ログインTanpa menunggu sedetik pun, aku mengangkat tubuhnya yang basah dan licin, menekannya ke dinding keramik kamar mandi yang dingin. Kontras antara dinginnya dinding dan panasnya tubuh kami menciptakan sensasi kejutan yang memacu adrenalin.Amanda melingkarkan kakinya di pinggangku, tangannya mencengkeram bahuku erat-erat, kuku-kukunya sedikit menancap di kulitku. Dia menatapku dengan mata yang berkabut, menuntut, dan lapar.Kami menyatu di bawah guyuran rain shower yang deras.“Ahh... Rey!”Desahan panjang lolos dari bibir Amanda, menggema di ruang tertutup itu, bercampur dengan suara air yang jatuh.Gerakan kami tidak lembut. Malam ini bukan tentang kelembutan, melainkan tentang kepemilikan. Tentang reclaiming. Aku bergerak dengan tempo yang intens, memastikan setiap sentuhanku, setiap hembusan napasku, merasuk ke dalam pori-porinya. Aku ingin dia merasakan keberadaanku di setiap inci tubuhnya, mengusir bayang-bayang ketakutan yang sempat hinggap di restoran tadi.Amanda merespons denga
Aku sadar kalau wanita di hadapanku ini sedang melancarkan godaan berbahaya. Dan sejujurnya, aku tidak bisa munafik; dia memang cukup menggoda. Di usianya yang matang, Lydia masih memiliki pesona yang bisa membuat laki-laki muda manapun menelan ludah.Jantungku berdebar keras saat tangannya bergerak naik dari lenganku, menyentuh leherku, dan mengusapnya perlahan. Kulitnya terasa halus dan hangat. Sentuhan itu bukan sentuhan seorang ibu, melainkan sentuhan seorang wanita yang menginginkan lebih.“Selama ini, aku nggak pernah mendapatkan perlindungan seperti itu, Rey,” bisik Lydia, suaranya rendah dan serak, membuat bulu kudukku meremang. “Suamiku... dia nggak akan pernah bisa melakukannya. Dia lemah.”Lydia menatapku dengan mata yang berkabut, sorot mata yang penuh dambaan dan frustrasi yang terpendam lama.“Dia bukan hanya lemah otot, Rey. Tapi dia juga lemah di ranjang,” lanjutnya tanpa rasa malu sedikit pun. “Kalau kamu... Mama yakin, kamu kuat semuanya. Ototmu, nyalimu... dan yang
"Kalau begitu, sampaikan pada singamu," suaraku datar namun berat, menembus keheningan yang tersisa di ruangan itu. "Raja hutan yang sebenarnya sudah datang."Tanpa menunggu balasan dari Radit yang masih mengerang kesakitan, aku melangkah keluar.Di lobi restoran, suasana hening. Puluhan pengunjung yang tadi panik kini berdiri mematung di pinggir ruangan, mata mereka membelalak melihatku keluar dari lorong dengan menggendong seorang wanita yang berantakan. Para staf restoran tampak ketakutan, tidak ada satu pun yang berani menghentikanku.Cahaya blitz kamera ponsel mulai berkedip-kedip dari beberapa sudut. Manusia jaman sekarang, selalu haus tontonan."Jangan rekam!" desisku tajam, menatap kerumunan itu dengan sorot mata membunuh.Mereka tersentak, beberapa langsung menurunkan ponselnya. Tapi aku tahu itu tidak cukup. Aku segera mengangkat tanganku, menutupi wajah Amanda yang tersembunyi di dadaku. Aku tidak akan membiarkan wajah istriku yang sedang hancur ini menjadi konsumsi publik.
Aku berhenti sebentar tepat di depan Radit, membiarkan dia melihat kematian di mataku. Pria itu terkejut, matanya melebar saat menyadari keberanianku. Namun, sebelum otak lambannya bisa memproses rasa takut itu, aku sudah bergerak.Aku melepaskan pukulan hook kiri yang cepat dan bertenaga, mengarah tepat ke pipinya.BUUUUK!Suara benturan tulang dan daging terdengar memuakkan.Tubuh kurus Radit terpental ke samping seperti boneka kain yang dilempar anak kecil. Dia menghantam dinding dengan keras, lalu merosot jatuh ke lantai. Erangan kesakitan lolos dari bibirnya yang mulai mengeluarkan darah.Aku tidak memberinya jeda untuk bernapas. Aku melangkah mendekatinya dengan tenang, langkahku berat dan penuh ancaman.Radit berusaha bangkit, panik. Tangannya meraba-raba lantai karpet, mencari senjata apa saja yang bisa dia gunakan. Dia meraih botol bir kosong yang tergeletak di dekat kaki meja. Dengan tangan gemetar, dia mengacungkan botol itu ke arahku.“Jangan mendekat, Bajingan! Kau tahu s
Aku melangkah masuk dengan langkah berat, menginjak pecahan gelas yang berserakan di karpet. Amanda sedang duduk meringkuk di ujung sofa panjang, punggungnya menempel rapat ke dinding seolah dia ingin menembus tembok itu untuk melarikan diri. Wajahnya basah oleh air mata, kancing kemejanya berantakan, dan tatapan matanya kosong karena ketakutan.Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan postur tubuh tinggi kurus. Dia baru saja membungkuk, tangannya terjulur hendak menyentuh lutut Amanda.Darahku mendidih seketika. Rasanya ada gunung berapi yang meletus di dadaku.“Bajingan!” raungku, suaraku menggelegar di ruangan kedap suara itu. “Menjauh dari istriku!”Pria itu berhenti. Tangannya yang hampir menyentuh Amanda membeku di udara.Perlahan, dia menegakkan tubuhnya. Dia tidak terlihat kaget atau takut. Sebaliknya, dia berbalik menghadapku dengan gerakan santai, memasukkan kedua tangannya ke saku celana bahan mahalnya. Wajahnya tenang, penuh percaya diri, seolah dia punya seribu pasukan
Mesin SUV hitam besarku meraung seperti binatang buas yang terluka, membelah jalanan malam kota Lunaris. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, mengabaikan lampu merah, mengabaikan klakson marah dari pengendara lain, dan mengabaikan keselamatan diriku sendiri.Di kepalaku, hanya ada satu suara yang berputar terus-menerus. Suara rintihan Amanda. Suara ketakutannya. Dan suara bajingan itu."Diam, Sayang. Nikmati saja...""BANGSAT!" teriakku sambil memukul setir.Darahku mendidih hingga rasanya ubun-ubunku berasap. Bayangan istriku sedang dipojokkan, disentuh paksa, atau bahkan lebih buruk lagi, membuat akal sehatku hilang sepenuhnya. Jika sehelai rambut saja jatuh dari kepala Amanda malam ini, aku bersumpah akan meratakan seluruh kota ini dengan tanah.Ban mobilku menjerit saat aku melakukan pengereman mendadak di depan lobi Restoran Hotpot Dragon Flame. Asap putih mengepul dari ban yang bergesekan dengan aspal.Tanpa mematikan mesin, aku melompat keluar dari mobil. Aku berlari menerobos







