Rio menatap Venina dengan lembut. Hatinya terusik melihat kegelisahan yang terpancar jelas dari wajah wanita yang dicintainya. Di bawah sinar lampu temaram, dia melihat ketidaknyamanan yang terus menghantui wanita itu."Ada apa, Nina? Kenapa akhir-akhir ini kamu kelihatan gelisah sekali?" tanya Rio dengan lembut, tatapannya penuh perhatian seperti biasa.Venina menatap ke bawah, merasa berat untuk mengungkapkan rasa takutnya. "Apa dia masih terus mengganggumu?" Rio bertanya lagi dengan hati-hati, memberikan ruang bagi wanita itu untuk berbagi tanpa tekanan.Venina menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan suara gemetar, "Aku takut, Rio." Suaranya penuh dengan ketidakpastian yang mengganggu pikirannya."Apa yang membuatmu takut?" tanya Rio, suaranya penuh ke
Selama beberapa minggu, Venina terus memikirkan lamaran Rio. Setiap malam, dia merenung tentang pilihan yang harus diambil.Dan Rio benar-benar tidak mendesaknya. Dia memberikan ruang dan waktu untuk Venina memutuskan tanpa tekanan.Pengertian dan kesabaran pria itulah yang menggugah hati Venina. Dan perlahan, dia merasa semakin yakin dengan keputusan yang harus diambil.Suatu malam, Venina menghubungi Rio. "Bawa aku ke pantai, Rio," katanya singkat namun penuh makna.Rio tidak membuatnya menunggu lama. Keesokan harinya, dia sudah berdiri di depan rumah Venina dengan senyum hangat di wajahnya. "Sudah siap pergi bersamaku, Nina?" tanyanya dengan penuh perhatian, menyiratkan kesediaannya untuk mengikuti langkah Venina, apapun itu.
Venina menunggu hasil tes kehamilan dengan perasaan campur aduk. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya. "Negatif... Negatif... Negatif!" harap Venina dalam hatinya, nyaris seperti mantra yang dia ulangi tanpa henti. Namun, ketakutan yang mengintai di sudut hatinya terus membayangi."Nggak mungkin... Ini nggak mungkin!" gumamnya sambil menggelengkan kepalanya dengan kuat seolah ingin menepis kenyataan yang ada di depannya. Matanya tak lepas dari beberapa alat tes kehamilan yang kini menampilkan hasil yang sama—positif. Garis-garis itu menghantui pikirannya, mengunci setiap harapan yang tersisa.Venina merasa dunianya runtuh. Dia tahu siapa ayah dari janin yang kini tumbuh dalam rahimnya. Anak itu pasti anak Erlangga. Karena dia belum pernah berhubungan dengan pria lain sel
Setelah mendengar ketulusan dari kata-kata Rio, akhirnya Venina tidak dapat menahan kegelisahannya lagi. Perasaan yang bercampur aduk di hatinya mendorongnya untuk mengunjungi seorang dokter kandungan.Ketika pintu ruang konsultasi terbuka, Venina disambut oleh sorot tajam dari Dokter Prapti. Wajahnya yang serius dan tatapannya yang tajam seolah memperlihatkan bahwa dia tahu apa yang terjadi sebelum Venina bahkan mengucapkannya."Kenapa?" tanya Dokter Prapti, suaranya terdengar tegas, membuat Venina bergidik. "Belum siap punya anak?"Venina tergagap, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab. "Saya... Saya belum menikah, Dok," jawabnya gemetar.Dokter Prapti mengangkat alisnya, tatapannya menyelidiki. "Ayah dari bayi ini tidak mau bertanggung jawab?" Su
Venina melangkah masuk ke ruang kerja Erlangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Matanya berusaha menyembunyikan kecemasan yang menghantui pikirannya. Tapi, begitu dia berdiri di depan meja Erlangga, tatapan dinginnya langsung melesat ke arahnya."Terlambat lagi?" Erlangga menyampaikan kalimatnya dengan nada yang menusuk."Maaf, Pak, saya...." Venina mencoba untuk meminta maaf, tetapi ucapannya terpotong ketika Erlangga menyela dengan cepat, tanpa memberikannya kesempatan untuk menjelaskan."Saya ada pertemuan sebentar lagi. Lebih baik kamu bersiap-siap," potong Erlangga tanpa menoleh lagi. Nada suaranya dingin dan tanpa kompromi, menambah beban yang sudah menekan bahu Venina.Venina hanya bisa mengangguk pasrah, berbalik untuk keluar dari ruangan. Namun, seruan Erlangga yang tiba-tiba membuatnya terhenti di tempatnya."Jangan pikir karena semua yang terjadi di antara kita... Kamu jadi bisa terus bertingkah seenaknya seperti ini, Nina!" serunya den
Kecurigaan dalam diri Erlangga terhadap Venina tumbuh semakin besar, seperti serangkaian kabut tebal yang menyelimuti pikirannya. Setiap gerak dan tingkah lakunya Venina menjadi bahan pertimbangan yang membuatnya semakin gelisah.Duduk di ruang kerjanya yang megah, Erlangga mendengarkan laporan dari Regi, orang yang dipekerjakannya untuk mengawasi Venina. Suara telepon yang bergema di ruangan itu memecah keheningan yang tegang."Sejauh ini tidak ada yang beliau lakukan setelah pulang bekerja, Pak," kata Regi dengan nada yang serius. "Beliau jarang sekali pergi keluar."Erlangga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum mengambil keputusan selanjutnya. "Terus awasi dia dan juga pria itu," perintah Erlangga dengan tegas sebelum menutup sambungan teleponnya.
Venina membuka pintu rumahnya dengan wajah yang pucat pasi. Malam yang seharusnya tenang berubah menjadi penuh ketegangan saat matanya bertemu dengan sosok yang tidak asing di depannya. "Mas Angga? Apa yang Mas lakukan di sini?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik.Erlangga berdiri tegap, dengan mata penuh tekad yang menyala-nyala. “Ada yang perlu kita bicarakan, Nina,” suaranya terdengar tegas namun ada kelembutan yang tersirat di sana.Venina menggelengkan kepala dengan cepat, mencoba menutup pintu kenyataan yang kini berdiri di hadapannya. "Saya tidak bisa. Saya tidak mau membahas apa pun di luar jam kerja."Namun, Erlangga tidak mundur. Dia menatap Venina dengan mata yang penuh keteguhan. "Tidak masalah. Saya akan menunggu di sini sampai kamu mau bicara dengan saya," ujarnya tanpa ragu.
Sepanjang malam itu, Venina didera oleh gelombang perasaan cemas dan gelisah. Kata-kata Erlangga terus terngiang di dalam benaknya, bergema seperti sebuah mantra yang tak kunjung berhenti."Kita akan menikah, Nina. Anak itu akan menjadi anak kita yang sah. Kita bisa memperbaiki semuanya, Nina. Demi anak kita."Rasa takut tiba-tiba menerjang hatinya dengan membabi buta, menghancurkan segala ketenangan yang pernah dia miliki. Seketika Venina merasa kehilangan arah dan tumpuannya, seperti layangan yang terlepas dari benangnya.Mungkin, jika Erlangga benar-benar ingin menikahinya, dia tidak perlu melenyapkan anaknya sendiri. Mereka bisa menjadi keluarga bahagia yang saling mencintai, membangun kembali apa yang telah hilang.