“Aku gak mau!” Kalimat itu langsung diterima oleh Tama selepas ia mengutarakan keinginannya pada sang putra.
Bukan tanpa alasan. Tama paham betul mengapa Mahen tidak ingin pulang. Lelaki itu bahkan tidak ingin kembali ke rumah meski ia tahu sang adik telah meninggal. Hubungan mereka memang cukup buruk sebagai abang dan adik. Bahkan tidak cukup baik sebagai ayah dan anak. “Papa akan menghapus namamu sebagai ahli waris jika kau tidak ingin pulang.” Tama mulai memberikan ancaman. Ia tahu kelemahan sang putra. Mahen tidak akan bisa hidup tanpa uang orangtuanya. Gaji yang ia dapat di tempat bekerja, tidak sebanding dengan pengeluarannya sebagai pria yang suka bermain wanita. Hening sejenak, tidak terdengar apa pun selain helaan napas dari dalam ponsel. “Papa tidak akan memaksamu pulang jika itu bukan masalah penting. Kau tahu adikmu sudah meninggal, ada istri dan anak yang masih begitu kecil ia tinggalkan. Papa cuma minta bantuanmu. Papa akan bayar jasamu, ini tidak cuma-cuma.” “Aku gak peduli.” Ucapan Mahen terdengar cukup kasar. “Jadi, kau tidak akan peduli meski semua harta papa kasih untuk putra Liam? Papa tidak akan menyisakan satu persen pun untukmu.” Terdengar helaan napas cukup kasar. “Kenapa kau selalu saja mengutamakan Liam? Bahkan ketika dia sudah mati seperti ini? Hubunganmu dengan istrinya sudah terputus ketika Liam mati!” Mahen tidak terima. “Jaga ucapanmu, Mahen. Kalimat itu terlalu kasar jika dilontarkan oleh orang sepertimu. Papa tidak akan memaksa jika kau memang tidak mau. Besok papa akan mendatangi pengacara untuk mengubah pembagian warisan.” “Ck! Kau benar-benar—” Mahen terdengar cukup kesal. Ia memang tidak punya sopan santun sama sekali terhadap orang yang jauh lebih tua dibanding dirinya. “Papa sedang stress sekarang. Apa kau tidak bisa meringankan sedikit saja beban pikiran papa? Papa bisa saja membayar orang lain, tapi papa ingin kau yang melakukannya.” “Aku perlu membaca pembagian warisan untuk memastikan.” “Papa akan memberikan apa pun yang kau mau. Tapi jadilah ayah untuk keponakanmu.” “Itu terlalu merepotkan!” “Kau harus mencoba terlebih dahulu sebelum menyimpulkan seperti itu.” “Aku ingin rumah, perusahaan, dan dua pertiga aset yang kau punya.” “Apa pun yang kau mau. Satu lagi, kau harus mengawasi gerak gerik istri Liam. Dia sudah dua kali melakukan percobaan bunuh diri, papa ingin kau menjadi dokter pribadi untuknya. Dia terkena baby blues dengan tingkatan yang cukup parah. Barangkali dengan melihat wajahmu, bisa sedikit mengobati kerinduannya pada Liam.” “Bunuh diri?” Mahen mengulang kalimat itu dengan kening berkerut. “Dia sedang dirawat di rumah sakit sekarang. Dia baru bisa tidur dengan tenang setelah diberi suntikan obat penenang oleh petugas. Papa tidak bisa meninggalkannya tanpa pengawasan. Papa tidak bisa lengah sedikit saja, dia akan langsung melakukan hal nekat. Juhkan dia dari segala hal yang berbahaya.” Mahen hanya diam. “Papa akan transfer DP-nya sekarang. Kau harus tiba di rumah sakit menjelang malam.” Tidak ada jawaban. “Jika kau tidak datang sebelum jam tujuh, papa akan mencari orang lain saja.” Tama menegaskan. Ia memutus sambungan panggilan sebelum Mahen memberi jawaban. Sebab, ia tahu putra sulungnya itu akan datang. Tidak akan ada penolakan jika sudah harta yang menjadi tawaran. *** Seperti dugaan Tama. Mahen tiba di rumah sakit dengan satu koper penuh berisi pakaian. Ia langsung bergegas ke sana tanpa menginjakkan kaki ke rumah papanya terlebih dahulu. Sebab, waktu yang terlalu mepet. Dua tahun tidak saling bertemu, ada perubahan yang cukup besar pada Mahen. Terutama di bagian fisiknya. Tidak ada adegan saling melepas rindu sama sekali. Mereka terlihat biasa saja setelah tidak saling tatap muka cukup lama. Benar kata Tama. Wajah Mahen memang cukup mirip dengan Liam. Terlebih dengan tubuhnya yang lebih berisi sekarang. Membuat ia terlihat tegap dengan otot yang terlatih. Sama seperti Liam. Hanya saja garis wajahnya terlihat cukup kasar. Tidak seteduh Liam saat dipandang. Mahen berdiri di samping brankar. Ia menatap wajah Maudy tanpa berkedip sama sekali. Jakunnya naik turun dengan napas yang terdengar tidak teratur. Ia tidak percaya jika adik iparnya akan terlihat secantik itu. Sebab, ini memang pertemuan pertama mereka. Ia tidak pernah tahu seperti apa istri adiknya. Ia tidak hadir saat pernikahan mereka dulu. Bahkan dengan kondisi sakit dan wajah pucat seperti itu, tidak bisa menutupi betapa cantiknya Maudy. Garis wajahnya benar-benar tercetak dengan begitu sempurna. Bibir seksi itu membuat nafsu Mahen seketika mencuat. Ia sudah mencicipi banyak jenis bibir dan ia ingin merasakan kekenyalan bibir itu. “Papa tahu apa yang kau pikirkan. Sekali saja kau berani melakukan hal yang tidak senonoh padanya, papa tidak akan pernah memaafkan. Tidak akan ada satu sen pun uang yang akan papa berikan untukmu.” Tama menegaskan. Sisi buruk Liam memang terlalu berbahaya jika disandingkan dengan kondisi Maudy saat ini. “Dia itu istri adikmu. Kau harus ingat itu!” Tama berucap dengan tajam. Mahen hanya diam. Ia memasang wajah datar, seolah tidak takut dengan ancaman sang papa. “Di pergelangan tangannya ada sayatan kecil yang tidak terlalu dalam. Di perut kanan bagian bawah ada luka tusukan. Semalam dia menenggak cairan pembersih lantai.” Tama menjelaskan kondisi Maudy saat ini. “Dia akan menangis dan memberontak saat sadar nanti, jadi kau harus bisa menenangkan. Jauhkan dia dari segala hal yang sekiranya membahayakan nyawanya.” Tama mengulang kalimat yang sama dengan kalimat yang sudah ia ucap lewan telepon sebelumnya. Mahen hanya diam dengan sorot yang tidak bisa ia lepas dari sang adik ipar. “Kau dengar?” Tama dibuat geram dengan sikap lelaki itu. “Dia gila.” Mahen menyimpulkan. “Jaga ucapanmu!” Tama tidak terima ketika Mahen menyebut kata gila. “Orang bodoh mana yang akan bunuh diri hanya karena ditinggal mati? Dia tidak tahu cara menikmati hidup sama sekali. Ada banyak pria yang akan menyukainya dengan wajah seperti itu. Dia bisa mendapatkan apa saja andai dia bisa bermain sedikit lebih pintar.” Mahen mengomentari. Tama hanya bisa menghela napas dengan kasar. Ia mulai berpikir jika keputusannya memanggil Mahen adalah sebuah kesalahan. Namun, ia ingin putranya itu berubah. Barangkali hati Mahen akan terketuk setelah ia berinteraksi dengan Sean. Hanya manusia berhati batu yang tidak menyukai anak kecil. Apalagi anak kecil di bawah satu tahun. “Papa akan pulang sekarang.” Tama pamit pulang setelah ia melirik jam yang melilit di pergelangan tangan. Tidak ada respons sama sekali dari Mahen. Lelaki itu hanya diam, beranjak menuju sofa dan duduk di sana. Mengabaikan papanya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. “Perlakukan dia layaknya adikmu!” Tama menegaskan. Mahen hanya menghela napas dengan kasar. Ia mengempaskan punggung pada sandaran sofa. Membuat Tama semakin geram jadinya.Mahen tertawa mendengar pengakuan Maudy. Ia tidak percaya sama sekali. Apalagi beberapa menit yang lalu ia menyaksikan jika Maudy tengah berpelukan dengan Putra, tepat di depan matanya sendiri. Bahkan ayahnya ada di sana bersama mereka. Maudy dan Putra benar-benar tidak punya malu dengan berpelukan di depan orang lain tanpa ada ikatan yang sah sama sekali,Mahen melepas cengkeraman Maudy di pergelangan tangannya. “Jangan main-main dengan perasaan, Maudy. Hanya karena kau tahu aku menyukaimu, kau dengan mudah memainkan perasaanku.” Mahen berucap dengan sorot entah.“Tapi aku tidak sedang berbohong. Aku benar-benar mencintaimu.” Maudy bersikeras.Putra tersenyum getir.“Tidak seharusnya kau mengatakan itu tepat di depan mataku. Kau harusnya bisa menjaga perasaan ornag yang dengan terang-terangan menyatakan cinta padamu.” Putra protes, sebab ia merasa jika Maudy tengah jujur dengan perasaannya. Wanita itu tidak tengah bermain-main dengan ucapannya.“Aku ingin semuanya jelas sekarang. Kal
Maudy baru saja selesai mandi ketika ia mendengar ketukan di pintu kamar. Wanita itu tampak cantik dengan dress putih yang diberikan oleh Tama. Sebab, ia tidak membawa baju ganti ketika ia datang bertandang semalam.“Mbak, ada Mas Putra di depan.” Hanum memberitahu setelah Maudy membuka pintu kamar.Kening Maudy berkerut mendengar nama Putra disebut. Ia tidak memberitahu lelaki itu jika ia berada di rumah ini sekarang. Dari mana Putra mengetahui keberadaannya? Ia bahkan sengaja tidak membalas pesan Putra karena ingin meyakinkan dirinya untuk mengambil keputusan. Ia tidak bisa terus memberikan harapan. Sementara hatinya telah tertaut pada lelaki lain.“Di mana Sean?” Maudy bertanya, sebab ia tidak mendapati putranya bersama Hanum. Sementara ia telah menitipkan Sean pada Hanum ketika ia ingin mandi tadi.“Sama Mas Putra.” Hanum menjawab tanpa rasa berdosa.Maudy menghela napas dengan kasar.“Sebentar lagi aku ke sana, aku mau mengeringkan rambut dulu.”Hanum mengangguk, lalu beranjak pe
Maudy terbangun ketika Sean kembali merengek. Wanita itu sangat terkejut ketika ia mendapati Mahen terlelap dengan bersandar pada bahunya. Ia menoleh menatap untuk waktu yang lama. Dadanya kembali berdebar dengan sangat tidak karuan.Sebuah simpul senyum terbit di bibir Maudy. Ia tatap wajah lelap itu lamat-lamat. Teringat dengan kejadian tadi malam. Mereka banyak bicara, hingga tidak sadar terlelap bersama.“Mbak!” Hanum memanggil dari arah belakang.Maudy menoleh pada sumber suara. Ia memberi kode agar Hanum jangan berisik, sebab Mahen yang tengah tidur di sana. Lelaki itu pasti sangat lelah. Apalagi ia tidak langsung tidur setelah pulang bekerja larut malam.Maudy melambaikan tangan, meminta Hanum untuk datang mendekat. Ia serahkan Sean pada gadis itu, lalu bangkit dengan pelan dan membaringkan Mahen dengan lembut di sofa. Setelahnya ia beranjak menuju kamar Mahen untuk mengambil selimut.Sebuah kejutan ketika Maudy menyalakan lampu kamar Mahen. Di nakas samping ranjang ada fotonya
“Aku tidak bisa memutuskan, Pa. Itu tergantung Mas Mahen. Dia berhak memilih wanita yang dia inginkan.” Maudy menjawab dengan sungkan.Awalnya Mahen memang menggebu-gebu menginginkannya. Namun, kini terlihat tidak seperti sebelumnya. Jadi, Maudy berpikir jika Mahen telah mulai melupakan perasaannya.“Mahen pasti mau. Sekarang tinggal kau saja, semuanya berada di tanganmu. Jangan sampai kau menyesal karena menikah dengan lelaki yang salah.” Tama mengingatkan.Maudy menghela napas dengan dalam. Ia tidak tahu harus membuat keputusan apa. Putra sangat jelas mencintai dan menginginkannya. Lelaki itu juga sangat menyayangi Sean layaknya anak sendiri. Namun, hubungan mereka ditentang oleh orang tua Putra. Sementara Mahen, tidak jelas perasannya sekarang seperti apa. Namun, di balik lelaki itu ada Tama yang mendukung hubungan mereka. Terlebih Maudy mulai ada rasa. Ia bingung harus bagaimana.“Papa tahu kau tidak mencintai Putra. Mahen sudah menjelaskannya pada papa, Liam meninggalkan wasiat a
“Maudy!” Tama tampak sangat senang ketika ia mendapati Maudy datang ke rumahnya bersama Mahen. Lelaki paruh baya itu langsung menghambur memeluk Maudy untuk meluapkan rasa rindu yang telah terpendam sekian lama. Matanya tampak memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata. Ia berpikir mereka tidak akan pernah bertemu lagi setelah kejadian waktu itu.“Pa ….” Maudy berucap dengan lembut. Ia tersenyum tipis ketika Tama menghujaninya dengan ciuman di wajah. Bukti kasih sayang seorang ayah.“Kau baik-baik saja?” Tama bertanya memastikan. Ia bingkai wajah Maudy dengan kedua telapak tangan. Lelaki itu memeriksa seluruh tubuh Maudy, memastikan jika Maudy tidak kurang satu hal pun pada dirinya.Maudy hanya tersenyum sungkan, tidak tahu harus merespons sikap lelaki itu seperti apa.“Kamu balik sini, ya … tinggal sama papa lagi.” Tama berucap dengan penuh harap. Membuat Maudy semakin bingung harus berucap apa.Mahen hanya diam menatap. Hatinya menghangat melihat kedekatan kedua orang itu.
Maudy turun dari taksi ketika ia telah tiba di tempat tujuan. Tampak ia sedikit ragu untuk melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu. Maudy merogoh tas untuk mengeluarkan ponsel, ia cari nomor Mahen. Namun, ia urungkan niatnya untuk menghubungi lelaki itu. Ia sendiri bingung mengapa ia memikirkan Mahen selama beberapa hari ini. Wanita itu merasa aneh ketika Mahen berhenti mengganggu dirinya.Maudy hendak mengetuk pintu, tapi ia kembali mengurungkan niatnya. Wanita itu berbalik, hendak pergi. Namun, daun pintu terbuka secara mendadak dengan kemunculan Mahen di baliknya.“Loh, Maudy?” Mahen menatap dengan bingung. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Maudy di sana. Namun, ia juga merasa senang. Sebab, Maudy datang sendiri tanpa diminta.“K-kau mau keluar?” Maudy bertanya dengan gugup. Wajahnya memerah menatap lelaki dengan setelan pakaian khas dokter di hadapannya.“Aku harus berangkat kerja sekarang. Pagi ini ada pasien gawat darurat yang baru datang. Ada apa?”Maudy menggeleng dengan pel