Bella menghela napas panjang saat keluar dari gedung kantor. Hari ini terasa lebih berat dari biasanya. Otaknya masih dipenuhi bayangan kejadian semalam. Dia berusaha mengabaikan semuanya, tapi sulit rasanya.
Saat melangkah keluar dari pintu utama gedung, matanya langsung menangkap sosok yang sangat familiar. Renand berdiri bersandar di mobilnya, dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasa. Jantung Bella berdegup kencang. Kenapa dia ada di sini? Belum sempat Bella bereaksi, sebuah suara lain memanggilnya. "Bella!" Bella menoleh dan melihat Han berjalan menghampirinya. "Kita pulang bareng," pinta Han Sebelum Bella sempat menjawab, Renand sudah berjalan mendekat. "Bella pulang denganku," ucapnya datar, tanpa menatap Han. Suasana langsung terasa tegang. Bella merasa terjebak di antara dua pria yang sama-sama telah membuatnya sakit kepala seharian ini. "Renand. Aku udah janji sama Han," jawab Bella, berusaha bersikap netral. Renand menatap Bella dengan tatapan dingin. "Janji? Janji apa?" "Maksudku, ada yang harus aku selesaikan dengannya." "Semua sudah selesai, Bella. Tidak perlu lagi ada pembicaraan di antara kalian." Han langsung menyela, "Dia tahu, Bella? cepat sekali kamu sudah melapor saja sama dia?" Renand langsung menatap Tajam Han. "Tentu saja aku tahu, semalam Bella menangis di pelukan ku. Sampai-sampai aku harus menghiburnya sepanjang malam." Memghibur yang di maksud Renand mengandung makna lain, dan Bella tahu itu. Ia langsung buru-buru mendorong tubuh kekar Renand. "Ayo kita pulang!" ucap Bella Han merasa tidak terima Bella pergi dengan Renand, langsung mengcekal tangan Bella. "Kita masih belum selesai bicara, Bella!" Bella menepis tangan Han. "Lain kali saja, kita bicara nya." ucapnya tegas. Renand langsung membukakan pintu mobil dan menyuruh Bella masuh, lalu dia berjalan memutar ke kursi kemudi. Mobilpun melaju meninggalkan gedung tempat Bella bekerja dan meninggalkan Han yang masih terpaku disana. "Masih mau di dekati dia?" Renand memecah keheningan "Bukan urusanmu," jawab Bella. "Besok gak usah jemput-jemput aku lagi!" lanjutnya Renand langsung membanting setir, menepi di pinggir jalan yang sepi. Membuat Bella terkejut. "Kenapa berhenti disini?" Renand mengabaikan decak kesal Bella. "Kamu takut si han cemburu? Jangan-jangan kalian bekum putus?" suara Renand terdengar rendah namun tajam. "Urusan ku dengan Han, kamu gak perlu tahu." Renand mendengus kesal. "Semalam kamu nangis-nangis datang kepadaku gara-gara dia. Dan sekarang kamu bilang aku gak perlu tahu?" Rahan Renand mulai mengeras. "Kejadian semalam pun, dia penyebabnya! Kalau saja kamu masih baik-baik dengan dia mungkin aku gak akan melewati batasanku." "Cukup, Ren! jangan pernah bahas lagi kejadian semalam. Jangan nambahin beban pikiran aku?" suara Nella meninggi. "Aku sudah bilang, kan, lupain tentang semalam." Renand melepas sabuk pengamannya, lalu menarik leher Bella dan mencium bibir Bella. Gerakan nya sangat cepat membuat Bella tidak sempat menghindar. Bella menepuk-nepuk dada Renand, sebagai permintaan agar Renand melepaskan ciumannya. "Gila kamu, Ren!" Bella terengah setelah Renand melepas ciumannya. "Jangan berpikir aku milikmu! hanya karena kita tidur sekali." "Jadi, harus tidur denganmu berapa kali agar kamu jadi milikku?" Renand menyeringai "Bukan itu maksud..." "Dengar baik-baik, Bella," Renand memotong. "Kamu wanita pertama yang tidur denganku... jadi beribu kali kamu menyuruhku melupakan kejadin semalam gak akan berhasil. Aku akan selalu ingat setiap inci tubuhmu, setiap helaan nafasmu, saat kamu menikmati sentuhanku dan setiap desahanmu saat aku memacu kecepatan ku." "Cukup, Ren! sekarang antar aku pulang. Aku lelah mau istirahat!" Kilasan malam itu kembali dalam ingatan Bella, membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Renand tanpa banyak bicara lagi, ia kembali menyalakan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan sampai ke rumah Bella. "Makasih sudah mengantar!" ujar Bella. "Tunggu dulu!" Renand memegang tangan Bella saat ia akan membuka pintu mobil. "Kita belum selesai!" "Apa lagi, Ren?" "Kamu harus putus dari Han! Kalau sampai aku tahu kamu masih berhubungan dengan nya aku gak akan tinggal diam!" "Aku masih memikirkan nya. Aku dan dia udah tunangan kamu tahu itu, sudah dalam tahap persiapan pernikahan tidak mudah bagi ku jika harus putus begitu saja." "Dia sudah tidur dengan Fanya, Bel!" Renand meninggikan suaranya. "Aku pun sama, Renand. Aku juga mengkhianati nya dengan tidur denganmu!" "Tapi itu berbeda..." Belum sempat Renand menyelesaikan kalimatnya, kaca jendela di ketuk dari luar.Bella benar-benar merasa menyesal tidak mengusir Renand dengan sungguh-sungguh. Ia membiarkan Renand ada di sini. Membiarkan tatapan itu terus mengejarnya, menahannya di dalam lingkaran yang tak bisa ia putuskan sendiri. "Ren! Jangan begini!" hanya kalimat itu yang bisa Bella keluarkan dari mulutnya m, saat Renand merengkuh pinggang nya dan bibir nya mendarat tepat di bibir Bella. Awalnya Bella membelalakan matanya saat menerima ciuman mendadak itu, namun lama kelamaan ia seakan larut dalam permainan panas bibir Renand. Renand melepas ciuman nya perlahan, dan lembut berbeda saat ia mendaratkan bibirnya yang lebih terkesan kasar dan tergesa. Bella menarik nafas nya mengambil kembaki pasokan udara yang tadi nyaris habis. "Ren, plis! jangan lakukan!" hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Bella, dengan mata yang masih terpejam dan suara yang hampir mirip bisikan. "Bibirmu berkata jangan, tapi tubuhmu bereaksi berbeda." Suara Renand dalam dan bergetar, nyaris seperti bisikan
“Lihatlah, kamu bahkan tidak menyangkalnya. Jadi dalam hubungan ini kita sama-sama mencari sedikit hiburan sebelum melangkah ke pernikahan, benarkan, Bella?” suara Han terdengar tenang, tapi matanya berkilat penuh tuduhan. Bella menatapnya dingin, sorot matanya menusuk. “Selingkuh bukan hiburan, Han. Itu pengkhianatan—dan pengkhianatan tidak pernah bisa dimaafkan.” Han mendengus, wajahnya semakin mendekat. “Jadi siapa yang benar-benar berselingkuh? Kamu atau aku? Atau kita sama-sama main api?” Suaranya merendah, nyaris berbisik. “Demi kebaikan bersama, lupakan yang sudah terjadi. Mari kita lanjutkan rencana pernikahan ini.” Tangannya mencoba meraih jemari Bella. Bella menarik tangannya cepat, lalu tertawa getir. “Demi kebaikan bersama?” katanya menirukan dengan nada mengejek. “Lebih tepatnya demi kebaikanmu. Kamu takut, kan? Takut orang tuamu marah kalau tahu semua ini. Aku tahu betapa mereka menaruh harapan besar pada pernikahan kita.” Han terdiam sesaat, rahangnya mengeras.
[BERITA ONLINE--HEADLINE] Renand Xavier, CEO muda pewaris Xavier Crop, tertangkap kamera sedang berciuman dengan wanita misteius dalam ruangan gedung kantor. Indentitas wanita tersebut belum terungkap. Netizen berspekulasi kalau wanita tersebut karyawan internal, model bahkan ada yang beranggapan itu orang terdekat sang CEO. Skandal ini sontak menggemparkan dunia bisnis dan sosialita, mengingat Renand Xavier terkenal sebagai pria dingin dan tak pernah terekspos dalam hubungan asmaranya. Sebuah poto di tampilkan dengan jelas meskipun wajah keduanya di buramkan. Nampak Renand memegang pinggang gadis di poto tersebut dan bibir mereka saling bersentuhan. Renand mematikan televisi dengan remotenya, lalu bersandar santai di kursinya."Bagus, Ren. Sekarang kamu jadi selebriti," ujar Leo. "Siapa wanita itu? Kenapa aku gak tahu kalau kamu punya pacar?""Memangnya aku harua selalu melapor padamu?" balas RenandLeo melempar pandangan tak suka saat mendengar jawaban Renand."Tapi wamita di
Hari itu Bella baru saja keluar dari kantor untuk makan siang ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. “Bella, Tante mau ketemu kamu sebentar. Ada yang ingin Tante bicarakan. Bisa, kan?” Itu dari Bu Ratna, ibunya Han. Bella sempat ragu, tapi akhirnya membalas singkat: “Baik, Tante. Di mana?” Tak lama, ia sudah duduk di dalam mobil mewah berwarna hitam, dengan sopir yang membawanya ke sebuah tempat yang tak ia kenali. Sepanjang jalan, Bu Ratna tersenyum ramah, seakan tidak ada yang janggal. “Bella, kamu makin cantik saja. Tante bersyukur sekali Han memilihmu.” Suaranya hangat, tapi ada penekanan halus di dalamnya. Bella tersipu kaku. “Ah… Tante terlalu memuji.” Mobil berhenti. Ketika pintu dibuka, Bella terperanjat. Di hadapannya berdiri sebuah butik megah dengan etalase yang memamerkan gaun-gaun pengantin putih berkilau. Jantungnya berdetak kencang. “Tante… kita… kenapa ke sini?” Bu Ratna merangkul lengannya erat, seakan tak memberi ruang untuk mundur. “Sayang, waktunya
Ruang kantor itu dipenuhi sisa aroma kopi yang samar-samar. Dindingnya berlapis cat abu-abu lembut. Di belakang meja, kursi kulit hitam tinggi tampak kokoh, memberi kesan wibawa. Renand duduk sambil memegangi berkas di tangannya."Dia benar-benar manusia sampah!" ujarnya seraya mengetuk sebuah poto dengan telunjuknya.Dalam poto itu nampak Han tertawa sambil di kelilingi wanita di bar. Dan beberapa berkas rekam jejak Han dan proyek-proyek kotornya."Buat apa kamu menyelidiki dia?" ujar teman Renand, Leo. Dia yang di suruh untuk menyelidiki Han. "Setahu ku, dia tunangan Sepupumu,"Renand meletakan memembereskan poto-poto itu dan meletakan nya di laci meja kantornya."Ya, kamu benar. Pria hidung belang ini tunangan Bella." ucapnya santai."Jangan bilang kamu mau menghancurkan hububgan mereka dengan itu?" "Hubungan mereka sudah hancur sendiri tanpa campur tanganku, " ucapan Renand santai dan selalu berwibawa setiap yang mendengar pasti takut dengan auranya. "Aku hanya memastikan saja,
Pagi itu rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Bella turun ke ruang makan masih dengan rambut tergerai acak, hanya mengenakan kaos longgar dan celana pendek. Meja makan sudah rapi, hanya ada secangkir teh hangat yang ditinggalkan Mama untuknya sebelum berangkat bersama Papa subuh tadi.Ia duduk, menyeruput teh pelan sambil menatap kosong ke arah jendela. Sunyi itu menekannya. Biasanya ada suara Papa yang sibuk menelepon rekan kerja, atau Mama yang cerewet mengatur sarapan.Namun sepi itu tak berlangsung lama.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Bella refleks menoleh dan melihat Renand turun dengan santai, mengenakan kaos hitam polos dan celana jogger. Rambutnya masih agak berantakan, tapi justru membuat wajahnya makin mencolok.“Pagi.” Suaranya datar, tapi dalam.Bella buru-buru mengalihkan pandangan. “Pagi.”Renand langsung menarik kursi di seberang, duduk sambil membuka koran yang ada di meja. “Papa dan Mama sudah berangkat?”“Udah. Subuh tadi.” Bella berusaha terdengar