Share

4. Lebih Agresif

“Kamu sangat cantik sekali, Nak. Perpaduan darah Ayahmu yang berasal dari Indonesia lebih mendominasi. Senyummu juga sangat manis.”

Amarise tersipu. Ia tidak sanggup jika terlalu lama dipuji terus menerus oleh Nyonya Isaac. Kunjungan mereka hadir di hari ketiga Amarise menjalani kehidupan barunya di mansion Nic.

“Bagaimana jika kamu menjadi calon menantuku?” Nyonya Isaac mengerling penuh binaran.

Kepala wanita itu teralihkan pada putranya yang duduk di seberang meja makan sendiri. Sedangkan kursi utama diisi sang suami, sesekali memerhatikan interaksi sang istri yang nyaris tidak lepas membahas tentang Amarise.

“Nic, Amarise lebih pantas menjadi calon istri dibandingkan keponakanmu, Sayang,” tambah wanita itu menyeringai bahagia, mengabaikan tatapan kaku Amarise.

Ia dibuat tidak berkutik oleh pertanyaan berujung permintaan tersebut.

Nic tertawa kecil seraya menggeleng lemah. “Aku sudah berjanji menjadi wali asuh baru untuk Rishi, Ma,” jelasnya menarik atensi Nyonya Isaac.

“Rishi? Bukankah namanya Amarise Damaswara?” Ia mengonfirmasi ulang perkenalan lima belas menit lalu sebelum mereka makan siang bersama.

“Panggilan khusus untuk keponakan manisku,” ungkap Nic memandang lurus Amarise dengan senyum memesona.

Amarise tertunduk cepat. Ia meremat kedua jemari tangan di atas pangkuan. Selalu saja ia sulit mengendalikan diri dari tiap perhatian Nic.

Nyonya Isaac menoleh dengan senyum penuh arti pada sang suami. “Suamiku. Belum genap satu bulan Amarise berada di dekat putra kita. Dia sudah mendapatkan panggilan yang menggemaskan. Seharusnya kita memaksa Nic untuk segera menikah karena usianya yang tidak lagi muda.”

Kontan manik coklat Nic semakin mengecil. “Ma, aku belum terlalu setua itu sampai dikatakan tidak lagi muda,” balasnya menekan pada bagian kalimat ujung.

“Benarkah?” tatapan itu penuh senyum meremehkan dan dibalas dengkusan pelan Nic.

Amarise memerhatikan saksama sekaligus mencari informasi lain dari Nic yang tidak diberitahu pria itu secara langsung padanya.

“Kakakmu sudah lama menikah dan memberikan kami dua cucu kembar. Jadi, mungkin Mamamu ingin menimang bayi, menghabiskan masa tua bersama anakmu kelak,” ucap Tuan Isaac sedari tadi menikmati makan sambil mengikuti topik pembicaraan.

Punggung Nic bersandar nyaman di kursi, lalu melipat kedua tangan di dada lalu berucap, “Kenapa tidak Mama dan Papa saja yang memberikanku adik?”

Amarise nyaris tidak berkedip. Pun, orangtua Nic melongo saat pria itu tertawa renyah. Ia menegakkan tubuh dan memandang mereka lebih sopan. “Maafkan aku, Ma, Pa. Tapi aku masih ingin menikmati pekerjaanku dan terpenting, ada Rishi bersamaku. Dia masih sangat muda untuk aku lepas begitu saja,” jelas Nic tampak mendesah berat.

Sekilas Amarise tertegun dengan sorot letih dan perhatian dari Nic. “Amarise harus kehilangan kedua orangtuanya. Kehidupannya setelah ditinggal mati orang yang disayang, jungkir balik. Seluruh aset perkebunan harus dijual dan menyisakan sedikit uang dengan peninggalan satu rumah. Itu terdengar sangat buruk ketika usia Rishi seharusnya diisi banyak hal membahagiakan.”

“Dia belum terlalu dewasa untuk berjalan sendirian. Jadi, aku memutuskan bertanggung jawab sampai setidaknya, dia berusia dua puluh lima tahun.”

Penjelasan Nic membuat satu lubang kecil yang terasa perih di relung hati Amarise.

“Menikahinya terdengar lebih baik, kan?” desakan ulang dengan kerlingan nakal Nyonya Isaac membuat Nic menggeleng tegas.

“Aku tidak ingin membahas mengenai pernikahan lagi,” tekannya.

Hening sesaat. Amarise memerhatikan raut kecewa dari orangtua Nic. Perlahan, Amarise melihat jika ada hal lain yang disimpan Nic. “Nic ... buka matamu, Nak. Tata lagi hidupmu bersama perempuan baru.”

Seketika hati Amarise mencelos. Pernyataan lirih Nyonya Isaac membuat perasaan Amarise terluka.

Nic menunduk, menolak bersitatap dengan sorot penuh kesedihan Nyonya Isaac. “Aku sudah menata hidupku, Ma,” lirih Nic tanpa sadar.

“Tanpa seorang perempuan?”

“Saat ini biarkan mengalir seperti biasa saja,” balasnya membuat keadaan ruang makan berubah lebih dingin.

Amarise membiarkan ruang makan diisi dentingan sendok beradu dengan garpu dalam lima menit kedepan. Ia biarkan wanita itu pamit, mengajak sang suami ke lantai atas, meninggalkan Nic dan Amarise.

Lidah Amarise kelu sekadar menanyakan apakah pria itu sudah selesai makan atau masih ingin termenung di kursi makannya.

Panggilan telepon itu menginterupsi pemikiran Amarise. Ia bisa melihat gerakan malas Nic meraih ponsel, berubah semringah saat menatap bagian layar.

“Hai! Kabarku baik!” bibir Amarise terbungkam rapat.

Sorot berbinar dan suara yang jauh berkali lipat manis juga lepas, membuat Amarise dibuat terkejut sisi Nic yang lebih dalam. “Sungguh?! Baiklah. Aku akan menjemputmu sekarang.”

“Kita akan bertemu di apartemen seperti biasa.”

Nyeri di hati Amarise terasa kuat, meskipun ia tidak tahu siapa yang diajak bicara oleh Nic. Raut dan sensasi menggebu penuh kebahagiaan sangat kentara.

“Amarise. Tolong jaga Mama dan Papaku sampai nanti malam, ya? Mereka akan melakukan penerbangan malam hari dan aku akan pulang sekitar dua jam sebelum mereka berangkat.”

Perempuan itu berdiri tergesa dan mengikuti pergerakan Nic. “Kamu ingin pergi ke mana?”

Sesaat Nic terpaku melihat air muka Amarise dan pertanyaan cepat itu. Namun, pria itu mengulas senyum kecil, mendekati Amarise dan memberikan kecupan di pipi kanan dan kiri perempuan muda itu. “Anak kecil tidak boleh mengetahui urusan orang dewasa,” bisiknya jahil mencubit ujung hidung mancung Amarise.

“Aku boleh ikut?”

Nic melirik pergelangan tangannya yang digenggam Amarise. “Aku harus bertemu rekan bisnisku, Rishi,” selanya tersenyum kecil melepas perlahan tangan Amarise.

“Pria atau perempuan?” tanyanya sekali lagi dan kali ini membuat Nic menatapnya lurus.

Ia memiringkan sedikit kepala memerhatikan Amarise yang berubah gugup. “Jangan katakan kamu takut kehilanganku?” senyum itu terlihat manis.

“Aku takut perhatianmu terbagi saat aku tahu kamu memiliki perempuan spesial,” jawabnya tanpa ragu.

Nic terdiam sesaat. Kemudian, pria itu tergelak dan mengacak gemas puncak kepala Amarise. “Tenanglah, Rishi. Aku tidak akan pernah melupakan tanggungjawabku terhadapmu. Kamu menjadi prioritasku mulai saat perkenalan kita di ruang kerjaku.”

“Benar?” tanya Amarise memastikan.

“Ya,” balas pria itu yakin, lalu meraih kepala belakang Amarise untuk mempermudah Nic menjatuhkan kecupan hangat di kening perempuan muda itu.

Amarise menutup perlahan kelopak mata, menikmati sebanyak mungkin sentuhan dan belaian hangat Nic di kepala belakangnya. “Jadilah keponakan manisku mulai detik ini.”

“Apa yang akan kamu berikan jika aku menjadi penurut?” Ia mengerling dengan gerakan mendekat.

Entah kenapa melihat raut berbinar Nic tadi sangat menganggu perasaan Amarise. Ia merapatkan tubuh dengan merangkul lengan Nic. “Bisakah kamu menjadi pria dewasa yang mengajakku kencan besok malam?”

“Tentu.”

Balasan itu sangat cepat dan membuat Amarise bahagia. Ia berjinjit dan mengecup pipi Nic, membuat pria itu terpaku sesaat. “Kamu sudah sangat berani rupanya,” cetus pria itu.

Amarise bersemu, tapi tidak membuatnya mundur setelah mengecup sisi lainnya. “Kamu yang mengajariku untuk bersikap manis,” bisiknya sensual dengan gerakan mengusap tengkuk Nic.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status