Luciana sedang fokus. Dia mengerjakan semua berkas yang menumpuk di meja. Entah sudah berapa lama, dia tidak menghitungnya, tapi yang pasti, suara gelas yang diletakkan di sebelahnya, berhasil mengalihkan fokusnya.
"Minumlah." Mata Luciana berkedip. Dia menatap Matthias yang meletakkan gelas berisi cairan berwarna merah, lalu duduk sambil menyilangkan salah satu kaki. Memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan. Luciana pun meletakkan berkas yang sedang dia kerjakan dan mengambil gelas itu. Namun dia tidak langsung menenggaknya. Hidungnya mengendus minuman itu, sebelum kemudian melirik iparnya lagi sembari meletakkan gelasnya di tempat semula. "Maaf, aku tidak minum alkohol." "Itu hanya wine." "Tetap saja, itu alkohol." "Baiklah, kau mau apa?" Luciana berkedip saat melihat Matthias berdiri dan mengambil gelas wine itu. "Tunggu, kamu mau mengambilkan minum untuku?" "Ya, ada apa?" Ada apa? Itu adalah pertanyaan sederhana, tapi berhasil membuatnya melongo. Tidak pernah dia berpikir sedikit pun, seorang seperti Matthias akan menyiapkan minuman untuknya. Walau pikiran itu segera ditepisnya saat dia teringat dengan apa yang dilakukan Matthias kemarin. "Tidak usah. Maksudku, aku juga tidak akan lama di sini. Tidak perlu repot-repot. Aku tidak mau mengganggu waktumu." Luciana bermaksud baik. Dia tidak ingin membuat seorang direktur muda seperti Matthias harus menyajikan minuman, saat pria itu harusnya sibuk bekerja. Meski rasanya, dia baru menyadari jika Matthias sejak tadi tidak melakukan apa-apa dan hanya menemaninya. "Baiklah kalau tidak mau, tapi kau tidak merepotkanku dan maaf, sepertinya kau akan lebih lama di sini." "Huh? Apa maksudmu?" Luciana mengernyit bingung. Tidak mengerti kenapa Matthias bicara demikian, tapi kemudian, dia melihat pria itu duduk kembali sembari meletakkan gelas wine yang tadi dibawanya. "Orang yang kutugaskan membawa tasmu, sekarang terjebak macet. Mungkin akan datang sedikit lebih lama." "Macet?" Luciana merasa aneh dengan ucapan Matthias. Tadi dia datang tanpa ada masalah dan masih ada satu jam sebelum jam makan siang tiba. Apakah benar sudah macet saat ini? "Bagaimana bisa? Kurasa ini bukan jam para pekerja istirahat atau pulang." "Kudengar ada pohon tumbang yang menghalangi akses jalan utama." Luciana spontan terdiam dan berpikir. Tidak ada hujan badai semalam. Dia yakin itu, tapi pohon tumbang juga bisa terjadi karena faktor lain dan mustahil iparnya berbohong. "Baiklah, aku akan menunggu sampai orangmu datang," ucapnya sambil kembali fokus pada berkas di meja. Dia hampir menyelesaikan semuanya. Namun beberapa saat kemudian, dia tetap merasakan kehadiran Matthias. Duduk di depannya tanpa melakukan apa pun. Itu membuat Luciana spontan mengangkat kepalanya dan menangkap basah Matthias yang ternyata sedang memandangnya. Sayangnya, alih-alih pria itu merasa malu karena ketahuan sedang menatapnya, justru malah Luciana sendiri yang menjadi malu. Dia dengan cepat menunduk dan berusaha fokus pada pekerjaannya, meski dia jadi gugup sendiri. "Kenapa kamu diam saja di sana? Kenapa tidak bekerja?" "Pekerjaanku sudah selesai." "Huh?" Kepala Luciana terangkat. Dia berkedip saat menatap Matthias. Selesai? Alisnya berkerut dalam. Rasanya itu mustahil. Sebagai seorang direktur, harusnya Matthias sangatlah sibuk, tapi pria ini mengatakan tugasnya selesai? Terdengar seperti sebuah kebohongan. Namun jika berbohong, apa tujuan Matthias melakukannya? Dia menggeleng. Mengusir semua pertanyaan dan rasa ingin tahunya. Terserah pria itu. Dia tidak boleh terlalu banyak mencari tahu. "Itu mengejutkan. Seorang bos besar sepertimu ternyata memiliki waktu luang." Luciana berbasa-basi. "Tidak juga. Sebenarnya ada rapat saat ini, tapi kubatalkan." Luciana yang awalnya masih fokus menyelesaikan pekerjaan yang diminta Matthias, seketika terperangah. Dia menatap pria itu tak percaya. "Apa? Kenapa dibatalkan?" "Rapat itu tidak terlalu penting," ucap Matthias sambil terus menatap lekat Luciana. Hal tersebut pun, membuat Luciana merasa malu, tapi dia masih penasaran dengan jawaban iparnya. Seolah sepertinya, ada alasan lain yang lebih kuat selain 'tidak terlalu penting'. Namun dia tidak bisa menebaknya. Luciana memilih menyodorkan kertas yang telah selesai dia periksa karena tidak ingin terjebak dalam suasana canggung. "Aku hampir selesai. Kurasa kamu harus memeriksanya." Luciana melihat Matthias mengalihkan pandangan darinya pada tumpukan kertas yang dia sodorkan. Pria itu mengeceknya saat dia melanjutkan kembali pekerjaannya sambil sesekali meliriknya. Ada banyak pertanyaan dalam kepalanya soal iparnya ini. Dia masih penasaran apa yang dilakukan Matthias pada Victoria setelah apa yang terjadi kemarin. Apa pria ini benar-benar tidak mengatakan apa-apa pada Victoria? "Semuanya sempurna. Kemampuanmu memang tidak bisa diragukan." Suara berat milik Matthias, menyadarkan Luciana dari lamunan. Dia yang awalnya fokus pada hubungan ipar dan adik tirinya, kini teralihkan. Pujian sederhana itu membuat dadanya menghangat. Sampai senyum cerah kini menghiasi wajahnya yang sejak tadi terlihat murung. "Terima kasih. Aku senang bisa membantu. Aku akan menyelesaikan sisanya." "Kau tersenyum sekarang. Kau sepertinya senang dengan pekerjaan yang kuberikan." Luciana yang menjadi lebih bersemangat untuk mengerjakan semua berkas tersisa, seketika terdiam saat Matthias berkomentar. Senyumnya lenyap bersamaan dengan sebuah kesadaran yang muncul. Dia menatap lekat pria itu yang kini terlihat puas. Senang? Kata itu bagaikan sesuatu yang tidak mungkin ada dalam kondisinya yang menyedihkan saat ini, tapi harus Luciana akui, kalau Matthias tidak salah. Dia senang. Dia senang ada orang yang memuji pekerjaannya dan membuatnya berhasil mengalihkan perhatian dari masalahnya walau hanya sesaat. "Jangan bilang, kamu memintaku mengerjakan semua ini bukan untuk menguji kemampuanku? Tapi kamu ingin membuatku sibuk dan melupakan masalahku?" tebaknya yang berhasil menarik kesimpulan. Luciana menatap serius Matthias yang seperti biasa menunjukkan ekspresi tenang. Hingga tak disangka, pria itu berdiri. Keningnya sontak berkerut dan dia berpikir pria itu akan pergi, tapi ternyata Matthias malah mendekat dan duduk di sebelahnya. Dia kaget dan spontan hendak bangkit, tapi tangannya sudah lebih dulu digenggam. Kuat. Bahkan dia merasakan tarikan tangan Matthias, yang membuatnya terpaksa duduk kembali. "Lebih dari itu. Aku tahu kemampuanmu dan ingin menawarkan pekerjaan. Kau mau jadi asisten pribadiku?" Luciana terperangah. Dia berkedip beberapa kali. Memastikan apa yang didengarnya tidak salah. Matthias menawarkannya pekerjaan? Itu adalah hal yang lucu. Dia tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat setelah mendengarnya. Jelas semua itu karena dia kaget. Dia tahu perusahaan apa yang dimiliki keluarga Sinclair ini. Dia pernah bermimpi untuk berkarier di sana. Tapi .... Karena bujukan dari ibunya, dia akhirnya bekerja di perusahaan ayah tirinya. Membantu ayah tirinya, meski mimpinya untuk terus berkarier harus kandas setelah dia memilih menikah dengan Felix. Luciana memilih menjadi ibu rumah tangga dan fokus mengurus keluarga. "Kamu bercanda kan? Masih banyak orang yang kemampuannya di atasku." "Tidak, aku serius. Pekerjaanmu rapi." Luciana melihat keseriusan di mata Matthias. Pria ini jelas sungguh-sungguh dengan perkataannya, tapi dia terikat janji pada suaminya. Meski memang hubungan mereka sedang memburuk sekarang. "Aku tidak tahu, Matthias. Aku sudah memutuskan untuk tidak bekerja setelah menikah. Aku sudah berjanji dan tidak mungkin aku mengingkarinya." "Apa kau masih memikirkan pernikahanmu yang hancur itu?" Luciana terhenyak. Dia terkejut dan refleks mengepalkan tangannya. Menatap Matthias yang terlihat tidak senang, tapi ekspresi pria itu kembali datar. Hingga dia tidak mengerti kenapa iparnya berani mengatakan itu. "Jangan katakan itu." "Kau tidak sedang berpikir untuk kembali pada suamimu?" Kepalanya tertunduk. Luciana mendadak gelisah sendiri dengan pertanyaan Matthias. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa. "Matthias, aku tidak mau membicarakannya." "Kau bisa mendapatkan uang dan hidup di atas kakimu sendiri tanpa perlu khawatir apa pun. Kau bukan wanita lemah." Perasaan Luciana semakin campur aduk mendengar perkataan Matthias soal dirinya. Dia bisa melihat tatapan pria itu yang seolah berusaha mendukungnya. "Matthias—" "Tidak perlu menjawab sekarang. Aku akan memberimu waktu berpikir," potong Matthias, yang tidak memberi jeda bagi Luciana menolak. Menyadari iparnya sedikit memaksa, dia pun hanya bisa mengangguk. Memilih tidak lagi berdebat karena dia akan kalah. "Iya, aku akan memikirkannya.""Pak, tunggu, tidak. Tolong jangan batalkan kerja sama kita. Saya bisa jelaskan kalau itu hanya fitnah. Saya akan bereskan semuanya segera," ucap Richard pada seseorang di telepon. Dia duduk tegang sambil memijat pangkal hidungnya yang berdenyut sakit karena dua hari ini, banyak investor yang menarik diri dan kerja sama yang diputus secara sepihak. Semua itu imbas dari skandalnya yang kini telah beredar luas. Ditambah lagi berita perselingkuhan putrinya yang mencuat. Semua memperparah keadaan. "Maaf, Pak Richard, kami tetap tidak bisa melanjutkan kerja sama lagi. Ini sudah menjadi keputusan final. Kami harap Anda mengerti.""Pak, saya bisa jelas—"Perkataan Richard terputus saat panggilan itu diakhiri tanpa dia sempat bicara. Dia tidak dihargai sama sekali. "Sialan! Mereka pikir mereka itu siapa? Berani-beraninya memperlakukanku seperti ini."Richard mengumpat kesal. Dia meremas ponselnya. Menahan diri untuk tidak melemparnya sampai hancur. Kacau. Semuanya berantakan dan sekaran
Victoria berharap, dia akan aman di rumah manajernya untuk sementara. Sembari memikirkan rencana yang akan dia lakukan untuk menghindari polisi atau pun wartawan. Tidak ada cara lain selain menghindar. Namun, saat akhirnya tiba di halaman rumah manajernya, Victoria mendapati pemandangan tak terduga. Mobil polisi sudah terparkir di sana. Tak hanya satu, tapi dua. Wajahnya langsung pucat saat itu. "Apa-apaan ini!"Kepanikan melanda. Victoria jelas tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan dari posisinya saat ini, melalui jendela mobil dia melihat manajernya sedang dijaga ketat oleh pihak kepolisian. "Sialan! Kita pergi! Pergi dari sini, cepat!" teriak Victoria sambil mengguncang kursi sang sopir. Matanya melotot ketika beberapa polisi melangkah ke arah mobilnya, tapi bukannya pergi, mobil itu tetap diam dan membuat kepanikannya semakin menjadi. "HEI! KAU TULI! JALANKAN MOBILNYA!""Maaf, Nyonya, tidak bisa. Lebih baik Anda menyerahkan diri sekarang.""APA?!"Victoria kaget bukan m
Pagi itu, Victoria yang tak tahan lagi memilih untuk pergi menemui ayahnya di kediaman keluarga Laurent. Dia dikawal oleh pengawal Mattias, karena Victoria yakin para wartawan sudah menunggu di rumah ayahnya. Ayahnya jelas terjebak dan tidak ke mana-mana sejak skandal pelecehan itu mencuat ke publik. Victoria juga belum sempat menghubungi setelah menabrak Luciana kemarin. Di tengah perjalanan, ponsel Victoria tiba-tiba berdering. Manajernya menghubunginya. Dia berdecak melihat itu dan mengangkatnya sambil menggerutu. "Ada apa? Kau tidak tahu aku sibuk? Aku tidak punya waktu untuk ke tempat pemotretan sekarang.""Aku tahu, Victoria. Situasimu sedang gawat sekarang, tapi kita dalam masalah.""Masalah apa? Klien protes? Suruh mereka reschedule saja," jawabnya ketus dan terkesan acuh tak acuh. "Tidak bisa, mereka membatalkan kontrak dan menuntut ganti rugi atas apa yang terjadi." "Apa?"Victoria yang sedang bersandar, spontan menegakkan tubuhnya dan memekik kaget. Katanya melotot. "Ba
"Tuan, Anda harus keluar sekarang."Matthias menoleh ke arah perawat yang telah selesai dengan tugasnya. Lalu kembali melirik Luciana. Ada perasaan enggan dalam hatinya saat waktunya berada di sana sudah habis. "Tuan?""Tolong sebentar lagi, Sus," ucap Matthias, setengah memohon. "Lima menit lagi."Perawat itu menatap wajah Matthias yang tampak putus asa dan penuh kesedihan. Menimbulkan rasa kasihan yang akhirnya membuat dia mengangguk. "Baiklah. Lima menit, setelah itu Anda harus keluar.""Terima kasih."Senyum semringah mulai terlihat di bibir Matthias. Perhatiannya kembali tertuju pada Luciana. Meski tidak ada yang bisa dilakukannya selain menatap wanita itu, tapi lima menit yang diberikan terasa lebih berharga dari apa pun. "Luci ... maaf, aku tidak bisa menjagamu. Aku gagal melindungimu, tapi tolong ... jangan hukum aku seperti ini. Tolong bangun ...."Suara Matthias sedikit tersendat saat dia mencoba bicara. Berharap Luciana membuka mata dan melihatnya. Hanya itu harapannya. D
Di rumah sakit. Alexander, Arabella dan Genevieve menunggu di luar ruang ICU. Mereka menanti kedatangan Matthias yang belum kembali. Sementara Luciana masih belum sadar meski kondisinya membaik. "Bu, apa Kak Luciana akan bangun? Apa keponakanku tidak akan kenapa-kenapa? Aku harus minta maaf." Arabella memilih jari-jarinya dengan gugup. Rasa bersalah terlihat jelas di matanya. Kegelisahan belum sepenuhnya lenyap meski dokter telah memberitahu kalau semua baik-naik saja. "Jangan khawatir, Luciana pasti akan segera bangun. Ibu juga ingin minta maaf." Genevieve mengelus lengan putrinya. Memberikan sedikit semangat, meski dia sendiri masih khawatir. Kakinya perlahan mendekat ke arah jendela. Dia menatap Luciana yang terbaring di ranjang dengan alat yang terpasang di tubuhnya. Dokter bilang keduanya bisa bertahan, meski dia tetap khawatir karena kondisi janin Luciana yang lemah."Ibu! Ayah!"Genevieve tersentak. Dia menjauh dari kaca jendela dan menoleh secara bersamaan dengan Arabella
Victoria terdiam mendengar semua perkataan Matthias. Setengah percaya, setengah tidak, tapi dia jelas baru pertama kali mendengar Matthias bicara panjang lebar seperti ini. Tidak ada yang lebih membuatnya terkejut selain pengakuan suaminya yang menyentak kesadarannya. "K-kau bohong. Kau pasti bohong, Matthias. Kau tidak pernah berniat membangun keluarga denganku." Victoria tergagap. Dia menggelengkan kepalanya. Berusaha menyangkal. Walau dia harus mengakui, jika dia memang enggan hamil. Dia yang menolak ide itu. "Terserah kau percaya atau tidak. Semua juga sudah terlambat sekarang. Aku tidak berniat mempertahankan semuanya.""Tidak! Apanya yang terlambat? Aku tidak mau bercerai denganmu!"Victoria kembali mencengkeram erat tangan Matthias. Dia menggelengkan kepala. Menatap serius suaminya. "Matthias, jangan lakukan itu! Aku tidak mau cerai darimu.""Aku tidak peduli. Inilah jalan yang kau pilih sejak awal," balas Matthias dengan tak acuh. Dia menarik tangannya dan mengeraskan hatiny