Tentu saja aku panik, namun aku harus bersikap normal untuk menutupi yang baru saja terjadi.
“Jangan berpikir yang macam-macam. Aku cuma membantu dan wajah mama yang merah itu karena dia kesakitan, bukan karena aku menyentuhnya,” kataku dengan nada tajam dan tegas, seolah-olah kalimat itu adalah benteng terakhirku. Amanda menatapku lama. Ada sorot yang sulit kutebak—antara ragu dan ingin percaya. Aku pun kembali merebahkan badan, kali ini benar-benar berpura-pura hendak tidur. Hening menyelimuti kamar untuk beberapa saat. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama. “Aku nggak janji bisa menahan diri,” suara Amanda pecah di keheningan, lirih tapi jelas menusuk. “Kalau aku sampai melakukannya diam-diam… aku tahu itu jauh lebih salah. Tapi aku nggak bisa bohong soal apa yang aku mau, Rey.” Aku membuka mata. Bayangan punggung Amanda yang menatap ke arah pintu membuatku ingin bangkit. “Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara lebih rendah. “Tentang keinginanku itu.” Amanda menjawab dengan suara yang pelan. Aku langsung duduk. “Bukankah aku sudah bilang untuk memberi aku waktu?” Amanda menoleh, matanya berkilat di bawah cahaya lampu meja. Dia mengangguk pelan. “Ya, aku tahu. Aku hanya mengingatkan saja… dan jangan terlalu lama.” Kalimatnya itu seperti jerat. Aku merasa ditekan dari arah yang tidak bisa kutolak. “Amanda, aku selalu berusaha memuaskan kamu. Kamu tahu itu. Mungkin akhir-akhir ini saja kamu berbeda. Tapi sebelumnya, setiap kali kita bercinta, kamu selalu sampai. Tubuhmu, ekspresimu, suaramu—semuanya jelas menunjukkan kalau kamu puas,” ucapku dengan suara bergetar. Amanda mengangguk cepat. “Aku tahu, Rey. Kamu hebat. Aku nggak pernah bohong soal itu.” Dia menunduk, menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah, “Tapi akhir-akhir ini aku jenuh. Rasanya… aku nggak bergairah kalau cuma kita berdua. Yang bikin aku tetap panas… cuma bayangan itu.” “Bayangan itu?” ulangku. “Ya. Bermain bertiga. Seperti di video itu.” Jantungku langsung seperti berhenti sepersekian detik. Amanda menatapku dalam-dalam, lalu berkata, “Aku ingin mencobanya. Aku nggak tahu gimana rasanya, tapi aku penasaran. Bahkan membayangkannya saja udah bikin aku tinggi.” Aku memalingkan wajah, menatap kosong ke arah langit-langit. Bayangan dari video itu menghantamku. Hanya saja kali ini, wajah wanita itu bukan orang asing—melainkan Amanda, istriku. Sensasi yang muncul bercampur aduk: ada gairah liar yang menyambar, tapi juga ketakutan akan kehilangan kendali. “Kamu tahu ini gila, ‘kan?” kataku akhirnya dengan suara serak. Amanda menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Ya, aku tahu ini gila. Makanya aku simpan selama ini. Tapi kamu sudah tahu. Dan sekarang aku nggak mau lagi pura-pura. Aku mau melakukannya, Rey.” Aku terdiam lama. Benakku jadi medan perang. Satu suara berbisik bahwa ini kesempatan yang mungkin tidak pernah datang lagi. Sementara suara lain berteriak agar aku berhenti sebelum segalanya hancur. Amanda menyentuh lenganku, suaranya lembut tapi tajam. “Aku cuma mau kita coba sekali saja. Kalau nggak suka, kita berhenti.” Aku menelan ludah. Lalu, dengan nada setengah mengalah, aku berujar, “Aku akan mencari wanitanya dulu.” Itu kalimat penenang, lebih untuk membuat Amanda berhenti menekan malam itu. Tapi sekaligus, aku sadar aku baru saja membuka celah yang bisa menjerumuskanku lebih jauh. *** Keesokan hari, aku tiba di Hotel Grand Aurelia, tempatku bekerja, dengan kepala penuh kegelisahan. Amanda, desakan semalam, dan bayangan video itu terus bergema di kepalaku. Yang pertama kulakukan adalah mencari Haris. Aku butuh seseorang untuk diajak bicara, meskipun aku tidak bisa terang-terangan. Aku mendekati resepsionis. “Olivia, Haris ada?” Perempuan itu tersenyum ramah. “Oh, Haris lagi beres-beres kamar di lantai lima.” Aku mengangguk. “Baik, terima kasih.” Aku pun duduk di ruang belakang tempat biasa untuk istirahat, mencoba menenangkan pikiran. Tapi sepuluh menit terasa panjang ketika isi kepalaku terus diisi wajah Amanda yang berkata: aku nggak bisa menahan diri. Tak lama kemudian, Haris muncul dengan seragam housekeeping-nya. Wajahnya berkeringat, tapi senyumnya lebar. Dia langsung menjatuhkan diri di kursi sampingku sambil mengeluarkan tiga lembar uang dari saku. “Rejeki nomplok, Bro!” katanya sambil terkekeh. “Tamu VIP kasih tip. Lumayan, bisa buat makan siang.” Aku tersenyum tipis. “Serius? Wah, mantap lah.” “Ya iyalah. Nanti kita makan siang bareng, aku yang bayarin.” Haris menepuk bahuku. “Terima kasih, Ris.” Aku menunduk sebentar, lalu mencoba menggiring pembicaraan ke arah yang sejak tadi menggantung di pikiranku. “Eh, ngomong-ngomong, soal cerita kemarin…” Haris menoleh. “Cerita yang mana? Yang tentang temanku itu?” Aku mengangguk cepat. “Ya, itu. Kamu masih punya cerita lain? Aku… pengen dengar lagi.” Dia tertawa kecil, menggeleng. “Aku udah ceritain semuanya. Nggak ada lagi yang disembunyiin.” Aku mendorong sedikit lebih jauh. “Tapi kamu masih sering ketemu sama mereka, ‘kan?” Haris tampak berpikir sebentar. “Hmm… terakhir kali sih sebulan lalu. Aku nggak sengaja ketemu mereka di restoran. Mereka habis dari hotel katanya, ya, kamu tahu lah… selesai main.” Aku menelan ludah. “Terus gimana? Mereka cerita apa ke kamu?” Haris mengangkat bahu. “Nggak ada yang spesial. Mereka udah sering cerita sebelumnya, jadi buatku biasa aja. Ya, begitu-begitu aja.” Aku bersandar, menimbang kata-kata. Lalu, dengan suara lebih serius, aku bertanya, “Kamu bisa nggak pertemukan aku dengan mereka? Aku mau dengar langsung cerita dari mereka. Pengen tahu gimana rasanya… dari sisi suaminya.” Haris menatapku dengan alis berkerut. Senyumnya hilang, berganti dengan ekspresi penuh curiga. “Rey…” katanya pelan. “Kenapa kamu kayaknya tertarik banget sama cerita ini? Hmm… sebenarnya yang kamu ceritain kemarin itu… istri temanmu? Atau… istrimu sendiri?” Kalimat itu menghantamku seperti palu. Aku tercekat, tidak bisa langsung menjawab.“Nggak, ini… istri temanku. Aku cuma mau tahu aja gimana perasaan suaminya itu,” kataku, terbata.Haris menyipitkan mata, menatapku lekat-lekat seperti sedang membaca isi kepalaku. “Tapi kenapa kamu sangat ingin tahu, Rey? Kamu ngomongnya itu, kayak kamu pemeran utamanya.”Aku tercekat. Tangan gemetaran, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Aku paksa bibirku tersenyum, walau jelas terlihat kaku. “Nggak, aku cuma penasaran aja. Menarik gitu lho… gimana rasanya seorang suami menghadapi situasi begitu. Lagian… aku juga membayangkan, kalau… kalau itu terjadi ke istriku…” Suaraku makin mengecil, nyaris hilang.Aku buru-buru menunduk, pura-pura merapikan baju kerja. Jantungku berdetak keras, seolah bisa terdengar orang di sekitarku. Ada rasa takut ketahuan, tapi juga rasa bersalah karena barusan aku tanpa sadar mengakui kalau aku pernah membayangkannya.Haris tersenyum miring, lalu menepuk bahuku pelan. “Rey, jangan dibayangin. Nanti kamu bisa gila sendiri. Istrimu itu nggak akan pernah
Tentu saja aku panik, namun aku harus bersikap normal untuk menutupi yang baru saja terjadi.“Jangan berpikir yang macam-macam. Aku cuma membantu dan wajah mama yang merah itu karena dia kesakitan, bukan karena aku menyentuhnya,” kataku dengan nada tajam dan tegas, seolah-olah kalimat itu adalah benteng terakhirku.Amanda menatapku lama. Ada sorot yang sulit kutebak—antara ragu dan ingin percaya. Aku pun kembali merebahkan badan, kali ini benar-benar berpura-pura hendak tidur.Hening menyelimuti kamar untuk beberapa saat. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.“Aku nggak janji bisa menahan diri,” suara Amanda pecah di keheningan, lirih tapi jelas menusuk. “Kalau aku sampai melakukannya diam-diam… aku tahu itu jauh lebih salah. Tapi aku nggak bisa bohong soal apa yang aku mau, Rey.”Aku membuka mata. Bayangan punggung Amanda yang menatap ke arah pintu membuatku ingin bangkit.“Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara lebih rendah.“Tentang keinginanku itu.” Amanda menjawab dengan suar
Aku semakin dekat. Napas ibu mertuaku terdengar berat—teratur tapi ada getaran aneh, seperti menahan sesuatu. Dari jarak ini, aroma parfum lembutnya bercampur dengan hangat tubuhnya. Bau itu seperti masuk lewat hidung lalu mengusir semua logika yang tersisa di kepalaku.Tatapan Lydia tak berpaling, menempel pada mataku seakan ingin menembus isi pikiranku.“Mama…” suaraku serak, separuh ingin bertanya, separuh takut mendengar jawabannya.“Diam saja…” bisiknya, pelan tapi tegas.Tangannya meraih dadaku, jemarinya bergerak lambat menelusuri garis otot di balik kaus tipis yang kupakai. Sentuhan itu ringan, lembut… tapi cukup untuk membuatku kehilangan fokus, dan… kehilangan akal sehat.Aku menelan ludah. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang: satu langkah maju bisa menghancurkan segalanya, tapi entah kenapa kakiku justru ingin melangkah.Dia mencondongkan tubuh. Napasnya terasa di pipiku, lalu di leherku. Semakin dekat… hanya satu gerakan kecil lagi dan bibirnya akan menyentuh kulitku.“
Untuk beberapa detik, aku hanya berdiri diam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada apapun yang Amanda ucapkan malam ini. Langkahnya terdengar pelan namun mantap, setiap hentakan tumitnya seperti membawa pesan yang tak diucapkan. Tatapannya seperti biasa—menusuk, dingin, seolah bisa menembus lapisan terdalam diriku. “Gaji kamu sebagai room service di hotel itu kecil sekali, Rey,” ucapnya, suaranya datar tapi menusuk seperti pisau tipis yang sudah lama diasah. “aku malu punya menantu miskin. Tidak bisa dibanggakan.” Aku hanya diam. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar ucapan serupa. Lidahku seakan kelu, bukan karena takut, tapi karena lelah. Kata-kata seperti ini sudah seperti hujan di musim penghujan—datang setiap hari, tanpa diminta. Aku menghela napas panjang seraya berkata dalam hati, “Ya, aku tahu aku bukan menantu idamanmu. Tapi, apa semua orang harus diukur dari isi dompetnya?” Ia berbalik, hendak kembali ke kamarnya. Namun tiba-tiba langkahnya goyah. Ada suara k
Namun aku sadar, dia mertuaku. Nafasku tercekat dan buru-buru kututup pintu kamar mandi sebelum Lydia menyadari keberadaanku. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin muncul di pelipis. Apa yang barusan kulihat… tidak seharusnya kulihat. Aku mundur beberapa langkah, lalu cepat-cepat keluar dari kamar. Aku menjatuhkan diri di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk dengan ponsel di tanganku, padahal layar hanya menampilkan halaman kosong. Jemariku bergetar. Aku masih bisa membayangkan lekuk tubuh Lydia—dan itu membuatku semakin merasa berdosa. Tak lama, pintu kamarku terbuka. Aku buru-buru merapikan posisi duduk, menahan wajahku agar tetap terlihat tenang. “Kamu sudah pulang?” suara Lydia terdengar. Aku berpura-pura terkejut, menoleh ke arahnya. “Eh, iya, Ma. Baru aja sampai.” Dia berdiri di sana, rambutnya masih sedikit basah, wajahnya dingin seperti biasa. Dia menunjuk ke lantai dua, ke arah kamarku. “Tadi Mama pinjam kamar mandinya. Di kamar Mama, showernya rusak.” Aku cepat
Keesokan harinya, aku duduk di ruang istirahat belakang resepsionis hotel tempatku bekerja. Kursi kayu keras yang biasanya hanya jadi tempat singgah sebentar, kini terasa seperti jerat yang menahanku. Pikiranku masih melayang ke kejadian tadi malam. Amanda. Video itu. Dan pengakuannya—keinginan gila yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulut seorang wanita yang aku cinta. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Rasanya perutku mual memikirkan ulang. Bagaimana mungkin Amanda, istriku sendiri, bisa meminta hal semacam itu? Satu laki-laki, dua perempuan. Bertiga di ranjang. Apa dia sudah gila? Atau akukah yang sebenarnya ketinggalan zaman? “Rey!” Suara keras memotong lamunanku. Aku terlonjak kecil dan buru-buru menoleh. Haris berdiri di pintu ruang istirahat, wajahnya setengah heran, setengah kesal. “Kamu kenapa bengong aja?” tanyanya sambil melangkah masuk. “Eh, nggak. Ini… lagi banyak pikiran aja,” jawabku cepat, mencoba menata wajah agar tidak terlalu kelihatan kaca