Home / Romansa / Hasrat Terlarang dengan Atasan / BAB 4 Gaun Merah yang Membelenggu

Share

BAB 4 Gaun Merah yang Membelenggu

Author: Prisma
last update Last Updated: 2024-02-28 17:31:42

“Nah, gaun ini sangat pas di tubuhmu, Nina,” kata Alfian, wakil direktur yang baru saja bergabung di perusahaan yang juga menjadi atasan Venina untuk sementara waktu.

"Tapi… gaun ini…” Venina terdiam, merasa kesulitan untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian, tetapi sulit untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan gaun tersebut. “Sebaiknya saya mengganti pakaian saya, Pak. Saya tidak ingin mempermalukan Bapak.”

“Oh, ayolah, Nina! Tidak ada yang salah dengan gaunmu,” sahut Alfian dengan santai tanpa nada melecehkan. “Lagipula kita bukannya pergi ke acara resmi. Jadi, tidak perlu berpakaian terlalu formal.”

Venina mengangguk pelan, tapi hatinya tetap gelisah. Dia merasa canggung saat melihat sorot mata terkesan Alfian yang memandangnya. "Kamu cantik, dan saya yakin siapa pun yang melihatmu malam ini, dia akan terpikat. Jadi, sebaiknya kamu lebih percaya diri, Nina," tambahnya dengan nada meyakinkan.

Alfian sangatlah berbeda dengan Erlangga, pembawaan pria itu terasa lebih santai dan menyenangkan. Dia bisa mengubah suasana yang kaku dan menegangkan menjadi lebih hangat.

Tubuh Venina tersentak ketika merasakan tangan Alfian melingkar di pinggangnya. Dia menahan diri untuk tidak menepisnya, meskipun dalam hati dia merasa sedikit tidak nyaman oleh keberanian pria itu.

Venina menggigit bibir bawahnya dengan gemetar, dia mengikuti langkah Alfian ke arah ballroom dengan hati yang berdebar kencang. Gaun merah yang dia kenakan terasa seperti belenggu yang mengikatnya, terlalu ketat dan terlalu pendek menurutnya. Namun, dia berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.

"Setidaknya coba sedikit," goda Alfian sambil menawarkan segelas wine kepadanya. "Rasanya tidak seburuk itu, kok."

“Maaf, Pak. Tapi saya tidak biasa minum,” tolak Venina sehalus mungkin. Tapi keengganannya hanya memancing reaksi dari Alfian.

“Astaga, memangnya berapa sih umurmu?” tanya Alfian dengan nada tidak percaya, membuat Venina merasa tersudut.

Venina hanya menundukkan kepalanya dengan tangan yang terus memeluk tubuhnya. 

“Kamu harus belajar, Nina. Pertemuan dan perjamuan ini mungkin akan menjadi bagian kehidupanmu,” sambung Alfian, dia masih terus berusaha meyakinkan Venina.

Akhirnya Venina luluh. Dia merasa tidak enak dengan Alfian. Diambilnya gelas itu lalu disodorkannya ke dalam mulutnya. 

“Tidak terlalu buruk, kan?” tanya Alfian dengan senyum puas, melihat Venina meminum wine-nya dengan canggung.

Venina mengangguk, meskipun dia masih merasa tidak nyaman dengan sensasi pahit dan manis yang menyelinap ke tenggorokannya.

Dia menggenggam erat gelas di tangannya saat pandangannya tak sengaja menangkap sosok Erlangga yang tengah berdiri di sudut ruangan dengan penampilan yang begitu segar dan menawan. Pria itu terlihat sangat tampan ketika sedang berbicara dengan para koleganya.

“Wow, pelan-pelan, Nina,” ujar Alfian ketika melihat Venina menghabiskan minumannya dalam sekali teguk.

“Rasanya cukup manis dan juga pahit untuk saya. Tapi saya menyukainya,” gumam Venina sambil terus memandang ke arah Erlangga. 

Alfian tersenyum bangga, dia terlihat seperti seorang guru yang baru saja berhasil mengajar muridnya. “Kamu akan semakin menyukainya ketika kamu sudah terbiasa dan menerima rasanya, Nina,” pungkasnya sambil  mengisi gelas Venina kembali. 

Venina meneguk minumannya kembali ketika melihat Erlangga tengah melangkah ke arahnya. Tenggorokannya sakit dan kepalanya terasa pusing saat menghirup aroma maskulin pria itu di dekatnya. 

“Akhirnya kau muncul juga.” Alfian menepuk bahu Erlangga dengan santai. “Apa kabar kau, Ngga?”

Venina merasa tubuhnya semakin ringan. Samar-sama dia mendengar percakapan antara Alfian dan Erlangga. 

“Bagaimana dengan Nathalia? Apa dia masih belum kembali?” tanya Alfian, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

Erlangga tidak menjawab, tapi ekspresinya mengeras. Venina bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara seketika.

“Dia menikah denganmu saat di puncak kariernya, Ngga. Wajar saja kalau dia merasa terkekang di dunia kita. Kau harus mengerti dan tidak bisa mengekangnya sesuai keinginanmu.”

Venina mengintip ke arah Erlangga, melihat bagaimana wajahnya berubah. Ada rasa sakit yang tersembunyi di balik ekspresi wajahnya yang tegang.

“Maaf, Pak. Kalau boleh, saya ingin kembali,” kata Venina pada Alfian, mencoba untuk menjauh dari Erlangga.

Alfian menatapnya dengan senyuman yang misterius. “Masih banyak yang belum kamu nikmati, Nina. Kamu yakin mau kembali secepat ini?” godanya.

Venina mengangguk, mencoba untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya. “Kepala saya pusing, Pak,” ucapnya dengan penuh harap.

Alfian tertawa pelan, seolah menikmati situasi ini. “Kalau begitu, biar Angga saja yang mengantarmu,” ujarnya sambil menunjuk Erlangga yang berdiri di dekat Venina.

“Ah, tidak usah, Pak!” tolak Venina cepat. "Saya bisa pergi sendiri."

Tanpa menunggu reaksi Alfian, Venina sudah lebih dulu berbalik. Dengan sisa-sisa kesadarannya dia segera pergi dari sana. Mengabaikan perasaan ganjil yang mengusik hatinya.

Tubuh Venina terhuyung-huyung. Entah karena efek minuman atau karena ujung sepatunya yang terlalu tinggi. Dia hampir terjatuh dan menabrak sesuatu di dekatnya kalau saja tidak ada tangan kokoh yang menahan tubuhnya.

Venina terdiam, tak mampu berkata-kata ketika melihat sosok yang menolongnya. Hatinya berdebar kencang, tidak bisa mengabaikan getaran aneh yang muncul di dalam dirinya setiap kali dia berada di dekat pria itu.

“Lepas!” seru Venina sambil menghempaskan tangan Erlangga di tubuhnya. 

“Kamu terlalu banyak minum. Biar saya mengantarmu,” tawar Erlangga dengan datar. 

“Saya bisa kembali sendiri. Lebih baik kamu pergi dari sini!” Venina sendiri terkejut dengan nada bicaranya. Tetapi dia mencoba tidak peduli.

Dengan langkah tertatih-tatih, akhirnya Venina sampai di dalam lift. Namun, sebelum pintu tertutup, dia melihat Erlangga mengikutinya. 

Mereka hanya berdua di dalam lift yang sempit itu. Tetapi tidak ada seorang pun yang bicara. Venina terus memeluk tubuhnya yang terasa dingin. Sementara Erlangga terus memandangnya.  

“Jangan pedulikan saya!” ujar Venina dengan sinis sambil mengembalikan jas yang baru saja disampirkan Erlangga di bahunya. 

“Jangan keras kepala, Nina. Saya tahu kamu tidak nyaman mengenakan gaun itu.”

Venina tersenyum pahit. Sementara kepalanya terus berdenyut-denyut. “Itu bukan urusan Bapak.”

“Kenapa kamu harus memaksakan diri seperti ini? Apa kamu tidak bisa menolak dan melawan jika merasa tidak nyaman?” desak Erlangga dengan dingin dan tegas “Kenapa kamu begitu mudah tergoyahkan?”

Venina merasa tersinggung dengan kata-kata itu.  Dia melangkah maju sampai menabrak tubuh Erlangga. “Ya, saya memang seperti ini, Pak. Sulit melawan dan menolak. Dan hati saya juga mudah goyah. Jadi, sebaiknya Bapak hentikan pembicaraan ini. Sebelum saya salah paham dengan perhatian yang Bapak berikan.”

Ketika pintu lift terbuka, Venina melangkah lebih dulu. Namun, baru beberapa langkah, tubuhnya sudah limbung dan jatuh ke lantai. 

Venina terus mengumpat dalam hatinya. Dia merutuki semua kesialannya. Diusapnya wajahnya kasar dan ditamparnya pipinya berkali-kali untuk menjaga kesadarannya. 

“Apa yang Bapak lakukan? Tolong turunkan saya!” pekik Venina ketika merasakan tubuhnya melayang dalam pelukan Erlangga. 

“Tunjukkan saja di mana kamarmu. Saya akan menurunkanmu di sana!” seru Erlangga dengan nada tak terbantahkan. 

Venina menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Entah mendapat keberanian dari mana. Minuman terkutuk itu benar-benar membantunya. Bahkan, dia tidak sadar ketika Erlangga membawanya masuk ke kamar lain. 

“Ini bukan kamar saya! Kenapa Bapak membawa saya ke sini?”  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 129 (Final Chapter)

    Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 128 Gejolak Perasaan 3

    Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 127 Gejolak Perasaan 2

    Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 126 Gejolak Perasaan

    "Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 125 Kilatan Kemarahan 2

    Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 124 Kilatan Kemarahan

    Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status