Share

BAB 3 Apa yang kamu harapkan?

"Kenapa kamu harus sebodoh ini, Nina?" umpatnya pada dirinya sendiri dengan nada penuh keputusasaan ketika dia baru saja keluar dari ruangan Erlangga.

Tubuhnya kembali bergetar ketika mengingat kata-kata lancangnya kepada atasannya itu. Dia menampar pipinya berkali-kali, mencoba mengusir semua bayangan buruk di kepalanya.

Namun, alih-alih tenang, perasaannya malah semakin tidak karuan ketika membayangkan bagaimana reaksi Erlangga saat melihat video yang menampilkan percintaan mereka semalam. Rasa malu dan penyesalan menyergapnya, dia merasa ingin tenggelam di dalam tanah dan menghilang dari pandangan semua orang.

"Aargh! Apa sih yang kamu pikirkan, Nina?" desisnya frustrasi pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil keputusan untuk pergi ke rooftop, berharap pikiran dan perasaannya akan menjadi lebih tenang di sana.

Namun, harapannya tidak sesuai kenyataan. Setelah susah payah menaiki ratusan tangga sampai kakinya terasa sakit dan dadanya terasa panas, bayangan pria itu tetap tidak mau hilang juga dari kepalanya. 

Jantungnya berdebar kencang di dadanya saat merasakan tubuhnya tiba-tiba terjatuh ke dalam pelukan Erlangga. Jeritan pria itu menusuk telinganya “Kamu gila, huh?!”

‘Barangkali aku memang sudah gila?’ desah Venina dalam hati, dadanya terasa sesak oleh hembusan napas Erlangga yang memburu di dadanya. Setetes keringat dingin mengalir di pelipisnya yang pucat.

"Kamu pikir dengan mati semua masalah akan selesai?" pertanyaan Erlangga membuat Venina tersadar dari lamunan gelapnya. Apakah pria itu berpikir dia ingin mengakhiri hidupnya di sini?

Sebenarnya, Venina sempat memikirkan kemungkinan itu ketika dia berdiri di ujung gedung, mengukur ketinggian seolah sedang mempertimbangkan pilihan hidup dan mati. Dia tak menyangka bahwa Erlangga akan merengkuhnya seperti itu.

Kata-kata yang keluar dari bibir Erlangga selanjutnya benar-benar mengembalikan dirinya pada kenyataan. Matanya terasa panas ketika mendengar ucapan permintaan maaf yang begitu tulus dari pria itu. 

‘Sepertinya semuanya memang harus diselesaikan sekarang!’ pikirnya dengan mantap sampai akhirnya dia bisa memandang wajah Erlangga yang kembali membuatnya membeku. Tatapannya terasa tajam sekaligus hangat. Tetapi Venina tidak boleh terjebak lagi.

"Apa yang Bapak inginkan?" Venina berusaha keras mengucapkan pertanyaan itu sedatar mungkin. Dan sepertinya dia berhasil saat  melihat perubahan air muka atasannya itu.  

“Kita harus berbicara tentang semalam, Nina.”

Pertahanan diri Venina langsung roboh seketika. Melihat ketegasan pria itu membuatnya tak berdaya. Ingatan tentang malam yang mereka habiskan bersama mengalir deras dalam pikiran Venina. Dan sesuatu yang diucapkan Erlangga setelahnya membuatnya terguncang.

"Kemungkinan kalau saja kamu akan hamil." Venina merasa seakan-akan tercekik oleh kata-kata itu. Bagaimana jika dirinya hamil? Dan bagaimana Erlangga akan meresponsnya?

“Jadi, apa yang ingin Bapak katakan?” tanya Venina dengan ragu-ragu. Dia memaksakan diri untuk menatap atasannya lebih lama. 

“Apa yang kamu harapkan dari saya?”

Apalagi yang bisa saya harapkan? Pada akhirnya semua kesalahan ini hanya saya yang akan menanggungnya, kan? Venina sudah membuka mulutnya, tetapi dia mengurungkan niatnya itu.  Dipandangnya wajah Erlangga dengan pahit. Dia berharap atasannya  itu bisa menembus perasaannya yang tak terlukiskan ini. 

“Saya tidak mengharapkan apa-apa, Pak. Saya sadar akan posisi saya.”

Air muka Erlangga berubah, tetapi Venina tidak bisa menebak apa yang sedang pria itu pikirkan. 

“Lalu apa yang kamu inginkan?” tanya Erlangga lagi. 

Mengulang waktu dan tidak akan membiarkan semua ini terjadi. Ingin sekali Venina meneriakkan kata-kata itu. Namun dirinya tidak punya keberanian. 

“Apa yang kamu inginkan, Nina?” ulang pria itu dengan tidak sabar. 

Venina menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat dalam pikirannya yang kacau. “Saya hanya ingin tetap bekerja dan melanjutkan hidup saya, Pak,” ujarnya dengan hati-hati, mencoba menekan getaran yang ada di dalam suaranya.

Erlangga mendengarkan dengan seksama, matanya menyelidiki setiap ekspresi wajah Venina. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, namun dia menyembunyikan dengan cermat di balik raut wajah yang tenang.“Lalu bagaimana kalau kamu hamil nanti? Apa yang akan kamu lakukan?”

Venina terdiam cukup lama. Pertanyaan itu sangat mengusik pikirannya. Apalagi saat menatap wajah Erlangga yang begitu tenang saat mengucapkan kata-katanya. 

“Jawaban apa yang Bapak harapkan dari saya?” ucapnya dengan ragu, matanya menatap atasannya itu dengan perasaan campur aduk.

“Saya akan menghargai keputusanmu, Nina. Kalau memang kamu ingin mempertahankan atau menggugurkannya, saya akan menerima semua pilihanmu.” Suara Erlangga terdengar begitu mantap, namun di balik kepercayaan dirinya itu, ada getaran kegelisahan yang sulit untuk disembunyikan.

“Tapi saya belum tentu hamil,” sahut Venina dengan kesal. Dia melanjutkan ucapannya dengan menggebu-gebu, “Dan juga dari semua opsi yang ada, saya tidak pernah berpikir untuk membunuh darah daging saya sendiri.”

"Kemungkinan itu pasti ada, Nina," jawab Erlangga dengan tenang, tapi kata-katanya menusuk tajam ke dalam hati Venina. “Saya benar-benar tidak masalah kalau kamu memilih untuk mempertahankannya.”

Venina hanya diam karena dia tidak tahu harus menjawab apa. Semua ini terjadi terlalu cepat. Dan dia merasa belum siap menghadapinya.

“Saya akan mendukung keputusanmu dan bertanggung jawab. Kamu tidak perlu khawatir, Nina,” lanjut Erlangga, seolah mengerti kegelisahan sekretarisnya itu.

Intensitas kata-kata Erlangga mengejutkan Venina. “Tanggung jawab?” gumamnya pelan dengan nada tak percaya. 

Venina menunggu jawaban pria itu sampai hampir lupa bernapas. Dia ingin segera mendengar maksud dari tanggung jawab yang dikatakan olehnya. 

“Kalau memang nanti kamu hamil dan memilih untuk mempertahankannya, saya akan menanggung semua biaya hidupmu dan anak itu. Kamu bisa tinggal di tempat yang kamu inginkan, saya akan menyiapkan semuanya.”

“Saya pastikan kalian akan aman dan tidak kekurangan apapun. Hidup kalian akan terjamin,” lanjutnya lagi dengan sungguh-sungguh.

Guratan kekecewaan memenuhi hati Venina. Butuh waktu sepersekian detik baginya untuk bisa bernapas kembali. 

Kamu benar-benar sangat bodoh, Nina. Apa yang mau kamu harapkan? Tanggung jawab seperti apa yang kamu pikir akan dia berikan? Sampai mati pun dia akan berpikir seribu kali untuk membawamu masuk ke dalam kehidupannya.” Suara kegelisahan itu bergema di dalam dadanya.  

“Saya akan mengatasi dan menanggung hidup saya sendiri. Pak Angga tidak perlu khawatir.” Venina mendorong tubuh Erlangga, berusaha untuk menyingkir dan mencari tempat untuk menenangkan diri. Tetapi tangannya sudah lebih dulu di tahan oleh pria itu.

“Dengarkan saya, Nina. Saya mengatakan semua ini bukan untuk menyinggungmu. Saya hanya ingin menebus kesalahan yang saya buat supaya kamu tidak  menderita karena harus mengurus bayi itu sendiri.” Jemari Erlangga menekan lengan Venina dengan erat. “Hanya ini penawaran terbaik yang bisa saya berikan.”

“Sudahlah, Pak. Rasanya masih terlalu jauh untuk membicarakan ini sekarang,” sergah Venina dengan getir. Dia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman atasannya itu. “Lagipula saya juga belum tentu hamil.”

“Kita tidak mungkin bersama, Nina. Jadi tolong jangan mempersulit segalanya!” seru Erlangga membuat tubuh Venina membeku. 

“Lupakanlah saja semuanya, Pak. Anggap saja yang terjadi itu tanggung jawab saya. Biar saya yang menanggung semuanya.” Sesaat Venina bisa melihat wajah Erlangga yang terperangah saat mendengar ucapannya. 

“Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Nina? Pernikahan? Apa itu yang kamu harapkan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status