LOGINGerald kembali mencumbu Irene penuh damba, liar dan menuntut. Tanpa Irene duga, pria bertubuh atletis itu mengangkat tubuhnya ala bridal, "Tidak disini." Kemudian ia melangkah menuju salah satu ruangan. Irene yang diangkat ala bridal cukup terkejut hingga spontan mengaitkan kedua tangannya di leher Gerald agar tubuhnya tidak terjatuh.
Hingga Irene kembali terpesona dengan kamar yang sangat luas dan mewah itu, di sana terlihat ranjang berukuran sangat besar dengan sprei berwarna silver. Interior yang di dominasi warna navy dan silver, elegan dan maskulin. Irene merasa seperti terjebak dalam mimpi yang tidak terkontrol.
Di saat ia terpana dengan ruangan, suara Gerald kembali membuatnya tersentak, "Malam ini, kau hanya harus fokus padaku, Irene." Suaranya terdengar seperti perintah, membuat Irene merasa seperti boneka yang dikendalikan.
Deg! "Sejak kapan aku di atas tempat tidur?" batinnya, sadar jika saat ini yang telah berbaring di atas ranjang, dan posisi Gerald yang mengukungnya. Irene menelan kasar ludahnya, mencoba menemukan suaranya. "Ge-gerald... A-aku-"
"Umph!" Irene kembali terdiam, Gerald kembali melumat bibirnya dengan intens. Tapi entah kenapa terasa begitu lembut bagi Irene. "Balas Irene..." Gerald berbicara tepat di depan bibir Irene, membuat Irene dapat menghirup hangat napas Gerald yang beraroma mint, bercampur dengan wine yang tadi ia minum.
"Ah..." Irene mendesah saat tangan besar Gerald menyentuh dadanya. Memberikan remasan yang menggairahkan. Tanpa sadar ia membalas ciuman Gerald yang semakin liar dan menuntut. "Ah... Ini pasti karena wine, tubuhku bereaksi terlalu berlebihan..." pikir Irene yang tak dapat menolak sentuhan hangat Gerald di tubuhnya.
Ciuman Gerald turun, berpindah menjilati leher jenjang Irene, membuka kain renda berwarna hitam yang begitu kontras dengan kulit putih bersih Irene. Gerald menegak salivanya, namun tatapannya berubah tajam saat melihat tanda kissmark di dada Irene. Membuatnya marah.
Dengan sedikit kasar ia meraup payudara Irene dan menyesapnya, membuat Irene mendesah dan meringis, "Ah... Tu-tunggu..." Gerald mengabaikan, tangannya turun masuk di antara kedua paha Irene, hingga Irene memekik, "Ah! Sa-sakit..."
Gerald terkejut, berhenti dan menatap Irene. Ia menarik kembali tangannya dari area kewanitaan Irene, ekspresi wajahnya berubah menjadi khawatir. "Maaf..." gumamnya pelan, mengusap wajah Irene dengan lembut, mencoba menenangkan guncangan yang baru saja terjadi.
"Tidak apa-apa, aku yang bereaksi berlebihan," jawab Irene, sembari memalingkan wajahnya. Enggan bertatap muka dengan Gerald, ia mencoba menyembunyikan kebingungan dan rasa sakit yang masih membayangi hatinya.
Gerald tersenyum lembut, kemudian ia bangun, melepaskan seluruh pakaiannya, kecuali boxer yang masih menempel di tubuhnya. "Look at me..." suaranya lembut, namun penuh harapan. Irene menoleh, dan tertegun. Otot tubuh Gerald terpampang jelas di depan matanya, dada yang bidang, perut yang rata, dan lengan yang kuat. Ia tak dapat berbohong jika tubuh Gerald saat ini jauh lebih rupawan dari tubuh Owen, suaminya yang telah meninggalkannya dalam kesedihan.
Dan ia akhirnya sadar jika saat ini Gerald hanya mengenakan boxer, ia menggigit bibir bawahnya, "Sepertinya malam ini aku tak bisa mengelak dari takdirku sebagai wanita yang menjajahkan tubuhnya." Dadanya sakit mengingat bagaimana suaminya, tanpa hati dan rasa bersalah memintanya melakukan hal ini. Tanpa sadar ia menitikkan air mata, yang segera dihapusnya saat mendengar suara Gerald.
"Irene?" suara Gerald memanggilnya, ia segera menghapus air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan yang masih membayangi hatinya.
"Kita bisa berhenti, jika kamu keberatan," ujar Gerald hendak bangun, matanya penuh dengan kekhawatiran. Irene menahan tangan Gerald, "Tidak!" suaranya tegas, namun terdengar sedikit bergetar. "Selesaikan dan akhiri malam ini juga."
Deg! Gerald tersentak, ia menutup matanya dan menghela napas. “Aku kesana hanya untukmu, Irene. Jadi, tidak ada wanita yang lain," ujarnya sembari duduk di tepi ranjang.
Irene tertawa sinis, “Apa aku terlihat bodoh di matamu Tuan? Ah iya, aku memang bodoh.”
Gerald menutup mata dan berkata, “Jadi kamu pikir aku di sana dan kebetulan kita bertemu dan aku melakukan penawaran dengan harga fantastic itu juga sebuah kebetulan?”
“Yah… itulah yang paling masuk akal…” jawab Irene sekenanya.
“Itu hakmu untuk menilai. Dan yang harus kau tahu, kau memiliki hak untuk menyesal. Tapi, malam ini, aku tidak menyesal sama sekali bertemu denganmu, Irene.”
“Maaf, aku terlambat…”
Bab 90Setelah badai gairah mereda, Gerald menarik Irene ke pelukannya. Mereka terlelap beberapa jam dalam penerbangan panjang di tengah kenyamanan kabin.Private jet mendarat dengan mulus di landasan pacu Bandara Internasional Toronto, Kanada. Cahaya matahari pagi menerobos jendela, menandakan awal hari yang baru, di benua yang baru.Irene dan Gerald sudah berganti pakaian. Gerald kembali mengenakan setelan jas abu-abu gelapnya, tampak fresh dan sempurna membalut tubuhnya yang tegap. Sementara Irene mengenakan setelan celana panjang krem yang elegan, memancarkan kecantikan wanita itu.Mereka turun dari private jet. Udara Kanada terasa dingin dan bersih, sebuah kontras yang tajam dari Jerman. Seperti biasa, asisten Gerald—Victor, sudah siaga menyambut mereka di bawah tangga pesawat.Victor membungkuk hormat. "Selamat datang kembali, Tuan Gerald. Selamat pagi, Nyonya Irene."Gerald hanya mengangguk singkat, sementara Irene tersenyum tipis. Mereka berjalan menuju mobil mewah yang sudah
Bab 89Gerald mengangkat wajahnya, menyeringai puas. "Itu baru permulaan, my love," bisiknya serak. Ia tidak membiarkan Irene beristirahat lama.Kini tubuh Irene benar-benar dilahap oleh Gerald. Pria itu dengan cepat menanggalkan sisa pakaiannya dan Irene, menyatukan kulit panas mereka. Tanpa menunggu, pria itu terus menghujam miliknya dalam-dalam ke inti tubuh Irene. Dorongan pertama begitu kuat, membuat Irene menjerit tertahan dan melengkungkan punggungnya."Oh my, Gerald!" Irene memekik, mendesah kuat saat ia hendak mendapatkan pelepasan keduanya. Gelombang nikmat itu datang lebih cepat dan lebih buas.Gerald tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan hentakan pinggul yang intens dan bertenaga. Suara berat Gerald dan geramannya memperlihatkan bagaimana ia begitu menyukai tubuh kekasihnya."Oh Irene sayang..." geramnya, suaranya serak dan dominan. Ia semakin memacu pinggulnya, hentakannya dalam dan memabukkan. Ia menarik tubuh Irene, memeluknya erat, membuat tubuh basah merek
Bab 88“Oh my, Ge…” lirih Irene, matanya memejam, pasrah dan penuh gairah. Ia tidak lagi mampu mengucapkan kata-kata.Gerald tersenyum tipis, Ia memutus ciuman mereka, namun tatapannya tak pernah lepas dari mata Irene.Gerald melepaskan pakaian atas Irene, blazer putih dan dress lilac itu kini tergeletak di lantai, memperlihatkan bra renda hitam yang kontras dengan kulit putih mulusnya. Ia mencium bahu mulus milik kekasihnya. Kulit putih dan lembut, aroma manis yang khas, adalah candu baginya. Ia menghirupnya dalam-dalam, menikmati aroma Irene yang memabukkan.Napas panas Gerald berhembus halus di kulit leher Irene, membuat tubuh Irene bereaksi. Setiap sentuhan udara panas itu, setiap ciuman ringan di tulang selangkanya, membuat nadi dan sarafnya merespon semua sentuhan Gerald.Tangan pria itu sudah turun, meremas lembut bukit kenyalnya yang sudah menantang, siap disantap. Melalui lapisan bra, Gerald merasakan detak jantung Irene yang berpacu kencang. Ia meremas, mengelus, dan memilin
Bab 87"Aku bodoh bukan?" bisik Gerald, suaranya serak.“Ya?” tanya Irene, menantikan kalimat selanjutnya, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang dalam."Aku bodoh karena terlalu lama menemukan dirimu, aku bodoh karena saat itu tidak menahanmu saat pertemuan pertama kita. Aku bodoh membuatmu—"Irene mengecup Gerald, sebuah kecupan cepat dan lembut di bibir pria itu, membuat pria itu berhenti berbicara. Tindakan itu penuh kasih sayang dan pengakuan. Namun, segurat senyuman tercetak di wajah tampannya, menunjukkan betapa ia menikmati interupsi itu.Irene melepaskan kecupannya dan berkata, suaranya penuh ketenangan."Stop menyalahkan dirimu. Perjalanan hidupku yang lalu bukan tanggung jawabmu, Ge."Gerald membalas tatapan itu, hatinya menghangat karena ketulusan Irene. Ia membelai lembut pipi Irene."Hmm, baiklah, sayang. Tapi sekarang dan selamanya, kamu adalah tanggung jawabku. Apapun kesedihan dan kebahagiaanmu adalah bagian dari hidupku."Gerald tidak memberikan kesempatan Irene un
Bab 86Gerald dan Victor berjalan cepat, meninggalkan kantor polisi dengan aura kemenangan yang tegas. Mereka tidak menyisakan satu pun keraguan bahwa ini adalah akhir dari kisah Owen dan Bertha.Mereka tiba di parkiran VIP bandara. Sampai di mobil, Gerald tersenyum lembut, senyum yang murni dan hangat, jauh berbeda dari seringai dingin yang ia tunjukkan pada Owen. "Maaf lama, sayang," ujarnya pada wanita cantik yang tengah menunggunya di dalam mobil. Ia membuka pintu penumpang depan."Gak masalah, Ge'," jawab Irene, suaranya tenang, meskipun ia tahu Gerald baru saja menyelesaikan kehancuran Owen."Kita pindah ke belakang, sayang," Gerald mengulurkan tangannya, meminta Irene keluar. Tangan kirinya berada di kap mobil, menjaga keamanan kepala Irene agar tidak terbentur.Irene sedikit mengerutkan kening, bingung kenapa harus pindah ke belakang. Namun, ia mengerti saat melihat sosok Victor sudah menunggu di sisi mobil, siap mengemudi. Itu artinya Gerald ingin menghabiskan waktu berdua be
Bab 85"Pertemuan dua kekasih yang sungguh mengharukan…"Suara bariton yang dalam dan dingin itu memecah keheningan di lorong sel penahanan. Suara yang kini paling mereka benci dan takuti. Pandangan Owen dan Bertha mengangkat wajah mereka, tertuang pada sosok yang ada di sana.Berdiri di luar jeruji besi, ditemani Victor dan Tuan Marcus, adalah Gerald. Pria itu mengenakan setelan jas yang sempurna, auranya memancarkan kekuasaan yang tak tertandingi.Owen dan Bertha bersamaan menyebut nama Gerald. Suara mereka serak dan penuh kebencian. Sosok pria yang membuat dunia mereka hancur hanya dalam kedipan mata.Bertha menoleh ke arah Owen, melihat tidak ada harapan dari pria itu. Owen sudah benar-benar lumpuh. Bertha, dengan insting bertahan hidupnya yang licik, segera mengalihkan fokus. Ia merangkak mendekati jeruji besi, berlutut dan berkata dengan nada permohonan yang dibuat-buat, air mata palsu mulai mengalir."Tuan Gerald, maafkan aku. Aku hanya mengikuti apa yang diminta oleh pria bere







