Langit begitu cerah hari itu. Sinar matahari menyorot langsung ke arah orang-orang yang sibuk bekerja atau sekadar berjalan-jalan. Namun lain halnya dengan Luciana.
Akibat kejadian kemarin, dia sama sekali tidak merasa bergairah menjalani hari. Luciana terduduk tenang di kursi penumpang saat taksi yang dia pesan melaju di jalanan yang agak lengang. Raut wajahnya yang sedih dan muram masih menghiasi. Felix belum kembali dan dia tidak tahu ke mana. Luciana sendiri bingung dan tidak tahu harus bertindak apa. Cerai? Tidak. Itu adalah pilihan yang sulit. Bohong baginya jika Luciana mengatakan sudah tidak lagi mencintai suaminya setelah dikhianati. Kenyataannya, dia masih sangat mencintai Felix setelah semua terjadi. "Bu, apa kita akan pergi ke Sinclair Group?" Luciana yang sedang terbengong menatap jendela, seketika teralihkan oleh pertanyaan sopir taksi. "Iya, kita ke sana. Tolong lebih cepat." "Baik, Bu." Luciana menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap jalanan lewat jendela kaca di sebelahnya. Dia melihat banyak gedung pencakar langit. Kawasan perkantoran. Kantor Matthias sudah dekat. Dia sedikit tidak sabar dan berharap bisa bertemu Matthias untuk menanyakan soal ponsel dan semua barang-barangnya. Walaupun dia merasa agak ragu karena takut mengganggu pekerjaan pria itu. Hanya saja, ponselnya ada di sana dan dia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Betapa cerobohnya dia meninggalkan benda sepenting itu. Tarikan napas sesekali terdengar saat Luciana mengutuki kelakuannya. Dia jadi harus bertemu Matthias lagi setelah insiden kemarin. Luciana refleks memeluk dirinya saat tiba-tiba dia teringat sentuhan Matthias. Pipinya merona dan tubuhnya merinding. Rasanya masih begitu jelas, tapi dia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Menyadari jika tidak sepantasnya dia memikirkan itu. Apa yang dilakukannya salah. Itu jelas. Walau memang harus dia akui, itu berhasil membuat marah suaminya. Berhasil membalas rasa sakitnya. Namun di samping itu juga, dia menyadari kemarin dirinya bertindak tanpa memikirkan risiko. Dia terpengaruh begitu saja oleh ucapan Matthias. Luciana jadi sedikit menyesalinya. "Bu, kita sudah sampai." Mobil berhenti dan seruan sang sopir menyadarkan Luciana dari lamunannya. Dia mengangkat kepalanya dan melihat area gedung kantor. Rasa gugup tiba-tiba menyerangnya. Dia sampai harus menelan ludah beberapa kali untuk menyiapkan diri. "Terima kasih, Pak." Tangannya yang sedikit gemetar, membuka pintu mobil dan keluar segera. Namun Luciana tidak langsung masuk. Dia terdiam di depan gerbang sampai salah seorang security mendekatinya. "Maaf, Bu, Anda siapa? Ada urusan apa Anda ke sini?" Wajahnya asing. Sudah jelas karena Luciana bukan pekerja di sana dan hampir tidak pernah mengunjungi tempat itu. Setidaknya, itu terjadi dulu saat Victoria mengajaknya ke sini untuk menemui Matthias. Namun untungnya, dia menyimpan kartu nama iparnya. "Saya Luciana. Kakak ipar Matthias Sinclair. Saya ingin bertemu dengannya. Apakah dia ada?" "Pak Matthias Sinclair?" Security itu terdiam sesaat sambil memegang kartu nama Matthias yang diperlihatkan Luciana. Alisnya terangkat dan menatap ragu. Luciana meremas tangannya dan memantapkan diri. "Iya, dia. Kalau tidak bisa, tolong izinkan saya menitipkan pesan pada sekretarisnya. Ini sangat penting." Security itu masih diam. Luciana menunggu dengan cemas saat ditatap penuh penilaian. Dia refleks memerhatikan penampilannya sendiri yang sederhana. Hanya gaun biasa dan tanpa banyak riasan. Bahkan mungkin ... matanya sedikit bengkak efek dia menangis semalam. Luciana menyadari, dia berada di level yang berbeda dari Matthias, begitu juga dengan Victoria. Dia membosankan. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa Felix berpaling dan mengkhianatinya. "Baiklah. Ikuti saya!" Kecemasan yang sempat hadir, seketika langsung menghilang dalam sekejap saat Luciana mendengar perkataan security. Dia dipersilakan masuk, dan tentu, dia langsung mengikutinya tanpa banyak bicara. Security itu membawanya menuju meja resepsionis di area lobi. Luciana menunggu sembari memerhatikan ketika mereka bicara, sebelum dia kemudian dipanggil. "Nyonya, saya tidak yakin apakah Anda bisa bertemu dengan Pak Matthias, tapi saya akan coba menyambungkannya dengan sekretaris beliau." Luciana menghembuskan napas lega. Bibirnya tersenyum mendengar itu. Dia mengangguk cepat. "Ya, tidak apa-apa. Tolong sampaikan, Luciana datang untuk bertanya barangnya yang tertinggal di tempat Matthias." "Baik, Nyonya." Luciana menunggu. Dia membiarkan resepsionis itu menghubungi sekretaris Matthias. Berharap jika pesannya benar-benar disampaikan. Beberapa saat kemudian. "Nyonya, Anda diminta untuk langsung naik ke atas." "Langsung ke atas?" Luciana sedikit tercengang mendengarnya. "Iya, Pak Matthias kebetulan ada di ruangannya. Anda akan diantar olehnya." Pandangan Luciana beralih dari resepsionis pada security yang kini mendekatinya. Pria itu mengangguk dan memberi isyarat untuk mengikutinya. Luciana tidak punya pilihan lain selain mengikutinya masuk ke dalam lift. Kantor Matthias berada di lantai paling atas gedung itu. Luciana sudah mengetahuinya, meski dia agak lupa karena sudah terlalu lama tidak pernah ke sana lagi. Saat lift berdenting, mereka pun keluar. Dia mengekori security sembari mengingat setiap detail lorong dan lantai kantor Matthias. Namun saking seriusnya mengamati, Luciana tidak memerhatikan sekitar sampai tabrakan antara dirinya dengan seseorang, tak terhindarkan. "Aww!" Luciana tersentak saat bokongnya membentur lantai lebih dulu, lalu punggungnya. Dia terjengkang karena sepertinya benturan itu cukup kuat, tapi bukan hanya dirinya saja yang jatuh, orang yang bertabrakan dengannya juga. Luciana meringis sakit di bagian sikut yang menjadi penyangga saat dia jatuh. "Aduh, ya ampun! Sakit banget. Siapa sih yang nabrak! Tidak punya mata, ya?" "Nyonya Victoria, Anda baik-baik saja? Mari saya bantu!" Saat security sedang membantu Victoria untuk bangun, Luciana yang melihat kejadian itu justru malah terdiam. Menatap lekat adik tirinya yang membersihkan pakaiannya sementara security itu mengambil beberapa barang milik Victoria yang jatuh. Bagai sebuah ironi, kilas balik dan ingatan menyakitkan di kamar hotel, tiba-tiba berputar di kepala Luciana sekarang. Suara tawa yang dia dengar dan gaun tipis yang berceceran di lantai kamar hotel mustahil dia lupakan. Tangannya mengepal tanpa sadar. Luciana bangkit tanpa melepaskan pandangannya dari Victoria sedikit pun. Rasanya, darahnya seperti mendidih sekarang. "Cckk, kau kenapa diam saja? Harusnya kau minta—Luciana?" Luciana bergeming saat Victoria menatapnya kaget. Wanita itu tampak kebingungan dan mungkin masih mencerna situasi yang terjadi. "Jadi kau yang menabrakku? Apa yang kau lakukan di sini?" "Anda mengenalnya, Nyonya? Nyonya ini katanya mau bertemu dengan Pak Matthias." Luciana melirik sekilas security yang bertanya dan tampak keheranan karena Victoria mengenalnya. "Dia Kakakku. Bertemu Matthias? Kau ada urusan apa bertemu suamiku?" Luciana mendengkus. Dia sama sekali tidak tertarik menjawab rasa ingin tahu Victoria. Dia bahkan malas melihat wajahnya. Namun melihat reaksinya, dia menyadari kalau Victoria kemungkinan belum tahu jika dia dan Matthias sudah mengetahui perselingkuhannya. "Bukan urusanmu." Victoria tampak kaget dan menyipitkan matanya mendengar tanggapan Luciana. Dia lalu beralih pada security dan menyuruhnya segera pergi meninggalkan mereka. "Itu urusanku. Tidak biasanya kau datang ke tempat suamiku. Ada apa? Kenapa kau juga terlihat aneh? Kau bahkan tidak mau menatapku." "Karena aku muak melihat wajahmu. Jadi menyingkirlah sebelum aku memukulmu!" "Apa? Ada apa denganmu? Kenapa kau kasar seperti ini?" Luciana tidak menggubris pertanyaan Victoria. Dia pun hendak pergi dari sana, tapi sebelum dia bisa melewatinya, Victoria menggenggam tangannya. "Hei! Aku belum selesai bicara denganmu! Kau ini—" Sebelum Victoria bicara lebih lanjut, Luciana yang kepalang emosi, menarik tangannya dan melayangkan tamparan kuat di wajah adik tirinya. Tamparan itu sangat keras sampai wajah Victoria terlempar ke samping. Sudut bibirnya robek dan Luciana bisa melihat ekspresi syok di wajah adik tirinya yang kini menemukan darah. Ada tatapan ngeri dan takut di mata Victoria, tapi kemudian berubah jadi marah. Sementara Luciana masih tetap diam dengan kedua tangan mengepal. "Kau menamparku? Kau gila, ya?""Pak, tunggu, tidak. Tolong jangan batalkan kerja sama kita. Saya bisa jelaskan kalau itu hanya fitnah. Saya akan bereskan semuanya segera," ucap Richard pada seseorang di telepon. Dia duduk tegang sambil memijat pangkal hidungnya yang berdenyut sakit karena dua hari ini, banyak investor yang menarik diri dan kerja sama yang diputus secara sepihak. Semua itu imbas dari skandalnya yang kini telah beredar luas. Ditambah lagi berita perselingkuhan putrinya yang mencuat. Semua memperparah keadaan. "Maaf, Pak Richard, kami tetap tidak bisa melanjutkan kerja sama lagi. Ini sudah menjadi keputusan final. Kami harap Anda mengerti.""Pak, saya bisa jelas—"Perkataan Richard terputus saat panggilan itu diakhiri tanpa dia sempat bicara. Dia tidak dihargai sama sekali. "Sialan! Mereka pikir mereka itu siapa? Berani-beraninya memperlakukanku seperti ini."Richard mengumpat kesal. Dia meremas ponselnya. Menahan diri untuk tidak melemparnya sampai hancur. Kacau. Semuanya berantakan dan sekaran
Victoria berharap, dia akan aman di rumah manajernya untuk sementara. Sembari memikirkan rencana yang akan dia lakukan untuk menghindari polisi atau pun wartawan. Tidak ada cara lain selain menghindar. Namun, saat akhirnya tiba di halaman rumah manajernya, Victoria mendapati pemandangan tak terduga. Mobil polisi sudah terparkir di sana. Tak hanya satu, tapi dua. Wajahnya langsung pucat saat itu. "Apa-apaan ini!"Kepanikan melanda. Victoria jelas tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan dari posisinya saat ini, melalui jendela mobil dia melihat manajernya sedang dijaga ketat oleh pihak kepolisian. "Sialan! Kita pergi! Pergi dari sini, cepat!" teriak Victoria sambil mengguncang kursi sang sopir. Matanya melotot ketika beberapa polisi melangkah ke arah mobilnya, tapi bukannya pergi, mobil itu tetap diam dan membuat kepanikannya semakin menjadi. "HEI! KAU TULI! JALANKAN MOBILNYA!""Maaf, Nyonya, tidak bisa. Lebih baik Anda menyerahkan diri sekarang.""APA?!"Victoria kaget bukan m
Pagi itu, Victoria yang tak tahan lagi memilih untuk pergi menemui ayahnya di kediaman keluarga Laurent. Dia dikawal oleh pengawal Mattias, karena Victoria yakin para wartawan sudah menunggu di rumah ayahnya. Ayahnya jelas terjebak dan tidak ke mana-mana sejak skandal pelecehan itu mencuat ke publik. Victoria juga belum sempat menghubungi setelah menabrak Luciana kemarin. Di tengah perjalanan, ponsel Victoria tiba-tiba berdering. Manajernya menghubunginya. Dia berdecak melihat itu dan mengangkatnya sambil menggerutu. "Ada apa? Kau tidak tahu aku sibuk? Aku tidak punya waktu untuk ke tempat pemotretan sekarang.""Aku tahu, Victoria. Situasimu sedang gawat sekarang, tapi kita dalam masalah.""Masalah apa? Klien protes? Suruh mereka reschedule saja," jawabnya ketus dan terkesan acuh tak acuh. "Tidak bisa, mereka membatalkan kontrak dan menuntut ganti rugi atas apa yang terjadi." "Apa?"Victoria yang sedang bersandar, spontan menegakkan tubuhnya dan memekik kaget. Katanya melotot. "Ba
"Tuan, Anda harus keluar sekarang."Matthias menoleh ke arah perawat yang telah selesai dengan tugasnya. Lalu kembali melirik Luciana. Ada perasaan enggan dalam hatinya saat waktunya berada di sana sudah habis. "Tuan?""Tolong sebentar lagi, Sus," ucap Matthias, setengah memohon. "Lima menit lagi."Perawat itu menatap wajah Matthias yang tampak putus asa dan penuh kesedihan. Menimbulkan rasa kasihan yang akhirnya membuat dia mengangguk. "Baiklah. Lima menit, setelah itu Anda harus keluar.""Terima kasih."Senyum semringah mulai terlihat di bibir Matthias. Perhatiannya kembali tertuju pada Luciana. Meski tidak ada yang bisa dilakukannya selain menatap wanita itu, tapi lima menit yang diberikan terasa lebih berharga dari apa pun. "Luci ... maaf, aku tidak bisa menjagamu. Aku gagal melindungimu, tapi tolong ... jangan hukum aku seperti ini. Tolong bangun ...."Suara Matthias sedikit tersendat saat dia mencoba bicara. Berharap Luciana membuka mata dan melihatnya. Hanya itu harapannya. D
Di rumah sakit. Alexander, Arabella dan Genevieve menunggu di luar ruang ICU. Mereka menanti kedatangan Matthias yang belum kembali. Sementara Luciana masih belum sadar meski kondisinya membaik. "Bu, apa Kak Luciana akan bangun? Apa keponakanku tidak akan kenapa-kenapa? Aku harus minta maaf." Arabella memilih jari-jarinya dengan gugup. Rasa bersalah terlihat jelas di matanya. Kegelisahan belum sepenuhnya lenyap meski dokter telah memberitahu kalau semua baik-naik saja. "Jangan khawatir, Luciana pasti akan segera bangun. Ibu juga ingin minta maaf." Genevieve mengelus lengan putrinya. Memberikan sedikit semangat, meski dia sendiri masih khawatir. Kakinya perlahan mendekat ke arah jendela. Dia menatap Luciana yang terbaring di ranjang dengan alat yang terpasang di tubuhnya. Dokter bilang keduanya bisa bertahan, meski dia tetap khawatir karena kondisi janin Luciana yang lemah."Ibu! Ayah!"Genevieve tersentak. Dia menjauh dari kaca jendela dan menoleh secara bersamaan dengan Arabella
Victoria terdiam mendengar semua perkataan Matthias. Setengah percaya, setengah tidak, tapi dia jelas baru pertama kali mendengar Matthias bicara panjang lebar seperti ini. Tidak ada yang lebih membuatnya terkejut selain pengakuan suaminya yang menyentak kesadarannya. "K-kau bohong. Kau pasti bohong, Matthias. Kau tidak pernah berniat membangun keluarga denganku." Victoria tergagap. Dia menggelengkan kepalanya. Berusaha menyangkal. Walau dia harus mengakui, jika dia memang enggan hamil. Dia yang menolak ide itu. "Terserah kau percaya atau tidak. Semua juga sudah terlambat sekarang. Aku tidak berniat mempertahankan semuanya.""Tidak! Apanya yang terlambat? Aku tidak mau bercerai denganmu!"Victoria kembali mencengkeram erat tangan Matthias. Dia menggelengkan kepala. Menatap serius suaminya. "Matthias, jangan lakukan itu! Aku tidak mau cerai darimu.""Aku tidak peduli. Inilah jalan yang kau pilih sejak awal," balas Matthias dengan tak acuh. Dia menarik tangannya dan mengeraskan hatiny