Share

Amanda Semakin Mendesak

Author: Falisha Ashia
last update Huling Na-update: 2025-09-15 20:27:28

Tentu saja aku panik, namun aku harus bersikap normal untuk menutupi yang baru saja terjadi.

“Jangan berpikir yang macam-macam. Aku cuma membantu dan wajah mama yang merah itu karena dia kesakitan, bukan karena aku menyentuhnya,” kataku dengan nada tajam dan tegas, seolah-olah kalimat itu adalah benteng terakhirku.

Amanda menatapku lama. Ada sorot yang sulit kutebak—antara ragu dan ingin percaya. Aku pun kembali merebahkan badan, kali ini benar-benar berpura-pura hendak tidur.

Hening menyelimuti kamar untuk beberapa saat. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.

“Aku nggak janji bisa menahan diri,” suara Amanda pecah di keheningan, lirih tapi jelas menusuk. “Kalau aku sampai melakukannya diam-diam… aku tahu itu jauh lebih salah. Tapi aku nggak bisa bohong soal apa yang aku mau, Rey.”

Aku membuka mata. Bayangan punggung Amanda yang menatap ke arah pintu membuatku ingin bangkit.

“Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara lebih rendah.

“Tentang keinginanku itu.” Amanda menjawab dengan suara yang pelan.

Aku langsung duduk. “Bukankah aku sudah bilang untuk memberi aku waktu?”

Amanda menoleh, matanya berkilat di bawah cahaya lampu meja. Dia mengangguk pelan. “Ya, aku tahu. Aku hanya mengingatkan saja… dan jangan terlalu lama.”

Kalimatnya itu seperti jerat. Aku merasa ditekan dari arah yang tidak bisa kutolak.

“Amanda, aku selalu berusaha memuaskan kamu. Kamu tahu itu. Mungkin akhir-akhir ini saja kamu berbeda. Tapi sebelumnya, setiap kali kita bercinta, kamu selalu sampai. Tubuhmu, ekspresimu, suaramu—semuanya jelas menunjukkan kalau kamu puas,” ucapku dengan suara bergetar.

Amanda mengangguk cepat. “Aku tahu, Rey. Kamu hebat. Aku nggak pernah bohong soal itu.” Dia menunduk, menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah, “Tapi akhir-akhir ini aku jenuh. Rasanya… aku nggak bergairah kalau cuma kita berdua. Yang bikin aku tetap panas… cuma bayangan itu.”

“Bayangan itu?” ulangku.

“Ya. Bermain bertiga. Seperti di video itu.”

Jantungku langsung seperti berhenti sepersekian detik.

Amanda menatapku dalam-dalam, lalu berkata, “Aku ingin mencobanya. Aku nggak tahu gimana rasanya, tapi aku penasaran. Bahkan membayangkannya saja udah bikin aku tinggi.”

Aku memalingkan wajah, menatap kosong ke arah langit-langit. Bayangan dari video itu menghantamku. Hanya saja kali ini, wajah wanita itu bukan orang asing—melainkan Amanda, istriku. Sensasi yang muncul bercampur aduk: ada gairah liar yang menyambar, tapi juga ketakutan akan kehilangan kendali.

“Kamu tahu ini gila, ‘kan?” kataku akhirnya dengan suara serak.

Amanda menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Ya, aku tahu ini gila. Makanya aku simpan selama ini. Tapi kamu sudah tahu. Dan sekarang aku nggak mau lagi pura-pura. Aku mau melakukannya, Rey.”

Aku terdiam lama. Benakku jadi medan perang. Satu suara berbisik bahwa ini kesempatan yang mungkin tidak pernah datang lagi. Sementara suara lain berteriak agar aku berhenti sebelum segalanya hancur.

Amanda menyentuh lenganku, suaranya lembut tapi tajam. “Aku cuma mau kita coba sekali saja. Kalau nggak suka, kita berhenti.”

Aku menelan ludah. Lalu, dengan nada setengah mengalah, aku berujar, “Aku akan mencari wanitanya dulu.”

Itu kalimat penenang, lebih untuk membuat Amanda berhenti menekan malam itu. Tapi sekaligus, aku sadar aku baru saja membuka celah yang bisa menjerumuskanku lebih jauh.

***

Keesokan hari, aku tiba di Hotel Grand Aurelia, tempatku bekerja, dengan kepala penuh kegelisahan. Amanda, desakan semalam, dan bayangan video itu terus bergema di kepalaku.

Yang pertama kulakukan adalah mencari Haris. Aku butuh seseorang untuk diajak bicara, meskipun aku tidak bisa terang-terangan.

Aku mendekati resepsionis. “Olivia, Haris ada?”

Perempuan itu tersenyum ramah. “Oh, Haris lagi beres-beres kamar di lantai lima.”

Aku mengangguk. “Baik, terima kasih.”

Aku pun duduk di ruang belakang tempat biasa untuk istirahat, mencoba menenangkan pikiran. Tapi sepuluh menit terasa panjang ketika isi kepalaku terus diisi wajah Amanda yang berkata: aku nggak bisa menahan diri.

Tak lama kemudian, Haris muncul dengan seragam housekeeping-nya. Wajahnya berkeringat, tapi senyumnya lebar. Dia langsung menjatuhkan diri di kursi sampingku sambil mengeluarkan tiga lembar uang dari saku.

“Rejeki nomplok, Bro!” katanya sambil terkekeh. “Tamu VIP kasih tip. Lumayan, bisa buat makan siang.”

Aku tersenyum tipis. “Serius? Wah, mantap lah.”

“Ya iyalah. Nanti kita makan siang bareng, aku yang bayarin.” Haris menepuk bahuku.

“Terima kasih, Ris.” Aku menunduk sebentar, lalu mencoba menggiring pembicaraan ke arah yang sejak tadi menggantung di pikiranku. “Eh, ngomong-ngomong, soal cerita kemarin…”

Haris menoleh. “Cerita yang mana? Yang tentang temanku itu?”

Aku mengangguk cepat. “Ya, itu. Kamu masih punya cerita lain? Aku… pengen dengar lagi.”

Dia tertawa kecil, menggeleng. “Aku udah ceritain semuanya. Nggak ada lagi yang disembunyiin.”

Aku mendorong sedikit lebih jauh. “Tapi kamu masih sering ketemu sama mereka, ‘kan?”

Haris tampak berpikir sebentar. “Hmm… terakhir kali sih sebulan lalu. Aku nggak sengaja ketemu mereka di restoran. Mereka habis dari hotel katanya, ya, kamu tahu lah… selesai main.”

Aku menelan ludah. “Terus gimana? Mereka cerita apa ke kamu?”

Haris mengangkat bahu. “Nggak ada yang spesial. Mereka udah sering cerita sebelumnya, jadi buatku biasa aja. Ya, begitu-begitu aja.”

Aku bersandar, menimbang kata-kata. Lalu, dengan suara lebih serius, aku bertanya, “Kamu bisa nggak pertemukan aku dengan mereka? Aku mau dengar langsung cerita dari mereka. Pengen tahu gimana rasanya… dari sisi suaminya.”

Haris menatapku dengan alis berkerut. Senyumnya hilang, berganti dengan ekspresi penuh curiga.

“Rey…” katanya pelan. “Kenapa kamu kayaknya tertarik banget sama cerita ini? Hmm… sebenarnya yang kamu ceritain kemarin itu… istri temanmu? Atau… istrimu sendiri?”

Kalimat itu menghantamku seperti palu.

Aku tercekat, tidak bisa langsung menjawab.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Di Ruangan Bersama Livia

    Setelah Haris pergi, aku hanya duduk diam di kursi, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata terakhirnya terus terngiang di kepalaku.“Kalau mau tahu yang sebenarnya, kamu harus mengalaminya sendiri.”Ucapan itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti kunci dari semua tanda tanya yang selama ini menggantung di pikiranku.Aku mendesah pelan, lalu mengacak rambutku dengan kasar.“Duh… Rey, apa yang sebenarnya kamu pikirin, sih?” gumamku kesal sendiri.Tapi semakin aku mencoba menepis, semakin jelas bayangan itu datang. Bayangan tentang Amanda… disentuh oleh wanita lain.Seharusnya aku tidak merasa terganggu. Bukankah wanita yang menyentuhnya dan bukan pria? Tapi kenapa tetap saja ada sesuatu yang terasa… menusuk di dada.Aku menggigit bibir, lalu menatap lantai. “Kenapa rasanya berat, ya?” bisikku.Seolah ada dua sisi dalam diriku yang sedang bertarung. Satu sisi ingin menolak, satu sisi lagi justru penasaran, ingin tahu seperti apa kenyataan yang sebenarnya.“Duh, bagaimana ini?”

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Kamu Harus Mengalaminya Sendiri

    “Ada apa, Ma? Merinding?” tanyaku pelan, setengah berbisik di dekat telinganya. Dia terdiam. Bahunya menegang, tapi aku bisa melihat napasnya yang mulai tidak beraturan. Dalam diam itu, aku tahu, ada sesuatu yang sedang dia tahan. Aku ingin memastikannya. Sebenarnya, apa yang kulakukan bukan karena nekat, tapi lebih karena rasa ingin tahu. Aku ingin tahu seberapa jauh Lydia bisa menahan gejolak hatinya. Apakah dia benar-benar membenciku seperti yang diucapkannya… atau justru sebaliknya? “Rey…” suaranya pelan, tapi tegas. “Jangan terlalu dekat.” Aku tersenyum kecil. “Kenapa? Mama takut?” “Bukan takut. Aku cuma… tidak suka. Kamu bisa bicara dari kursimu,” ucapnya dengan nada yang berusaha keras terdengar tegas, meskipun jelas ada getar samar di ujung suaranya. Aku masih diam di tempat, menatap tengkuknya yang halus dari jarak sangat dekat. Rambutnya sedikit terurai, menutupi sebagian bahunya. Aku bisa mencium aroma parfumnya—l,lembut tapi menusuk. Wangi yang sama seperti

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Apa Yang Terjadi Tidak Mengubah Apapun

    Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu, bersiap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi di balik sana. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi begitu daun pintu terbuka, rasa tegang itu perlahan memudar.Ternyata hanya Rani, asisten rumah tangga kami.“Rani?” tanyaku, berusaha menormalkan nada suaraku.“Maaf, Pak, saya ganggu,” katanya sopan sambil menunduk. “Ibu Lydia nyuruh saya panggil Bapak untuk sarapan.”Aku sempat mengerjap. “Ibu Lydia?”“Iya, Pak. Katanya Bapak disuruh sarapan sekarang sebelum Rani pergi,” jelasnya.“Oh… iya, baik. Sebentar lagi saya ke bawah,” kataku pelan. “Terima kasih, ya.”Rani tersenyum kecil lalu berlalu.Aku masih berdiri di depan pintu, memandangi tangga yang menuju lantai bawah. Pikiranku langsung penuh tanda tanya.Kenapa Mama mertua tiba-tiba menyuruhku sarapan? Sebelumnya, tidak pernah ada kejadian seperti ini.Apakah dia… ingin melanjutkan hal yang kemarin? Atau justru sebaliknya, marah karena aku sudah lancang?Aku menata

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Aku Akan Paksa

    Lagi-lagi pertanyaan Amanda itu membuatku terdiam. Bukan karena aku tak tahu harus menjawab apa, tapi karena aku takut. Ya… takut kalau satu kata yang salah bisa menyalakan api cemburu. Meskipun dia meminta fantasi itu, tapi bukan berarti dia ingin aku pacaran dengan wanita lain.Dia menatapku tanpa berkedip, dengan ekspresi datar tapi tajam seperti sedang membaca isi hatiku.Aku menelan ludah, mencoba memaksa bibirku untuk bergerak.“Iya... ini dari Bu Livia,” jawabku akhirnya, jujur tapi dengan nada hati-hati. “Dia cuma nanya, aku masih bangun atau udah tidur.”“Katanya tadi pesan kerjaan?” suaranya pelan, tapi dingin.“Ya, kan ini dari Bu Livia. Pasti, nanti juga akan bahas tentang kerjaan,” jawabku.Alis Amanda naik sedikit. “Dia cuma nanya itu aja?”“Iya,” jawabku cepat. “Mungkin mau bahas soal kerjaan, atau urusan kerajaan. Nggak ada apa-apa.”Amanda menunduk sejenak, lalu berbalik menuju lemari pakaian.Aku sempat menghela napas lega, tapi belum sempat benar-benar tenang, ponse

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Desakan Amanda

    Pertanyaan Amanda barusan seperti pisau yang menggores pelan tapi dalam.“Apa kamu pengen karena membayangkan tubuh Livia… atau karena tadi lihat Mama cuma pakai handuk?”Aku terdiam.Sumpah, aku ingin membantah, tapi lidahku seperti terikat. Gambar Lydia dengan handuk yang menempel di kulitnya masih berputar di kepala—begitu pula bayangan samar tentang Livia, dengan senyum tenangnya yang kadang bisa membuat siapa pun kehilangan arah.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan bara yang sudah naik ke dada.“Amanda,” kataku akhirnya, nada suaraku terdengar lebih tajam dari yang kumaksud, “kamu jangan mikir yang aneh-aneh! Nggak ada hubungannya sama mereka!”Amanda menatapku lekat-lekat, tidak mundur sedikit pun. “Lantas?” tanyanya dingin.“Kalau bukan karena mereka, lalu karena apa kamu bilang lagi pengen?”Aku mendesah pelan, lalu melangkah setengah mendekat.“Aku tergoda karena kamu, Amanda. Mana ada cowok waras yang nggak tergoda ngelihat tubuhmu kayak gini?”Senyum samar terbit

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Membuka Baju Di Hadapanku

    Amanda menatapku lama, seolah ingin membaca isi kepalaku. Tatapan itu tajam tapi lembut, seperti pisau yang dibalut sutra.Dia mengangkat alis, lalu tersenyum samar. “Iya, Livia memang cantik,” katanya akhirnya. “Kenapa? Kamu menyukainya?”Aku menatapnya balik. “Ini bukan masalah suka atau nggak suka,” ujarku pelan. “Tapi ini tentang keinginanmu itu.”Senyumnya menipis, tapi matanya justru berkilat. “Jadi… kamu sudah mulai memikirkannya?” tanyanya, suaranya terdengar nyaris seperti bisikan, tapi ada gairah terselubung di baliknya.Aku menghela napas. “Tentu saja. Kamu yang memaksaku memikirkan hal itu. Bahkan sampai mengancam segala. Mana mungkin aku nggak kepikiran?”Amanda terkekeh kecil. “Ancaman itu berhasil rupanya,” katanya sambil melangkah mendekat. Jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal sekarang. “Jadi, maksudmu… kamu mau mengajak Livia untuk melakukan itu?”Aku menatap matanya, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Rencananya sih seperti itu. Tapi hanya kalau kamu setuju.”Dia me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status