LOGINKeheningan menyelimuti kedai Roti Bakar Pak Jo setelah kedua preman itu lari terbirit-birit seperti anjing yang ekornya terbakar. Para pelanggan yang tersisa masih menatapku dengan pandangan ngeri bercampur kagum."Nak Rey..." Pak Jo mendekat dengan tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. "Nak, nggak apa-apa? Aduh, Nak... kenapa dilawan? Mereka itu orang jahat. Nanti kalau mereka balik bawa pasukan gimana?"Aku tersenyum tipis, merubah aura membunuhku kembali menjadi pemuda ramah. "Tenang saja, Pak Jo. Mereka nggak akan berani balik lagi dalam waktu dekat. Tulang rusuk patah butuh waktu lama buat sembuh."Aku mengeluarkan dompet, mengambil beberapa lembar uang merah dan meletakkannya di meja. "Ini buat ganti rugi meja yang ditendang tadi, sama bayar pesanan saya.""Eh, nggak usah, Nak! Nggak usah!" tolak Pak Jo panik. “Nak Rey udah nolong kami. Jadi kami kasih gratis.”"Ambil aja, Pak. Rezeki nggak boleh ditolak," paksaku halus sambil menaruh uang itu ke tangan Pak Jo yang keriput.Tepat
Suaraku membelah keributan di kedai kecil itu, tajam dan dingin, kontras dengan udara malam yang hangat.Si Preman Gemuk yang baru saja menendang meja menghentikan gerakannya. Dia menoleh perlahan ke arahku, matanya melotot seolah tak percaya ada seseorang di kedai kumuh ini yang berani menantang otoritasnya."Heh?" dengusnya kasar. Dia berjalan menghampiriku dengan langkah lebar yang disengaja untuk mengintimidasi. Kalung rantai di lehernya berdencing setiap kali dia bergerak. "Barusan ngomong apa kau, bangsat? Coba ulangin."Aku tetap duduk tenang di kursi plastik, menyesap sisa kopi hitamku dengan santai. Bagiku preman di hadapanku ini hanyalah seekor lalat pengganggu."Aku bilang, sopan sedikit sama orang tua," ulangku datar tanpa menatap matanya. "Telingamu bermasalah atau otakmu yang terlalu lambat memproses bahasa manusia?"Hening.Seluruh pengunjung kedai menahan napas. Bahkan Pak Jo dan Bu Ina mematung dengan wajah pucat pasi. Mereka tahu, memancing amarah preman di wilayah i
Aku memacu motor tua-ku membelah kemacetan sore, menjaga jarak aman sekitar tiga mobil di belakang sedan mewah Livia. Jantungku berdegup kencang, otakku sudah menyusun berbagai skenario terburuk.Mobil itu berhenti di lobi Gedung Wijaya Group. Aku melihat Amanda keluar dari gedung, lalu masuk ke mobil Livia."Ternyata memang kalian merencanakan ini. Oke, permainan dimulai," gumamku di balik helm.Mereka keluar dari area perkantoran. Aku terus membuntuti. Pikiranku liat. Ke mana mereka? Hotel? Apartemen? Atau tempat pertemuan dengan lain?Namun, setelah dua puluh menit berkendara, mobil Livia justru berbelok ke sebuah pelataran parkir gedung bergaya klasik yang elegan. Di depannya terpampang tulisan besar berwarna emas: "Aura Sanctuary - Exclusive Women's Spa & Aesthetic Clinic".Aku mengerem mendadak di seberang jalan, menatap gedung itu dengan bingung."Spa?"Aku melihat Livia dan Amanda turun dari mobil. Tidak ada gelagat mencurigakan. Mereka berjalan santai masuk ke dalam gedung ya
Suara desahan tertahan memenuhi ruangan VVIP yang sunyi dan dingin itu.Di atas ranjang pasien yang mewah, pemandangan gila sedang terjadi tepat di depan mataku. Siska, wanita yang baru kukenal kurang dari satu jam yang lalu, sedang menundukkan kepalanya di pangkuan Haris. Kepalanya bergerak naik turun dengan irama yang membuat seprai rumah sakit itu berantakan.Haris memejamkan mata, tangannya meremas selimut dengan kuat. Wajahnya yang penuh lebam kini memerah, campuran antara rasa sakit fisik dan kenikmatan duniawi.“Hhh... Gila...” desis Haris dengan napas memburu. Matanya terbuka sedikit, menatapku dengan sorot mata yang sudah kabut oleh nafsu. “Sedotan Siska kenceng banget, Rey... Enak parah... Sumpah, kamu harus coba.”Siska tiba-tiba menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia menoleh ke arahku, bibirnya basah dan berkilat. Matanya sayu, penuh dengan undangan maksiat.“Kalau kamu mau, Rey...” tawarnya dengan suara serak yang menggoda. “Aku bisa ganti ke kamu sekarang. Mumpung aku la
Aku membuang pandangan dari Siska. Dan hal ini menyadari ku kalau di kamar rawat inap kelas 3 ini, ruangannya sempit, pengap, dan berisi enam pasien yang dipisahkan hanya dengan tirai kusam. Kipas angin di langit-langit berputar lambat, tidak mampu mengusir udara panas.Haris yang terluka karena permasalahanku, tidak pantas dirawat di tempat seperti ini.“Aku keluar sebentar,” kataku pada Haris dan kedua tamunya.Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar menuju meja administrasi perawat.“Suster,” panggilku. “Saya mau pindahkan pasien atas nama Haris ke kamar VVIP. Presidential Suite kalau ada.”Perawat itu menatapku dari atas sampai bawah. Seragam hotelku mungkin membuatnya ragu.“Maaf, Pak. Kamar VVIP biayanya sangat mahal. Depositnya saja sepuluh juta, dan per malamnya—”Aku tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat. Aku mengeluarkan kartu debit hitam hadiah dari paman Julian dan kemudian meletakkannya di meja.“Pakai ini untuk biaya seminggu penuh. Sekalian obat-obatan terbaik
Livia terdiam sejenak. Namun, bukannya panik atau ketakutan, dia justru tertawa kecil. Tawa yang terdengar meremehkan, seolah pertanyaanku adalah lelucon paling konyol yang pernah dia dengar.Dia menyentuh tanda merah di lehernya dengan ujung jari, bukan untuk menutupinya karena malu, tapi seolah sedang memamerkan sebuah trofi.“Kamu mikirnya kejauhan, Rey,” jawabnya tenang, matanya menatapku lurus. “Kamu pikir aku dan istriku bisa berkhianat? Jangan konyol.”Dia memajukan tubuhnya sedikit. “Suamiku, Arya... dia sedang ‘ganas-ganasnya’ semalam setelah dia pulang. Mungkin dia cemburu melihatku bicara denganmu, jadi dia ingin menandai miliknya. Wajar, kan?”Livia kembali bersandar di kursinya, memasang wajah bosan.“Jangan berpikiran yang aneh-aneh apalagi sampai menuduh istriku yang macam-macam. Itu menyakitkan buatnya. Sekarang, tolong keluar. Jangan bikin malu departemen kita dengan gosip murahan.”Aku terdiam. Penjelasannya masuk akal. Arya adalah suaminya, mereka berhak melakukan a







