LOGINHening sejenak menggantung di udara setelah pertanyaan Livia meluncur. Jantungku berdegup kencang di balik selimut, menanti jawaban yang akan keluar dari mulut wanita yang selama ini tidur di sampingku."Nggak mungkin, Liv. Kamu tenang aja," suara Amanda terdengar begitu yakin, nada suaranya santai seolah dia sedang membicarakan menu makan malam, bukan pengkhianatan. "Rey itu polos banget. Dia selalu percaya apa pun yang aku omongin. Lagian, dia nggak punya nyali buat curiga sama aku."Terdengar suara tawa Livia yang tertahan. Tawa itu terdengar seperti gesekan pisau karatan di telingaku."Aduh, sumpah ya, Man. Kadang aku kasihan sama dia. Rey itu kelihatan cinta mati sama kamu, tulus banget lagi. Tapi kamunya malah menusuk dia dari belakang kayak gini. Jahat banget sih kamu, hahaha...""Eh, jangan salahin aku dong," sanggah Amanda cepat, nada suaranya berubah menjadi defensif namun manja. "Hitung-hitung ini balas budi ke kamu aja. Kan kemarin-kemarin kamu udah bantu aku penuhi fantas
"Aaaa... buka mulutnya, Rey. Sedikit lagi habis, nih."Suara itu terdengar begitu lembut, penuh perhatian, dan sedikit menjijikkan mengingat siapa pemiliknya.Wanita yang dulu memandangku seolah aku adalah kotoran yang menempel di sol sepatu mahalnya, kini sedang menyuapiku bubur hambar rumah sakit dengan ketelatenan seorang ibu peri.Kini di matanya, aku bukan lagi menantu miskin yang bekerja sebagai room service rendahan. Aku adalah mainan baru yang menarik gairahnya."Enak?" tanyanya sambil membersihkan sudut bibirku dengan ibu jarinya.Aku hanya mengangguk kaku, menahan rasa muak yang mendesak di tenggorokan. "Lumayan, Ma. Terima kasih."Di ujung kaki ranjang, pemandangan yang lebih gila sedang terjadi. Surya sedang memijat betis kiriku dengan tekun."Pijatannya kurang keras, Rey? Atau terlalu keras?" tanya Surya dengan nada hati-hati.Aku menahan senyum sinis. Berbeda dengan Lydia yang bergerak karena nafsu, Surya bergerak karena rasa takut yang murni. Dia tahu bahwa satu jentika
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam gejolak panik yang nyaris meledak di dadaku. Semakin lama aku menghabiskan waktu berdua dengan Lydia di ruangan VIP ini, semakin banyak informasi yang bocor dan semakin sering pula aku harus memutar otak untuk mencuci otaknya.Ini benar-benar menyebalkan. Rasanya lebih melelahkan daripada harus berhadapan dengan puluhan preman di gudang tua semalam."Iya... seperti Minggu lalu," kataku memulai alibi dengan nada sedatar mungkin, mencoba menutupi kegugupanku. "Aku dan Amanda kan menginap di hotel Royal Crown, dan ternyata Bu Livia juga menginap di sana bersama suaminya. Karena Amanda dan Bu Livia punya banyak kesamaan hobi, mereka jadi ngobrol panjang dan seru. Nah, Bu Livia itu pengen menginap bareng lagi cuma buat lanjut ngobrol-ngobrol soal bisnis dan fashion."Lydia tidak langsung menyahut. Dia menatapku dengan mata menyipit, seolah sedang memindai setiap inci kejujuran di wajahku. Ekspresinya jelas menunjukkan kalau dia tidak begitu p
Mama Lydia masih berdiri di samping ranjangku dengan napas yang memburu, matanya yang biasa penuh dengan kilat penghinaan kini hanya menyisakan ketakutan murni. Dia menatapku seolah-olah aku adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja.Aku tidak lagi menghindar. Aku membalas tatapannya dengan mata yang dingin, tatapan yang selama ini kusembunyikan di balik topeng menantu sampah yang tak berdaya."Ma..." suaraku rendah, hampir menyerupai bisikan maut. "Paman Julian memang memiliki aura yang sangat kuat. Itu karena dia berasal dari lingkungan bawah tanah yang sangat gelap. Dia bukan hanya mengendalikan dunia hitam, tapi dia juga memiliki pengaruh besar terhadap orang-orang penting di kota ini, bahkan di negeri ini."Lydia menelan ludah dengan susah payah. Aku bisa melihat lehernya bergerak naik turun."Jadi..." lanjutku sambil mencondongkan sedikit tubuhku ke arahnya, mengabaikan rasa perih di rusuk. "Saran aku, lebih baik Mama melupakannya. Anggap saja Mama nggak pernah bertemu denga
Mendengar kalimat terakhir Paman Julian, aku tidak bisa menahan senyum tipis di bibirku yang masih terasa kaku. Ada rasa bangga sekaligus getir yang merayap di dadaku. Darah memang tidak pernah berbohong. Di balik akting menantu tertindas ini, ada DNA seorang pemangsa yang diwariskan langsung oleh Lucas Morales."Sepertinya begitu, Paman. Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya," sahutku pelan.Paman Julian tidak membalas senyumku. Wajahnya tetap kaku, seolah-olah dia sedang menatap papan catur yang penuh dengan langkah berbahaya."Masalahnya bukan soal kemiripan itu, Rey," suara Julian merendah, memberikan tekanan yang membuat suasana kamar VIP ini terasa semakin sesak. "Jika tikus-tikus semalam memang benar-benar anggota Dominus Noctis, mereka tidak akan diam saja. Mereka akan bergerak untuk membalas dendam. Dan di saat perang itu pecah, ayahmu pasti akan tahu. Itulah resiko dari tindakan impulsifmu semalam."Jleb.Kalimat itu menghantamku tepat di ulu hati. Aku terdiam. Benar ju
Pertanyaan Lydia yang dibisikkan tepat di lubang telingaku itu membuat sekujur tubuhku menegang. Jantungku berdegup kencang, memberikan sensasi berdenyut pada rusukku yang retak.Lydia menatapku dengan mata sayu yang penuh selidik, jemarinya masih bergerak nakal di balik selimut, menuntut jawaban yang tak kunjung keluar dari mulutku."Dia... dia teman lama, Ma," jawabku akhirnya dengan suara yang sedikit bergetar. "Dan dia orang yang sangat keras. Tidak suka basa-basi. Mungkin lebih baik Mama keluar kamar sebentar, karena dia akan segera sampai."Mendengar jawabanku, Lydia bukannya takut, malah menyunggingkan senyum remeh yang menyebalkan. Alih-alih menarik tangannya, dia justru semakin berani mengelus tongkat ajaibku dari bagian luar celana pasien yang tipis."Teman lama atau kekasih lama, Rey?" godanya dengan nada seksi yang dibuat-buat. "Apa dia benar-benar pria... atau jangan-jangan wanita dari masa lalumu? Kamu sampai ketakutan begini, seolah-olah simpananmu mau datang menggerebe







