian detik, mampu membuat hatiku meleleh. Oh, tidak. Aku harus terlihat biasa saja. Toh ini hanya liontin biasa. Bisa jadi tanda persaudaraan darinya. Apa sih yang aku pikirkan? Huh.

“Mbak Mel tahu Mas membelikan untukku?” Jujur saja, aku tak ingin ini akan jadi salah paham di antara kami bertiga.

“Tahu. Dia yang pilihkan. Karena Ibu juga aku belikan sebuah cincin. Ini hadiah bonusan dariku.”

Berat hati aku menerima kotak beludru itu, lalu meletakkannya di atas buku catatan keuangan toko online-ku.

“Tugasmu banyak banget? Nggak makan dulu? Nanti masuk angin.”

Aku hampir saja menganga mendengarkan kata-kata Mas Wisnu. Di usia yang menginjak 25 tahun ini, memang belum sekali pun merasakan indahnya cinta atau pacaran. Tipikal introvert dan jarang bergaul membuat aku belum juga kunjung dilamar apalagi dinikahi orang. Jadi wajar apabila perhatian barusan membuatku sedikit gugup.

“Nanti saja.” Tak mau terlihat grogi, langsung saja kualihkan pandangan dari Mas Wisnu. Sibuk menekan-nekan ponsel padahal tak ada yang kuketik.

“Ayo, makan dulu. Nanti, kalau Mbak Mel-mu sudah tidur, aku bantu packing. Belum selesai kan?”

Kali ini jujur saja jantungku mau copot dibuatnya. Apa maksud Mas Wisnu? Apa ini tidak terlalu berlebihan?

“Mas, kamu balik aja ke kamar atau temenin Mbak Mel. Takut mereka salah paham.” Aku semakin tidak nyaman karena harus menata hati dan denyut jantung yang semakin tidak beraturan. Rasanya pengap. Sulit bernapas. Ah, aku ini kenapa?

“Nanti saja. Mbak Mel-mu sedang sibuk menimang berliannya. Kalau sudah seperti itu, aku ini nggak ada nilai sama sekali di mata dia.” Mas Wisnu tersenyum, tapi terlihat getir. Segitunya kah?

Aku menggangguk. Akhirnya patuh terhadap perinta Mas Wisnu. Perlahan nasi ini masuk ke dalam mulut. Rasanya hambar. Karena pikiran ini sedang tidak dapat berkonsentrasi dengan rasa di dalam makanan yang terhidang. Pikiranku sibuk meraba sebenarnya ada apa dengan Mas Wisnu. Apakah aku terlalu berlebihan dalam menilai sang ipar?

“Dek, sebenarnya akhir-akhir ini aku ingin buka usaha sepertimu.” Mas Wisnu mulai bercerita. Dia mengulas sebuah lengkung manis di bibirnya. Menatapku sebentar lalu cepat mengalihkannya. Malu-malu kulirik. Jarak kami berdua hanya tiga puluh Senti saja, sehingga tampak jelas betul bagaimana ekspresinya yang sulit dijelaskan. Jujur, diri ini belum pandai menebak gestur dari seorang lelaki.

“Terus?” Kuberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut. Mengharap sebuah jawaban darinya. Penasaran juga ternyata.

“Tapi... Melani tidak pernah mengizinkan. Sebulan sebelum menikah aku sudah pernah mengutarakan impianku untuk jadi pengusaha yang mandiri, ketimbang karyawan yang harus bekerja dari pagi sampai malam dengan jumlah libur yang terbatas. Alasannya selalu sama. Dia takut tekor dan nggak siap untuk jatuh miskin. Melani benci ketidakpastian.” Mas Wisnu menerawang jauh. Kerutan di dahinya serta merta muncul, menggambarkan bahwa dia sedang berpikir keras. Kurasa, sepertinya aku mulai bisa membaca pikiran Mas Wisnu, walau sedikit.

“Hah, dia memang benci pekerjaan seperti ini. Makanya Mbak Mel selalu mengecilkan dan menghina pekerjaanku. Meski menghasilkan, tetap saja aku dibilang nganggur olehnya.” Aku tertawa sinis. Jengkel campur geram. Tak hanya Mbak Mel, Ibu dan sanak famili lainnya pun begitu. Tidak sama sekali menganggap bahwa punya usaha sendiri itu adalah sebuah pekerjaan. Bekerja ya harus di kantor. Selain itu namanya bukan pekerjaan, melainkan serabutan saja. Halah, giliran makan hasilnya mau juga.

“Padahal, aku sudah nggak betah di kantor, Dek. Beban kerjaku semakin berat. Apalagi sejak berganti direktur. Kerjaannya selalu menyalahkan. Dia nggak segan lempar batu sembunyi tangan setiap menghadapi risiko kerja. Terhitung sudah dua kali aku terjerat masalah besar gara-gara si sialan itu.” Mas Wisnu mendengus kesal. Baru pertama kali aku melihatnya mengumpat dengan wajah merah padam.

“Mbak Mel tahu?”

Mas Wisnu mengangguk lemas. Aku hanya bisa membulatkan mulut layaknya huruf o. Paham betul seperti apa sifat Mbak Mel. Mana mau sih dia peduli selagi tidak menyusahkan dirinya secara langsung. Juara umum manusia dengan sifat egosentris gitu lho.

“Ya sudah. Jalani saja. Toh menikah dengan Mbak Mel sudah jadi keputusanmu.” Jawabanku relatif cuek. Bingung sih mau menanggapi seperti apalagi. Melani adalah pilihannya. Bukankah Mas Wisnu sudah paham betul sifat perempuan itu?

“Andaikan kamu jadi aku, pasti kamu juga bakal menikahinya, Dek. Memangnya kamu mau berurusan dengan hukum karena menjadi penyebab anak orang mati bunuh diri? Nggak kan?” Mas Wisnu memicingkan matanya padaku. Membuat aku sedikit ternganga mendengarnya. Jadi, Mbak Mel sudah mengancam Mas Wisnu? Hanya demi bisa dinikahi? Cuih, picik sekali jalan pikirannya.

“Mas percaya dia bakal bunuh diri betulan?”

Mas Wisnu mengangguk mantap. “Melani bahkan pernah membuat rekan kerja yang naksir padaku dikeluarkan dengan mudahnya. Dia juga tega mengadu-domba sesama karyawan hanya demi mendapatkan promosi. Melani itu nekat.”

“Kenapa Mas bisa jatuh cinta padanya?” Akhirnya, kalimat tanya itu keluar juga dari bibirku.

“Aku hanya takut dulu dia merusak karierku, Dek. Ini adalah posisi yang sangat kuinginkan awalnya. Jika aku menolaknya, jelas pasti nasibku akan sama seperti karyawan-karyawan lainnya yang terjengkang dari perusahaan. Kukira dulu aku bisa melepaskannya kapan pun saat aku mau, tapi ternyata tidak semudah itu. Jeratannya begitu kuat.”

Aku bergidik. Ngeri. Sehebat apa seorang Mbak Mel sampai-sampai seorang kepala divisi saja takut padanya? Bahkan Mbak Mel hanya seorang staf pemasaran, bukan manajer HRD atau CEO. Apakah kecantikannya itu digunakan untuk bisa menyetir atasan?

“Apa dia punya hubungan spesial dengan atasan kalian, sampai-sampai bisa membuat orang hengkang dari perusahaan segala?” Curigaku membesar. Bagai seorang detektif yang mengulik detil suatu tindak kriminal.

“Curigaku seperti itu. Tapi Melani sangat rapi dalam bermain. Entahlah. Sungguh mati, aku sebenarnya merasa tertekan Dek. Apa kamu pikir, selama ini aku baik-baik saja?” Mas Wisnu mendekatkan wajahnya. Jelas saja pipi ini langsung panas. Sontak aku langsung menjauh untuk menjaga jarak.

“Mas Wisnu?! Dicariin malah masih di sini!”

Rasanya jantungku hampir saja copot. Sialan, ternyata ada Mbak Mel! Semoga dia tidak mendengarkan cerita kami.

“Maaf Mbak, tadi aku minta diajari Mas Wisnu tentang promosi dan advertising. Untuk pengembangan bisnisku.” Senormal mungkin aku berusaha untuk bersikap agar Mbak Mel tidak curiga. Betina itu hanya mendecak dan terlihat kesal.

“Halah, bisnis jualan gamis murah aja belagu pakai belajar advertising.” Mbak Mel mengibaskan tangannya, jelas untuk merendahkanku. “Mas, ayo ke kamar. Ada yang mau aku sampaikan.”

Mas Wisnu langsung bangkit. Langkahnya gontai. Seperti kurang bersemangat.

Kuperhatikan diam-diam dengan ekor mata punggung Mas Wisnu yang kian berlalu menuju kamarnya. Dalam hati aku merasa iba pada lelaki itu. Tak kusangka, di balik senyum dan kelembutannya, pria itu sedang menyimpan ketakutan. Takut akan ancaman tiba-tiba dari perempuan yang mencintainya.

Pelik. Rumah tangga ternyata betul-betul rumit. Bahkan bagi pasangan pengantin baru, mahligai pernikahan tak selamanya berbunga-bunga dan penuh cinta.

Aku termangu sesaat. Jika memang bisa, teramat ingin untuk menyelamatkan Mas Wisnu dari belenggu Mbak Mel yang merusak kenyamanan hatinya. Namun, seketika aku menggeleng. Puluhan tahun aku hidup, bahkan sampai detik ini aku tak bisa melepaskan diri dari Mbak Mel dan Ibu yang tiran. Padahal, aku memiliki pijakan kuat untuk mengenyahkan mereka dari sini, yaitu surat wasiat almarhum Bapak tentang hak warisku terhadap rumah.Terlihat kuat dengan perlawanan dingin, ternyata aku masih jauh lebih lemah dibandingkan Mbak Mel, apalagi Ibu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status