MasukPintu klinik terbuka dengan hentakan keras.
Adrian masuk tergesa, napasnya terengah sambil menggendong Olivia yang tubuhnya terasa makin lemas di pelukannya. "Dokter! Tolong! Pasien alergi makanan laut—sulit bernapas!" suaranya bergetar, panik menghimpit dadanya. Suasana klinik yang sebelumnya tenang mendadak berubah mencekam. Seorang perawat bergegas ke dalam, memanggil tim medis. "Unit Gawat Darurat! Ada pasien anafilaksis!" katanya tegas. Tak lama, dua petugas dengan ranjang dorong mendekat. Adrian dengan hati-hati memindahkan Olivia ke ranjang itu, tetapi jemarinya enggan lepas, masih mencengkeram erat. Wajah Olivia putih sekali, bibirnya bergetar, napasnya tersengal dan tak beraturan. Tangannya yang kecil bergetar lemah di udara. Dokter jaga segera menyodorkan masker oksigen, sambil bertanya dengan cepat, "Apakah pasien pernah punya riwayat alergi?" Adrian menggeleng, wajahnya bingung dan cemas. "Saya... saya nggak tahu, Dok. Dia nggak pernah cerita soal alergi. Ini pertama kalinya saya lihat." Dokter tak membuang waktu. "Segera suntik adrenalin! Monitor tekanan darah dan saturasi!" "Baik, Dokter!" Ranjang Olivia dengan cepat di dorong masuk ke dalam ruangan kecil yang menyerupai IGD di klinik besar tersebut. Adrian berdiri membeku, matanya tak lepas dari sosok Olivia yang ditangani dengan cepat oleh tim medis. Tubuhnya tergeletak, tangan perawat gesit mengikat infus dan memasang alat bantu napas. Tiba-tiba tirai putih ditarik rapat, menghalangi pandang Adrian. "Suster, dia akan baik-baik saja, kan?" suaranya bergetar, kepala terasa penuh oleh tanya dan takut. Seorang perawat yang bersiap menutup pintu, menatapnya lembut sambil mengangkat jari, "Sabar, Pak. Kami lakukan yang terbaik. Bapak tunggu dulu sambil urus administrasi, ya." Adrian mengangguk tanpa sepenuh hati, langkahnya berat menuju meja pendaftaran. Setelah mengisi formulir, dia terduduk, tangan mengepal di pangkuan. Klinik yang besar dan luas itu mendadak terasa pengap. suara batuk dan tangisan anak-anak yang saling tumpang tindih terasa menggerogoti ketenangan. Detik demi detik berjalan lambat, harapan dan rasa cemas menusuk di dadanya. Setengah jam berlalu, pintu ruang tindakan terbuka pelan. Dokter muncul dengan wajah serius. Adrian langsung bangkit dan berlari, napasnya terasa lega untuk pertama kalinya sejak tadi. "Bagaimana Olivia, Dokter?" tanyanya penuh harap. Dokter menghela napas lega. "Pasien sudah lebih stabil. Kami beri adrenalin dan antihistamin. Reaksinya memang berat, tapi beruntung Anda cepat membawanya. Sekarang dia dalam pengawasan intensif." "Saya boleh masuk?" suara Adrian serak, menahan segala ketakutan yang baru saja mereda. "Silakan. Tapi pelan-pelan. Dia masih sedikit lemah." "Baik, Dokter." "Saya periksa kembali setengah jam lagi. Jika kondisinya sudah stabil. Pasien bisa dipulangkan sore ini, tapi tetap harus istirahat total satu atau dua hari. Kami beri resep antihistamin dan inhaler ringan untuk berjaga-jaga." "Baik, Dokter. Saya masuk dulu." Dokter hanya mengangguk kecil. Adrian melangkah masuk dengan hati-hati. Tirai putih itu terayun pelan saat ia membuka, memperlihatkan Olivia yang terbaring lemah dengan selimut menutupi tubuhnya. Masker oksigen sudah dilepas, diganti dengan selang tipis di hidung. Pucat masih membayang di wajahnya, tapi matanya kini terbuka penuh. "Via..." panggil Adrian pelan, dadanya sesak cemas. Matanya tak lepas menatap perempuan di ranjang itu. Olivia mengangkat sedikit bibirnya, suara nyaris tak terdengar, "Om..." Adrian membalas senyum kecil itu dan duduk di sampingnya. Tangannya meraih jemari Olivia yang dingin, tapi setidaknya kini tak lagi gemetar. "Gimana kondisi kamu? Kok kamu nggak pernah bilang soal alergi ini?" suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran. Olivia hanya menggeleng pelan. "Maaf, Om. Alergi ini sudah lama nggak kambuh. Aku kira nggak bakal masalah. Aku sampai lupa punya alergi ini." Adrian menghela napas, matanya menatap dalam-dalam. "Aku minta maaf juga, harusnya aku lebih jaga kamu. Apa ada hal lain yang harus aku tahu, Via?" Senyum tipis merekah di bibir Olivia. "Itu saja, Om. Makasih, ya. Tadi Om seperti superhero beneran. Maaf aku udah bikin panik, Om." Adrian menggeleng pelan, senyum tipis menghiasi bibirnya, dada terasa sedikit lega. "Nggak usah minta maaf. Aku malah senang bisa jaga kamu, walau caranya agak dramatis." Olivia menahan napas, lalu melepasnya pelan. "Dramatis banget..." gumamnya sambil senyum tipis mengembang di wajahnya. "Kalau Om telat lima menit aja bawa aku ke klinik ini, mungkin a—" "Kamu nggak boleh ngomong gitu. Jangan bikin aku ulang rasa takut itu." Adrian cepat memotong dengan suara lembut tapi tegas. Matanya menatap tajam, tapi penuh kepedulian. Diam sejenak, mereka saling bertatapan—keheningan yang hangat terasa menenangkan. Adrian tanpa sadar mengelus punggung tangan Olivia dengan ibu jarinya, sentuhan kecil yang lebih dari perhatian seorang ayah tiri pada putri mendiang istrinya dan hal itu tidak disadari Olivia. "Berarti sekarang aku harus jaga kamu lebih ketat. Termasuk dari nasi goreng ebi yang mencurigakan itu." Olivia tersenyum miris, nada suaranya ringan tapi penuh candaan, "Sepertinya Bik Surti bakal takut banget liat Om habis ini…" "Udah, Bik Surti urusan belakangan," ucap Adrian ringan. Olivia tertawa kecil. Tawa yang pelan tapi terasa hangat di telinga Adrian. *** Setelah dokter menyatakan kondisinya stabil, perawat masuk ke ruang IGD klinik, sambil membawa kantong plastik berisi obat yang harus dikonsumsi Olivia. "Pasien boleh pulang sekarang. Obatnya sudah ditebus, ya. Tolong dihabiskan, Mbak. Jangan lupa kontrol lagi kalau gejala muncul kembali," ucap perawat sambil tersenyum ramah. Olivia hanya mengangguk pelan, matanya masih tampak lelah. Adrian cepat meraih kantong obat itu dan merunduk membantu Olivia bangkit dari tempat tidur. "Pelan-pelan, ya. Kalau kamu masih lemas, aku bisa gendong lagi," katanya lembut. "Aku sebenarnya bisa, hanya butuh pegangan aja, Om." Dia turun perlahan sambil berpegangan erat pada lengan Adrian, dan terkejut sedikit saat merasakan otot bisepnya yang kencang dan hangat di bawah tangannya. Adrian memegang kantong obat dengan satu tangan, satu tangan lainnya tetap menopang Olivia. Keduanya berjalan pelan ke pintu keluar klinik, langkah kaki mereka terdengar berat dalam keheningan sore itu. Sesampainya di depan mobil, Olivia membuka pintu perlahan. "Hati-hati, Via. Kamu yakin bisa?" tanya Adrian, matanya penuh perhatian. Olivia tersenyum tipis, "Iya, Om. Bisa." Adrian mengangguk perlahan, langsung menuju ke balik kemudi. Olivia duduk di kursi penumpang, tubuhnya merosot lemah ke sandaran jok, kantong obat tergeletak rapi di pangkuan. Udara dingin dari pendingin mobil mengalir sejuk, membuatnya sedikit lebih nyaman di tengah rasa lelah yang masih menyelimuti. Adrian mulai mengemudi dengan kecepatan pelan, matanya sesekali melirik ke arah Olivia yang duduk di samping. Ia mengulurkan sebotol air mineral kecil yang sudah disiapkan, sambil berkata pelan, "Minum dulu obatnya. Yang satu ini antihistamin, yang ini buat mencegah kambuh." "Baik, Om." "Pelan-pelan aja." "Iya, Om," Olivia mengangguk. Tak lama dia menelan obat di tangannya. Raut wajahnya masih lelah, tapi jauh lebih baik dari beberapa jam lalu. "Aku beneran bikin repot ya, Om?" suaranya mengandung sedikit rasa bersalah. Adrian tak langsung menanggapi, matanya tetap menatap jalan dengan serius, lalu dengan suara lembut tapi tegas ia berkata, "Udah kubilang jangan ngomong kayak gitu. Kalau kamu repot, aku rela repot terus." Mata Olivia terus mencuri pandang ke wajah Adrian dari samping, mencoba menangkap sesuatu yang berbeda dari pria tampan di sebelahnya. Tatapan Adrian tampak lebih dalam, tak sekadar basa-basi seperti biasanya, dan nada suaranya mengandung getar yang sulit dia mengerti. Entah ini hanya perasaan dia saja atau memang Adrian berubah. Tiba-tiba, dering ponsel di sistem mobil memecah keheningan. Gista – calling... Adrian menghela napas tipis, jemarinya ragu menekan tombol hands-free. "Halo?" "Halo, Mas Adri. Maaf ganggu. Aku cuma mau kasih kabar, Nevan beberapa hari ini kondisinya stabil. Tadi sempat tidur sambil berkeringat, sekarang sedang mandi mandi, habis ini mau makan. Kalau bisa, kamu datang langsung, dia kangen banget sama kamu. Dari kemarin tanya kamu terus, Mas." Adrian menjawab pelan, "Syukurlah. Nanti aku kabari kalau ingin bertemu." "Kamu mau bicara sama Nevan?" "Boleh." "Eh, tapi Kamu lagi di luar?" suara Gista terdengar ingin tahu. "Iya. Lagi di jalan. Habis urus sesuatu." "Oh. Ya udah, aku telpon lagi aja kalau kamu udah di rumah. Hati-hati di jalan, Mas." "Ya, Gista." Klik. Telepon terputus, tapi ruang mobil terasa lebih hening dari sebelumnya. Olivia menatap lurus ke jalan yang berkelok di depan, bibirnya diam tanpa suara, tidak berkomentar. Namun pikirannya berputar: siapa Gista? Dan, siapa Nevan? Banyak hal yang belum dia ketahui tentang Adrian karena ibunya sendiri sebelumnya merahasiakan hubungan mereka darinya. "Kamu mikir apa?" Adrian menyentak, suara beratnya menembus keheningan. Olivia hanya menggeleng pelan, matanya masih terfokus ke jendela. "Nggak, cuma ... rasanya hari ini terlalu ramai buat tubuh yang lemah begini." Adrian terkekeh. "Berarti malam ini kamu istirahat total. Aku masakin bubur." Olivia menoleh cepat. "Om bisa masak?" Adrian pura-pura tersinggung. "Hei. Restoran itu bukan cuma hiasan. Aku pernah juara nasi goreng kelurahan waktu kecil." Olivia tertawa pelan, sambil menyandarkan kepala sedikit ke kursi. "Oke, Om Adrian, aku akan jadi juri untuk kemampuan masak Om malam ini." "Deal!" Mobil mereka terus melaju di bawah sinar senja yang mulai menghangatkan kaca jendela. Adrian merasa lega karena berhasil melewati masa menegangkan tadi. *** Dapur rumah itu hangat, dipenuhi aroma bubur ayam yang mengepul lembut dari panci besar di atas kompor. Lampu gantung menggantung rendah di atas kitchen island, menerangi uap yang naik berputar pelan. Adrian berdiri tegak, celemek tergantung di lehernya, sesekali mengaduk bubur sambil menyesap kuah kaldu buatan tangannya sendiri dengan hati-hati. Matanya menatap jauh seolah menimbang setiap rasa yang masuk ke lidahnya. Di belakangnya, Bik Surti mondar-mandir pelan, membersihkan meja makan yang sedikit berantakan. Wajahnya tampak ragu. Bik Surti sebenarnya ingin bertanya lebih jauh mengenai kondisi Olivia tapi dia terlalu malu bertanya pada Adrian atau Olivia langsung. Saat melihat Adrian fokus memasak, ia mengumpulkan keberanian lalu membuka suara, melipat lap tangan dengan suara lembut, "Bapak... repot-repot banget masak sendiri. Saya bisa, kok." Matanya sekilas menyapu panci, menahan keraguan yang tersimpan di dalamnya. Adrian menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis yang penuh pengertian. "Nggak apa-apa, Bik. Saya pengen masak sendiri. Ini resep yang sering saya buat waktu Nevan sakit." Bik Surti mengangguk pelan, tapi suaranya kembali keluar, lebih hati-hati dan terbungkus kekhawatiran, "Non Via masih lemah memangnya, Pak?" "Ya kamu liat aja sendiri." "Eum, saya liat memang sedikit lemah. Tapi kata dokter harus makan bubur?" "Apa perlu saya jawab pertanyaan kamu, Bik?" "Maaf Pak. Saya penasaran. Memang sih, Non Olivia kelihatannya lemah sekali tadi. Tapi ya, masa cuma gara-gara makan nasi goreng ebi, sampai segitunya? Kemarin-kemarin juga pernah saya kasih kerupuk ebi, nggak ada apa-apa." Adrian menghentikan gerakan mengaduknya. Matanya menatap Bik Surti dengan tajam, lalu ia meletakkan centong perlahan di tutup panci. Tubuhnya berbalik penuh ketegasan. "Bik Surti..." suaranya lirih tapi tegas. "Kalau kemarin-kemarin Olivia nggak kambuh, mungkin karena udangnya sedikit atau dia belum bereaksi. Tapi hari ini? Reaksinya hampir membuat dia kolaps." Bik Surti menunduk, suara kecilnya penuh penyesalan. "Maaf, Pak. Saya benar-benar nggak tahu Non Via alergi." Adrian mengangguk pelan, tidak ingin menambah beban perasaan itu. Namun nada suaranya masih mengandung peringatan. "Saya tahu Bibik bekerja dengan hati, tapi mulai sekarang, tolong lebih teliti soal makanan. Olivia baru di sini, masih beradaptasi. Jangan sampai rumah ini jadi tempat yang bikin dia merasa tidak aman." Bik Surti menghela napas, wajahnya tertunduk dalam—menerima tanggung jawab itu. Ia tidak menjawab langsung, hanya mengangguk perlahan, lalu beringsut keluar dapur sambil membawa kantong plastik berisi sampah yang akan dia buang ke tempat pembuangan. Setelah pintu dapur tertutup rapat, Adrian menghela napas dalam, matanya terpaku pada bubur yang perlahan mendidih. Tangannya tak henti mengaduk kaldu dan nasi yang mulai mengental, seolah sedang meracik harapan dari ketenangan. "Tenang, Olivia ... Aku akan jaga kamu lebih baik," gumamnya lirih. Sementara itu, di ruang keluarga, Olivia berbaring di sofa, tubuhnya diselimuti selimut tebal. Pucat di pipinya masih jelas terlihat, tapi telinganya menangkap samar-samar percakapan tadi di dapur. Untuk pertama kalinya, ada rasa hangat dan aman yang mengalir di hatinya, sebuah perlindungan yang tak pernah ia duga. Beberapa menit kemudian, Adrian muncul dengan nampan yang berisi semangkuk bubur ayam hangat, lengkap dengan suwiran ayam dan daun seledri segar. Uapnya mengepul, menebar aroma yang mengundang. Di samping mangkuk, ada cangkir teh hangat yang masih mengepulkan asap. "Bubur spesial ala Bapak Restoran," katanya sambil tersenyum ringan, meletakkan nampan di meja kecil di depan sofa. "Nggak pakai ebi. Aman, deh." Olivia menoleh, senyumnya perlahan merekah. "Jadi ini masakan Om sendiri?" "Yup. Dengan hati dan sedikit ancaman ke dapur," canda Adrian. Olivia terkekeh pelan. "Aku jadi merasa penting." "Kamu memang penting," jawab Adrian tanpa ragu, menatapnya lurus. Olivia terdiam. Di balik tubuhnya yang masih lemah, hatinya terasa hangat oleh perhatian tulus dari Adrian. Dan dia merasa rumah ini mulai terasa berbeda. Bersambung...Olivia membiarkan ujung kakinya menari-nari di permukaan air. Cahaya matahari pukul enam pagi memantul halus di atas permukaan kolam, membuat air tampak seperti kaca biru yang berkilau. Hembusan angin membawa aroma dedaunan basah. Sabtu yang tenang. Sabtu yang bikin siapa pun ingin melompat ke air tanpa pikir panjang.Bikini hitamnya mulai basah terciprat setiap kali ia menggerakkan kaki. Titik-titik air menempel di kulit pahanya seperti butiran kaca kecil.Suara pintu geser terdengar dari belakang.Olivia menoleh, rambutnya yang lurus bergeser lembut di bahunya.Adrian berdiri di teras belakang dengan piyama biru kusut dan wajah kantuk yang belum sepenuhnya pergi. Senyum mengembang di wajahnya seperti senyum malas yang hanya muncul ketika bangun tidur.“Kamu kok nggak ngajakin aku?” katanya sambil berkacak pinggang. “Mau berenang sendirian?”Olivia tertawa kecil. “Sebenarnya aku nggak niat berenang, Mas. Tadi aku minum teh hangat sambil lihat kolam. Airnya kayak manggil-manggil. Aku
Adrian menurunkan kacamatanya yang sedikit melorot, menjepit gagangnya di antara jari telunjuk dan ibu jari. Layar laptop di depannya menampilkan deretan tab wedding organizer lain—semuanya terbuka karena satu alasan: ia ingin menjauh sejauh mungkin dari Blissful Wedding. Setiap melihat nama itu, dadanya seperti mengencang lagi, mengingat kepanikan dan rasa tak percaya yang ia rasakan saat teh yang ia minum kemarin mendadak membuat tubuhnya terasa aneh dan berakhir dengan tidur bersama Olivia.Ia mengusap pelipis. "Sial, kenapa kepikiran Celia lagi."Ketukan pelan pada pintu ruangan, mengusik pikirannya.“Siapa?!” Suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.“Renata, Pak!” seru suara yang sudah tidak asing di telinganya.“Oh. Masuk aja! Ada apa, Ren?”Pintu terbuka pelan, Renata masuk dengan senyum yang terlihat ragu. “Pak, ada Mas Hadi dari Blissful Wedding. Mau ketemu langsung dengan Bapak. Saya sudah bilang Bapak sedang sibuk, tapi … sepertinya beliau nggak akan pergi sebel
Di dalam kamar yang diterangi cahaya matahari lembut, Olivia duduk di tepi ranjang sambil memandangi foto lama ayahnya. Foto itu sudah sedikit pudar di beberapa sisi, namun tetap menyimpan banyak hal yang tak pernah terjawab. Ia menyapunya perlahan dengan ujung jarinya, seperti mencoba menghapus jarak bertahun-tahun yang terlewat. Sejak kecil ia sering bertanya-tanya, Kenapa tidak ada satu pun fotonya di rumah? Jawaban itu baru benar-benar ia mengerti setelah dewasa: ayahnya meninggalkan ibunya, dan ibunya lebih memilih menyingkirkan semua jejak yang bisa membuat luka itu terulang. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Adrian muncul di ambangnya dengan senyum lebar, langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi Olivia yang mengerut pilu. Senyumnya meredup, berganti khawatir. Tapi begitu tatapannya jatuh ke foto di pangkuan gadis itu, ia menghela napas pelan. Mengerti. Pria tampan itu mendekat, duduk di sampingnya. Permukaan kasur amblas sedikit menandakan berat tubuhnya. Tangannya terul
Setelah selama hampir dua jam berkendara menembus kemacetan dengan gelisah dan merasa tubuhnya mendapatkan energi yang berlebihan, Adrian akhirnya menginjakkan kaki di bawah carport rumahnya. Tepat di depan pintu ruang tamu, Olivia telah menantinya dengan tatapan manis karena baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk kekasihnya itu."Kamu kok tau banget sih aku udah selesai masak?" tanya Olivia, mendekati Adrian yang tampak berkeringat.Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Adrian langsung berlari mendekati Olivia, memegang tangannya dengan cepat dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Eee... tunggu, Mas. Buru-buru amat! Kamu udah kelaparan?" taya Olivia, kebingungan.Adrian, dengan napas yang terengah-engah dan kepanikan di wajahnya, buru-buru menjawab, "Kamu harus tolong aku, Sayang!""Tolong apa?" Olivia mempertanyakan, semakin bingung dengan situasi yang semakin tidak jelas."Aku, aku kepanasan, Sayang! Ada... ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Aku seperti butuh... pel
Celia menatap pantulan dirinya di cermin toilet kantor Blissful Wedding Organizer. Cahaya lampu putih di atas kepalanya membuat kulitnya tampak lebih halus, lebih bercahaya—seolah ia sedang menyiapkan wajah untuk sebuah pertunjukan.Bibirnya terkatup rapat saat ia menggoreskan lipstik merah merona dengan presisi. Warna yang sengaja ia pilih: tegas, berani, dan tak mungkin diabaikan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai lembut di bahu, bergelombang natural seakan tanpa usaha, padahal ia sudah menghabiskan lima belas menit meluruskannya ulang.Perempuan bertubuh tinggi itu menarik bagian kerah tanktop putihnya sedikit ke bawah hingga sesuatu yang bulat mengintip sebelum kembali menyelimuti tubuhnya dengan blazer biru muda yang anggun. Tampak profesional, namun tetap menggoda. Keseimbangan yang ia cari.“Perfect…” bisiknya sambil mengamati dirinya dari samping. “Adrian pasti tergoda melihat susu yang besar ini.”Meski cara yang dipakai Celia mungkin kotor, namun hatinya tetap berdebar.
Olivia membeku sejenak. "L-lebih, Mas?" tanyanya dengan ragu, seolah setengah takut akan jawaban yang akan ia dengar.Adrian menatapnya dalam, tatapannya begitu pekat hingga membuat dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua. "Iya, Sayang," bisiknya pelan, suaranya berat namun lembut, "Hukuman yang lebih, karena kamu nakal."Belum sempat Olivia menyusun kata, jemari hangat Adrian menyusuri pipinya perlahan, seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahnya. Sentuhan itu turun ke leher, membuat bulu halus di sekitar tubuhnya meremang, lalu meluncur lembut ke lengan Olivia yang masih terangkat di atas kepala.Jantung Olivia berdebar tak terkendali. Sorot mata Adrian membuatnya semakin tak kuasa, seolah pria itu tengah menikmati setiap detik posisinya yang pasrah."Mas..." panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan."Hmm, apa?" Adrian menunduk sedikit, wajah mereka kian dekat."Please jangan siksa aku," bisiknya lagi, matanya bergetar menahan harap.Adrian tersenyum samar, penuh rahasia.







