“Kenapa Bapak membawa saya ke sini?” ulang Venina dengan dingin setelah Erlangga menurunkan tubuhnya di atas ranjang.
“Ini kamar saya. Gunakanlah saja kamar ini karena saya bisa memesan kamar lain,” sahut Erlangga dengan santai. “Nanti saya akan meminta bellboy untuk memindahkan barang-barangmu.”
Venina merasa api kemarahan mulai membara di dalam dirinya. Dia menahan diri untuk tidak langsung meledak. “Tidak perlu, saya ingin tidur di kamar saya sendiri,” ucapnya dengan nada tegas.
Namun, Erlangga menahan lengan Venina dengan lembut. “Mau sampai kapan kamu bersikap seperti anak kecil begini, Nina?” ujarnya dengan suara yang tenang, tetapi penuh dengan penegasan.
Emosi Venina mendidih mendengar celaan tersebut. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangannya kembali, tatapannya tajam ke arah Erlangga. “Sampai Bapak berhenti mempermainkan saya,” sahutnya dengan suara yang dipenuhi dengan kekesalan.
“Mempermainkanmu?” tanya Erlangga dengan alis terangkat, tampak bingung dengan tuduhan tersebut. “Apa maksudmu?”
Perasaan Venina memuncak. Dia merasa begitu marah, seolah-olah semua tekanan yang dia rasakan selama ini meledak dalam satu momen. Dengan napas yang terengah-engah, dia mengatakan, “Selama ini Bapak menghindari saya dan tidak peduli dengan apa yang saya lakukan. Bapak juga sengaja tidak memberikan saya tugas. Lalu dengan seenaknya Bapak memindahkan saya untuk bekerja sementara dengan Pak Alfian. Dan sekarang Bapak seolah-olah peduli dengan saya.”
Venina menghembuskan napasnya kasar sebelum melanjutkan ucapannya kembali, “ Semua yang Bapak lakukan ini… apa namanya kalau bukan mempermainkan?”
Darahnya terasa mendidih ketika mengingat kembali bagaimana perlakuan Erlangga padanya setelah pembicaraan mereka di rooftop waktu itu. Pria itu benar-benar mengacuhkannya dan menganggapnya hanya sebagai pajangan di kantornya.
Erlangga terdiam sejenak, mencoba menyerap kata-kata yang baru saja diucapkan Venina. Dia bisa merasakan kekecewaan dan kemarahan yang terpancar dari wanita di depannya. “Maaf kalau sikap saya membuatmu berpikir separah ini," katanya akhirnya dengan suara yang lembut. "Tapi satu hal yang harus kamu tahu, saya tidak pernah bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin memberimu waktu untuk memikirkan semuanya tanpa terbebani tugas yang terlalu berat.”
“Dan soal kamu yang saya pekerjakan sementara waktu dengan Pak Alfian, itu semua—”
"Saya tidak mau mendengarnya lagi, Pak. Saya benar-benar lelah," potongnya tajam, rasa frustasi terus meluap dari dalam dirinya.
“Tapi kamu harus mendengarkan saya, Nina. Saya tidak ingin ada kesalahpahaman lagi di antara kita,” tegas Erlangga sambil terus menatap wanita di hadapannya dengan tajam. “Kita ini terikat hubungan pekerjaan. Sikap seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa.”
Namun, kesabaran Venina telah mencapai batasnya. Dia sudah tidak peduli lagi dengan penjelasan Erlangga. “Saya sudah berusaha seprofesional mungkin dengan melupakan kejadian itu. Tapi, sikap Bapak-lah yang membuat semuanya menjadi seperti ini!” pekiknya, suaranya memenuhi seluruh ruangan.
Venina sendiri terkejut dengan keberaniannya. Mengapa dirinya harus menjawab atasannya dengan begitu kasar? Dengan langkah gusar, dia meraih botol minuman di samping meja dan meneguknya dengan rakus, mencoba meredakan amarah yang membara di dalam dirinya.
“Lalu saya harus bersikap seperti apa, Nina?” samar-samar Venina mendengar pertanyaan itu di telinganya.
Tanpa sadar, dia mendekat ke arah Erlangga. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali karena pandangannya terasa semakin kabur.
Dengan tiba-tiba, dia menarik kerah kemeja Erlangga sampai kepala pria itu menunduk ke arahnya. "Saya ingin Bapak bersikap seperti ini," ucapnya dengan suara yang penuh dengan keberanian, mencerminkan rasa keinginannya yang mendalam.
Erlangga menatapnya dengan mata yang penuh dengan kebingungan, namun sebelum ia bisa berkata apa pun, Venina melumat bibirnya dengan ganas.
Mungkin Venina akan menyesali perbuatannya malam ini. Tetapi dia tidak berniat untuk berhenti. Tidak setelah efek minuman tadi menguasai tubuhnya dan menghilangkan akal sehatnya. Dia hanya bergerak mengikuti nalurinya.
Dengan cepat, Venina mendorong tubuh Erlangga ke ranjang. Dia naik ke atas pangkuan pria itu dengan penuh keberanian.
“Nina…!” Venina mendengar pria itu memanggilnya. Dan suara beratnya malah semakin menambah gairah di tubuhnya.
Venina merasa frustrasi ketika dirinya kesulitan melepaskan dasi dan kancing kemeja Erlangga. “Arghh! Kemeja sialan!” umpatnya dengan gusar.
Dia semakin kesal ketika Erlangga menahan tangannya. “Lepas!”
Venina membelalakan matanya ketika Erlangga bergerak dan membalik tubuhnya. “Biar saya membantumu, Nina!” katanya terdengar parau. Dia melepaskan dasi dan kemejanya dengan tidak sabar.
Venina langsung mengalungkan tangannya dan menyambar bibir Erlangga. Dia menyerukan namanya berkali-kali ketika pria itu membalasnya dan menuntutnya lebih dalam. Sementara tanpa Venina sadari, gaunnya sudah terlepas sepenuhnya.
Dia tidak tahu ke mana perginya gaun itu karena apa yang Erlangga lakukan selanjutnya dengan tubuhnya membuatnya tak bisa memikirkan apa pun lagi.
Saat pakaian mereka terlepas satu per satu, gairah semakin memuncak. Venina merasa seperti terbakar oleh sentuhan atasannya. Sementara Erlangga, terpancing oleh keberanian dan nafsu Venina sampai dia tak lagi mampu menahan diri.
“Nina…!” desahnya sambil merapatkan tubuhnya dengan Venina.
Tubuh mereka terasa panas, napas mereka memburu, dan rasa ingin tahu serta hasrat yang tak terbendung membuat keduanya merasa seperti terbang ke langit ketujuh.
Dan kesadaran itu baru kembali ketika keesokan paginya Venina terbangun seorang diri di ranjang hotel yang besar itu. Setelah samar-samar ingatannya terkumpul, wanita itu langsung terbangun dengan mata terbelalak.
Oh, Tuhan, dia tidur ‘lagi’ dengan atasannya. Dan kali ini dia yang menyerangnya lebih dulu, gerutu Venina jengkel. Dia kesal pada dirinya sendiri karena telah melewati batas.
Venina mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Itu pasti Erlangga!
Tanpa pikir panjang, Venina turun dari ranjang dengan kaki gemetar. Disambarnya semua pakaiannya. Tangannya gemetar ketika mengenakan pakaian itu, dia takut Erlangga akan muncul kembali.
Pergilah dari sini secepatnya, Nina! Jangan pernah muncul lagi di hadapannya! batin Venina dengan pahit.
Dia bergegas lari ke pintu. Berlari melintasi koridor hotel. Kembali ke kamarnya dan mengambil barangnya dengan cepat. Kemudian dia melangkah keluar.
“Apa yang kamu lakukan, Nina?” suara itu menghentikan langkah Venina. Membuat tubuh wanita itu membeku dan bergetar.
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m