MasukAku berhenti sebentar tepat di depan Radit, membiarkan dia melihat kematian di mataku. Pria itu terkejut, matanya melebar saat menyadari keberanianku. Namun, sebelum otak lambannya bisa memproses rasa takut itu, aku sudah bergerak.Aku melepaskan pukulan hook kiri yang cepat dan bertenaga, mengarah tepat ke pipinya.BUUUUK!Suara benturan tulang dan daging terdengar memuakkan.Tubuh kurus Radit terpental ke samping seperti boneka kain yang dilempar anak kecil. Dia menghantam dinding dengan keras, lalu merosot jatuh ke lantai. Erangan kesakitan lolos dari bibirnya yang mulai mengeluarkan darah.Aku tidak memberinya jeda untuk bernapas. Aku melangkah mendekatinya dengan tenang, langkahku berat dan penuh ancaman.Radit berusaha bangkit, panik. Tangannya meraba-raba lantai karpet, mencari senjata apa saja yang bisa dia gunakan. Dia meraih botol bir kosong yang tergeletak di dekat kaki meja. Dengan tangan gemetar, dia mengacungkan botol itu ke arahku.“Jangan mendekat, Bajingan! Kau tahu s
Aku melangkah masuk dengan langkah berat, menginjak pecahan gelas yang berserakan di karpet. Amanda sedang duduk meringkuk di ujung sofa panjang, punggungnya menempel rapat ke dinding seolah dia ingin menembus tembok itu untuk melarikan diri. Wajahnya basah oleh air mata, kancing kemejanya berantakan, dan tatapan matanya kosong karena ketakutan.Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan postur tubuh tinggi kurus. Dia baru saja membungkuk, tangannya terjulur hendak menyentuh lutut Amanda.Darahku mendidih seketika. Rasanya ada gunung berapi yang meletus di dadaku.“Bajingan!” raungku, suaraku menggelegar di ruangan kedap suara itu. “Menjauh dari istriku!”Pria itu berhenti. Tangannya yang hampir menyentuh Amanda membeku di udara.Perlahan, dia menegakkan tubuhnya. Dia tidak terlihat kaget atau takut. Sebaliknya, dia berbalik menghadapku dengan gerakan santai, memasukkan kedua tangannya ke saku celana bahan mahalnya. Wajahnya tenang, penuh percaya diri, seolah dia punya seribu pasukan
Mesin SUV hitam besarku meraung seperti binatang buas yang terluka, membelah jalanan malam kota Lunaris. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, mengabaikan lampu merah, mengabaikan klakson marah dari pengendara lain, dan mengabaikan keselamatan diriku sendiri.Di kepalaku, hanya ada satu suara yang berputar terus-menerus. Suara rintihan Amanda. Suara ketakutannya. Dan suara bajingan itu."Diam, Sayang. Nikmati saja...""BANGSAT!" teriakku sambil memukul setir.Darahku mendidih hingga rasanya ubun-ubunku berasap. Bayangan istriku sedang dipojokkan, disentuh paksa, atau bahkan lebih buruk lagi, membuat akal sehatku hilang sepenuhnya. Jika sehelai rambut saja jatuh dari kepala Amanda malam ini, aku bersumpah akan meratakan seluruh kota ini dengan tanah.Ban mobilku menjerit saat aku melakukan pengereman mendadak di depan lobi Restoran Hotpot Dragon Flame. Asap putih mengepul dari ban yang bergesekan dengan aspal.Tanpa mematikan mesin, aku melompat keluar dari mobil. Aku berlari menerobos
Tatapan mata Livia sekarang bagaikan sebilah katana yang sangat tajam, bergerak perlahan mengarah ke leherku. Satu gerakan salah, satu kata yang tergelincir, maka leherku akan putus. Dia bukan wanita bodoh yang bisa dikelabui dengan senyuman manis seperti Amanda.Aku harus bermain cerdik. Jika aku terus menyangkal, dia akan terus mengejar. Kadang, cara terbaik menyembunyikan kebenaran adalah dengan meletakkannya di depan mata, tapi dibungkus dengan nada sarkasme.Aku mengangkat kedua bahu, memasang wajah pasrah bercampur geli.“Ya… kalau dipikir-pikir emang nggak masuk akal sih,” aku mengakui, menatap matanya santai. “Seorang pelayan miskin punya koneksi dewa. Tapi kalau kamu mengetahui perjalanan hidupku yang sebenarnya, kamu akan memakluminya, Liv. Hidup di jalanan itu mengajarkan banyak hal, termasuk cara berteman dengan singa.”Livia mengerutkan keningnya. Alisnya bertaut dalam, bingung mencerna perkataanku. Apakah aku sedang jujur? Atau sedang membual?“Sudahlah, nggak usah dibah
Sentuhan Livia begitu memabukkan. Jari-jarinya yang lentik menari di atas kulit dadaku, menekan titik-titik vital dengan presisi yang membuat aliran listrik menyambar ke seluruh tubuhku. Kemejaku sudah terbuka sepenuhnya, menggantung di bahu, memamerkan hasil latihan fisikku yang selama ini tersembunyi di balik seragam room service.Napas Livia memburu di leherku. Tangannya bergerak turun dengan kasar, membuka ikat pinggangku.Dia menurunkan celanaku sedikit, cukup untuk membebaskan apa yang dia inginkan.“Aku nggak sabar, Rey... Berikan aku ini!” desahnya parau, tangannya langsung menggenggam "tongkat ajaib"-ku yang sudah mengeras sempurna.Sentuhan kulit tangannya yang hangat dan lembut nyaris membuatku kehilangan akal sehat. Tanpa menunggu persetujuanku, Livia menarik tengkukku dengan tangan kirinya, menyatukan bibir kami dalam ciuman yang lapar dan menuntut. Lidahnya membelit lidahku, mengajakku tenggelam dalam lautan dosa yang nikmat.Aku membalasnya sesaat. Gairah laki-lakiku be
Aku melangkah masuk ke dalam ruangan Livia dengan langkah yang sedikit diseret, seolah-olah beban dunia ada di pundakku. Padahal sebenarnya, otakku sedang bekerja secepat kilat, menyusun skenario demi skenario untuk menangkis interogasi yang akan datang.Aku menutup pintu, menguncinya, dan berbalik.Livia tidak duduk di kursi kerjanya. Dia duduk di tepi meja kerja mahoni besar itu, kakinya yang jenjang disilangkan dengan anggun. Rok pensilnya sedikit tersingkap, memamerkan paha mulus yang biasanya menjadi pemandangan favoritku.Namun, kali ini, aku memaksa mataku untuk tidak tergoda melirik ke bawah. Fokusku terkunci pada tatapan matanya. Mata yang menatapku dalam-dalam, tajam dan menyelidik, seolah ingin membedah isi kepalaku dan mencari kebenaran yang kusembunyikan di sela-sela pembuluh darah.“Rey…” desahnya lelah, memecah keheningan yang menyesakkan. “Sudahlah, jangan bohong lagi. Kamu ini menyembunyikan sesuatu. Gelagatmu, caramu bicara pada Jonathan… kamu menyembunyikan sesuatu







