Malam telah larut ketika Luciana dan Matthias tiba di sebuah restoran tenang setelah membereskan semua barang-barangnya di apartemen. Sejak tadi, Luciana nyaris tak mengucapkan sepatah kata pun. Tatapannya kosong, pikirannya masih terjebak pada kejadian yang membuatnya nyaris kehilangan kendali. Dia hampir menyebabkan ibu mertuanya kehilangan nyawa.Ketakutan itu masih menghantuinya.Hidangan lezat terhidang di meja, namun tidak satu suap pun masuk ke mulutnya. Dia hanya memegang garpu dan mengacak-acak makanan di piringnya.Matthias, yang sejak awal memperhatikan, akhirnya bersuara, "Kau masih memikirkan soal tadi?"Luciana melirik ke arahnya dan mengangguk lemah. Napasnya ditarik pelan, kemudian diembuskan dalam desah penuh beban."Aku tidak bisa membayangkan jika Mama meninggal ..." katanya lirih. "Apa aku akan dipenjara gara-gara itu? Aku takut, Matthias.""Itu tidak akan terjadi."Matthias mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Luciana yang dingin. Sentuhan hangat itu membuatny
"Kenapa aku bisa lupa kalau Mama punya riwayat jantung?" gumam Luciana, mondar-mandir gelisah di depan ruang IGD. Pandangannya terus menatap pintu tertutup itu, seolah berharap dokter segera keluar membawa kabar baik.Sesekali matanya melirik ke arah Matthias yang berdiri tenang di sisi tembok, kedua tangannya bersedekap, namun raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama.Luciana berhenti. "Tolong bilang semuanya akan baik-baik saja.""Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua akan baik-baik saja," jawab Matthias lembut, mendekat dan menyentuh lengannya. Sentuhan itu seolah menjadi jangkar yang menahan Luciana dari tenggelam dalam kecemasan.Dia menghela napas kasar. Rasa putus asa menyesaki dadanya. Meski ibu mertuanya tidak pernah benar-benar menerimanya, tapi melihat wanita itu terbaring di dalam ruangan gawat darurat seperti ini tetap membuat hatinya tercekat.Dia tidak pernah berniat menyakiti Helena. Hanya ingin menunjukkan kebenaran yang selama ini disembunyikan, tapi ap
"Jangan pedulikan."Matthias menatapnya sambil menggeleng, lalu mencoba menarik Luciana untuk segera pergi. Namun langkah mereka kembali terhenti saat suara Helena terdengar lagi. Kali ini jauh lebih tajam dan menusuk."Apa kamu main gila dengannya? Kamu ... tidak berselingkuh dari Felix, kan?"Tubuh Luciana langsung menegang. Pertanyaan itu menghantamnya seperti tamparan keras. Dia terhenyak, tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulut ibu mertuanya sendiri. Kedua tangannya mengepal. Matthias, yang berdiri di sampingnya, menyadari perubahan itu. Fia melirik cepat ke arah Luciana, lalu tanpa ragu menggenggam tangan wanita itu. Berusaha menenangkannya, memberi kekuatan dalam diam.Luciana hanya menoleh pelan, bibirnya terlalu kaku untuk menjawab. Sorot matanya tampak hancur, tapi saat dia bersiap mengikuti ajakan Matthias untuk pergi, tangan lain tiba-tiba menariknya dengan kasar."Ma!"Helena mencengkeram lengan Luciana. "Mau ke mana kamu? Mama belum selesai bicara!"Luciana tersen
Pada akhirnya, Luciana berhasil menyelesaikan tugasnya mengepak semua barang. Berkat bantuan Matthias, semua tugas selesai lebih cepat, meski terdapat insiden memalukan yang tidak ingin dia ingat."Sudah selesai semua? Aku sudah membawa koper dan barang-barangmu yang lain ke mobil."Suara itu menyentak Luciana. Menyadarkan dirinya yang kini sedang berdiri diam di depan pigura foto pernikahannya dengan Felix. Dia menoleh sekilas ke arah Matthias, sebelum kembali menatap pigura itu."Sebentar lagi," gumamnya pelan.Luciana mengulurkan tangannya dan meraih pigura itu dengan hati-hati. Matanya terpaku pada foto dirinya bersama Felix, terlihat begitu bahagia. Gaun pengantin putih yang cantik, senyum lebar di wajah mereka ... semua terasa seperti mimpi yang kini hancur berkeping-keping.Tiga tahun.Pernikahan yang dulu dia kira akan bertahan seumur hidup, kini akan berakhir dalam waktu yang begitu singkat. Ada rasa sesak yang menekan dadanya, menelusup ke dalam, menyesakkan."Tidak ada guna
"Apa kau harus sampai repot-repot mengambilnya sendiri?""Mau bagaimana lagi? Aku harus mengambil semua barangku."Luciana menutup pintu mobil dengan sedikit keras. Tatapannya lurus ke depan, menatap rumah yang dulu dia tempati bersama Felix. Rumah yang dulunya terasa hangat, kini hanya menyisakan bayang-bayang luka. Dia menghela napas dan melirik Matthias sekilas sebelum bergegas menuju pintu.Felix harusnya belum pulang dan Luciana tak ingin membuang waktu."Aku bisa menyuruh orang untuk mengambil semua barangmu," ucap Matthias pelan saat menyusul langkahnya."Dan memberinya alasan untuk ribut karena rumahnya dimasuki orang asing?" Luciana berhenti sejenak, menoleh. "Tidak, terima kasih. Ini lebih aman."Dia menatap kunci di tangannya, lalu memutar dan membukakan pintu. Saat pintu terbuka, aroma rumah yang familiar menyapa hidungnya. Namun kini terasa asing. Hampa."Kalau kamu tidak nyaman ke sini, kamu tidak usah ikut," tambahnya, menoleh pelan."Aku tidak pernah bilang tidak mau i
Buang masalah, sebelum masalah itu menghancurkan hidupmu. Kalimat itu selalu dan tak pernah beranjak dari pikirannya selama ini. Menjadi kebiasaan baginya dalam menyelesaikan masalah, yaitu dengan memotong ekornya. Victoria tidak peduli perasaan orang lain. Satu-satunya yang harus dia lakukan hanyalah mengamankan posisinya. Sebagai seorang model dan juga Nyonya Moretti yang terhormat. Dia akan mempertahankan segalanya dengan semua cara. Meski itu menyakiti orang lain. Termasuk Felix. Pria yang kini terlihat membatu atas ancamannya yang tidak main-main. "Kamu mengancamku gara-gara ini? Kamu juga menganggapku tidak berguna lagi hanya karena Luciana ingin bercerai? Kamu pikir Matthias juga akan mempertahankanmu?"Kedua tangan Victoria mengepal. Pertanyaan Felix menyinggung sesuatu dalam dirinya. Syarafnya mendadak tegang. Ada ketakutan yang coba dia sangkal."Tidak perlu mempertanyakan hal yang sudah pasti. Pernikahanku dengan Matthias itu dibuat atas dasar perjanjian orang tuanya. M