Hal yang sedikit membuat Sophia terkejut adalah bahwa ternyata Albert memesankannya satu restoran sekaligus.
Sophia tidak mengira lelaki itu benar-benar melakukannya ketika seorang pelayan datang memberikannya salam sebagai Mrs. Raymond. Mendengar nada panggilan pelayan itu membuat Sophia merasa diolok-olok. Jadi dia tidak menyahut ataupun tersenyum seperti dirinya yang biasa.
Sophia dipersilakan untuk duduk, di sebuah meja yang telah diatur sedemikian rupa sehingga menampakkan kesan yang mewah dan romantis. Letaknya di samping jendela kaca besar yang langsung menyuguhkan pemandangan kota yang gemerlap.
Sekalipun begitu, Sophia merasa sedikit kecewa karena ternyata Albert belum datang.
Tipikalnya, pikir Sophia. Pasti sekarang dia tengah tenggelam di tumpukan kerjaannya.
Sophia menunggu.
Malam ini, dia hanya mengenakan gaun sederhana berwarna merah yang jatuh sampai bawah lututnya, berkerah cukup rendah, dan berlengan panjang yang terbuat dari brukat transparan. Sophia bahkan mengenakan makeup yang cukup tebal, sesuai untuk suasana malam, apalagi makan malam romantis seperti ini.
Walau Sophia yakin sekali bahwa mereka tidak akan melewatinya dengan hal-hal romantis. Sophia berjanji dia tidak akan mengulang kelakuannya ketika di mobil kemarin. Jika Albert ingin berbicara, maka mereka harus memilih topik yang tidak menyinggung sedikit pun perihal perasaan.
Orang-orang sering berkata Sophia tidak memiliki hati. Mungkin memang benar demikian.
Tapi Albert yang selingkuh, mengapa harus dirinya yang dikata-katai? Di mata Sophia, Albert jauh lebih tidak berperasaan.
Waktu berlalu begitu lambat. Sophia menunggu dan menunggu. Akan tetapi, Albert tidak juga datang.
Pelayan restoran itu telah datang kepadanya beberapa kali untuk menawarkan minum atau kudapan, tapi Sophia menolak dengan satu lambaian tangan.
Lama kelamaan, Sophia merasa lelah menunggu. Dia menopang wajahnya dengan siku di meja, menghadap jendela, menatap pemandangan membosankan di luar sana.
Bibir Sophia cemberut, matanya tampak lelah. Dia memblokir hatinya untuk merasakan apa pun, mengeraskannya. Albert mungkin saja telat karena ada pekerjaan yang tidak bisa ia tunda. Atau—Sophia tidak mau naif—lelaki itu tengah disibukkan lagi dengan selingkuhannya.
Di mana pun di antara dua itu, Sophia tidak akan memaafkannya. Bukannya lelaki itu memiliki ponsel? Ke mana otaknya yang cerdas pergi jika dia tidak bisa menggunakan ponsel untuk menghubungi Sophia dan mengabarinya tentang keterlambatannya untuk datang?
Sophia tiba-tiba saja ingin memeriksa halaman gosip. Dia melakukannya dan benar saja seperti dugaannya!
Sophia tertawa getir, mematikan ponselnya lagi.
Ternyata dia tidaklah sepenting itu. Ternyata apa yang terjadi di mobil kemarin tidak mengubah apa pun. Albert tetaplah Albert.
Pria itu tidak datang memenuhi janjinya untuk makan malam dengan sang istri karena tengah asyik check in ke hotel mewah bersama selingkuhannya.
Sophia semakin memberengut dan menggerutu dalam hati. Para pelayan di belakang sana pasti saat ini tengah mencemoohnya. Mereka semua mengenal Albert, dan kurang lebih pasti juga tahu tentang istri dan kehidupan rumah tangganya.
Pantulan wajah Sophia terpatri pada kaca jendela. Apa aku tidak cantik sama sekali? batinnya. Tapi segera menyadari jawabannya, bahwa dia cantik. Sophia mengulanginya berulang kali di kepala, bahwa dirinya memang cantik. Dia tidak akan membiarkan Albert membuatnya merasa tidak percaya diri dan mengubah dirinya menjadi orang lain lagi. Sophia lelah dengan kepura-puraan.
Dua jam berlalu, pria sialan itu tidak juga datang.
Sophia berada di ambang kemarahan yang dipenuhi kecewaan mendalam. Kenapa aku jadi ingin menangis? batinnya bertanya dengan gamang. Dasar cengeng! hardiknya pada diri sendiri dengan cepat sebelum dia benar-benar menuruti hatinya untuk menangis.
Sophia sudah bersiap untuk pergi ketika tiba-tiba saja seorang pria datang menghampirinya.
“Selamat malam, Nona Sophia.”
Sophia mendongak menatap pria rupawan itu, yang baru saja memanggilnya dengan sebutan Nona Sophia, bukan Mrs. Raymond seperti kebanyakan orang.
“Selamat malam,” jawab Sophia mencoba ramah, walau nada suaranya tetap terdengar sedikit ketus.
Pria rupawan itu tersenyum. “Apakah teman kencan Anda tidak datang?”
Sophia mengernyit. Apa yang pria ini coba lakukan?
“Sepertinya tidak. Bolehkah aku menemanimu untuk makan malam sebagai gantinya?”
Sophia belum sempat menolak ketika pria itu dengan seenaknya duduk di hadapannya, lalu memanggil pelayan.
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s