Home / Romansa / Hasrat Terlarang dengan Atasan / BAB 3 Apa yang kamu harapkan?

Share

BAB 3 Apa yang kamu harapkan?

Author: Prisma
last update Last Updated: 2024-02-28 17:30:18

"Kenapa kamu harus sebodoh ini, Nina?" umpatnya pada dirinya sendiri dengan nada penuh keputusasaan ketika dia baru saja keluar dari ruangan Erlangga.

Tubuhnya kembali bergetar ketika mengingat kata-kata lancangnya kepada atasannya itu. Dia menampar pipinya berkali-kali, mencoba mengusir semua bayangan buruk di kepalanya.

Namun, alih-alih tenang, perasaannya malah semakin tidak karuan ketika membayangkan bagaimana reaksi Erlangga saat melihat video yang menampilkan percintaan mereka semalam. Rasa malu dan penyesalan menyergapnya, dia merasa ingin tenggelam di dalam tanah dan menghilang dari pandangan semua orang.

"Aargh! Apa sih yang kamu pikirkan, Nina?" desisnya frustrasi pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil keputusan untuk pergi ke rooftop, berharap pikiran dan perasaannya akan menjadi lebih tenang di sana.

Namun, harapannya tidak sesuai kenyataan. Setelah susah payah menaiki ratusan tangga sampai kakinya terasa sakit dan dadanya terasa panas, bayangan pria itu tetap tidak mau hilang juga dari kepalanya. 

Jantungnya berdebar kencang di dadanya saat merasakan tubuhnya tiba-tiba terjatuh ke dalam pelukan Erlangga. Jeritan pria itu menusuk telinganya “Kamu gila, huh?!”

‘Barangkali aku memang sudah gila?’ desah Venina dalam hati, dadanya terasa sesak oleh hembusan napas Erlangga yang memburu di dadanya. Setetes keringat dingin mengalir di pelipisnya yang pucat.

"Kamu pikir dengan mati semua masalah akan selesai?" pertanyaan Erlangga membuat Venina tersadar dari lamunan gelapnya. Apakah pria itu berpikir dia ingin mengakhiri hidupnya di sini?

Sebenarnya, Venina sempat memikirkan kemungkinan itu ketika dia berdiri di ujung gedung, mengukur ketinggian seolah sedang mempertimbangkan pilihan hidup dan mati. Dia tak menyangka bahwa Erlangga akan merengkuhnya seperti itu.

Kata-kata yang keluar dari bibir Erlangga selanjutnya benar-benar mengembalikan dirinya pada kenyataan. Matanya terasa panas ketika mendengar ucapan permintaan maaf yang begitu tulus dari pria itu. 

‘Sepertinya semuanya memang harus diselesaikan sekarang!’ pikirnya dengan mantap sampai akhirnya dia bisa memandang wajah Erlangga yang kembali membuatnya membeku. Tatapannya terasa tajam sekaligus hangat. Tetapi Venina tidak boleh terjebak lagi.

"Apa yang Bapak inginkan?" Venina berusaha keras mengucapkan pertanyaan itu sedatar mungkin. Dan sepertinya dia berhasil saat  melihat perubahan air muka atasannya itu.  

“Kita harus berbicara tentang semalam, Nina.”

Pertahanan diri Venina langsung roboh seketika. Melihat ketegasan pria itu membuatnya tak berdaya. Ingatan tentang malam yang mereka habiskan bersama mengalir deras dalam pikiran Venina. Dan sesuatu yang diucapkan Erlangga setelahnya membuatnya terguncang.

"Kemungkinan kalau saja kamu akan hamil." Venina merasa seakan-akan tercekik oleh kata-kata itu. Bagaimana jika dirinya hamil? Dan bagaimana Erlangga akan meresponsnya?

“Jadi, apa yang ingin Bapak katakan?” tanya Venina dengan ragu-ragu. Dia memaksakan diri untuk menatap atasannya lebih lama. 

“Apa yang kamu harapkan dari saya?”

Apalagi yang bisa saya harapkan? Pada akhirnya semua kesalahan ini hanya saya yang akan menanggungnya, kan? Venina sudah membuka mulutnya, tetapi dia mengurungkan niatnya itu.  Dipandangnya wajah Erlangga dengan pahit. Dia berharap atasannya  itu bisa menembus perasaannya yang tak terlukiskan ini. 

“Saya tidak mengharapkan apa-apa, Pak. Saya sadar akan posisi saya.”

Air muka Erlangga berubah, tetapi Venina tidak bisa menebak apa yang sedang pria itu pikirkan. 

“Lalu apa yang kamu inginkan?” tanya Erlangga lagi. 

Mengulang waktu dan tidak akan membiarkan semua ini terjadi. Ingin sekali Venina meneriakkan kata-kata itu. Namun dirinya tidak punya keberanian. 

“Apa yang kamu inginkan, Nina?” ulang pria itu dengan tidak sabar. 

Venina menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat dalam pikirannya yang kacau. “Saya hanya ingin tetap bekerja dan melanjutkan hidup saya, Pak,” ujarnya dengan hati-hati, mencoba menekan getaran yang ada di dalam suaranya.

Erlangga mendengarkan dengan seksama, matanya menyelidiki setiap ekspresi wajah Venina. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, namun dia menyembunyikan dengan cermat di balik raut wajah yang tenang.“Lalu bagaimana kalau kamu hamil nanti? Apa yang akan kamu lakukan?”

Venina terdiam cukup lama. Pertanyaan itu sangat mengusik pikirannya. Apalagi saat menatap wajah Erlangga yang begitu tenang saat mengucapkan kata-katanya. 

“Jawaban apa yang Bapak harapkan dari saya?” ucapnya dengan ragu, matanya menatap atasannya itu dengan perasaan campur aduk.

“Saya akan menghargai keputusanmu, Nina. Kalau memang kamu ingin mempertahankan atau menggugurkannya, saya akan menerima semua pilihanmu.” Suara Erlangga terdengar begitu mantap, namun di balik kepercayaan dirinya itu, ada getaran kegelisahan yang sulit untuk disembunyikan.

“Tapi saya belum tentu hamil,” sahut Venina dengan kesal. Dia melanjutkan ucapannya dengan menggebu-gebu, “Dan juga dari semua opsi yang ada, saya tidak pernah berpikir untuk membunuh darah daging saya sendiri.”

"Kemungkinan itu pasti ada, Nina," jawab Erlangga dengan tenang, tapi kata-katanya menusuk tajam ke dalam hati Venina. “Saya benar-benar tidak masalah kalau kamu memilih untuk mempertahankannya.”

Venina hanya diam karena dia tidak tahu harus menjawab apa. Semua ini terjadi terlalu cepat. Dan dia merasa belum siap menghadapinya.

“Saya akan mendukung keputusanmu dan bertanggung jawab. Kamu tidak perlu khawatir, Nina,” lanjut Erlangga, seolah mengerti kegelisahan sekretarisnya itu.

Intensitas kata-kata Erlangga mengejutkan Venina. “Tanggung jawab?” gumamnya pelan dengan nada tak percaya. 

Venina menunggu jawaban pria itu sampai hampir lupa bernapas. Dia ingin segera mendengar maksud dari tanggung jawab yang dikatakan olehnya. 

“Kalau memang nanti kamu hamil dan memilih untuk mempertahankannya, saya akan menanggung semua biaya hidupmu dan anak itu. Kamu bisa tinggal di tempat yang kamu inginkan, saya akan menyiapkan semuanya.”

“Saya pastikan kalian akan aman dan tidak kekurangan apapun. Hidup kalian akan terjamin,” lanjutnya lagi dengan sungguh-sungguh.

Guratan kekecewaan memenuhi hati Venina. Butuh waktu sepersekian detik baginya untuk bisa bernapas kembali. 

Kamu benar-benar sangat bodoh, Nina. Apa yang mau kamu harapkan? Tanggung jawab seperti apa yang kamu pikir akan dia berikan? Sampai mati pun dia akan berpikir seribu kali untuk membawamu masuk ke dalam kehidupannya.” Suara kegelisahan itu bergema di dalam dadanya.  

“Saya akan mengatasi dan menanggung hidup saya sendiri. Pak Angga tidak perlu khawatir.” Venina mendorong tubuh Erlangga, berusaha untuk menyingkir dan mencari tempat untuk menenangkan diri. Tetapi tangannya sudah lebih dulu di tahan oleh pria itu.

“Dengarkan saya, Nina. Saya mengatakan semua ini bukan untuk menyinggungmu. Saya hanya ingin menebus kesalahan yang saya buat supaya kamu tidak  menderita karena harus mengurus bayi itu sendiri.” Jemari Erlangga menekan lengan Venina dengan erat. “Hanya ini penawaran terbaik yang bisa saya berikan.”

“Sudahlah, Pak. Rasanya masih terlalu jauh untuk membicarakan ini sekarang,” sergah Venina dengan getir. Dia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman atasannya itu. “Lagipula saya juga belum tentu hamil.”

“Kita tidak mungkin bersama, Nina. Jadi tolong jangan mempersulit segalanya!” seru Erlangga membuat tubuh Venina membeku. 

“Lupakanlah saja semuanya, Pak. Anggap saja yang terjadi itu tanggung jawab saya. Biar saya yang menanggung semuanya.” Sesaat Venina bisa melihat wajah Erlangga yang terperangah saat mendengar ucapannya. 

“Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Nina? Pernikahan? Apa itu yang kamu harapkan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 129 (Final Chapter)

    Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 128 Gejolak Perasaan 3

    Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 127 Gejolak Perasaan 2

    Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 126 Gejolak Perasaan

    "Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 125 Kilatan Kemarahan 2

    Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 124 Kilatan Kemarahan

    Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status