LOGINDi sudut taman belakang rumah dua tingkat, sebuah kursi besi bercat hitam berdiri kokoh menghadap kolam koi yang airnya mengalir pelan, mengeluarkan suara gemericik lembut yang mengisi hening dengan kedamaian. Olivia duduk di sana, tubuhnya membungkuk santai, genggaman pada gelas teh melati yang sudah dingin terasa ringan. Matanya tak lepas dari warna oranye, putih, dan hitam ikan-ikan yang meluncur perlahan di permukaan air, seperti mengabaikan semua keruwetan dunia di sekitarnya.
Lama sekali dia diam, seolah mencoba mencuri ketenangan dari udara hangat sore itu. Suara langkah mendekat mengusik keheningan. Olivia menoleh perlahan, menemukan Adrian yang berjalan dari pintu samping. Kemeja kerjanya sudah dilepas, berganti dengan kaus polos yang terlihat rapi. Wajahnya menunjukkan tanda lelah, tapi matanya menyimpan kehangatan yang tak biasa saat bertemu Olivia. "Kok pulang cepat, Om?" Olivia bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari kolam, suaranya datar tapi ada rasa penasaran yang terselip. Adrian menghela napas pelan, kemudian duduk di kursi sebelahnya dengan gerakan lelah. "Sengaja," jawabnya singkat. "Rasanya lama banget aku nggak ngerasain sore di rumah." "Oh ya?" "Dan juga, aku butuh ngobrol sama kamu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan." Matanya menatap penuh harap, menunggu respon di antara keheningan taman itu. Olivia mengangkat cangkir teh, meneguk sisa minumannya dengan pelan. Matanya menyipit saat memandang Adrian yang santai bersandar di kursi taman. "Ngobrol? Topiknya berat apa ringan nih?" suaranya tenang, tapi ada sedikit tanda waspada. Adrian mengulum senyum tipis, matanya menatap langsung ke wajah Olivia. "Awalnya sih ringan. Tapi ya, bisa berat kalau kamu tiba-tiba emosian." Olivia mengernyit, seolah menimbang maksud di balik kata-kata itu. "Hah, mulai nih … Ada apa, sih? Om bikin aku penasaran." Adrian menghela napas pelan, lalu bicara dengan suara yang lebih serius. "Begini, aku mau bicara soal penjualan rumah Mama kamu. Uangnya selama ini aku simpan di rekening. Waktu itu Sheila minta aku yang pegang." Tiba-tiba Olivia menoleh tajam, ekspresinya langsung berubah jadi serius dan sedikit tegang. "Dan hasil penjualan itu lima ratus juta, Via," lanjut Adrian pelan. Olivia mengangkat bahu, wajahnya tetap tenang. "Oh, oke. Terus, Om?" Adrian menatapnya dalam beberapa detik, mencoba menangkap reaksi Olivia. "Aku cuma ingin tahu ... uang itu mau kamu pakai apa? Aku bisa bantu kelola, kalau kamu mau. Atau kalau sekarang ada kebutuhan, bilang aja." Olivia menggeleng pelan, suaranya lembut tapi tegas memotong. "Nggak usah, Om. Disimpan dulu aja. Aku belum tahu mau diapain. Interview juga belum ada kabar. Aku takut tiba-tiba butuh dan malah bingung kalau kehabisan. Uang segitu, buat jaga-jaga aja." "Baiklah, Via." "Dan lima ratus juta, itu banyak sekali, Om. Lebih baik Om saja yang pegang. Jujur, aku belum pernah punya uang sebanyak itu dalam hidupku." Adrian mengangguk pelan, tak memaksa. "Aku ngerti kok. Tapi rekening itu tetap atas namaku, ya. Jadi kamu nggak bisa langsung tarik tanpa bilang dulu. Bukan soal nggak percaya, cuma buat jaga-jaga aja." Olivia mengalihkan pandang ke kolam ikan koi yang tenang, bibirnya bergetar seolah menahan rasa gelisah. "Aku tahu, dan aku nggak keberatan. Tapi, Om … kalau suatu saat aku butuh, janji ya, jangan ditunda-tunda?" Matanya bertemu dengan Adrian yang menatap penuh ketulusan. "Janji. Itu uang Mama kamu. Aku cuma jaga amanah. Tadinya, Sheila mau bikin bisnis kecil-kecilan tapi ya, kamu tau akhirnya seperti apa." Desah lembut terlepas dari Olivia, tatapannya kembali ke gerakan pelan ikan koi. "Sebenarnya, aku masih susah percaya Mama beneran nggak ada. Rumah itu penuh sama memori tentang kami. Tapi ya … katanya kan hidup harus terus jalan. Aku cuma berusaha menjalani terus hidup di dunia ini, meskipun rasanya nggak akan sama." Adrian terdiam, lalu bertanya pelan, "Via, kamu betah tinggal di sini?" Sekilas Olivia menatapnya, mata yang biasanya cerah kini redup. "Kadang iya … kadang pengin kabur aja." Adrian mengangguk, suaranya penuh pengertian, "Tapi kamu tetap di sini." Senyum tipis merekah di bibir Olivia, walau ada duka tersimpan. "Ya, karena Mama minta aku temani Om. Dan… mungkin karena kolam ikan koi ini juga lumayan bikin tenang. Rumah Om tanpa sadar bikin aku nyaman." Adrian terkekeh. "Jadi, aku harus bersaing sama ikan-ikan koi ini ya, supaya kamu tetap mau tinggal." "Hmm... kira-kira gitu, Om," jawab Olivia, kali ini tersenyum lebih lebar. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, udara di antara mereka terasa lebih ringan, seperti angin sore yang mengusap lembut setelah hujan reda. Luka lama masih membekas di hati, tapi seperti kolam koi di depan mereka—permukaan air beriak kecil, tapi di dasarnya tetap tenang dan damai. Tiba-tiba, dering ponsel Olivia memecah keheningan. Matanya membulat, melihat nomor kantor terpampang di layar. Napasnya terhenti sejenak sebelum cepat-cepat mengangkat, sementara Adrian masih duduk di samping, matanya menatap penuh perhatian. "Halo?" jawab Olivia, suaranya agak gemetar. "Halo, sore, dengan Olivia?" terdengar suara hangat dari ujung sana. "Iya, Mbak." "Saya Listya, HR yang kemarin interview kamu. Saya mau kasih kabar baik, selamat ya, kamu diterima di Fast Track. Bisa mulai kerja tiga hari lagi?" tanya Listya dengan nada penuh semangat. Olivia nyaris melompat kegirangan, jantungnya berdebar kencang. "Bisa, Mbak!" "Baik, kalau begitu saya tunggu. Dan mengenai tanda tangan kontrak, nanti sekalian di hari pertama kerja, ya." "Baik, Mbak Listya." "Baik kalau gitu, sampai jumpa nanti Olivia." Saat panggilan selesai, Olivia tanpa sadar memeluk Adrian di sampingnya dengan erat. Adrian membeku, matanya membulat kaget. Detik berikutnya, jantungnya berdegup kencang, tubuhnya tetap kaku. "Ma-maaf, Om. Aku kelepasan ... Aku terlalu bahagia. Biasanya pelukan kayak gini sama Mama. Jadi..." suara Olivia tercekat saat melepaskan pelukannya, wajahnya memerah malu, dia bingung harus berkata apa. Adrian menggaruk-garuk tengkuknya pelan, melepaskan ketegangan. "It's ok, Via. Aku ngerti kok. Selamat ya. Akhirnya kamu bukan pengangguran lagi." Olivia menunduk, canggung. "Iya, Om ... Aku ke dalam dulu, ya." Tanpa menunggu balasan, dia cepat-cepat berdiri dan melangkah pergi, wajahnya masih memerah. Adrian membiarkan senyum lebar terbentang di wajahnya. Ia bersandar santai di kursi taman, matanya menerawang membayangkan pelukan hangat tadi, ada rasa bahagia yang tidak bisa dia sangkal dan itu masih menghangat di dadanya. *** Sisa aroma nasi goreng gurih menguar tipis dari dapur di siang hari yang terik ini, mengundang tapi tak juga membangkitkan selera Olivia. Ia duduk di meja makan, jemarinya berulang kali mengetuk sendok ke piring sambil menatap tumpukan nasi goreng sederhana yang baru saja disajikan bersama irisan timun dan kerupuk di pinggirnya. Perutnya sebenarnya belum terlalu lapar, tapi ia tak ingin menyisakan masakan Bik Surti—setidaknya hari ini. Dari balik pintu dapur, Bik Surti muncul membawa dua gelas air putih. Ia meletakkan satu gelas di depan Olivia tanpa senyum. "Kok nasi gorengnya belum di makan? Cepat habiskan, Non. Bibik sudah susah payah memasak,” suaranya datar, tanpa pandang. Olivia mengangkat kepala, menatap Bik Surti sebentar. "Iya, Bik. Tapi ini porsinya banyak banget," ucapnya ragu. "Bibik sengaja, pasti Non lapar, kan," jawab Bik Surti singkat, matanya tetap fokus pada piring untuk Adrian yang baru saja ia siapkan. "Baiklah, aku coba makan dan habiskan." "Nah, gitu dong!" Olivia mengangkat gelas, menyesap air putih perlahan sebelum mulai makan. Dari tangga terdengar langkah kaki yang makin dekat. Adrian muncul dengan kaus hitam dan celana santai. Hari ini ia memutuskan untuk makan di rumah, mengosongkan jadwal siangnya. "Kamu udah makan, Via?" sapanya ringan saat melangkah masuk ke ruang makan. Setelah insiden pelukan kecil kemarin, entah mengapa Olivia sedikit canggung jika bertemu dengannya. Olivia yang baru saja mengangkat sendoknya berhenti sejenak, matanya fokus pada nasi goreng di piring dan menghindari tatapan Adrian. "Baru mulai, Om," jawabnya pelan. Olivia mulai mengunyah suapan pertama. Di sisi lain, Adrian duduk di kursi seberang, mengambil sendok, tapi matanya tak lepas dari wajah Olivia yang mendadak berubah. Keningnya berkerut dan ia menyentuh lehernya. Tiba-tiba, batuk tersendak membuat tubuhnya terhuyung. "Via? Kamu kenapa?" Adrian buru-buru berdiri, khawatir menatap gadis itu. Olivia menekan dadanya dengan tangan gemetar, wajahnya menampakkan panik yang nyata. "Aku... susah napas... gatal..." suaranya nyaris terputus. Adrian segera mendekat, menggenggam bahunya agar tak roboh. "Kamu makan apa tadi?!" Olivia menundukkan kepala, suaranya parau, "Nasi go... uda—" Wajah Adrian mengeras seketika. "Nasi goreng ini? Udang? Kamu alergi sesuatu? Alergi udang?" Olivia hanya bisa mengangguk lemah, sebelum tubuhnya tiba-tiba ambruk dari kursi, piring di depannya terhempas ke lantai dengan suara keras. Bibirnya mulai membengkak, tangan gemetar tak berdaya, napasnya cepat dan tersengal. Dari arah dapur, suara langkah cepat terdengar. Bik Surti muncul dengan wajah panik. "Ya Allah, kenapa, Non?" tanyanya terbata-bata. Adrian segera menoleh dengan mata menyala tajam. "Bik! Kamu campur apa ke nasi goreng Via?" Bik Surti mengerutkan dahi, mencoba mengingat. "Ebi, Pak Adri... Tapi waktu itu saya pernah kasih kerupuk udang, dia makan, nggak apa-apa. Saya pikir aman..." Adrian mengepalkan tangan, suaranya meninggi. "Itu beda, Bik! Ebi itu udang utuh kering, alergen-nya jauh lebih kuat! Harusnya tanya dulu!" Bik Surti menunduk, wajahnya berubah pucat, terpaku tanpa berkata. Sementara Adrian tak peduli, cepat-cepat mengangkat Olivia dalam pelukannya yang kokoh. Dengan napas berat, dia melangkah keluar rumah, tangan sudah menggenggam kunci mobil. "Tahan, Via... Kita ke klinik sekarang. Jangan pingsan, Via. Bertahanlah..." Olivia sudah tak sanggup menjawab. Kepalanya bersandar lemah di bahu Adrian, tubuhnya menggigil. Dalam hati, Adrian menyesal. Ia baru ingin menghabiskan siang tenang bersama tapi justru perempuan itu kini bertarung menahan sesak di pelukannya. Tak lama, mobil hitam Adrian melaju cepat ke klinik terdekat sambil terus berdoa di sepanjang jalan agar gadis tangguh di sampingnya dapat bertahan. Bersambung...Olivia membiarkan ujung kakinya menari-nari di permukaan air. Cahaya matahari pukul enam pagi memantul halus di atas permukaan kolam, membuat air tampak seperti kaca biru yang berkilau. Hembusan angin membawa aroma dedaunan basah. Sabtu yang tenang. Sabtu yang bikin siapa pun ingin melompat ke air tanpa pikir panjang.Bikini hitamnya mulai basah terciprat setiap kali ia menggerakkan kaki. Titik-titik air menempel di kulit pahanya seperti butiran kaca kecil.Suara pintu geser terdengar dari belakang.Olivia menoleh, rambutnya yang lurus bergeser lembut di bahunya.Adrian berdiri di teras belakang dengan piyama biru kusut dan wajah kantuk yang belum sepenuhnya pergi. Senyum mengembang di wajahnya seperti senyum malas yang hanya muncul ketika bangun tidur.“Kamu kok nggak ngajakin aku?” katanya sambil berkacak pinggang. “Mau berenang sendirian?”Olivia tertawa kecil. “Sebenarnya aku nggak niat berenang, Mas. Tadi aku minum teh hangat sambil lihat kolam. Airnya kayak manggil-manggil. Aku
Adrian menurunkan kacamatanya yang sedikit melorot, menjepit gagangnya di antara jari telunjuk dan ibu jari. Layar laptop di depannya menampilkan deretan tab wedding organizer lain—semuanya terbuka karena satu alasan: ia ingin menjauh sejauh mungkin dari Blissful Wedding. Setiap melihat nama itu, dadanya seperti mengencang lagi, mengingat kepanikan dan rasa tak percaya yang ia rasakan saat teh yang ia minum kemarin mendadak membuat tubuhnya terasa aneh dan berakhir dengan tidur bersama Olivia.Ia mengusap pelipis. "Sial, kenapa kepikiran Celia lagi."Ketukan pelan pada pintu ruangan, mengusik pikirannya.“Siapa?!” Suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.“Renata, Pak!” seru suara yang sudah tidak asing di telinganya.“Oh. Masuk aja! Ada apa, Ren?”Pintu terbuka pelan, Renata masuk dengan senyum yang terlihat ragu. “Pak, ada Mas Hadi dari Blissful Wedding. Mau ketemu langsung dengan Bapak. Saya sudah bilang Bapak sedang sibuk, tapi … sepertinya beliau nggak akan pergi sebel
Di dalam kamar yang diterangi cahaya matahari lembut, Olivia duduk di tepi ranjang sambil memandangi foto lama ayahnya. Foto itu sudah sedikit pudar di beberapa sisi, namun tetap menyimpan banyak hal yang tak pernah terjawab. Ia menyapunya perlahan dengan ujung jarinya, seperti mencoba menghapus jarak bertahun-tahun yang terlewat. Sejak kecil ia sering bertanya-tanya, Kenapa tidak ada satu pun fotonya di rumah? Jawaban itu baru benar-benar ia mengerti setelah dewasa: ayahnya meninggalkan ibunya, dan ibunya lebih memilih menyingkirkan semua jejak yang bisa membuat luka itu terulang. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Adrian muncul di ambangnya dengan senyum lebar, langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi Olivia yang mengerut pilu. Senyumnya meredup, berganti khawatir. Tapi begitu tatapannya jatuh ke foto di pangkuan gadis itu, ia menghela napas pelan. Mengerti. Pria tampan itu mendekat, duduk di sampingnya. Permukaan kasur amblas sedikit menandakan berat tubuhnya. Tangannya terul
Setelah selama hampir dua jam berkendara menembus kemacetan dengan gelisah dan merasa tubuhnya mendapatkan energi yang berlebihan, Adrian akhirnya menginjakkan kaki di bawah carport rumahnya. Tepat di depan pintu ruang tamu, Olivia telah menantinya dengan tatapan manis karena baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk kekasihnya itu."Kamu kok tau banget sih aku udah selesai masak?" tanya Olivia, mendekati Adrian yang tampak berkeringat.Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Adrian langsung berlari mendekati Olivia, memegang tangannya dengan cepat dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Eee... tunggu, Mas. Buru-buru amat! Kamu udah kelaparan?" taya Olivia, kebingungan.Adrian, dengan napas yang terengah-engah dan kepanikan di wajahnya, buru-buru menjawab, "Kamu harus tolong aku, Sayang!""Tolong apa?" Olivia mempertanyakan, semakin bingung dengan situasi yang semakin tidak jelas."Aku, aku kepanasan, Sayang! Ada... ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Aku seperti butuh... pel
Celia menatap pantulan dirinya di cermin toilet kantor Blissful Wedding Organizer. Cahaya lampu putih di atas kepalanya membuat kulitnya tampak lebih halus, lebih bercahaya—seolah ia sedang menyiapkan wajah untuk sebuah pertunjukan.Bibirnya terkatup rapat saat ia menggoreskan lipstik merah merona dengan presisi. Warna yang sengaja ia pilih: tegas, berani, dan tak mungkin diabaikan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai lembut di bahu, bergelombang natural seakan tanpa usaha, padahal ia sudah menghabiskan lima belas menit meluruskannya ulang.Perempuan bertubuh tinggi itu menarik bagian kerah tanktop putihnya sedikit ke bawah hingga sesuatu yang bulat mengintip sebelum kembali menyelimuti tubuhnya dengan blazer biru muda yang anggun. Tampak profesional, namun tetap menggoda. Keseimbangan yang ia cari.“Perfect…” bisiknya sambil mengamati dirinya dari samping. “Adrian pasti tergoda melihat susu yang besar ini.”Meski cara yang dipakai Celia mungkin kotor, namun hatinya tetap berdebar.
Olivia membeku sejenak. "L-lebih, Mas?" tanyanya dengan ragu, seolah setengah takut akan jawaban yang akan ia dengar.Adrian menatapnya dalam, tatapannya begitu pekat hingga membuat dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua. "Iya, Sayang," bisiknya pelan, suaranya berat namun lembut, "Hukuman yang lebih, karena kamu nakal."Belum sempat Olivia menyusun kata, jemari hangat Adrian menyusuri pipinya perlahan, seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahnya. Sentuhan itu turun ke leher, membuat bulu halus di sekitar tubuhnya meremang, lalu meluncur lembut ke lengan Olivia yang masih terangkat di atas kepala.Jantung Olivia berdebar tak terkendali. Sorot mata Adrian membuatnya semakin tak kuasa, seolah pria itu tengah menikmati setiap detik posisinya yang pasrah."Mas..." panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan."Hmm, apa?" Adrian menunduk sedikit, wajah mereka kian dekat."Please jangan siksa aku," bisiknya lagi, matanya bergetar menahan harap.Adrian tersenyum samar, penuh rahasia.







