“Maaf, Sir, apa yang kau lakukan?” tanya Sophia dengan wajah datar.
Pria itu tersenyum. “Aku melihatmu duduk di sini sedari tadi. Wanita secantik dirimu, tidak sepantasnya dibiarkan menunggu.”
Raut wajah Sophia tidak berubah. Dia tidak ingin melayani omong kosong siapa pun sekarang. Jadi Sophia pun bangkit.
“Tunggu dulu!” cegah pria itu pada Sophia.
Sophia berhenti dan menghadapnya. “Sekali lagi, maaf, Sir. Tapi, aku benar-benar tidak butuh belas kasihanmu.”
Pria itu tersenyum lagi. “Miss Sophia, tidakkah kau mau bermain sedikit dengan seorang pria lain untuk membalas perlakuan suamimu ini?”
Sophia langsung terdiam, menatap pria itu lama. Ucapannya ternyata mampu menyentuh diri Sophia yang saat ini tengah goyah. Dia berpikir, ide itu tidak buruk juga.
Sophia pun duduk kembali, menatap pria murah senyum itu lagi.
Seoarang pelayan datang dan mereka pun memesan makan malam mereka.
“Namaku Daniel Mateo,” kata pria itu memperkenalkan diri.
“Kau tentunya sudah tahu siapa aku,” sahut Sophia dingin.
Daniel terkekeh. “Awalnya tidak, Miss. Tapi aku bertanya kepada pelayanku siapa wanita cantik yang baru saja memasuki restoran ini, dan dia memberitahuku namamu.”
Sophia mendengus pendek. “Dia tidak mungkin hanya memberitahumu namaku.”
“Benar,” jawab Daniel dengan senyum tidak enak.
“Tidak apa. Itu hal biasa,” kata Sophia dengan acuh.
“Itu tidak akan jadi hal biasa, Miss. Maafkan aku atas kelancangan pegawaiku.” Daniel meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
“Aku memaafkan pegawaimu. Tapi sepertinya, aku belum berpikir untuk memaafkan bos mereka.”
Daniel terkekeh renyah. “Aku benar-benar lancang, bukan? Aku minta maaf untuk itu, tapi melihatmu duduk di sini seorang diri, menunggu, benar-benar membuatku tidak tahan. Jadi sebagai bos yang baik, aku datang untuk memberi sedikit hiburan.”
Itu adalah lelucon yang cukup bagus, pikir Sophia sambil tersenyum tipis.
Mereka mengobrol tentang beberapa hal. Hal-hal yang tidak terlalu berarti dan hanya didominasi oleh Daniel seorang diri. Sophia lebih banyak mendengarkan dan menjawab sekenanya saja.
Bagi Sophia, Daniel Mateo—nama yang baru pertama kali dia dengar—adalah pria yang cukup rupawan. Sikapnya yang santai dan sangat ramah pasti membuatnya cukup bernilai di mata para perempuan. Namun, oleh karena itulah, dia bisa tahu bahwa Daniel Mateo … mungkin tidak ada bedanya dengan Albert.
Mereka sama-sama seorang casanova, bajingan elit yang bersembunyi di balik balutan jas rapi dan imej pria baik.
Tapi kehadiran Daniel sedikit mengurangi rasa jengkel Sophia karena Albert, maka Sophia menghargai tindakan lelaki itu dengan serta merta tidak langsung mengusirnya.
Tidak biasanya juga Sophia terlihat dengan seorang pria lain selain Albert. Bahkan semenjak menikah dengan Albert pun Sophia jarang terlihat lagi oleh kamera, tidak seperti ketika dia masih lajang dulu.
Sekarang, apakah media akan tahu dan memberitakan dirinya tengah bersama seorang pria lain? Mereka mungkin akan sedikit melebih-lebihkan dengan menulis pria misterius ini adalah selingkuhan Sophia.
Sophia terkekeh sendiri, bukan karena apa yang diucapkan oleh Daniel, namun apa yang tengah berkeliaran di kepalanya saat ini.
Tepat pada pukul sepuluh, mereka selesai menyantap hidangan penutup. Setelah meneguk habis gelas anggurnya, Sophia pun bangkit.
Mereka bersama-sama keluar dari restoran itu dan terhenti seketika di depan. Keduanya menatap sosok yang saat ini bersender di badan mobilnya, balik menatap mereka dengan tatapan tajam yang penuh penghakiman.
Sophia terkejut pada kehadiran Albert di sana, tapi dia tidak ingin menunjukkannya sedikit pun.
Albert mendekati mereka. Tatapannya yang tajam tidak lepas dari sosok Daniel. “Sophia, sepertinya makan malam kali ini tidak berjalan dengan cukup baik. Maafkan aku.”
Sophia menggeleng dengan senyuman manis. “Tidak apa-apa.”
Albert beralih menatap Sophia, lalu berkata dengan nada dingin, “Kita pulang.”
Sophia tidak membantah. Namun sebelum itu, dia menghadap Daniel dan tersenyum ramah kepada pria itu.
“Daniel, terima kasih untuk makan malam yang sempurna,” kata Sophia. Dia tidak membiarkan Daniel menjawab karena sedetik setelahnya Sophia berjinjit, mencium pipi Daniel singkat. Kemudian Sophia melambai dan masuk ke dalam mobil.
Albert diabaikan dalam keadaan terkejut, tidak percaya akan apa yang baru saja dilihatnya.
Dia menatap Daniel penuh peringatan untuk terakhir kali sebelum masuk ke dalam mobilnya dan duduk di samping Sophia di balik kemudi.
Albert mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalan raya. Sekalipun Sophia takut, tapi dia tidak berani mengutarakannya ataupun menunjukkannya. Dia tahu Albert marah, harga diri pria itu sebagai seorang suami mungkin tengah terusik. Namun Sophia tidak peduli. Itulah yang dia inginkan terjadi.
***
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s