Berangkat karena tugas, pulang tinggal nama. Mungkin itu kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan mengenai apa yang telah terjadi pada Liam. Seorang prajurit angkatan laut yang telah gugur dalam pertempuran di laut perbatasan.
Area makam begitu ramai dihadiri oleh para rekan dan keluarga. Pemakaman dilakukan dengan cara militer, diberi penghormatan untuk yang terakhir. Maudy hanya bisa menangis tanpa suara. Sakit karena luka bekas melahirkan belum kering. Lalu kini kembali diberi sayatan luka di hati yang mungkin tidak akan pernah terobati. Ia dan Liam jarang sekali menghabiskan waktu bersama, sebab selalu ditinggal tugas ke luar kota. Hari ini tepat satu tahun pernikahan mereka, bukan kado terindah yang ia dapatkan sebagai hadiah, tapi kenyataan pahit yang harus ia telan karena kehilangan suami tercinta. “Mbak!” Hampir saja Maudy tumbang andai sang asisten rumah tangga tidak cepat tanggap dalam menangkapnya. “Kamu bohong, Mas! Kamu bilang kamu bakalan pulang tanpa luka! Kamu bilang kamu bakalan pulang bawa hadiah buat anak kita! Kamu bohong! Kamu pembohong! Kenapa kamu harus ninggalin aku sama Sean! Siapa yang bakalan jagain kami kalau kamu gak ada!” Tangis itu akhirnya pecah juga setelah sang suami terkubur di bawah gundukan tanah. Tangisnya terdengar begitu menyayat hati. Membuat suasana pemakaman menjadi begitu menyedihkan. “Maudy, ikhlas, Nak. Dia gugur sebagai pahlawan, dia tidak mati sia-sia.” Tama berusaha menenangkan sang menantu. Apalagi Maudy baru melahirkan kemarin, bekas luka itu akan menyakitkan jika ia bergerak terlalu kasar. Ia bahkan baru keluar dari rumah sakit siang ini, saat mendapat kabar sang suami telah pulang tanpa nyawa. “Maudy gak butuh pahlawan, Pa. Maudy cuma butuh Mas Liam.” Wanita itu terus saja menangis. Ia memberontak saat sang ART berusaha menenangkan. “Bawa dia pulang!” Lelaki paruh baya itu memberi perintah pada gadis yang tengah berusaha menenangkan Maudy sejak tadi. “Baik, Tuan.” “Aku gak mau pulang!” Maudy memberontak saat Hanum berusaha memandunya keluar dari area pemakaman. “Mbak, kondisi Mbak belum pulih total. Jangan banyak gerak dulu.” Hanum berusaha memberi pengertian. Harusnya Maudy tahu apa yang baik dan apa yang buruk untuknya. Peranakannya bisa turun jika ia terus saja memberontak seperti itu. “Aku gak mau ninggalin Mas Liam!” Maudy terus saja memberontak. Ia lekas berlari saat mendapat celah, lalu menjatuhkan diri memeluk gundukan tanah yang masih basah itu. “Maudy!” Kali ini Tama memanggil dengan nada tinggi. “Jangan membuat suamimu gelisah meninggalkanmu dan anakmu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang!” Lelaki itu berucap dengan tegas. Ia sudah menahan tangis sejak tadi. Bukan karena ia tidak sakit dan merasa kehilangan atas kematian putranya. Ia bersikap seperti itu agar Maudy tidak terlalu larut dalam kesedihan. Jika ia ikut menangis, mungkin saja tangis Maudy akan menjadi lebih histeris. Maudy terdiam dengan wajah yang basah dan memerah karena tangis yang parah. Ia sesenggukan menahan tangisan. Diusapnya kedua pipi dengan telapak tangannya yang kotor karena tanah kuburan. “Pulanglah dan istirahat. Sean pasti butuh kamu, jangan tinggalkan dia lama-lama.” Maudy menggeleng. “Enggak, Pa. Maudy gak akan pulang.” “Papa tau bagaimana perasaanmu. Tapi sekarang bukan waktunya untuk larut dalam kesedihan, ada Sean yang butuh kamu. Biarkan mereka menyelesaikan tugas mereka untuk memberi penghormatan terakhir bagi Liam. Kamu bisa datang kembali ke sini kapan pun kamu mau, dengan satu syarat yaitu setelah kamu sehat.” Tama berucap dengan tegas. Lagi, Maudy tetap saja menggeleng tidak setuju. “Pulang atau papa tidak akan pernah mengizinkanmu untuk mendatangi makam Liam setelah ini.” Tama bersikap sangat keras karena ingin memberikan yang terbaik untuk menantunya. Ia tidak ingin kondisi Maudy semakin memburuk. Maudy terdiam. Ia menghela napas dengan dalam, lalu bangkit berdiri dengan pundak yang terasa begitu berat. Kakinya seolah tertancap pada tanah yang sedang ia pijak. Hanum datang untuk membantu Maudy beranjak. ‘Maaf karena papa sudah membentakmu. Papa terpaksa bersikap keras, jika tidak begini kamu tidak akan mau pulang.’ Tama berucap dalam hati saat Maudy dan Hanum melewatinya. Satu tetes air mata jatuh dari pelupuk mata lelaki itu. Segera ia hapus air matanya sebelum tetes yang lain ikut berjatuhan. *** Maudy tidak ingin keluar kamar sama sekali. Ia terus saja menangis di sana. Belum bisa ia menerima kematian sang suami tercinta. Terdengar lantunan ayat suci yang berasal dari lantai bawah, acara tahlilan berlangsung dengan begitu khikmat. “Mbak!” Hanum mengetuk pintu dengan lembut. Berharap Maudy akan membukakan pintu untuknya. Ini kali ketiga ia datang membawakan makanan, tapi tetap saja tidak ada jawaban dari dalam. “Mbak belum makan dari siang. Mas Liam pasti bakalan sedih kalau tau Mbak kayak gini.” Gadis itu terus saja berusaha membujuk, ia terus mengetuk. Namun, tetap saja Maudy tidak memberi respons apa pun. Hanum hanya bisa menghela napas dengan kasar, lalu kembali ke dapur dengan membawa makanan yang tidak disentuh sama sekali oleh Maudy. Rumah mulai beranjak sepi setelah acara tahlilan selesai. Tama menatap sekitar, mencari keberadaan Hanum yang ia minta untuk menemani Maudy. “Mbak Maudy tidak mau membuka pintunya, Tuan.” Hanum berucap setelah Tama bertanya padanya. Tama menarik napas dengan kasar. Tangis mulai terdengar saat lelaki paruh baya itu menaiki anak-anak tangga menuju lantai atas. Bukan tangis Maudy, tapi tangis Sean yang sudah haus akan ASI ibunya. Tidak terdengar sama sekali usaha Maudy untuk mendiamkan putranya. “Maudy ….” Tama memanggil dengan sangat lembut. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. “Kamu tidur? Sean menangis, mungkin haus atau popoknya basah.” Tetap saja Maudy tidak memberi tanggapan sama sekali. “Maudy!” Suara Tama meninggi, berpikir Maudy tidak mendengar karena suaranya terlalu lembut. Brak! Terdengar suara benturan yang cukup keras dari dalam kamar. Tama mulai panik, ia tidak bisa tenang setelah mendengar suara gubrakan itu. Pikirannya mulai mengarah ke mana-mana, apalagi kondisi jiwa dan pikiran Maudy sedang tidak baik-baik saja. “Maudy! Kamu baik-baik saja?” Tama mulai mendobrak pintu, tapi pintu itu terlalu keras untuk ia buka secara paksa. Butuh beberapa kali hantaman hingga pintu terbuka juga pada akhirnya. Hanya ada Sean yang menangis di atas ranjang. Sementara Maudy tidak ada di sana sama sekali. “Maudy!” Tama dibuat semakin panik. “Hanum!” Lelaki itu memanggil dengan kepanikan yang begitu tinggi. “Ya, Tuan.” Hanum datang terburu-buru memenuhi panggilan majikannya. “Kamu buatkan saja susu formula untuk Sean. Malam ini biar Sean tidur denganmu dulu.” Lelaki itu berucap dengan panik. Ujung matanya masih mencari keberadaan Maudy. Hingga lirikannya mengarah pada kamar mandi. Lekas Tama berlari menuju kamar mandi. Betapa terkejutnya ia saat mendapati sang menantu telah tergeletak lemah dengan mulut yang dipenuhi busa. Di sisi kanannya tergeletak pembersih lantai dengan tutup terbuka. Tampaknya Maudy baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Segera Tama membawa wanita itu ke dalam gendongan. Lekas ia berlari keluar kamar. Berteriak dari atas sana agar mobil segera disiapkan. Ia akan membawa Maudy ke rumah sakit sebelum terlambat.Mahen tertawa mendengar pengakuan Maudy. Ia tidak percaya sama sekali. Apalagi beberapa menit yang lalu ia menyaksikan jika Maudy tengah berpelukan dengan Putra, tepat di depan matanya sendiri. Bahkan ayahnya ada di sana bersama mereka. Maudy dan Putra benar-benar tidak punya malu dengan berpelukan di depan orang lain tanpa ada ikatan yang sah sama sekali,Mahen melepas cengkeraman Maudy di pergelangan tangannya. “Jangan main-main dengan perasaan, Maudy. Hanya karena kau tahu aku menyukaimu, kau dengan mudah memainkan perasaanku.” Mahen berucap dengan sorot entah.“Tapi aku tidak sedang berbohong. Aku benar-benar mencintaimu.” Maudy bersikeras.Putra tersenyum getir.“Tidak seharusnya kau mengatakan itu tepat di depan mataku. Kau harusnya bisa menjaga perasaan ornag yang dengan terang-terangan menyatakan cinta padamu.” Putra protes, sebab ia merasa jika Maudy tengah jujur dengan perasaannya. Wanita itu tidak tengah bermain-main dengan ucapannya.“Aku ingin semuanya jelas sekarang. Kal
Maudy baru saja selesai mandi ketika ia mendengar ketukan di pintu kamar. Wanita itu tampak cantik dengan dress putih yang diberikan oleh Tama. Sebab, ia tidak membawa baju ganti ketika ia datang bertandang semalam.“Mbak, ada Mas Putra di depan.” Hanum memberitahu setelah Maudy membuka pintu kamar.Kening Maudy berkerut mendengar nama Putra disebut. Ia tidak memberitahu lelaki itu jika ia berada di rumah ini sekarang. Dari mana Putra mengetahui keberadaannya? Ia bahkan sengaja tidak membalas pesan Putra karena ingin meyakinkan dirinya untuk mengambil keputusan. Ia tidak bisa terus memberikan harapan. Sementara hatinya telah tertaut pada lelaki lain.“Di mana Sean?” Maudy bertanya, sebab ia tidak mendapati putranya bersama Hanum. Sementara ia telah menitipkan Sean pada Hanum ketika ia ingin mandi tadi.“Sama Mas Putra.” Hanum menjawab tanpa rasa berdosa.Maudy menghela napas dengan kasar.“Sebentar lagi aku ke sana, aku mau mengeringkan rambut dulu.”Hanum mengangguk, lalu beranjak pe
Maudy terbangun ketika Sean kembali merengek. Wanita itu sangat terkejut ketika ia mendapati Mahen terlelap dengan bersandar pada bahunya. Ia menoleh menatap untuk waktu yang lama. Dadanya kembali berdebar dengan sangat tidak karuan.Sebuah simpul senyum terbit di bibir Maudy. Ia tatap wajah lelap itu lamat-lamat. Teringat dengan kejadian tadi malam. Mereka banyak bicara, hingga tidak sadar terlelap bersama.“Mbak!” Hanum memanggil dari arah belakang.Maudy menoleh pada sumber suara. Ia memberi kode agar Hanum jangan berisik, sebab Mahen yang tengah tidur di sana. Lelaki itu pasti sangat lelah. Apalagi ia tidak langsung tidur setelah pulang bekerja larut malam.Maudy melambaikan tangan, meminta Hanum untuk datang mendekat. Ia serahkan Sean pada gadis itu, lalu bangkit dengan pelan dan membaringkan Mahen dengan lembut di sofa. Setelahnya ia beranjak menuju kamar Mahen untuk mengambil selimut.Sebuah kejutan ketika Maudy menyalakan lampu kamar Mahen. Di nakas samping ranjang ada fotonya
“Aku tidak bisa memutuskan, Pa. Itu tergantung Mas Mahen. Dia berhak memilih wanita yang dia inginkan.” Maudy menjawab dengan sungkan.Awalnya Mahen memang menggebu-gebu menginginkannya. Namun, kini terlihat tidak seperti sebelumnya. Jadi, Maudy berpikir jika Mahen telah mulai melupakan perasaannya.“Mahen pasti mau. Sekarang tinggal kau saja, semuanya berada di tanganmu. Jangan sampai kau menyesal karena menikah dengan lelaki yang salah.” Tama mengingatkan.Maudy menghela napas dengan dalam. Ia tidak tahu harus membuat keputusan apa. Putra sangat jelas mencintai dan menginginkannya. Lelaki itu juga sangat menyayangi Sean layaknya anak sendiri. Namun, hubungan mereka ditentang oleh orang tua Putra. Sementara Mahen, tidak jelas perasannya sekarang seperti apa. Namun, di balik lelaki itu ada Tama yang mendukung hubungan mereka. Terlebih Maudy mulai ada rasa. Ia bingung harus bagaimana.“Papa tahu kau tidak mencintai Putra. Mahen sudah menjelaskannya pada papa, Liam meninggalkan wasiat a
“Maudy!” Tama tampak sangat senang ketika ia mendapati Maudy datang ke rumahnya bersama Mahen. Lelaki paruh baya itu langsung menghambur memeluk Maudy untuk meluapkan rasa rindu yang telah terpendam sekian lama. Matanya tampak memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata. Ia berpikir mereka tidak akan pernah bertemu lagi setelah kejadian waktu itu.“Pa ….” Maudy berucap dengan lembut. Ia tersenyum tipis ketika Tama menghujaninya dengan ciuman di wajah. Bukti kasih sayang seorang ayah.“Kau baik-baik saja?” Tama bertanya memastikan. Ia bingkai wajah Maudy dengan kedua telapak tangan. Lelaki itu memeriksa seluruh tubuh Maudy, memastikan jika Maudy tidak kurang satu hal pun pada dirinya.Maudy hanya tersenyum sungkan, tidak tahu harus merespons sikap lelaki itu seperti apa.“Kamu balik sini, ya … tinggal sama papa lagi.” Tama berucap dengan penuh harap. Membuat Maudy semakin bingung harus berucap apa.Mahen hanya diam menatap. Hatinya menghangat melihat kedekatan kedua orang itu.
Maudy turun dari taksi ketika ia telah tiba di tempat tujuan. Tampak ia sedikit ragu untuk melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu. Maudy merogoh tas untuk mengeluarkan ponsel, ia cari nomor Mahen. Namun, ia urungkan niatnya untuk menghubungi lelaki itu. Ia sendiri bingung mengapa ia memikirkan Mahen selama beberapa hari ini. Wanita itu merasa aneh ketika Mahen berhenti mengganggu dirinya.Maudy hendak mengetuk pintu, tapi ia kembali mengurungkan niatnya. Wanita itu berbalik, hendak pergi. Namun, daun pintu terbuka secara mendadak dengan kemunculan Mahen di baliknya.“Loh, Maudy?” Mahen menatap dengan bingung. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Maudy di sana. Namun, ia juga merasa senang. Sebab, Maudy datang sendiri tanpa diminta.“K-kau mau keluar?” Maudy bertanya dengan gugup. Wajahnya memerah menatap lelaki dengan setelan pakaian khas dokter di hadapannya.“Aku harus berangkat kerja sekarang. Pagi ini ada pasien gawat darurat yang baru datang. Ada apa?”Maudy menggeleng dengan pel