"Kamu pantas mendapatkannya. Harusnya lebih dari itu."
"Maksudmu apa? Kau mengajakku ribut?" Luciana menatap tajam Victoria. Rahangnya mengeras saat melihat adik tirinya yang marah dan seolah siap melawannya. Tangan wanita itu masih memegangi pipinya yang bengkak. "Aku hanya memberimu pelajaran." "Pelajaran apa? Sepertinya kau jadi gila sekarang." "Gila?" Luciana tertawa sumbang. Matanya masih tertuju pada Victoria yang kini terlihat ngeri melihatnya. Lalu tiba-tiba, dia mendorong dan menekannya ke dinding. Tangannya menarik kasar kerah baju Victoria hingga wanita itu terkejut. Tawanya berhenti dan yang terlihat hanyalah kemarahan. "Aku tidak mengerti," bisik Luciana sambil menahan amarahnya. Suaranya sedikit tercekat saat dia bicara. Dadanya sakit. Sangat. "Kamu ini punya segalanya. Kamu cantik, pintar, kaya dan kamu juga punya suami yang sempurna." Ada kesedihan dalam nada suara Luciana saat mengatakannya. Kekecewaan dan kemarahan yang membuatnya benar-benar ingin mengamuk, tapi tidak bisa. Karena dia, dia menyayangi adik tirinya. Saat ibunya menikah dengan ayah Victoria, dia senang bukan kepalang karena mengetahui dirinya memiliki adik. Walau hanya adik tiri. Dia selalu menjaganya dan tidak mau ada yang menyakiti Victoria. Dia selalu berdiri paling depan saat adik tirinya disakiti. Luciana bahkan orang pertama yang mendukung mimpi Victoria jadi seorang model saat wanita itu menikah dengan Matthias dan sempat ditentang orang tuanya. Namun balasannya .... "Tapi kenapa ... kenapa kamu rebut suamiku, Victoria! Kenapa kamu meniduri Felix!" Cengkeraman tangan Luciana menguat pada kerah baju Victoria. Dia menariknya kasar. Meluapkan semua rasa sakit dan kecewanya pada adik tirinya, tak peduli Victoria kaget. "A-apa? Apa maksudmu?" Luciana melepaskan kerah baju Victoria dengan kasar, sampai wanita itu hendak jatuh. Dadanya naik turun. Dia terengah-engah. Matanya menatap nanar. "Aku melihatmu semalam. Di hotel dengan suamiku," ucapnya dengan suara tersendat. Rasanya Luciana seperti mengulang kembali ingatan menyakitkan kemarin, tapi dia tidak bisa menahan diri melihat sikap Victoria yang sama sekali tidak ada rasa bersalah. Hingga beberapa saat setelah Luciana mengatakan itu, keheningan terjadi. Victoria terdiam dan dia tidak tahu apa yang di pikirkan adik tirinya. Sampai keheningan itu dipecahkan oleh suara tawa. Tawa Victoria yang terdengar cukup keras. Reaksi di luar dugaan yang membuat pupil mata Luciana membesar. Keningnya berkerut dalam. Apa-apaan ini? "Jadi, kau sudah tahu? Ah, apa mungkin ... orang yang membuka pintu itu kau, ya?" Tawa geli masih menghiasi wajah Victoria saat Luciana mematung. Seluruh tubuhnya terasa dingin. Amarahnya lenyap, digantikan dengan rasa takut dan tak percaya. Dia ditertawakan. Victoria menertawakannya. "Apa boleh buat. Aku mengaku, aku memang melakukannya." Mata Luciana mengikuti gerak Victoria yang mendekat dan mengelilingi tubuhnya, sampai kemudian dia merasakan sentuhan di bahunya. Wanita itu menempelkan dirinya dan berbisik di telinganya. "Aku penasaran dan hanya ingin mencoba sesuatu yang baru. Maaf jika itu melukaimu. Lagi pula, sepertinya Felix lebih menyukaiku." Tubuh Luciana seketika menjadi kaku. Lututnya langsung lemas mendengar perkataan Victoria. Perkataan maaf yang keluar dari mulut wanita itu, bahkan terdengar seperti ejekan alih-alih penyesalan karena sudah mengkhianatinya dan merusak pernikahannya. Matanya berkaca-kaca. Dia menoleh ke arah Victoria yang kini berdiri di hadapannya lagi. Wanita ini benar-benar tidak merasa bersalah sedikit pun. Bagaimana bisa? Luciana merasa, air matanya akan tumpah detik itu juga. Dia hanya berdiri bengong tanpa tahu harus mengatakan apa. "Luciana, Victoria? Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Suara bariton milik Matthias, spontan membuat Luciana mengalihkan pandangan. Air matanya naik lagi ketika dia menemukan keberadaan iparnya yang melangkah mendekat. Pakaian formal yang rapi, rambut klimis dan sorot mata tegas dengan postur tubuh yang ideal. Matthias selalu tampil menawan seperti biasa. Seperti model pria dalam majalah. Bahkan meski pria itu sudah melihat perselingkuhan Victoria kemarin. Luciana tidak bisa menemukan lingkaran hitam di bawah mata atau matanya yang bengkak. Sangat jauh beda dibanding dirinya. "Victoria, kau masih di sini?" "Ah, aku akan pulang, tapi tidak sengaja malah bertemu dengan Luci. Aku tidak menyangka dia ada di sini. Jadi kami mengobrol sebentar. Iya kan?" Luciana melirik Victoria yang tersenyum sambil merangkul ramah bahunya. Dia tidak memahami sosok adik tirinya saat ini. Victoria berubah atau dia yang tidak tahu karakter adik tirinya sendiri? "Dia ada urusan denganku," ucap Matthias. Dia berhenti tepat di antara Victoria dan Luciana. Menarik lepas lengan istrinya dari bahu Luciana. "Apa itu? Apa aku boleh tahu?" Luciana spontan melirik Matthias. Dia bertanya-tanya, apakah Matthias akan mengatakan soal kemarin? Ketika mereka tidur bersama? Karena Luciana sendiri terlanjur kehilangan kata-kata sebelumnya. "Aku meminta bantuannya menyelesaikan beberapa tugas." Luciana dan Victoria, spontan terkesiap. Keduanya terlihat kaget dan bingung dengan jawaban Matthias. Jelas, semua itu karena Luciana sama sekali tidak sedang bekerja di perusahaan Matthias atau memiliki hubungan pekerjaan. Luciana hanya ibu rumah tangga biasa, setelah menikah dengan Felix. "Huh? Sejak kapan Luci bekerja denganmu? Kenapa aku bisa tidak tahu?" "Aku hanya minta tolong, karena dia memiliki pengalaman dan kudengar, hampir jadi manager." Mata Luciana berkedip ketika Matthias meliriknya. Alisnya berkerut bingung. Pria itu tahu tentangnya. Padahal mereka sebelumnya tidak begitu dekat. Sebelumnya, selalu ada jarak yang membentang jauh antara dia dan Matthias. Namun sekarang, rasanya jarak itu semakin memendek. "Ayo!" Sebelum Luciana bicara atau Victoria bertanya lebih lanjut, tangannya sudah ditarik oleh Matthias. Dia dibawa menyusuri lorong kantor pria itu, sebelum akhirnya ditarik masuk ke ruangannya. "Kenapa kamu selalu menarikku? Apa itu hobimu?" Luciana segera melepaskan tangan Matthias saat mereka sudah ada di ruangan pria itu. Ruang kerja yang tak hanya luas dan nyaman, tapi juga memberikan kesan mewah. Ada cukup banyak barang di sana. Matthias memberi isyarat agar Luciana duduk di sofa yang berada tidak terlalu jauh dari meja pria itu. "Lalu, kau ingin aku meninggalkanmu di sana? Kau terlihat seperti seekor kelinci yang akan dimangsa ular," seloroh Matthias yang melirik Luciana sekilas, lalu berjalan menuju mejanya. "Apa? Kelinci?" Luciana yang baru saja mendudukkan bokongnya, memekik tak percaya. Mata bulatnya terbuka dengan mulut yang menganga. Rona merah pun seketika menghiasi pipinya. Bagaimana Matthias bisa memberikan perumpamaan seperti itu? Apa dia terlihat sangat lemah di depan Victoria? Akan tetapi, saat dia sedang larut dalam lamunannya, suara berkas yang diletakkan di meja. Tepat di depannya hingga membuatnya terkejut. Dahinya spontan mengernyit. Dia mengangkat kepalanya. Menatap berkas itu dan Matthias bergantian dengan penuh tanya. "Kerjakan." "Apa? Tidak salah kamu menyuruhku?" Kerutan di dahi Luciana semakin dalam. Dia terkekeh bingung. "Aku bukan karyawanmu dan aku juga datang ke sini untuk—" "Untuk mengambil tas dan semua barangmu yang tertinggal kemarin? Aku tahu." "Lalu kenapa kamu menyuruhku mengerjakan ini?" Luciana melirik berkas itu dan membukanya. Itu seperti berkas administrasi. Mungkin ada rahasia perusahaan juga di dalamnya. "Orangku sedang pergi mengambil barangmu di rumah. Kebetulan pekerjaan sedang menumpuk dan kau ada di sini." Luciana menganga. Dia hanya bisa menatap Matthias yang duduk di depannya sambil menyilangkan kaki. "Jadi maksudmu, kamu berniat memanfaatkan waktu yang luang ini untuk membuatku bekerja?" "Kudengar kau pernah akan diangkat jadi manager. Aku hanya ingin tahu kemampuanmu." Matanya menyipit. Luciana sontak memerhatikan Matthias yang masih duduk dengan tenang. Masih dengan wajah datar tanpa ekspresi. Dia sedikit merasakan tekanan di bawah tatapan iparnya sendiri. Rasanya berbeda dari cara Matthias menatap saat ini dengan saat pria itu berada di atas tubuhnya kemarin. Tidak. Apa yang dia pikirkan? Luciana menggeleng cepat dan memilih menunduk. Dia meraih berkas itu karena merasa, bekerja lebih baik dari pada memandangi wajah Matthias yang selalu membuatnya hilang fokus. "Aku harap, ini ada bayarannya. Aku tidak mau bekerja gratis." "Tentu saja. Ada." Tak butuh waktu lama bagi Luciana untuk tenggelam dalam tumpukan berkas yang diberikan Matthias. Dia sibuk tanpa mau mengangkat kepala atau sekadar mencuri pandang pada iparnya. Tidak pula menyadari jika Matthias masih duduk santai sembari memerhatikannya. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Memperlihatkan senyum tipis di sana. Sampai ponsel Matthias tiba-tiba berbunyi. Notifikasi pesan muncul di sana. Pesan dari orang kepercayaannya. "Pak, tas yang Anda maksud, sudah saya ambil. Apa benar saya boleh kembali setelah dua jam?"Luciana mengerang gelisah dalam tidurnya. Dia merasakan sakit kepala dan sensasi mual yang teramat sangat, hingga matanya terbuka seketika. Dia belum sempat memikirkan apa pun ketika tubuhnya bergerak secara refleks mencari kamar mandi dan muntah di sana. Rasa pusing dan sakit kepala yang hebat, membuatnya benar-benar kesulitan. Suaranya yang tidak berhenti, berhasil mengganggu tidur Matthias. Dia membuka matanya dengan terpaksa dan mengernyit ketika mendengar suara seseorang yang muntah-muntah. Matthias mengumpulkan kesadarannya dan menoleh ke samping. Ketika akhirnya dia segera mengingat semuanya dan terkejut menyadari Luciana tidak ada di sampingnya. Pikirannya terkoneksi pada suara di kamar mandi. Masih agak linglung, dia bangun dari ranjang dengan hanya memakai boxer. Berjalan tergesa-gesa ke dalam kamar mandi dan mendapati Luciana memang di sana."Luci, apa yang terjadi?" Wanita itu mengangkat wajahnya yang pucat. Matthias bisa Luciana tidak baik-baik saja. Seketika dia sad
"Luci? Apa yang sedang kau lakukan di sana?" tanya Matthias, segera setelah rasa kagetnya reda. Dia mendekat dan menyentuh bahunya, sampai sosok yang duduk di kursi dapur dengan rambut menjuntai itu menoleh. Menatapnya dengan penampilan yang sedikit kacau. Rambutnya berantakan. Air mata membasahi wajah, hidung itu memerah dan kesedihan luar biasa terlukis di sana. Itu jelas Luciana, tapi wanita itu tampak sedikit berbeda. Matthias mengernyit dan mengalihkan perhatiannya ke arah lain, sampai dia menemukan sebotol wine dan gelas sloki di meja. Dia tersentak. Itu adalah miliknya. Pandangannya kembali beralih pada wanita itu dengan mata menyipit. "Kau mabuk?"Tangisan yang tadi sempat terhenti, kini kembali terdengar. Lirih. Luciana tampak menggelengkan kepala dengan mata yang menatap sayu. "Aku tidak mabuk. Hanya minum sedikit."Alis Matthias terangkat. Ragu. Dia mengambil botol wine dan menyadari betapa ringannya. Boto itu jelas kosong. Refleks dia meletakkan lagi sembari mengurut p
"Uhuk! Jadi kau membawa iparmu itu ke apartemenmu? Kau benar-benar serius dengannya?"Matthias menenggak minumannya sembari menatap Mike yang terdesak setelah mendengar ceritanya. Mereka kini ada di salah satu bar setelah sebelumnya, dia pergi mencari orang yang bisa membantu mengurus perceraian Luciana dan Felix. Itu memakan waktu cukup lama, sampai dia kemudian baru bertemu dengan Mike sore harinya. Di sini, saat ini. Banyak hal yang mereka bahas, sampai tak terasa, hari mulai gelap. "Ya, aku serius.""Itu mengejutkan, Matthias. Ini benar-benar gila. Aku tidak menyangka kisah rumah tanggamu begitu rumit, tapi baguslah kalau sudah ketahuan." Mike mengangguk lega, meski dia terkejut setelah mendengar kisah perselingkuhan Victoria dengan suami Luciana. Itu diperumit dengan perasaan Matthias yang ternyata menyukai Luciana. "Tapi ... apa tidak terlalu kejam kau menunjukkannya langsung pada Luciana? Dia pasti sangat syok setelah melihatnya."Matthias diam sesaat. Teringat dengan Lucia
Keheningan menyelimuti perjalanan mereka yang entah ke mana. Luciana kini bersandar dan menatap jendela dengan wajah murung. Ada luka dan kekecewaan yang luar biasa dia rasakan saat ini. Hatinya perih. Sakit dan dadanya sesak. Air mata menetes tanpa sadar setelah tadi dia coba menahannya. Ini terlalu mengejutkan. Dia hanya ingin rasa lelahnya dibayar dengan pelukan hangat dan senyum sang suami. Memperbaiki semua dan memulainya dari awal, tapi malah dia melihat sesuatu yang tak pernah dia duga. Luciana hanya bisa terisak sekarang. Menahan rasa kesal karena kebodohannya sendiri. Sampai sebuah tangan terulur dan menyodorkan sapu tangan ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Matthias meliriknya. "Kau bisa menggunakannya. Menangislah sampai puas jika itu bisa membuatmu lega."Luciana meraih sapu tangan itu dan langsung menangis keras. Dia sesenggukan. "Aku benar-benar sangat bodoh. Aku memberinya kesempatan, tapi dia kembali mengkhianatiku. Aku menyesal percaya padanya."Luciana mengusap
Cincin emas sederhana yang pernah Felix sematkan di jarinya, kini menggelinding di lantai. Tepat di bawah kaki Felix yang terperangah. Wajah pria itu memucat. Menatap cincin dan wajah dingin Luciana bergantian. "L-luci, jangan bercanda. Aku tidak akan menceraikanmu, Sayang."Diambilnya cincin itu oleh Felix. Dia menatap nanar Luciana. "Aku masih sangat mencintaimu.""Cinta?" Luciana tertawa. Sinis. Dia melirik jijik pada Felix dan semua omong kosongnya. "Kau pikir aku akan percaya lagi dengan omong kosongmu? Mereka yang mencintai pasangannya, tidak akan pernah mengkhianatinya, dan kau ... kau sudah dua kali melakukannya!"Wajah Felix semakin ditekuk. Muram. "A-aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Luci. Aku tadi merasa mabuk. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Aku terbawa suasana begitu saja.""Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi, Felix." Luciana mendengkus tak peduli. Dia berbalik menghadap Matthias yang masih di sana dan menggenggam tangannya. "Ayo! Aku muak di sini.""Ya."Lu
Keheningan terjadi. Luciana kali ini menangkap basah perbuatan mesum suami dan adik tirinya. Dia tidak lagi menghindar seperti sebelumnya. Namun sialnya, melihat langsung adegan menjijikkan itu, matanya tiba-tiba memanas. Perih. Kedua tangannya mengepal. Mencoba berdiri dengan wajah tegak tanpa air mata, tapi... dia tidak bisa menahannya. Dia melihatnya langsung. Tubuh suaminya menempel dengan adiknya sendiri. "L-luci, aku bisa jelaskan!"Luciana menarik napas tajam ketika melihat Felix menarik diri dari tubuh Victoria yang bersandar di meja. Wanita itu terkesiap dan cairan menjijikan keduanya menetes, mengotori lantai dapur. Luciana ingin menjerit. Dia benar-benar ingin mengamuk dan melempari keduanya dengan apa pun, tapi tiba-tiba, matanya menjadi gelap. Dia refleks menyentuhnya dan menyadari itu adalah sepasang tangan yang menutup matanya. "Kau tidak perlu melihat hal yang menjijikkan dan mengotori matamu.""Matthias?"Luciana merasakan tubuhnya yang tegang, rileks perlahan.