"Kamu gila? Perusahaan Matthias? Kamu mau mendekatinya lagi?"
Felix berdiri dan tampak tak terima dengan ide yang ditawarkan oleh Luciana. Ketidaksenangan terlihat di matanya, tapi Luciana tidak peduli. Dia bangkit dan mendekat ke arah jendela. Menatap siang hari yang cerah, yang tak sejalan dengan suasana hatinya."Aku hanya ingin bekerja. Seperti apa yang kamu lakukan.""Tapi kenapa harus di perusahaan iparmu yang jelas-jelas dia berusaha mengambilmu dariku? Jangan-jangan kamu bekerja di sana, berniat menjalin hubungan dengannya?"Luciana berbalik. Matanya menyipit atas tuduhan tak berdasar Felix. Dia tidak ada niat sedikit pun untuk bermain api dengan Matthias. Luciana ingin bekerja, karena dia butuh uang.Dia butuh kebebasan, alih-alih berdiam diri di rumah dan malah membuatnya terlihat sangat bodoh ketika dia diselingkuhi. Jika dia bekerja dan punya uang sendiri, dia tidak akan ragu meninggalkan Felix."Lalu bagaimana den"Kau yakin bisa menang dariku?"Mike menatap remeh Matthias yang kini terlihat serius memandangi kartu-kartu di tangannya. Mereka berdua sedang berada di sebuah kelab malam. Duduk saling berhadapan di ruang VVIP. Tentu saja dengan beberapa minuman dan permainan poker. Mike tampak sangat percaya diri karena dia adalah pemain poker yang andal. Sementara Matthias baru pertama kali mencoba. Mike hampir sangat puas melihat raut wajah Matthias. "Tunggu, agar lebih seru, bagaimana kalau kita melakukan taruhan?"Perhatian Matthias pada kartu di tangannya teralihkan segera. Dia menatap kawannya yang kini mengajukan taruhan. Mike terlihat sangat percaya diri. "Taruhan? Kau yakin?""Apa itu? Kau terdengar seperti meremehkanku. Ayo lakukan! Jika aku menang, kau harus memberiku sebuah yacht." Matthias terdiam sesaat. Alisnya terangkat saat dia mendengar permintaan Mike. Bukan karena ragu, tapi karena dia memikirkan sesuatu yang lebih serius. Dia melihat sahabatnya yang tersenyum cengengesan, se
"Kamu gila? Perusahaan Matthias? Kamu mau mendekatinya lagi?"Felix berdiri dan tampak tak terima dengan ide yang ditawarkan oleh Luciana. Ketidaksenangan terlihat di matanya, tapi Luciana tidak peduli. Dia bangkit dan mendekat ke arah jendela. Menatap siang hari yang cerah, yang tak sejalan dengan suasana hatinya. "Aku hanya ingin bekerja. Seperti apa yang kamu lakukan.""Tapi kenapa harus di perusahaan iparmu yang jelas-jelas dia berusaha mengambilmu dariku? Jangan-jangan kamu bekerja di sana, berniat menjalin hubungan dengannya?"Luciana berbalik. Matanya menyipit atas tuduhan tak berdasar Felix. Dia tidak ada niat sedikit pun untuk bermain api dengan Matthias. Luciana ingin bekerja, karena dia butuh uang. Dia butuh kebebasan, alih-alih berdiam diri di rumah dan malah membuatnya terlihat sangat bodoh ketika dia diselingkuhi. Jika dia bekerja dan punya uang sendiri, dia tidak akan ragu meninggalkan Felix. "Lalu bagaimana den
"Mama?" Luciana tersentak kaget saat matanya menemukan sosok tak diduga di sana. Seorang wanita paruh baya muncul dari arah dapur dengan riasan tebal dan rambut digelung ke belakang. Pakaiannya terlihat memeluk tubuh yang berisi. Wajah wanita paruh baya itu terlihat kesal. Tidak menunjukkan sama sekali keramahan. Luciana spontan melirik suaminya. Meminta penjelasan kenapa ibu mertuanya ada di sana. Namun sebelum Felix menjawab, wanita paruh baya itu sudah ada di depan Luciana. Menatapnya dari atas hingga bawah. Dia juta menemukan koper yang masih digenggam Luciana. "Apa itu? Kenapa kamu bawa koper? Habis dari mana kamu?" Luciana menoleh pada ibu mertuanya kembali. Dia melihat tatapan penasaran dan penuh selidik dari mertuanya. Namun sebemum dia sempat menjawab, Victoria langsung maju. "Tante, Luci kan pergi liburan. Emang Tante nggak tahu, ya?" "Liburan? Kamu pergi liburan?" Wanita itu mengernyit kebingungan, lalu menatap tajam putranya. "Bukannya kamu bilang istrimu sedang b
Beberapa hari setelah kepulangan Matthias, Luciana akhirnya pulang. Dia kembali tanpa memberitahu Felix lebih dulu. Lebih tepatnya, karena dia malas. Matanya mengamati dengan tenang keadaan di luar jendela mobil yang dia tumpangi. Karena ini weekend, dia melihat cukup banyak orang berjalan-jalan di area perumahan. Luciana tidak tahu apa yang suaminya lakukan saat ini. Biasanya saat akhir pekan, mereka selalu menghabiskan waktu bersama untuk jalan-jalan dari pagi sampai malam. Ke mana saja. Semua itu atas dasar kesepakatan bersama sebelum menikah. Quality time. Hal kecil yang mereka perlukan agar pernikahan mereka tidak menjadi jenuh. Luciana selalu menikmatinya, tapi sekarang, rasanya semua itu terasa biasa saja. Dia malah melamun memikirkan masa lalunya yang begitu menyenangkan dengan Felix, sebelum kehadiran Victoria merusak semuanya. Namun kemudian, dia menyadari taksi yang ditumpanginya sudah dekat dengan area rumah miliknya. Luciana bisa melihat halaman rumahnya yang tidak
Malam harinya. Di meja makan yang kecil dan tidak begitu banyak hidangan, Luciana menyantap makanannya seorang diri. Ditemani sepi dan kesunyian malam, dia larut dalam lamunan. Pikirannya sekarang hanya tertuju pada Felix dan berita yang beberapa jam sebelumnya didengarnya. Dia tidak bisa fokus lagi. Wajahnya murung dan bingung. Dia merasa Victoria seperti sengaja menantangnya. Sayangnya, Luciana sama sekali tidak paham apa yang membuat Victoria terus mendekati Felix, di saat Matthias sendiri jauh lebih menarik dan tidak kurang satu pun. Jika adiknya penasaran, kenapa tidak mencoba pria lain? Kenapa harus suaminya? Dia begitu larut dalam dunianya sendiri. Menyantap makan malamnya dengan malas-malas, sampai tak menyadari ketika pintu rumah terbuka dan seseorang melangkah masuk. Itu adalah Matthias yang baru pulang. Wajahnya sedikit kusut karena lelah dengan pekerjaannya, tapi ketika melihat Luciana yang duduk di kursi meja makan, matanya sedikit menyala. Dia mendekat segera tanpa
Luciana menatap kepergian mobil yang ditumpangi Matthias dengan aneh. Dia telah kembali ke rumahnya dan iparnya pergi lagi dengan terburu-buru. Luciana tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia melihat Matthias berubah lebih serius setelah sebelumnya mendapat pesan entah dari siapa. Pada akhirnya, dia harus membawa semua barang belanjaan dan membereskannya sendiri. Cukup melelahkan, meski dia lega karena Matthias pergi. Berada di dekat pria itu, sebenarnya cukup mengganggu. Luciana selalu teringat dengan saat-saat di mana dia menyerahkan diri pada Matthias. Itu jelas salahnya. Dia harusnya tidak boleh terpancing, tak peduli seberapa menggodanya Matthias. Luciana menghela napas dan berjalan pelan menuju ruang tengah. Dia merebahkan tubuhnya di sana dan memejamkan mata. Luciana berusaha untuk tidak terlalu penasaran dengan urusan iparnya, tapi sial, bayangan Matthias malah muncul dan memaksanya membuka mata lagi. "Harusnya yang kupikirkan nasib pernikahanku, bukan iparku," gumamnya meng