“...tapi, malam ini, aku tidak menyesal sama sekali bertemu denganmu, Irene.” Gerald menatap tajam manik indah Irene. “Dan, maaf aku terlambat datang padamu.”
Ia mengambil selimut, menutupi tubuh Irene yang polos itu.
“Apa maksud kamu?” tanya Irene, tidak paham dengan perkataan Gerald yang terakhir. “Minta maaf untuk apa? Dan kenapa kamu mau menemuiku, Tu—”
“Gerald,” Gerald menyela, tidak menyukai panggilan Irene yang terdengar sangat asing.
Irene terdiam, ragu menatap Gerald. Tatapannya membuat Gerald ingin sekali menggodanya.
“Bukannya kita sepasang kekasih?”
Irene seketika membelalakkan matanya. “Ba-bagaimana…” kemudian ia membekap mulutnya dan dan menutup wajahnya. Kembali mengingat kejadian pertama kali mereka bertemu.
Wajahnya merona dan terasa panas, pertemuan singkat yang tidak bisa Irene pungkiri sangat berkesan padanya. Tapi karena permasalahan keluarganya saat itu. Ia tak lagi memikirkan pria yang pernah menolongnya saat itu. Karena bantuan Gerald saat itu, ia berhasil lepas dari kejaran Ibu tirinya.
“Jangan bilang kamu sudah lupa,” Gerald menggoda, senyumnya lebar.
“Tapi itu hanya bentuk pertolongan darimu,” kemudian menurunkan tangannya, melihat ke arah Gerald, tiba-tiba saja jantungnya berdegup cepat melihat senyuman yang tercetak di wajah pria di depannya itu, “tapi, terimakasih untuk waktu itu,” ucapnya dengan suara rendah.
Bagaimana bisa ia melupakan pertemuan singkat itu. Ia yang mendatangi seorang pria asing dan meminta pertolongan, berpura-pura untuk menjadi kekasihnya, tapi tanpa ia duga, pria yang menolongnya saat itu melakukan sesuatu yang tak terduga. Ia mendapatkan ciuman pertamanya dari pria asing, bukan sekali, melainkan dua kali di waktu bersamaan.
“Jadi, bisa kita bicara dengan santai?”
Irene mengangguk pelan, “Iya.”
Gerald berdiri, mengambil handuk kimono, lalu memakainya sebelum kembali duduk di sisi Irene di tempat tidur. Suasana di antara mereka terasa hangat dan intim.
Gerald membelai wajah Irene dengan lembut, “Aku mencarimu sejak kejadian malam itu.”
“Untuk?” Irene bertanya sembari melihat wajah Gerald, mencoba menangkap setiap emosi yang terpancar.
“Mengenalmu?” jawab Gerald dengan nada serius, matanya tidak lepas dari tatapan Irene.
“Apa kamu pikir aku percaya?” Irene menantang, sedikit skeptis.
Gerald mengangguk, “Harus!”
Irene menghela napas, merasa sedikit terjebak dalam perasaan yang tidak bisa ia pahami. “Aku tidak tahu jika pria penolongku malam itu adalah tipe pria pemaksa!”
Gerald tergelak, suaranya mengalun hangat di ruangan. Namun, setelah itu, ia menatap Irene dengan intens, seolah ingin menembus dinding keraguannya. “Yah, seharusnya aku melakukannya sejak tiga bulan yang lalu. Sejak aku melihatmu di restoran bersama pria brengsek itu.”
Irene terkejut, matanya membesar. “Kamu melihatku di sana?”
“Ya,” Gerald mengonfirmasi dengan nada tegas. “Aku terus memikirkanmu. Melihatmu bersama dia membuatku merasa tidak nyaman.”
Irene merasakan jantungnya berdebar. “Tapi kenapa kamu tidak menghampiriku saat itu?”
“Karena aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya mengamati dari jauh dan berharap kamu baik-baik saja... Dan bahagia.”
Flashback on
Setelah mendapatkan Lokasi Irene dari Ethan, Gerald langsung melajukan kendaraannya menuju restaurant tersebut. Wanita yang selama ini ia cari akhirnya bisa ia temukan. Ia tidak akan menyi-nyiakan kesempatan ini.
“Hah! Aku terlihat seperti bocah yang sedang jatuh cinta! Shit!” umpatnya, kemudian tertawa geli melihat kekonyolannya saat ini.
Selama beberapa minggu semenjak pertemua singkatnya dengan wanita berurai hitam pekat di sebuah club, membuatnya tak bisa tidaur dengan nyenyak.
Senyuman dan tawa kecil yang malu-malu menghantui bayangannya, bahkan kelembutan bibirnya dan bagaimana kakunya wanita cantik itu membalas ciumannya membuat Gerald tak bisa berpikir jernih.
Ia sampai meminta bantuan kepada para sahabat di Jerman untuk mencari keberadaan Irene, bahkan ia harus pulang balik Kanada-Jerman untuk turun langsung mencari keberadaan Irene.
Dengan wajah semringah, Gerald memakirkan kendaraannya, kemudian bergegas masuk ke dalam Restaurant mencari keberadaan Irene.
Deg! Dirinya terpaku saat melihat wanita yang ada di depannya baru saja menerima lamaran dari seorang pria dan jari manisnya telah terpatri sebuah cincin, “Damn! Aku terlambat!”
Dadanya terasa sesak, rasanya jauh lebih berat dari pada saat ia mengetahui Alea menyukai Austin, atau mungkin saat tahu selama ini Alea membohonginya.
Ia mengepalkan tangannya dan memutar balik tubuhnya. Di saat ia ingin menyerah dan melupakan Irene. Tetapi hati kecilnya berkata lain, ia masih saja meminta asistentnya untuk terus mengawasi Irene dari jarak jauh dan memberikan laporan padanya tentang Irene.
“Hah! Aku merasa pernah melihat seseorang yang bertindak seperti ini! Apa ini karma?” Gerald tertawa mengingat sahabatnya. Bahkan apa yang ia lakukan saat ini, sama persis dengan apa yang di lakukan oleh Austin. Dalam diam mengawasi wanita yang ia cintai.
Hingga ia mendapatkan telpon dari asistentnya, “Siapkan penerbangan sekarang juga!”
Selama di perjalanan, Gerald mendengar laporan dari asistentnya tentang Irene yang di rekomendasikan langsung oleh pria Bernama Owen Caruso yang tidak lain adalah suami Irene sendiri.
“Aku akan memilikimu, Irene!” batinnya penuh tekad.
Flashback Off
Tanpa sadar, air mata Irene membasahi pipinya, entah kenapa perkataan Gerald baru saja menamparnya dari kebahagiaan semu yang ia ciptakan sendiri.
Grep! Gerald meraih Irene dan memeluknya dengan erat, terdengar suara tangisan pilu yang menyayat hati. “Berapa banyak luka yang kau terima selama ini, Irene,” gumam Gerald dalam hati.
~~ Semoga suka ya dengan kisah Gerald dan Irene ini, jangan lupa masukkan ke dafatr pustaka kalian ya sayang-sayang^^
Bab 66Keluar dari apartment, Irene yang sedari tadi penasaran langsung menoleh ke arah Gerald, "Ge..." "Nanti sayang." Gerald merengkuh pinggang Irene, membawa wanita cantiknya itu, berjalan menuju mobil yang terparkir. Irene menyipitkan matanya, menghembus napas kesal akan rasa penasarannya, tetapi alhasil membuat kekehan kecil lolos dari Gerald, "Hah! Menggemaskan!" batinnya. Senang? Tentu saja. Sekarang wanitanya tidak lagi terikat dengan seseorang, dia akan membuat Irene menjadi miliknya. Secepatnya! Itulah yang ada dipikirannya saat ini. "Ada apa?" tanya Irene sambil mendongakkan kepalanya ke atas untuk melihat wajah Gerald. Gerald tersenyum tipis, ia mendekatkan wajahnya tepat di telinga Irene, "Aku ingin memakanmu, sayang." Blush! Wajah Irene memerah dan memanas, ia mengalihkan pandangannya. Meskipun sudah sering mendengar kata-kata erotis itu, ia masih tidak terbiasa, bahkan mungkin akan tidak pernah terbiasa. Hingga mereka benar-benar tiba di depan mobil, di mana Vic
Irene menggigit bibir bawahnya dan menjawab, "Surat cerai!" dengan lugasnya. "Su-surat cerai?" kaget Owen yang kini memperlihatkan dia kembali daru alam bawah sadarnya.Seperti baru saja di sambar petir, Owen melangkah, mendekat ke arah Irene. "Aku tidak akan menyetujuinya, Irene!" sahut Owen dengan wajah menahan amarah. Gerald dengan cepat langsung berdiri di depan Irene, membuat posisinya menjadi garda terdepan untuk sang wanita. Dan hal itu berhasil, Owen terkesiap, membuat pria itu berhenti, bahkan mundur selangkah.Tubuh tegap pria besar itu hampir menutupi tubuh Irene yg berada tepat di belakangnya. Aura intimidasi terasa begitu kuat. Owen mengepal erat tangannya menahan amarah yang kini ia rasakan harus tertelan didalam perasaan mencekam."Tuan Gerald, bisa anda memberikan waktu pada aku dan istriku?""Tidak!" jawab Gerald dingin. "Kamu hanya perlu menandatangani ini dan selesaikan semuanya!"Ia mengambil map yang ada ditangan Irene, menyodorkannya pada Owen. "Aku berikan w
Bab 64“Dimana dia sekarang berada?” tanya Gerald pada Victor begitu masuk ke dalam mobil setelah Irene. Suaranya terdengar tegas, namun dengan nada yang santai.“Di apartment Tuan,” jawab Victor sembari menutup pintu mobil. Kemudian mengitari badan mobil, mengambil tempat di posisi pengemudi.Begitu Victor duduk, Gerald berkata, "Langsung ke sana saja.""Baik Tuan Gerald." Victor memulai mesin mobil dan mulai melaju ke tujuan.Irene mengerutkan keningnya, kemudian menoleh ke Gerald, "Kita mau kemana Gerald?" Ia bertanya dengan nada penasaran, matanya berkilau dengan rasa ingin tahu.Gerald tersenyum tipis, "Tentu saja menyelesaikan semuanya hari ini sayang." Suaranya terdengar lembut, namun dengan nada yang tegas."Ya?" Irene kembali bingung, kemudian sadar kemana arah Gerald, "Maksud kamu menemui Owen?" Ia bertanya dengan nada yang sedikit ragu, matanya terlihat khawatir."Iya sayang, aku tidak ingin menundanya barang sedetik pun," ucap Gerald lugas. Lalu menatap wajah cantik wanita
Bab 63Gerald pun menceritakan siapa Evan sebenarnya, di mana Evan adalah seorang Kepala di bagian pemerintahan, dan Evan adalah sepupu dari Austin Harold. Suaranya terdengar santai, namun dengan nada yang serius. "Evan adalah salah satu orang terpercaya di pemerintahan ini, dan ia juga sepupu dari Austin Harold."Irene cukup terkejut dan akhirnya paham kenapa Gerald terlihat akrab dengan Evan. Mengingat bagaimana Gerald dan pria bernama Austin saat malam itu layaknya saudara. "Hmm ok Gerald." jawab Irene mengerti, ia tersenyum lembut. Matanya berkilau dengan rasa penasaran, namun juga terlihat lega karena sudah memahami hubungan antara Gerald dan Evan yang terlihat begitu dekat.Beberapa menit pun berlalu hingga pintu kembali terbuka, terlihat Evan berjalan masuk dengan dua map kulit berwarna coklat dan biru di tangannya. Perhatian Gerald dan Irene pun teralihkan, pandangan mereka terfokus pada Evan yang berjalan mendekat.Evan meletakkan map berwarna biru terlebih dahulu di atas mej
Bab 62Gerald dan Irene duduk di sofa yang nyaman dengan seorang pria dengan jas yang terlihat begitu rapi. Ruangan ini terlihat mewah, dengan dekorasi yang elegan dan jendela besar yang membiaskan cahaya alami ke dalam ruangan. Pria tersebut, yang kemudian Gerald sebut sebagai Evan, menatap Gerald dengan wajah menyunggingkan senyum tipis."So, apa yang aku bisa bantu Tuan Gerald?" Evan bertanya, matanya berkilau dengan rasa penasaran. Ia tidak bisa tidak memperhatikan Irene, yang duduk di samping Gerald dengan postur yang sedikit tegang.Gerald menghela napas pelan, "Evan... Aku mau kamu mengurus dokumen-dokumen Irene dan regalisir semuanya." Suaranya terdengar tegas, namun dengan nada yang lembut ketika ia menatap Irene.Evan yang tadi tersenyum seketika terkekeh pelan, "Hah, aku merasa pernah mengalami ini," gumamnya pelan. Ia memandang Gerald dengan mata yang berkilau, seolah-olah mengingat kenangan lama pada kakak sepupunya—Austin Harold."Ok, ok, sebelum itu ceritakan apa yang s
Bab 61Wajah Irene kembali memanas, “Hem, Gerald. Aku—”“Aku tidak menuntutmu untuk menjawabku sekarang, tapi aku tidak menunggu untuk di tolak.”Ucapan Gerald layaknya sebuah ultimatum pada Irene dan seolah memastikan agar ia tidak akan bisa lepas dari pria ini.Ia menarik napas lembut, “Beri aku waktu.”Gerald tersenyum, mengecup puncak kepala Irene. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.Setelah itu keduanya kembali focus di layar depan mereka. Gerald memberikan penjelasan singkat kepada Irene tentang rencananya dan para sahabatnya yang telah membantunya tadi.“Tapi yang pasti aku tidak mau kamu ikut mengawasi,” tegas Gerald kepada wanitanya itu.“Gerald, please. Aku ingin sedikit berkontribusi dalam hal ini, lagi pula ini adalah permasalahanku. Aku dan kedua orang tuaku.”“Semua yang berhubungan denganmu akan menjadi tanggung jawabku. Jadi, semua masalah yang kamu hadapi saat ini, biarkan aku yang menanganinya. Karena siapapun yang sudah menyakitimu, tidak akan kumaafkan.” Gerald men