Share

Bab 08. New Day.

Penulis: eslesta
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 09:20:39

Suasana kantor PT. Fast Track Logistic terasa tenang, hampir sunyi kecuali suara deru mesin pendingin udara. Di ruang tunggu, interior modern berpadu warna netral dan kayu muda memberi kesan hangat dan rapi. Aroma kopi dari dispenser di pojok ruangan perlahan melayang, mengisi udara dengan kehangatan yang samar.

Olivia duduk di sofa abu muda, tangannya sibuk menggenggam ponsel namun matanya terus melirik ke arah pintu kaca otomatis di lantai dua, yang hingga kini belum terbuka. Wajahnya mengernyit tipis, menahan resah. Mariska sudah janji akan menjemput, tapi detik demi detik berlalu tanpa ada tanda-tanda kehadirannya.

Di seberangnya, Bastian berdiri santai menyender pada meja resepsionis. Postur tegap dan kulit sawo matang yang pas, membuatnya terlihat begitu menarik. Kemeja biru mudanya membentuk bahu lebar dengan sempurna. Ia mengambil seteguk air mineral dari botol kecil, lalu menatap Olivia.

"Masih lama, ya, Mariska?" suaranya rendah tapi ramah.

Olivia mengangkat bahu ringan, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Tadi terakhir kabari sekitar setengah jam lagi, Mas. Tapi ini udah lebih dari setengah jam, Mariska belum muncul juga. Mungkin lagi kejebak macet di suatu tempat."

Bastian menggeleng pelan, tersenyum sambil bergurau, "Wah, Jakarta emang setia sama macetnya, ya."

Tawa kecil lepas dari bibir Olivia, matanya sempat menyiratkan kecewa tapi ia coba menyembunyikannya. "Iya, nggak pernah berubah. Sepertinya justru makin jago bikin orang salah estimasi waktu."

"Yah, begitulah Jakarta."

"Tapi herannya masih banyak yang betah."

"Iya, termasuk kita, Via."

Mereka tertawa bersama sebentar, kehangatan percakapan itu mengusir canggung yang sempat menyelimuti. Bastian lalu duduk di sebelahnya, secara alami menjaga jarak, tapi tetap memberikan rasa nyaman dan membuat percakapan tak terputus.

"Kamu berubah banyak, ya," ujar Bastian tiba-tiba, matanya menyorot ke arah Olivia sekilas.

Olivia memiringkan kepala. "Berubah gimana, Mas?"

Bastian tersenyum kecil, suaranya ringan tapi penuh makna. "Dewasa. Lebih kalem. Aku jadi ingat waktu antar kamu dan Mariska KKN. Kamu tuh lebih mirip anak SMA yang nyasar ke kampus," godanya sambil menahan tawa pelan.

Olivia pura-pura mendelik, menyipitkan mata seperti menantang. "Masa sih segitunya? Padahal waktu itu aku sudah semester enam, lho."

Bastian mengangguk pelan, wajahnya serius tapi hangat. "Justru itu. Sekarang beda. Ada aura tenang, berani. Tapi sisi lembutmu tetap keluar, walau nggak kamu tonjolkan. Aku baru sadar tadi waktu wawancara kamu."

Olivia menunduk, bibirnya terangkat sedikit membentuk senyum tipis yang coba ia sembunyikan. Ada sesaat diam yang berat di antara mereka. "Mungkin… tanpa kerasa, hidup yang bikin kita cepat dewasa," katanya lirih.

"Mungkin saja."

"Iya, Mas."

Bastian mengalihkan pandangan, kemudian dengan suara hati-hati bertanya, "Dengar-dengar kamu baru kehilangan Mama, ya?"

Wajah Olivia berubah seketika, matanya redup. Bukan kesedihan yang pekat, tapi bayangan luka lama yang belum usai. "Iya, Mas, baru beberapa minggu lalu," jawabnya pelan, nadanya patah.

Bastian menatapnya lama, lalu mengangguk pelan penuh empati. "Aku turut berduka, Via. Mariska cuma bilang sekilas waktu itu, aku nggak enak nanya lebih jauh."

Olivia mengangkat kepala, menatap Bastian dengan mata yang mulai mengembun. "Nggak apa-apa. Terima kasih sudah peduli," ucapnya tulus, suaranya hangat meski mata masih menyimpan rindu. "Hidup kadang suka muter arah tiba-tiba, ya."

Bastian menatap Olivia dengan serius, suaranya pelan tapi penuh keyakinan, "Tapi kamu itu kuat, Via. Nggak semua orang bisa bangkit secepat ini. Datang interview sendirian, di tempat asing, dan masih bisa senyum—aku benar-benar salut."

Olivia menahan pandangannya sejenak, mata mereka bertemu, sebuah tatapan singkat yang meninggalkan rasa hangat. "Kalau aku nggak mulai sekarang, nanti malah makin tenggelam," jawabnya pelan.

Bastian mengangguk, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Semoga kamu bisa terus jaga ceria itu. Hidup nggak boleh mandek, kita harus bangkit apapun caranya. Aku yakin banyak yang dukung kamu. Percaya deh."

Olivia menarik napas panjang, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Thanks, Mas Bastian. Senang masih ada yang mendukung sama anak KKN yang katanya kayak anak SMA itu," candanya.

Bastian terkekeh lebar, matanya menyipit saat dia berkata, "Sekarang kamu malah kelihatan lebih… bahaya."

"Kok bahaya?" Olivia mendongak penasaran.

"Dalam arti bikin orang salah fokus."

Tawa mereka pecah lagi, kali ini lebih lepas, mengisi ruangan kecil itu dengan suasana hangat. Tiba-tiba, sosok perempuan dengan kacamata hitam yang bertengger santai di kepala muncul di depan pintu kaca. Olivia segera menoleh, matanya langsung berbinar.

"Itu Mariska! Akhirnya dia sampai juga," serunya sambil sigap berdiri dari sofa abu muda yang empuk.

Bastian ikut berdiri, menatap Olivia dengan senyum mengembang. "Kapan-kapan kita ngopi, ya. Biar santai, jauh dari suasana kantor."

Olivia menggigit bibir bawahnya, senyumannya agak canggung tapi tulus. "Lihat nanti saja… kalau aku diterima kerja di sini, baru aku traktir Mas Bastian. Mungkin dari gaji pertama."

Bastian mengangguk mantap. "Sip, aku tunggu."

Mariska menyeru dari dekat pintu, suaranya penuh akrab pada sepupunya itu. "Tian, makasih, ya! Jangan lupa kabari hasilnya."

Bastian mengangkat jari, meyakinkan, "Sip, nanti aku kabari hasil interview-nya ke Via langsung."

Mariska menahan tawa kecil, berbisik, "Awas, ya, kalau sahabat aku nggak diterima. Kita putus hubungan persepupuan."

Bastian hanya menggelengkan kepalanya sambil menyaku tangannya.

Langkah Olivia mulai meninggalkan ruangan, tapi mata Bastian masih terpaku, mengikutinya sampai pintu kaca tertutup rapat.

Di balik senyum hangat yang terpampang di wajahnya, ada aura berbeda yang terpancar. Olivia bukan lagi gadis manis polos masa KKN dulu. Ia telah tumbuh dewasa, dan tanpa disadari, kini ia memikat perhatian orang lain dengan cara yang jauh berbeda, salah satunya Bastian.

***

Langit mendung menggantung berat di atas halaman rumah keluarga Gista di pukul empat sore. Udara terasa lembap, seolah menahan napas bersama waktu yang melambat. Di ruang keluarga, Nevan duduk terpaku di sofa besar, pipinya masih pucat, tapi matanya mulai cerah saat menatap layar televisi yang memutar kartun favoritnya. Napasnya sudah lebih tenang, suhu tubuhnya pun sudah menurun.

Di sampingnya, Adrian jongkok sambil merapikan tas kecil berisi obat dan catatan klinik. Tangannya perlahan memasukkan satu per satu pil ke dalam kotak obat.

"Sudah, Ayah masukkan semua. Obatnya diminum malam nanti, ya," ucap Adrian dengan suara lembut, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.

Nevan mengangguk pelan, tapi wajahnya mendadak berubah sendu. Matanya mengerjap menghalau air yang hampir jatuh. "Ayah mau pergi, ya?" suaranya bergetar halus.

Adrian mengangkat kepala, menatap mata anaknya penuh arti. Senyum kecil muncul, meski bibirnya masih canggung. "Iya, Sayang. Ayah harus pulang dulu. Tapi besok atau lusa, Ayah pasti datang lagi. Kamu baik-baik ya, obatnya jangan lupa diminum biar cepat sembuh."

Tapi Nevan justru menggeleng cepat, tangannya meraih dan menggenggam erat jemari Adrian. "Ayah jangan pergi… tidur di sini saja sama Ibu," lirihnya.

Adrian terdiam sesaat, menarik napas panjang sambil menahan rasa sesak di dada. Ia tahu, rindu Nevan begitu dalam. Momen seperti ini, di mana anaknya bersikap manja, terasa langka sejak perpisahan itu terjadi. Sentuhan tangan kecil yang menggenggam lengan bajunya membuat hatinya semakin berat.

"Nevan, Ayah harus kerja. Nanti siapa yang jaga restoran kalau Ayah di sini?" jawab Adrian pelan, berusaha menenangkan sambil mencoba terdengar ringan.

Tapi Nevan hanya menggeleng, mata beningnya sudah mengumpulkan air mata. "Aku sudah sembuh, Ayah. Tapi aku ... masih pengen peluk Ayah," bisiknya, suaranya tercekat

Adrian menunduk, mengusap lembut pipi Nevan yang mulai basah oleh air mata, lalu menariknya ke dalam pelukan hangat. Pelukan itu lama dan hening, hanya suara detik jam di dinding yang mengisi ruang.

Tiba-tiba, suara mesin mobil yang berhenti di halaman terdengar. Pintu terbuka dan masuklah Wiryo dan Rika, orang tua Gista, dari Bandung. Langkah kaki mereka terhenti melihat pemandangan di ruang keluarga.

Rika terpana, suaranya tercekat, "Loh? Nak Adrian? Kamu di sini?"

Adrian segera melepaskan pelukan, bangkit dengan wajah yang tetap tenang dan membalas dengan sopan, "Sore, Bu. Nevan demam, tadi saya antar ke klinik."

Wiryo melangkah mendekat dengan wajah penasaran sambil menaruh tangannya di atas dahi Nevan, "Kok Gista nggak kabari kami? Kamu sendiri yang antar Nevan ke dokter?" tanyanya, khawatir.

Dari balik pintu dapur, suara Gista terdengar pelan, sedikit terburu-buru sambil mendekat, "Maaf, Pi. Aku panik, langsung hubungi Mas Adri. Dia satu-satunya yang bisa cepat ke sini."

Rika duduk di samping Nevan yang kini memeluk erat kaki Adrian. Senyum samar menghiasi bibirnya, tapi matanya berkaca-kaca, hati tersentuh oleh pemandangan itu. "Nak Adri ... maaf kami nggak bisa bantu banyak," suaranya lembut, penuh kehangatan. "Tapi makasih kamu masih peduli sama Nevan. Kamu tetap Ayahnya, dan itu sangat berarti bagi kami."

Adrian hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis yang tersembunyi di balik kerutan wajahnya.

Rika tak berhenti di situ. Tatapannya menjadi lebih dalam, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucap langsung ke hati Adrian. Sekilas ia memandang Gista yang menunduk, wajahnya penuh sesal dan penyesalan yang berat.

"Kalian pernah punya rumah yang utuh, Nak Adri," suaranya nyaris bergetar. "Semoga Nevan tetap bisa merasakan kasih sayang dari kalian berdua."

Gista menunduk dalam, bibirnya mengerut seperti menyimpan beban berat penyesalan yang tak terucap. Rika tidak tahu pasti kenapa kata-kata itu keluar begitu saja, mungkin karena momen ini langka sebab biasanya Adrian hanya membawa Nevan ke taman bermain atau ke rumahnya saat waktu kebersamaan dengan putranya setelah perceraian.

Adrian memang sengaja membatasi interaksi dengan Gista dan keluarganya.

Adrian mengusap lembut kepala Nevan, kemudian menatap Rika dengan mata teduh. "Saya cuma menjalankan peran saya sebagai ayah, Bu."

Rika mengangguk perlahan, menerima jawabannya tanpa kata-kata lagi.

Di sudut lain, Gista menarik napas dalam-dalam, dadanya sesak seolah menahan badai yang bergelora di hati. Ia ingin berbicara, tapi kata-kata membeku di kerongkongan. Dulu, dialah yang memilih pergi, meninggalkan Adrian saat pria itu terjatuh paling dalam. Sekarang, melihatnya berdiri tegak dengan sabar dan tanggung jawab, penyesalannya terasa makin tajam, seperti jurang yang sulit dijembatani.

"Nevan..." suara Adrian terdengar lembut saat ia berlutut kembali, tangan memegang erat pundak kecil putranya. "Ayah harus pamit, ya. Tapi Ayah janji, besok Ayah telepon kamu, dan minggu depan kita main ke taman, ya?"

Nevan diam, tapi akhirnya mengangguk perlahan. "Ayah janji, ya?"

"Janji," jawab Adrian sambil menyentuh jari kelingking Nevan, mengaitkannya.

Akhirnya, Adrian berdiri pelan dan melangkah menuju pintu. Saat hendak melangkah keluar, ia menoleh sesaat ke arah Gista. Tatapan matanya tenang, tapi menyimpan sesuatu yang sulit dibaca—seolah menyembunyikan kata-kata yang tak mampu terucap. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan kesunyian yang berat.

Di dalam rumah, Gista berdiri kaku. Tangan ibunya menggenggam lengannya erat-erat. "Kamu masih sayang Adrian, Ta?" bisik Rika lembut, hati-hati.

Gista tak menjawab, namun tatapan matanya yang redup sudah menjelaskan segalanya.

Sementara itu, Adrian menaiki mobilnya dengan napas yang sesak. Terlalu lama berada di rumah orang tua Gista membuat dadanya terasa penuh tekanan. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Di layar terpampang nama Olivia. Sebuah senyum ringan muncul di wajah Adrian sebelum ia mengangkat telepon.

"Halo, Via?" sapanya hangat.

"Om, di mana?" suara Olivia ceria menyusup ke telinga.

"Di jalan, mau pulang. Kenapa?"

"Oke. Aku sudah siapin makan malam sebagai ucapan terima kasih, ya. Jadi cepat sampai rumah, Via tunggu!"

"Siap! Satu jam lagi aku sampai."

"Oke, Via tunggu!" Olivia mengakhiri dengan nada penuh semangat.

Adrian menginjak pedal gas lebih dalam. Suara Olivia tadi entah mengapa mengalirkan ketenangan dalam dadanya, memantik sesuatu yang hangat dan menenangkan. Tanpa dia sadari, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai tumbuh untuk Olivia.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 46. Pagi Yang Sendu Di Kolam Renang

    Olivia membiarkan ujung kakinya menari-nari di permukaan air. Cahaya matahari pukul enam pagi memantul halus di atas permukaan kolam, membuat air tampak seperti kaca biru yang berkilau. Hembusan angin membawa aroma dedaunan basah. Sabtu yang tenang. Sabtu yang bikin siapa pun ingin melompat ke air tanpa pikir panjang.Bikini hitamnya mulai basah terciprat setiap kali ia menggerakkan kaki. Titik-titik air menempel di kulit pahanya seperti butiran kaca kecil.Suara pintu geser terdengar dari belakang.Olivia menoleh, rambutnya yang lurus bergeser lembut di bahunya.Adrian berdiri di teras belakang dengan piyama biru kusut dan wajah kantuk yang belum sepenuhnya pergi. Senyum mengembang di wajahnya seperti senyum malas yang hanya muncul ketika bangun tidur.“Kamu kok nggak ngajakin aku?” katanya sambil berkacak pinggang. “Mau berenang sendirian?”Olivia tertawa kecil. “Sebenarnya aku nggak niat berenang, Mas. Tadi aku minum teh hangat sambil lihat kolam. Airnya kayak manggil-manggil. Aku

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 45. Nevan Merajuk.

    Adrian menurunkan kacamatanya yang sedikit melorot, menjepit gagangnya di antara jari telunjuk dan ibu jari. Layar laptop di depannya menampilkan deretan tab wedding organizer lain—semuanya terbuka karena satu alasan: ia ingin menjauh sejauh mungkin dari Blissful Wedding. Setiap melihat nama itu, dadanya seperti mengencang lagi, mengingat kepanikan dan rasa tak percaya yang ia rasakan saat teh yang ia minum kemarin mendadak membuat tubuhnya terasa aneh dan berakhir dengan tidur bersama Olivia.Ia mengusap pelipis. "Sial, kenapa kepikiran Celia lagi."Ketukan pelan pada pintu ruangan, mengusik pikirannya.“Siapa?!” Suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.“Renata, Pak!” seru suara yang sudah tidak asing di telinganya.“Oh. Masuk aja! Ada apa, Ren?”Pintu terbuka pelan, Renata masuk dengan senyum yang terlihat ragu. “Pak, ada Mas Hadi dari Blissful Wedding. Mau ketemu langsung dengan Bapak. Saya sudah bilang Bapak sedang sibuk, tapi … sepertinya beliau nggak akan pergi sebel

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 44. Hasutan Gista.

    Di dalam kamar yang diterangi cahaya matahari lembut, Olivia duduk di tepi ranjang sambil memandangi foto lama ayahnya. Foto itu sudah sedikit pudar di beberapa sisi, namun tetap menyimpan banyak hal yang tak pernah terjawab. Ia menyapunya perlahan dengan ujung jarinya, seperti mencoba menghapus jarak bertahun-tahun yang terlewat. Sejak kecil ia sering bertanya-tanya, Kenapa tidak ada satu pun fotonya di rumah? Jawaban itu baru benar-benar ia mengerti setelah dewasa: ayahnya meninggalkan ibunya, dan ibunya lebih memilih menyingkirkan semua jejak yang bisa membuat luka itu terulang. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Adrian muncul di ambangnya dengan senyum lebar, langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi Olivia yang mengerut pilu. Senyumnya meredup, berganti khawatir. Tapi begitu tatapannya jatuh ke foto di pangkuan gadis itu, ia menghela napas pelan. Mengerti. Pria tampan itu mendekat, duduk di sampingnya. Permukaan kasur amblas sedikit menandakan berat tubuhnya. Tangannya terul

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 43. Bantuan Olivia (21++)

    Setelah selama hampir dua jam berkendara menembus kemacetan dengan gelisah dan merasa tubuhnya mendapatkan energi yang berlebihan, Adrian akhirnya menginjakkan kaki di bawah carport rumahnya. Tepat di depan pintu ruang tamu, Olivia telah menantinya dengan tatapan manis karena baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk kekasihnya itu."Kamu kok tau banget sih aku udah selesai masak?" tanya Olivia, mendekati Adrian yang tampak berkeringat.Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Adrian langsung berlari mendekati Olivia, memegang tangannya dengan cepat dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Eee... tunggu, Mas. Buru-buru amat! Kamu udah kelaparan?" taya Olivia, kebingungan.Adrian, dengan napas yang terengah-engah dan kepanikan di wajahnya, buru-buru menjawab, "Kamu harus tolong aku, Sayang!""Tolong apa?" Olivia mempertanyakan, semakin bingung dengan situasi yang semakin tidak jelas."Aku, aku kepanasan, Sayang! Ada... ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Aku seperti butuh... pel

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 42. Jebakan Celia.

    Celia menatap pantulan dirinya di cermin toilet kantor Blissful Wedding Organizer. Cahaya lampu putih di atas kepalanya membuat kulitnya tampak lebih halus, lebih bercahaya—seolah ia sedang menyiapkan wajah untuk sebuah pertunjukan.Bibirnya terkatup rapat saat ia menggoreskan lipstik merah merona dengan presisi. Warna yang sengaja ia pilih: tegas, berani, dan tak mungkin diabaikan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai lembut di bahu, bergelombang natural seakan tanpa usaha, padahal ia sudah menghabiskan lima belas menit meluruskannya ulang.Perempuan bertubuh tinggi itu menarik bagian kerah tanktop putihnya sedikit ke bawah hingga sesuatu yang bulat mengintip sebelum kembali menyelimuti tubuhnya dengan blazer biru muda yang anggun. Tampak profesional, namun tetap menggoda. Keseimbangan yang ia cari.“Perfect…” bisiknya sambil mengamati dirinya dari samping. “Adrian pasti tergoda melihat susu yang besar ini.”Meski cara yang dipakai Celia mungkin kotor, namun hatinya tetap berdebar.

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 41. Hukuman Nikmat.

    Olivia membeku sejenak. "L-lebih, Mas?" tanyanya dengan ragu, seolah setengah takut akan jawaban yang akan ia dengar.Adrian menatapnya dalam, tatapannya begitu pekat hingga membuat dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua. "Iya, Sayang," bisiknya pelan, suaranya berat namun lembut, "Hukuman yang lebih, karena kamu nakal."Belum sempat Olivia menyusun kata, jemari hangat Adrian menyusuri pipinya perlahan, seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahnya. Sentuhan itu turun ke leher, membuat bulu halus di sekitar tubuhnya meremang, lalu meluncur lembut ke lengan Olivia yang masih terangkat di atas kepala.Jantung Olivia berdebar tak terkendali. Sorot mata Adrian membuatnya semakin tak kuasa, seolah pria itu tengah menikmati setiap detik posisinya yang pasrah."Mas..." panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan."Hmm, apa?" Adrian menunduk sedikit, wajah mereka kian dekat."Please jangan siksa aku," bisiknya lagi, matanya bergetar menahan harap.Adrian tersenyum samar, penuh rahasia.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status