“Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?” Tama bertanya dengan raut wajah khawatir. Tidak bisa ia membayangkan bagaimana rasanya kehilangan menantu kesayangan setelah ia kehilangan putra tercinta.
“Untungnya cairan yang diminum itu tidak terlalu berbahaya, jadi tidak sempat merenggut nyawanya. Terlebih langsung dibawa ke rumah sakit, jadi kami bisa langsung menangani dengan baik. Secepatnya dia akan pulih.” Lelaki itu menjawab pertanyaan yang sejak tadi menggerogoti hati Tama. “Alhamdulillah, Ya Allah. Syukurlah.” Tama menghela napas lega. Semua rasa khawatir di benaknya perlahan menghilang. Ia bisa tenang sekarang. “Saya pamit permisi, nanti pasien akan dibantu oleh petugas untuk dibawa ke ruang rawat inap. Mungkin satu atau dua hari harus dirawat dulu di sini.” “Baik, Dok. Terima kasih.” Tama mengangguk mengerti. Ia menatap sang dokter hingga menghilang di balik pintu ruangan. “Jangan lakukan hal bodoh seperti itu lagi, Maudy! Apa yang kau pikirkan sampai kau ingin membunuh dirimu sendiri?” Tama menatap Maudy yang masih tidak sadarkan diri. Ia paham dan mengerti bagaimana perasaan sang menantu saat ini, tapi ia tidak bisa membenarkan dengan tindakan Maudy yang membahayakan nyawa sendiri. Wajar jika seseorang merasa sedih dan frustrasi karena kehilangan seseorang yang begitu berharga dalam hidupnya, tapi tidak bisa diwajarkan jika ia sampai berniat untuk menyusul ke alam berbeda. Tama menghela napas dengan kasar. Ia memijat kepala yang terasa pening karena masalah yang terjadi secara bertubi-tubi. Petugas datang untuk memindahkan Maudy dari ruang UGD menuju ruang rawat inap. Tama hanya bisa mengekor di belakang. Ikut melangkah menuju ruang tempat di mana Maudy akan bermalam. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.10 malam. Rasa ngantuk datang menyerang, mendampingi rasa lelah pada tubuh Tama. Beruntung ia bisa cuti selama tiga hari atas kematian Liam, jadi ia bisa menemani Maudy di rumah sakit. Tidak ia tinggalkan wanita itu sendirian. *** “Makanlah!” Tama menyodorkan sendok berisi makanan, memberi suapan pada Maudy yang sudah terbangun pagi ini. Maudy menggeleng, menolak untuk makan. Ia tidak ingin membuka mulutnya sama sekali. Tatapan wanita itu kosong menatap ke depan. Seolah tidak ada lagi semangat untuk menjalani hidup setelah ditinggal mati oleh Liam. “Kamu belum makan sejak semalam.” Tama terus saja berusaha membujuk. Apalagi Maudy harus minum obat agar kondisinya lekas membaik. “Jangan seperti ini, Maudy. Sean butuh kamu.” Maudy menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kembali basah karena air mata. Rasa sakit di hatinya belum berkurang barang sedikit pun. Ia benar-benar tidak bisa menjalani kehidupan tanpa suaminya. “Ayo makan!” Tama kembali memberi suapan. Namun, lagi-lagi Maudy memberi gelengan. Ia terus saja menolak untuk makan. Seakan ia tidak merasa lapar barang sedikit pun. Berbanding terbalik dengan kondisi ibu menyusui pada umumnya yang selalu merasa lapar di setiap waktu. “Papa sedih kalau kamu seperti ini.” Lelaki paruh baya itu berucap dengan lemah. “Andai Liam ada di sini, dia juga akan memarahimu karena kamu tidak mau makan.” Maudy mendongak, ia menatap sang mertua dengan mata sembab. Ia usap kedua pipinya yang basah, lalu menenggelamkan wajah di dada lelaki itu. “Maudy kangen Mas Liam, Pa. Maudy gak mau kehilangan Mas Liam. Mas Liam segalanya buat Maudy, kalau Mas Liam gak ada, bagaimana Maudy bisa hidup.” Wanita itu menangis sesenggukan dalam dekapan Tama. Ia menangis sejadi-jadinya di sana. Di hari pemakaman pun, Maudy tidak bisa melihat wajah suaminya untuk yang terakhir kali. Sebab, kondisi jasad yang tidak memungkinkan untuk dilihat. Peti telah dikunci mati saat datang. Tama hanya bisa diam. Ia usap punggung Maudy dengan lembut, berusaha menenangkan. Sesungguhnya ia juga merasakan hal yang sama. Terlebih Liam satu-satunya putra yang bisa ia banggakan. Ia memiliki putra yang lain, tapi dengan sikap yang bertolak belakang. “Kita harus tetap hidup apa pun yang terjadi. Sean butuh kamu, papa juga butuh kamu. Kehidupan harus terus berlanjut. Jangan biarkan kehilangan merenggut hidupmu.” Lelaki itu berucap dengan lembut. *** Tama enggan untuk pulang, sebab ia tidak bisa meninggalkan Maudy sendirian. Ia tidak yakin Maudy bisa dipercaya jika wanita itu tidak akan melakukan hal nekat kembali. Namun, ia harus pulang karena akan mengadakan acara pengajian di rumahnya. Siapa lagi yang harus mengurus semuanya jika bukan dirinya. Tama menghela napas dengan kasar. Ia tatap wajah sang menantu dengan dalam. “Papa akan meminta para petugas untuk mengawasimu. Sehabis acara pengajian nanti, papa akan kembali ke sini. Kamu ingin menitip sesuatu? Untuk semantara waktu Sean berhenti minum ASI-mu dulu, kata dokter sampai racun dalam tubuhmu benar-benar bersih” Maudy menggeleng dengan pelan. Sebagai jawaban bahwa ia tidak butuh apa-apa. “Ya sudah, papa berangkat sekarang. Kalau ada apa-apa, minta petugas untuk langsung menghubungi papa.” Lelaki itu berpesan. Ia beri satu kecupan lembut di kening Maudy sebagai ungkapan kasih sayang. Lalu bergegas pergi setelahnya meski dengan perasaan tidak tenang. Maudy menunggu beberapa menit hingga langkah kaki terdengar menjauh dari ruang di mana ia berada. Setelah memastikan bahwa sang mertua benar-benar telah pergi, ia beranjak turun dari brankar. Maudy melepas jarum infus yang menancap di punggung tangannya. Ia melangkah dengan lemah menuju pintu, membuka daun pintu dan membiarkannya sedikit terbuka. Ia intip ke luar sana, memastikan bahwa sang mertua sudah tidak ada di dekat ruangannya. Lorong itu tampak kosong, tidak ada siapa pun di sana. Maudy kembali menutup pintu ruangan. Semua nasehat yang sudah ia terima dari Tama tampaknya tidak memberikan efek apa-apa untuknya. Langkah itu dengan pasti beranjak menuju nakas. Ada pisau buah yang tergeletak di sana. Tanpa berpikir panjang sama sekali, Maudy meraih pisau itu dan langsung menancapkan dengan kuat ke perutnya. Maudy tersungkur dengan rasa sakit di perut. Namun, karena pisau yang kecil dan tusukan yang meleset dari titik vital, kematian tidak langsung datang. Hanya rasa sakit yang ia rasakan dengan darah yang mengalir keluar. “Mas, sakit. Apa sesakit ini ketika kau terkena ledakan di kapal?” Maudy berucap menahan rasa sakit. Ia kembali menangis membayangkan seperti apa rasa sakit yang Liam terima akibat pertempuran di medan perang. Pisau itu Maudy cabut dari perutnya, hendak ia goreskan pada urat nadi di tangan agar kematian lekas datang. Ia tidak bisa menjalani hidup dengan rasa sakit yang terus menggerogoti hati. Ia ingin semuanya berakhir di sini. Baru saja mata pisau menempel di pergelangan tangan, pintu terbuka secara mendadak dengan kehadiran Tama di baliknya. Lelaki itu begitu ngos-ngosan karena berlari dari parkiran menuju kamar. Firasatnya tentang Maudy benar. “Kau tidak bisa dipercaya!” Tama tampak marah. Lekas ia rebut pisau itu dari tangan Maudy. Rasa panik langsung menyerang setelah melihat darah di lantai. Segera ia berlari memanggil petugas untuk lekas menangani Maudy. “Ck!” Tama berdecak dengan kesal. Sedikit saja tidak bisa ia mengalihkan perhatian. Maudy benar-benar butuh pengawasan. Namun, ia tidak bisa memberi pengawasan penuh, sebab ada banyak hal yang harus ia kerjakan. Satu nama mulai muncul ke permukaan. Mahen. Tama akan memaksa putra sulungnya untuk pulang. Bagaimana pun caranya, Mahen harus pulang.Mahen tertawa mendengar pengakuan Maudy. Ia tidak percaya sama sekali. Apalagi beberapa menit yang lalu ia menyaksikan jika Maudy tengah berpelukan dengan Putra, tepat di depan matanya sendiri. Bahkan ayahnya ada di sana bersama mereka. Maudy dan Putra benar-benar tidak punya malu dengan berpelukan di depan orang lain tanpa ada ikatan yang sah sama sekali,Mahen melepas cengkeraman Maudy di pergelangan tangannya. “Jangan main-main dengan perasaan, Maudy. Hanya karena kau tahu aku menyukaimu, kau dengan mudah memainkan perasaanku.” Mahen berucap dengan sorot entah.“Tapi aku tidak sedang berbohong. Aku benar-benar mencintaimu.” Maudy bersikeras.Putra tersenyum getir.“Tidak seharusnya kau mengatakan itu tepat di depan mataku. Kau harusnya bisa menjaga perasaan ornag yang dengan terang-terangan menyatakan cinta padamu.” Putra protes, sebab ia merasa jika Maudy tengah jujur dengan perasaannya. Wanita itu tidak tengah bermain-main dengan ucapannya.“Aku ingin semuanya jelas sekarang. Kal
Maudy baru saja selesai mandi ketika ia mendengar ketukan di pintu kamar. Wanita itu tampak cantik dengan dress putih yang diberikan oleh Tama. Sebab, ia tidak membawa baju ganti ketika ia datang bertandang semalam.“Mbak, ada Mas Putra di depan.” Hanum memberitahu setelah Maudy membuka pintu kamar.Kening Maudy berkerut mendengar nama Putra disebut. Ia tidak memberitahu lelaki itu jika ia berada di rumah ini sekarang. Dari mana Putra mengetahui keberadaannya? Ia bahkan sengaja tidak membalas pesan Putra karena ingin meyakinkan dirinya untuk mengambil keputusan. Ia tidak bisa terus memberikan harapan. Sementara hatinya telah tertaut pada lelaki lain.“Di mana Sean?” Maudy bertanya, sebab ia tidak mendapati putranya bersama Hanum. Sementara ia telah menitipkan Sean pada Hanum ketika ia ingin mandi tadi.“Sama Mas Putra.” Hanum menjawab tanpa rasa berdosa.Maudy menghela napas dengan kasar.“Sebentar lagi aku ke sana, aku mau mengeringkan rambut dulu.”Hanum mengangguk, lalu beranjak pe
Maudy terbangun ketika Sean kembali merengek. Wanita itu sangat terkejut ketika ia mendapati Mahen terlelap dengan bersandar pada bahunya. Ia menoleh menatap untuk waktu yang lama. Dadanya kembali berdebar dengan sangat tidak karuan.Sebuah simpul senyum terbit di bibir Maudy. Ia tatap wajah lelap itu lamat-lamat. Teringat dengan kejadian tadi malam. Mereka banyak bicara, hingga tidak sadar terlelap bersama.“Mbak!” Hanum memanggil dari arah belakang.Maudy menoleh pada sumber suara. Ia memberi kode agar Hanum jangan berisik, sebab Mahen yang tengah tidur di sana. Lelaki itu pasti sangat lelah. Apalagi ia tidak langsung tidur setelah pulang bekerja larut malam.Maudy melambaikan tangan, meminta Hanum untuk datang mendekat. Ia serahkan Sean pada gadis itu, lalu bangkit dengan pelan dan membaringkan Mahen dengan lembut di sofa. Setelahnya ia beranjak menuju kamar Mahen untuk mengambil selimut.Sebuah kejutan ketika Maudy menyalakan lampu kamar Mahen. Di nakas samping ranjang ada fotonya
“Aku tidak bisa memutuskan, Pa. Itu tergantung Mas Mahen. Dia berhak memilih wanita yang dia inginkan.” Maudy menjawab dengan sungkan.Awalnya Mahen memang menggebu-gebu menginginkannya. Namun, kini terlihat tidak seperti sebelumnya. Jadi, Maudy berpikir jika Mahen telah mulai melupakan perasaannya.“Mahen pasti mau. Sekarang tinggal kau saja, semuanya berada di tanganmu. Jangan sampai kau menyesal karena menikah dengan lelaki yang salah.” Tama mengingatkan.Maudy menghela napas dengan dalam. Ia tidak tahu harus membuat keputusan apa. Putra sangat jelas mencintai dan menginginkannya. Lelaki itu juga sangat menyayangi Sean layaknya anak sendiri. Namun, hubungan mereka ditentang oleh orang tua Putra. Sementara Mahen, tidak jelas perasannya sekarang seperti apa. Namun, di balik lelaki itu ada Tama yang mendukung hubungan mereka. Terlebih Maudy mulai ada rasa. Ia bingung harus bagaimana.“Papa tahu kau tidak mencintai Putra. Mahen sudah menjelaskannya pada papa, Liam meninggalkan wasiat a
“Maudy!” Tama tampak sangat senang ketika ia mendapati Maudy datang ke rumahnya bersama Mahen. Lelaki paruh baya itu langsung menghambur memeluk Maudy untuk meluapkan rasa rindu yang telah terpendam sekian lama. Matanya tampak memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata. Ia berpikir mereka tidak akan pernah bertemu lagi setelah kejadian waktu itu.“Pa ….” Maudy berucap dengan lembut. Ia tersenyum tipis ketika Tama menghujaninya dengan ciuman di wajah. Bukti kasih sayang seorang ayah.“Kau baik-baik saja?” Tama bertanya memastikan. Ia bingkai wajah Maudy dengan kedua telapak tangan. Lelaki itu memeriksa seluruh tubuh Maudy, memastikan jika Maudy tidak kurang satu hal pun pada dirinya.Maudy hanya tersenyum sungkan, tidak tahu harus merespons sikap lelaki itu seperti apa.“Kamu balik sini, ya … tinggal sama papa lagi.” Tama berucap dengan penuh harap. Membuat Maudy semakin bingung harus berucap apa.Mahen hanya diam menatap. Hatinya menghangat melihat kedekatan kedua orang itu.
Maudy turun dari taksi ketika ia telah tiba di tempat tujuan. Tampak ia sedikit ragu untuk melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu. Maudy merogoh tas untuk mengeluarkan ponsel, ia cari nomor Mahen. Namun, ia urungkan niatnya untuk menghubungi lelaki itu. Ia sendiri bingung mengapa ia memikirkan Mahen selama beberapa hari ini. Wanita itu merasa aneh ketika Mahen berhenti mengganggu dirinya.Maudy hendak mengetuk pintu, tapi ia kembali mengurungkan niatnya. Wanita itu berbalik, hendak pergi. Namun, daun pintu terbuka secara mendadak dengan kemunculan Mahen di baliknya.“Loh, Maudy?” Mahen menatap dengan bingung. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Maudy di sana. Namun, ia juga merasa senang. Sebab, Maudy datang sendiri tanpa diminta.“K-kau mau keluar?” Maudy bertanya dengan gugup. Wajahnya memerah menatap lelaki dengan setelan pakaian khas dokter di hadapannya.“Aku harus berangkat kerja sekarang. Pagi ini ada pasien gawat darurat yang baru datang. Ada apa?”Maudy menggeleng dengan pel