เข้าสู่ระบบAku memarkirkan motor tua-ku di halaman rumah dengan sangat hati-hati, memastikan suaranya tidak membangunkan seisi rumah. Suasana sudah sangat sepi. Lampu ruang tengah sudah diremangkan, menandakan Papa Surya dan Mama Lydia sudah masuk ke peraduan mereka.Aku melangkah masuk, membawa plastik berisi kopi kaleng dan rokok di tangan sebagai bukti alibiku tadi. Langkahku terasa berat saat menaiki tangga. Kepalaku masih penuh dengan insiden dua preman itu yang kemungkinan mencatut nama Veleno, tapi setidaknya aku merasa sedikit lebih lega karena Alfonso sedang mengejar mereka.Begitu membuka pintu kamar, aku tidak melihat Amanda di atas tempat tidur. Suara kucuran air shower yang deras terdengar dari kamar mandi. Dia sedang mandi.Aku meletakkan kunci motor dan juga bungkusan berisi rokok dan kopi di meja, lalu berniat melepas jaket. Namun, mataku terpaku pada ponsel Amanda yang tergeletak di atas nakas. Layarnya menyala terang, menampilkan sebuah video yang sedang terputar tanpa suara.A
Pintu kaca lobi klub terbuka dengan kasar, menghantam dinding.Sosok Alfonso muncul. Raja dunia bawah tanah itu berlari terbirit-birit keluar dengan napas ngos-ngosan, wajahnya yang gemuk pucat pasi seputih kertas. Empat pengawal pribadinya berlari susah payah di belakangnya, mencoba menyamai langkah bos mereka yang sedang ketakutan."Bos?" Bouncer itu menurunkan tangannya, bingung melihat bos besarnya lari seperti orang dikejar setan. "Bos Alfonso. Ini ada gembel yang ngaku-ngaku kenal Bo—"PLAAAK!Sebuah tamparan sekeras halilintar mendarat di pipi bouncer itu.Tubuh raksasanya terpelanting, berputar setengah lingkaran sebelum jatuh tersungkur mencium aspal. Darah segar langsung mengucur dari sudut bibirnya."Goblok!" teriak Alfonso dengan suara menggelegar, matanya melotot nyaris keluar. "Matamu buta?! Ini tamu paling penting di dunia ini, bangsat!"Alfonso tidak mempedulikan bouncer yang memegang pipinya dengan bingung. Dia langsung berbalik ke arahku, mengabaikan tatapan kaget pa
Aku berdiri di depan cermin kamar, menatap pantulan diriku. Aku sudah berganti pakaian dengan hoodie hitam longgar dan celana taktis berwarna gelap. Sebuah topi bisbol kutarik rendah hingga menutupi sebagian wajahku.Pesan dari Jonathan yang menunjukkan markas Alfonso, membuatku langsung bergerak.Aku melangkah keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan langkah ringan tanpa suara.Tepat di ujung tangga, aku berpapasan dengan Amanda. Dia baru saja hendak naik ke kamar, wajahnya terlihat lelah.Langkah Amanda terhenti saat melihat penampilanku yang serba tertutup. Dia menatapku dengan alis sedikit terangkat."Mau ke mana malam-malam begini, Rey?" tanyanya heran.Aku memasang senyum tipis, wajah polos andalanku langsung terpasang otomatis."Mau cari angin sebentar ke minimart depan," jawabku santai sambil memutar kunci motor di jari telunjuk. "Stok rokok habis, mau cari kopi kaleng juga biar melek."Aku memberi jeda sebentar, lalu menambahkan alasan teknis agar dia tidak curiga."Sekal
Keheningan menyelimuti kedai Roti Bakar Pak Jo setelah kedua preman itu lari terbirit-birit seperti anjing yang ekornya terbakar. Para pelanggan yang tersisa masih menatapku dengan pandangan ngeri bercampur kagum. "Nak Rey..." Pak Jo mendekat dengan tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. "Nak, nggak apa-apa? Aduh, Nak... kenapa dilawan? Mereka itu orang jahat. Nanti kalau mereka balik bawa pasukan gimana?" Aku tersenyum tipis, merubah aura membunuhku kembali menjadi pemuda ramah. "Tenang saja, Pak Jo. Mereka nggak akan berani balik lagi dalam waktu dekat. Tulang rusuk patah butuh waktu lama buat sembuh." Aku mengeluarkan dompet, mengambil beberapa lembar uang merah dan meletakkannya di meja. "Ini buat ganti rugi meja yang ditendang tadi, sama bayar pesanan saya." "Eh, nggak usah, Nak! Nggak usah!" tolak Pak Jo panik. “Nak Rey udah nolong kami. Jadi kami kasih gratis.” "Ambil aja, Pak. Rezeki nggak boleh ditolak," paksaku halus sambil menaruh uang itu ke tangan Pak Jo yang kerip
Suaraku membelah keributan di kedai kecil itu, tajam dan dingin, kontras dengan udara malam yang hangat.Si Preman Gemuk yang baru saja menendang meja menghentikan gerakannya. Dia menoleh perlahan ke arahku, matanya melotot seolah tak percaya ada seseorang di kedai kumuh ini yang berani menantang otoritasnya."Heh?" dengusnya kasar. Dia berjalan menghampiriku dengan langkah lebar yang disengaja untuk mengintimidasi. Kalung rantai di lehernya berdencing setiap kali dia bergerak. "Barusan ngomong apa kau, bangsat? Coba ulangin."Aku tetap duduk tenang di kursi plastik, menyesap sisa kopi hitamku dengan santai. Bagiku preman di hadapanku ini hanyalah seekor lalat pengganggu."Aku bilang, sopan sedikit sama orang tua," ulangku datar tanpa menatap matanya. "Telingamu bermasalah atau otakmu yang terlalu lambat memproses bahasa manusia?"Hening.Seluruh pengunjung kedai menahan napas. Bahkan Pak Jo dan Bu Ina mematung dengan wajah pucat pasi. Mereka tahu, memancing amarah preman di wilayah i
Aku memacu motor tua-ku membelah kemacetan sore, menjaga jarak aman sekitar tiga mobil di belakang sedan mewah Livia. Jantungku berdegup kencang, otakku sudah menyusun berbagai skenario terburuk.Mobil itu berhenti di lobi Gedung Wijaya Group. Aku melihat Amanda keluar dari gedung, lalu masuk ke mobil Livia."Ternyata memang kalian merencanakan ini. Oke, permainan dimulai," gumamku di balik helm.Mereka keluar dari area perkantoran. Aku terus membuntuti. Pikiranku liat. Ke mana mereka? Hotel? Apartemen? Atau tempat pertemuan dengan lain?Namun, setelah dua puluh menit berkendara, mobil Livia justru berbelok ke sebuah pelataran parkir gedung bergaya klasik yang elegan. Di depannya terpampang tulisan besar berwarna emas: "Aura Sanctuary - Exclusive Women's Spa & Aesthetic Clinic".Aku mengerem mendadak di seberang jalan, menatap gedung itu dengan bingung."Spa?"Aku melihat Livia dan Amanda turun dari mobil. Tidak ada gelagat mencurigakan. Mereka berjalan santai masuk ke dalam gedung ya







