Share

4

Kukaitkan liontin huruf A itu pada kalung emas dan memakainya. Leher jenjangku terlihat manis dengan perhiasan itu. Seketika bibirku tersungging menatap pantulan diri di cermin. Ternyata aku cantik juga jika memakai perhiasan seperti ini.

Perlahan kusisir rambutku yang sedikit berantakan. Sakit, ternyata saking jarangnya bersisir helai demi helai hitam di kepalaku jadi kusut begini. Saat memandangi rambut sebahuku tergerai, sekali lagi mengagumi kecantikanku. Apakah selama ini aku hanya kurang terawat sehingga belum satu pun lelaki yang berniat untuk mendekati?

Entah kenapa, malam itu aku sangat ingin mengenakan bedak dan lipstik yang selama ini tersimpan rapi di dalam laci lemari. Jarang tersentuh karena memang aku tak suka bersolek plus hanya sesekali keluar rumah.

Awalnya tangan ini sangat kaku menyapukan bedak, hingga rasanya mukaku jadi cemong karena bedaknya terlalu tebal. Pelan-pelan, aku memperbaiki polesan bubuk berwarna beige itu ke seluruh penjuru wajah mulusku. Ternyata, wajah oval ini semakin cerah dan berseri setelah diberi bedak. Usapan warna peach turut menyempurnakan bibirku yang tipis.

“Kurasa Mbak Mel tidak terlalu cantik jika dibandingkan denganku!” Senyumku semakin lebar. Berkali-kali aku memutar kepala ke kiri dan ke kanan untuk memastikan memanglah wajahku yang tergambar di cermin ini. Hanya polesan bedan dan lipstik ternyata dapat mengubah segalanya!

Kulihat jam di ponselku. Pukul dua belas malam tepat. Sudah larut malam. Di saat orang-orang terlelap, aku malah melakukan hal konyol seperti ini. Terlintas di benakku, bahwa Mas Wisnu dan Mbak Mel sedang tertidur pulas di atas kasur pegas empuk sambil berpelukan di dalam selimut hangat. Betapa indahnya. Entah, rasanya sesak sekali dadaku saat membayangkannya.

Saat pikiranku melang-lang buana memikirkan entah, tiba-tiba saja aku merasa haus dan ingin ke dapur untuk mengambil minum. Tanpa menghapus terlebih dahulu riasan di wajah, aku keluar kamar untuk mengambil segelas air di kulkas.

“Mas Wisnu?” Aku setengah mati kaget saat mendapatinya berada di dapur, tengah asyik minum kopi di meja makan.

“Dek Ayu? Kamu dari mana?” Mata Mas Wisnu membulat. Seolah kaget dengan apa yang dilihatnya.

Aku buru-buru membuang muka, grogi dan tak mampu berkata apa-apa. Ingin rasanya aku balik badan lalu kabur.

“Duduk sini!” Mas Wisnu melambaikan tangannya.

Malu-malu aku melangkah sambil menundukkan kepala. Ah, aku tidak siap jika bertatap dengan Mas Wisnu dalam keadaan berdandan seperti ini. Malu sekali rasanya.

“Aku mau ambil minum.” Kata-kataku rasanya kaku sekali. Sambil terus menunduk dan tak ingin menatap Mas Wisnu.

“Hei, kamu cantik sekali kalau pakai lipstik. Tumben?” Mas Wisnu memperhatikanku dengan posisi kepala yang maju. Jarak kami sangat dekat. Oh, tidak. Jangan sampai dia mendengar bunyi degup jantungku yang keras.

“Aku Cuma nyobain tutorial make up di YouTube.” Aku tidak tahan lagi untuk dekat-dekat dengannya. Akhirnya aku bangkit dan bergegas ke kulkas.

“Ayo, jalan-jalan. Kita makan gudeg di perempatan jalan sana.” Hampir saja aku melonjak kaget. Mas Wisnu sudah berada di samping, sambil memegang pergelangan kananku.

“Lepaskan, Mas!” Cepat aku menepis tangannya.

“Maaf, aku nggak maksud lancang kepadamu, Dek.” Wajah Mas Wisnu terlihat memerah.

Aku jadi menyesal telah berbuat kasar kepadanya. Setidaknya, aku berkata pelan saja.

“Mau nggak makan gudeg?”

Aku tak habis pikir. Semalam ini? Jam dua belas malam? Apa Mas Wisnu sudah gila?

“Mbak Mel?” Aku mulai meragu. Sejujurnya aku ingin sekali keluar untuk menikmati gudeg yang sangat terkenal dan hanya buka antara jam 22.00 hingga 04.00 dini hari itu. Terlebih, jika pergi dengan Mas Wisnu yang baik hati dan selalu membuatku nyaman.

“Dia sudah tidur. Nyenyak sekali. Aku yakin dia pasti bangun siang. Besok Minggu.”

Aku mengangguk pelan. Kapan lagi bisa jalan-jalan malam begini? Seumur-umur aku memang tidak pernah keluyuran apalagi saat tengah malam. Ibu selalu mengungkung kebebasanku, hingga saat dewasa pun aku jadi malas untuk bergaul karena terbiasa diam di rumah.

Mas Wisnu bergegas untuk mengambil jaket, kemudian mengeluarkan motornya dari garasi. Pelan, dia menuntun motor hingga kami telah berada sekitar 30 meter dari rumah. Alasannya agar suara mesin tidak membangunkan orang rumah.

“Pegangan ya, Dek.” Mas Wisnu memberikan instruksi.

Aku mendekat, duduk di atas motor sembari memegang tepi saku jaketnya.

“Mas, kenapa harus mengajakku jalan-jalan tengah malam begini?”

“Aku pengen makan gudeg, Dek. Tapi malas kalau sendiri. Melani mana mau nemenin.” Mas Wisnu memacu motornya dengan kecepatan sedang. Udara malam begitu dingin menusuk hingga tak sadar aku telah memeluk tubuh Mas Wisnu. Rasanya hangat, nyaman. Aku tak kuasa menempelkan kepala ke punggung bidangnya. Mbak Mel, mengapa suami sebaik dan segagah ini kau sia-siakan bagai kucing peliharaan yang sudah bosan kau maini? Apakah dia tak seberharga itu?

“Kamu ngantuk, ya Dek?” Suara Mas Wisnu samar kudengar, bercampur dengan deru angin.

“Sedikit!” Teriakku karena takut tak terdengar.

“Maaf, ya.” Seketika pipiku yang sedari tadi tertampar angin, merasa hangat saat mendengar ucapan lembut Mas Wisnu. Dia begitu peduli denganku.

Aku tersenyum. Sepanjang jalan kunikmati dengan hati yang penuh dengan bunga. Beginikah jatuh cinta? Apakah cinta semabuk ini?

***

Di malam yang dingin dan berkabut, sekumpulan orang duduk lesehan di trotoar jalanan dengan dialasi tikar anyaman. Orang-orang duduk sambil menikmati sepiring gudeg dan segelas teh manis hangat sembari berbincang-bincang.

Aku memperhatikan sekelilingku dengan tatapan gumun. Penuh keheranan. Apa yang dilakukan mereka ini? Tengah malam, makan di luar, ramai pula. Apa tidak dicari oleh sanak keluarga?

“Pernah ke sini sebelumnya, Dek?” Mas Wisnu bertanya padaku. Lelaki putih beraroma parfum yang maskulin itu merapatkan jaketnya. Sesekali dua tangan berbulu halus itu saling menggosok di depan dadanya.

“Baru sekali ini.” Aku menyeruput teh hangat yang baru saja diantarkan oleh pelayan.

“Gudeg di sini paling enak, lho. Menurutku, sih. Makanya banyak yang beli. Padahal bukanya tengah malam. Kamu suka gudeg kan?” Mas Wisnu semakin duduk mendekat ke arahku. Kini jarak kami berdua hanya dua puluh senti.

“Suka.” Aku memperhatikan ke arah lain. Ke arah seberang sana, di mana kendaraan parkir rapi. Masih saja aku gugup saat harus dekat dengan Mas Wisnu.

“Dek Ayu, kamu itu cantik. Kenapa belum punya pacar?”

Aku tercekat. Menelan liur. Haruskah Mas Wisnu menanyakan hal yang dia sendiri pun sebenarnya tahu?

“Mana ada yang mau denganku, Mas? Jarang keluar rumah, tidak punya banyak teman, apalagi pekerjaanku yang serabutan ini. Ingat, aku Cuma lulusan D-3. Tidak seperti Mbak Mel.” Jengkel aku menjawabnya. Sisi sensitif di diriku disentuh oleh Mas Wisnu. Aku paling benci jika ditanya masalah pasangan dan pekerjaan.

“Kurasa bukan itu masalahnya, Dek. Kamu Cuma kurang membuka diri saja. Ayolah, sebaiknya kamu lebih banyak bergaul lagi. Jangan terlalu memikirkan urusan rumah tangga. Jangan mau selalu diperintah-perintah Ibu dan Mbak Mel.”

Aku menatap sinis pada Mas Wisnu. “Mas saja mau-maunya kok diperintah ini itu oleh Mbak Mel. Kenapa sekarang malah menceramahiku?”

Mas Wisnu terdiam. Sepertinya dia merasa terskak mat.

“Betul juga katamu. Aku saja masih seperti ini. Seperti kerbau dicucuk hidungnya oleh Melani. Aku bingung, harus sampai kapan.”

“Ceraikan saja. Beres.” Tanpa sadar kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.

“Tidak, mungkin belum. Keluargaku akan sangat malu.”

Aku mengendikkan bahu.

“Aku masih berharap agar dia berubah.” Mas Wisnu melempar pandangannya. Menatap kosong. Seperti memikirkan sesuatu.

“Dek Ayu, aku ingin bertanya sesuatu. Apakah boleh?” Mas Wisnu kembali membuka percakapan, bersamaan dengan dua piring gudeg yang dihidangkan di depan kami.

Aku meraih satu piring dan mulai menyuap. Enak, pikirku. Tidak kemanisan dan bikin enek.

“Apa itu?” tanyaku sembari mengunyah.

“Kenapa kamu bertahan di antara Ibu dan Melani, padahal mereka seperti itu? Dan kenapa sikap mereka tak pernah baik padamu? Padahal, kami sudah mengerjakan semua untuk mereka.”

Makanan yang awalnya terasa enak, kini menjadi hambar di lidahku.“Aku tidak tahu pasti, Mas. Sejak kecil perlakuan orangtuaku selalu beda kepada kami. Dari hal yang sederhana sampai hal-hal besar. Terlebih Ibu. Dia terlihat sekali begitu tak suka padaku. Dulu aku berpikir, apakah karena wajahku sama sekali tak mirip mereka berdua makanya diperlakukan tak adil? Apa jangan-jangan aku ini anak pungut? Atau anak simpanan Bapak? Tapi, mereka tidak pernah menjelaskan.” Rasa sesak menghimpit dadaku. Aku ingin menangis jika mengingat semuanya. Bentakan, caci maki, hingga tamparan dari Ibu yang selalu merusak masa kecilku. Bapak hanya mampu melihat dan membiarkan semua itu terjadi, tanpa membela sedikit pun.

“Apakah Almarhum Bapak kalian juga begitu?”

Aku menggeleng. “Bapak tidak pernah memukul dan mencaciku, tapi Bapak juga tidak pernah melihatkan kasih sayangnya seperti dia menyayangi Mbak Mel. Namun, saat Bapak terbaring lemah akibat stroke, aku yang mengurus beliau bertahun-tahun hingga akhirnya beliau tutup usia. Saat sakitlah, Bapak baru mau menunjukkan kasih sayangnya walau sudah terlambat.” Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan berat. Yakin, Bapak pastilah sebenarnya menyayangiku, tetapi Ibu mungkin mencegahnya untuk mendekat.

“Karena selama tiga tahun aku mengorbankan masa mudaku untuk mengurus Bapak, maka beliau mewasiatkan rumah itu untukku. Sedang Mbak Mel mendapatkan sawah. Sejak itu, memang sikap Ibu telah berubah tak sejahat dulu. Namun, tetap saja kami tak bisa akur.”

Mas Wisnu mengusap air mata di pipiku yang tiba-tiba jatuh. Ketegaranku porak-poranda akibat mengingat semua kenangan pilu itu.

“A-aku t-tidak tahu ... s-salahku a-apa ....” Tangisku semakin menderu. Aku tergugu hingga dada ini naik turun.

“Cukup, Dek. Maaf aku sudah lancang bertanya.” Mas Wisnu mendekap tubuhku erat. Aku semakin menangis dalam dadanya.

“Dek Ayu, sabar. Sekarang ada aku yang akan menyayangi dan melindungimu. Aku masmu, kamu jangan takut lagi.” Mas Wisnu mengelus kepalaku beberapa lama hingga tangisku berhenti.

Setelah merasa tenang, aku melepaskan pelukan Mas Wisnu. Kusadari, beberapa orang melihat ke arah kami dan itu membuatku seketika malu.

“Mas, ayo kita pulang. Aku takut Mbak Mel dan Ibu terbangun.”

Aki berdiri dan beranjak dari tempat duduk. Tak kupedulikan gudeg yang masih separuh berada di piring.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status