MasukTapi sebelum dia sempat melempar, aku sudah berdiri di antara mereka.Aku menatap raksasa itu dengan tatapan bosan."Jangan sentuh dia," kataku pelan. "Lawanmu itu aku."Titan tertawa, suara tawanya memekakkan telinga. Dia menjatuhkan sofa itu ke samping."Kau? Kau cuma semut kecil," geram Titan. "Akan ku injak kepalamu samapi gepeng!"Titan mengayunkan tinju kanannya yang sebesar bola bowling ke arah wajahku. Angin dari pukulannya saja sudah terasa menyakitkan.Namun, aku tidak menghindar. Aku mengangkat tangan kananku dengan santai.PLAAAK!Suara benturan keras itu menggema, mematikan semua suara lain di ruangan yang porak-poranda itu.Debu dari karpet berhamburan di sekitar kakiku akibat dampak energi kinetik yang tercipta. Namun, kakiku tetap terpaku di lantai marmer, tidak bergeser satu milimeter pun.Titan membeku. Matanya yang merah melebar, menatap tak percaya pada tangannya sendiri. Kepalan tinju kanannya yang sebesar bola bowling, yang biasanya sanggup menghancurkan tengkora
Jonathan tersenyum lega. "Silakan, Tuan. Anda ikut mobil saya atau bawa mobil sendiri?""Aku ikut kalian. Biar mobilku aman di sini," putusku.Kami pun masuk ke dalam sedan mewah Jonathan. Guntur duduk di balik kemudi, aku dan Jonathan di belakang.Mobil melaju pelan menuju gerbang utama Green Emerald yang megah bak istana kerajaan. Dua orang satpam berseragam safari lengkap dengan pentungan mendekat dengan wajah garang.Namun, begitu Guntur menurunkan kaca jendela dan menempelkan kartu emas itu ke mesin sensor, palang gerbang langsung terangkat otomatis. Satpam yang tadi garang langsung berdiri tegak dan memberi hormat militer."Selamat malam, Pak! Silakan!"Kami meluncur masuk dengan mulus.Suasana di dalam kompleks perumahan itu sangat berbeda dengan di luar. Hening, damai, dan mewah."Blok D9 ada di ujung jalan ini, Tuan," lapor Guntur sambil menatap lurus ke depan. "Itu rumah paling besar di sektor ini, namun bukan yang termahal di komplek ini. Bisa dibilang hanya kelas 3 nya."“
Aku memacu mobilku membelah jalanan malam kota Lunaris yang mulai lengang, Tidka macet meski masih padat.Di dalam kabin mobil yang hening ini, suara deru mesin menjadi satu-satunya teman. Namun, di dalam kepalaku, suara-suara lain berteriak jauh lebih keras. Bayangan wajah kecewa Amanda, bayangan dia yang menunggu di kamar mengecek jam dinding, dan mungkin dia pergi sendiri ke apartemen Livia, lalu perlahan menyadari bahwa suaminya tidak akan datang.Setiap detik yang berlalu adalah pisau yang mengiris hatiku."Maafkan aku, Sayang," gumamku sambil mencengkeram setir erat-erat hingga buku jariku memutih. "Malam ini aku harus menjadi iblis dulu, supaya besok aku bisa kembali menjadi malaikat pelindungmu."Aku mengarahkan mobil menuju kawasan Green Emerald. Itu adalah perumahan paling elit di kota ini, tempat para konglomerat, pejabat korup, dan tentu saja... bos mafia bersembunyi di balik tembok tinggi berlapis marmer.Jaraknya tinggal satu kilometer lagi. Aku sudah menyusun rencana di
Suara itu terdengar kering dan menyakitkan.Aku menunduk, menatap nanar ke aspal. Di bawah sol sepatu bot militer Dargo yang kotor, ponselku hancur berkeping-keping. Layar hitamnya retak seribu, mesinnya patah menjadi dua.Dalam sekejap, duniaku hening.Bukan hening karena takut, tapi hening karena aku baru saja kehilangan satu-satunya akses kepada Amanda. Pesan itu tidak terkirim. Penjelasanku tidak sampai.Di kepalaku, aku bisa membayangkan Amanda yang sedang bersiap-siap dengan antusias, mematut diri di cermin, menunggu jemputanku dengan senyum manis. Dia tidak tahu bahwa suaminya sedang berdiri di parkiran gelap yang bau amis darah ini. Dia tidak akan tahu kenapa aku tidak datang.Kekecewaan itu merayap naik dari perutku, bukan sebagai amarah yang meledak-ledak, melainkan sebagai rasa dingin yang menusuk tulang. Rasanya seperti menelan bongkahan es.Aku mengangkat wajah, menatap Dargo. Pria itu menyeringai, tampak seperti sudah menang. Dia tidak sadar, dia baru saja menghancurkan
Livia menatapku dengan mata yang berbinar penuh kemenangan. Napasnya masih sedikit memburu setelah dia memojokkanku dengan tuntutannya yang tak terbantahkan. Dia bukan lagi Livia si atasan yang dingin, melainkan wanita yang dikuasai oleh rasa penasaran dan gairah yang menumpuk.“Jadi, kita sepakat?” tanyanya, jarinya bermain di kancing kemejaku.Aku menghela napas panjang, lalu mengangguk.“Sepakat,” jawabku. “Pulang kerja nanti. Jam tujuh malam. Di mana?”“Apartemen pribadiku,” jawab Livia cepat. “Bukan rumah yang aku tinggali sama Arya. Aku punya unit di Skyline Residence. Di sana aman, kedap suara, dan tidak akan ada yang mengganggu kita. Aku akan kirim alamatnya ke ponselmu.”“Suami kamu, gimana? Kalau di sana, nanti ketahuan dia,” tanyaku.Livia tersenyum. “Nggak akan. Dia mau ada pertemuan bisnis dan biasanya sampai menjelang pagi. Kita punya waktu panjang.”Dari nada bicara dan juga tatapan matanya, dia begitu yakin dan percaya diri. Jadi aku percaya saja.Dia berjinjit, mendar
Tubuh Amanda membeku dalam pelukanku. Wajahnya yang tadi merona karena gairah, kini pucat pasi.Di seberang sana, aku mendengar suara Livia yang tercekat, tidak mampu menjawab. Detik-detik kehancuran rumah tangga dan kariernya sedang berjalan. Jika suaminya melihat nama kontakku atau mendengar suara desahan kami, tamatlah riwayat kami semua.Aku harus bertindak. Sekarang.Dengan gerakan kilat, aku merebut ponsel dari tangan Amanda. Aku menarik napas dalam-dalam, membuang semua sisa gairah dalam suaraku, dan menggantinya dengan nada panik yang dibuat-buat namun terdengar sangat meyakinkan.‘Halo? Lapor, Bu GM! Maaf sekali mengganggu istirahat Ibu malam-malam begini!’ teriakku dengan suara lantang dan formal. ‘Ini Rey dari shift malam! Ada keadaan darurat di lantai lima, Bu!’Hening sejenak di seberang sana. Aku bisa merasakan ketegangan yang mencekam. Apakah Livia bisa menangkap kodeku? Atau dia masih terlalu syok?‘Bu Livia! Pipa air di koridor VIP bocor parah! Airnya mulai masuk ke k







