Share

BAB 4 Gaun Merah yang Membelenggu

“Nah, gaun ini sangat pas di tubuhmu, Nina,” kata Alfian, wakil direktur yang baru saja bergabung di perusahaan yang juga menjadi atasan Venina untuk sementara waktu.

"Tapi… gaun ini…” Venina terdiam, merasa kesulitan untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian, tetapi sulit untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan gaun tersebut. “Sebaiknya saya mengganti pakaian saya, Pak. Saya tidak ingin mempermalukan Bapak.”

“Oh, ayolah, Nina! Tidak ada yang salah dengan gaunmu,” sahut Alfian dengan santai tanpa nada melecehkan. “Lagipula kita bukannya pergi ke acara resmi. Jadi, tidak perlu berpakaian terlalu formal.”

Venina mengangguk pelan, tapi hatinya tetap gelisah. Dia merasa canggung saat melihat sorot mata terkesan Alfian yang memandangnya. "Kamu cantik, dan saya yakin siapa pun yang melihatmu malam ini, dia akan terpikat. Jadi, sebaiknya kamu lebih percaya diri, Nina," tambahnya dengan nada meyakinkan.

Alfian sangatlah berbeda dengan Erlangga, pembawaan pria itu terasa lebih santai dan menyenangkan. Dia bisa mengubah suasana yang kaku dan menegangkan menjadi lebih hangat.

Tubuh Venina tersentak ketika merasakan tangan Alfian melingkar di pinggangnya. Dia menahan diri untuk tidak menepisnya, meskipun dalam hati dia merasa sedikit tidak nyaman oleh keberanian pria itu.

Venina menggigit bibir bawahnya dengan gemetar, dia mengikuti langkah Alfian ke arah ballroom dengan hati yang berdebar kencang. Gaun merah yang dia kenakan terasa seperti belenggu yang mengikatnya, terlalu ketat dan terlalu pendek menurutnya. Namun, dia berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.

"Setidaknya coba sedikit," goda Alfian sambil menawarkan segelas wine kepadanya. "Rasanya tidak seburuk itu, kok."

“Maaf, Pak. Tapi saya tidak biasa minum,” tolak Venina sehalus mungkin. Tapi keengganannya hanya memancing reaksi dari Alfian.

“Astaga, memangnya berapa sih umurmu?” tanya Alfian dengan nada tidak percaya, membuat Venina merasa tersudut.

Venina hanya menundukkan kepalanya dengan tangan yang terus memeluk tubuhnya. 

“Kamu harus belajar, Nina. Pertemuan dan perjamuan ini mungkin akan menjadi bagian kehidupanmu,” sambung Alfian, dia masih terus berusaha meyakinkan Venina.

Akhirnya Venina luluh. Dia merasa tidak enak dengan Alfian. Diambilnya gelas itu lalu disodorkannya ke dalam mulutnya. 

“Tidak terlalu buruk, kan?” tanya Alfian dengan senyum puas, melihat Venina meminum wine-nya dengan canggung.

Venina mengangguk, meskipun dia masih merasa tidak nyaman dengan sensasi pahit dan manis yang menyelinap ke tenggorokannya.

Dia menggenggam erat gelas di tangannya saat pandangannya tak sengaja menangkap sosok Erlangga yang tengah berdiri di sudut ruangan dengan penampilan yang begitu segar dan menawan. Pria itu terlihat sangat tampan ketika sedang berbicara dengan para koleganya.

“Wow, pelan-pelan, Nina,” ujar Alfian ketika melihat Venina menghabiskan minumannya dalam sekali teguk.

“Rasanya cukup manis dan juga pahit untuk saya. Tapi saya menyukainya,” gumam Venina sambil terus memandang ke arah Erlangga. 

Alfian tersenyum bangga, dia terlihat seperti seorang guru yang baru saja berhasil mengajar muridnya. “Kamu akan semakin menyukainya ketika kamu sudah terbiasa dan menerima rasanya, Nina,” pungkasnya sambil  mengisi gelas Venina kembali. 

Venina meneguk minumannya kembali ketika melihat Erlangga tengah melangkah ke arahnya. Tenggorokannya sakit dan kepalanya terasa pusing saat menghirup aroma maskulin pria itu di dekatnya. 

“Akhirnya kau muncul juga.” Alfian menepuk bahu Erlangga dengan santai. “Apa kabar kau, Ngga?”

Venina merasa tubuhnya semakin ringan. Samar-sama dia mendengar percakapan antara Alfian dan Erlangga. 

“Bagaimana dengan Nathalia? Apa dia masih belum kembali?” tanya Alfian, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

Erlangga tidak menjawab, tapi ekspresinya mengeras. Venina bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara seketika.

“Dia menikah denganmu saat di puncak kariernya, Ngga. Wajar saja kalau dia merasa terkekang di dunia kita. Kau harus mengerti dan tidak bisa mengekangnya sesuai keinginanmu.”

Venina mengintip ke arah Erlangga, melihat bagaimana wajahnya berubah. Ada rasa sakit yang tersembunyi di balik ekspresi wajahnya yang tegang.

“Maaf, Pak. Kalau boleh, saya ingin kembali,” kata Venina pada Alfian, mencoba untuk menjauh dari Erlangga.

Alfian menatapnya dengan senyuman yang misterius. “Masih banyak yang belum kamu nikmati, Nina. Kamu yakin mau kembali secepat ini?” godanya.

Venina mengangguk, mencoba untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya. “Kepala saya pusing, Pak,” ucapnya dengan penuh harap.

Alfian tertawa pelan, seolah menikmati situasi ini. “Kalau begitu, biar Angga saja yang mengantarmu,” ujarnya sambil menunjuk Erlangga yang berdiri di dekat Venina.

“Ah, tidak usah, Pak!” tolak Venina cepat. "Saya bisa pergi sendiri."

Tanpa menunggu reaksi Alfian, Venina sudah lebih dulu berbalik. Dengan sisa-sisa kesadarannya dia segera pergi dari sana. Mengabaikan perasaan ganjil yang mengusik hatinya.

Tubuh Venina terhuyung-huyung. Entah karena efek minuman atau karena ujung sepatunya yang terlalu tinggi. Dia hampir terjatuh dan menabrak sesuatu di dekatnya kalau saja tidak ada tangan kokoh yang menahan tubuhnya.

Venina terdiam, tak mampu berkata-kata ketika melihat sosok yang menolongnya. Hatinya berdebar kencang, tidak bisa mengabaikan getaran aneh yang muncul di dalam dirinya setiap kali dia berada di dekat pria itu.

“Lepas!” seru Venina sambil menghempaskan tangan Erlangga di tubuhnya. 

“Kamu terlalu banyak minum. Biar saya mengantarmu,” tawar Erlangga dengan datar. 

“Saya bisa kembali sendiri. Lebih baik kamu pergi dari sini!” Venina sendiri terkejut dengan nada bicaranya. Tetapi dia mencoba tidak peduli.

Dengan langkah tertatih-tatih, akhirnya Venina sampai di dalam lift. Namun, sebelum pintu tertutup, dia melihat Erlangga mengikutinya. 

Mereka hanya berdua di dalam lift yang sempit itu. Tetapi tidak ada seorang pun yang bicara. Venina terus memeluk tubuhnya yang terasa dingin. Sementara Erlangga terus memandangnya.  

“Jangan pedulikan saya!” ujar Venina dengan sinis sambil mengembalikan jas yang baru saja disampirkan Erlangga di bahunya. 

“Jangan keras kepala, Nina. Saya tahu kamu tidak nyaman mengenakan gaun itu.”

Venina tersenyum pahit. Sementara kepalanya terus berdenyut-denyut. “Itu bukan urusan Bapak.”

“Kenapa kamu harus memaksakan diri seperti ini? Apa kamu tidak bisa menolak dan melawan jika merasa tidak nyaman?” desak Erlangga dengan dingin dan tegas “Kenapa kamu begitu mudah tergoyahkan?”

Venina merasa tersinggung dengan kata-kata itu.  Dia melangkah maju sampai menabrak tubuh Erlangga. “Ya, saya memang seperti ini, Pak. Sulit melawan dan menolak. Dan hati saya juga mudah goyah. Jadi, sebaiknya Bapak hentikan pembicaraan ini. Sebelum saya salah paham dengan perhatian yang Bapak berikan.”

Ketika pintu lift terbuka, Venina melangkah lebih dulu. Namun, baru beberapa langkah, tubuhnya sudah limbung dan jatuh ke lantai. 

Venina terus mengumpat dalam hatinya. Dia merutuki semua kesialannya. Diusapnya wajahnya kasar dan ditamparnya pipinya berkali-kali untuk menjaga kesadarannya. 

“Apa yang Bapak lakukan? Tolong turunkan saya!” pekik Venina ketika merasakan tubuhnya melayang dalam pelukan Erlangga. 

“Tunjukkan saja di mana kamarmu. Saya akan menurunkanmu di sana!” seru Erlangga dengan nada tak terbantahkan. 

Venina menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Entah mendapat keberanian dari mana. Minuman terkutuk itu benar-benar membantunya. Bahkan, dia tidak sadar ketika Erlangga membawanya masuk ke kamar lain. 

“Ini bukan kamar saya! Kenapa Bapak membawa saya ke sini?”  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status